Senin, 23 Juli 2007

PERNYATAAN SIKAP SASTRAWAN ODE KAMPUNG

Pernyataan Sikap Sastrawan
Ode Kampung
Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:

Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat.

Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan Pernyataan Sikap sebagai berikut:

1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.
Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.

Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.

Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:

01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)
02. Saut Situmorang (Yogyakarta)
03. Kusprihyanto Namma (Ngawi)
04. Wan Anwar (Serang)
05. Hasan Bisri BFC (Bekasi)
06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta)
07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta)
08. Viddy AD Daeri (Lamongan)
09. Yanusa Nugroho (Ciputat)
10. Raudal Tanjung Banua (Yogya)
11. Gola Gong (Serang)
12. Maman S. Mahayana (Jakarta)
13. Diah Hadaning (Bogor)
14. Jumari Hs (Kudus)
15. Chavcay Saefullah (Lebak)
16. Toto St. Radik (Serang)
17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang)
18. Firman Venayaksa (Serang)
19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta)
20. Arie MP.Tamba (Jakarta)
21. Ahmad Nurullah (Jakarta)
22. Bonnie Triyana (Jakarta)
23. Dwi Fitria (Jakarta)
24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta)
25. Mat Don (Bandung)
26. Ahmad Supena (Pandeglang)
27. Mahdi Duri (Tangerang)
28. Bonari Nabonenar (Malang)
29. Asma Nadia (Depok)
30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta)
31. Y. Thendra BP (Yogyakarta)
32. Damhuri Muhammad (Depok) 33. Katrin Bandell (Yogya)
34. Din Sadja (Banda Aceh)
35. Fahmi Faqih (Surabaya)
36. Idris Pasaribu (Medan)
37. Indriyan Koto (Medan)
38. Muda Wijaya (Bali)
39. Pranita Dewi (Bali)
40. Sindu Putra (Lombok)
41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau)
42. Asep Semboja (Depok)
43. M. Arman AZ (Lampung)
44. Bilven Ultimus (Bandung)
45. Pramita Gayatri (Serang)
46. Ayuni Hasna (Bandung)
47. Sri Alhidayati (Bandung)
48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
49. Riksariote M. Padl (bandung)
50. Solmah (Bekasi)
51. Herti (Bekasi)
52. Hayyu (Bekasi)
53. Endah Hamasah (Thullabi)
54. Nabila (DKI)
55. Manik Susanti
56. Nurfahmi Taufik el-Sha’b
57. Benny Rhamdani (Bandung)
58. Selvy (Bandung)
59. Azura Dayana (Palembang)
60. Dani Ardiansyah (Bogor)
61. Uryati zulkifli (DKI)
62. Ervan ( DKI)
63. Andi Tenri Dala (DKI)
64. Azimah Rahayu (DKI)
65. Habiburrahman el-Shirazy
66. Elili al-Maliky
67. Wahyu Heriyadi
68. Lusiana Monohevita
69. Asma Sembiring (Bogor)
70. Yeli Sarvina (Bogor)
71. Dwi Ferriyati (Bekasi)
72. Hayyu Alynda (Bekasi)
73. herti Windya (Bekasi)
74. Nadiah Abidin (Bekasi)
75. Ima Akip (Bekasi)
76. Lina M (Ciputat)
77. Murni (Ciputat)
78. Giyanto Subagio (Jakarta)
79. Santo (Cilegon)
80. Meiliana (DKI)
81. Ambhita Dhyaningrum (Solo)
82. Lia Oktavia (DKI)
83. Endah (Bandung)
84. Ahmad Lamuna (DKI)
85. Billy Antoro (DKI)
86. Wildan Nugraha (DKI)
87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi)
88. Asril Novian Alifi (Surabaya)
89. Jairi Irawan ( Surabaya)
90. Langlang Randhawa (Serang)
91. Muhzen Den (Serang)
92. Renhard Renn (Serang)
93. Fikar W. Eda (Aceh)
94. Acep Iwan Saidi (Bandung)
95. Usman Didi Hamdani (Brebes)
96. Diah S. (Tegal)
97. Cunong Suraja (Bogor)
98. Muhamad Husen (Jambi)
99. Leonowen (Jakarta)
100. Rahmat Ali (Jakarta)
101. Makanudin RS (Bekasi)
102. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur)
103. Syarif Hidayatullah (Depok)
104. Moh Hamzah Arsa (Madura)
105. Mita Indrawati (Padang)
106. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
107. Sri al-Hidayati (Bandung)
108. Nabilah (DKI)
109. Siti Sarah (DKI)
110. Rina Yulian (DKI)
111. Lilyani Taurisia WM (DKI)
112. Rina Prihatin (DKI)
113. Dwi Hariyanto (Serang)
114. Rachmat Nugraha (Jakarta)
115. Ressa Novita (Jakarta)
116. Sokat (DKI)
117. Koko Nata Kusuma (DKI)
118. Ali Muakhir (Bandung)
119. M. Ifan Hidayatullah (Bandung)
120. Denny Prabowo (Depok)
121. Ratono Fadillah (Depok)
122. Sulistami Prihandini (Depok)
123. Nurhadiansyah (Depok)
124. Trimanto (Depok)
125. Birulaut (Pusat)
126. Rahmadiyanti (Pusat)
127. Riki Cahya (Jabar)
128. Aswi (Bandung)
129. Lian Kagura (Bandung)
130. Duddy Fachruddin (Bandung)
131. Alang Nemo (Bandung)
132. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung)
133. Tena Avragnai (Bandung)
134. Gatot Aryo (Bogor)
135. Andika (Jambi)
136. Widzar al-Ghiffary (Bandung)
137. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)

Jumat, 13 Juli 2007

Buletin Jendela, sebuah kreatifitas anak muda dari Komunitas Penulis Jakarta

“JENDELA” memang beda . Kupasan atau isi buletin “JENDELA” selalu dalam lingkup sastra dan lebih banyak merupakan sarana untuk menampilkan karya-karya sastra berupa cerpen dan puisi.
Tujuh Edisi buletin “JENDELA” sejak berdirinya pada tanggal 6 April 2007 lalu secara jelas menunjukkan hal itu. Kehadiran rubrik-rubrik seperti Focus-Line, Tips, Legenda, dan Lentera, memang pelengkap. Lihatlah karya-karya sastra yang mendominasi setiap halaman dari buletin “JENDELA”.
Selain itu, buletin “JENDELA” yang dirintis oleh Rachmat Nugraha dan Ressa Novita semakin hari semakin tampil sempurna dari segi fisik (layout). Hal ini terbukti dengan meningkatnya oplah buletin “JENDELA” dan tak heran jika kemudian buletin “JENDELA” lambat laun menjadi buletin yang paling diminati dan ditunggu-tunggu kehadiran oleh anggota dan simpatisan Komunitas Penulis Jakarta sejak terbitannya pertama kali. Terbukti dengan adanya perubahan waktu penerbitan dari semula rencananya satu bulan sekali menjadi dua minggu sekali.

Tips menulis novel

Novel tak lain merupakan pengembangan dan pelengkapan dari sebuah cerpen. Unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen seperti tema, tokoh, beserta karakternya, dialog, seting, dan alur atau plot cerita merupakan elemen penting yang tak mungkin ditinggalkan dalam sebuah novel.
Seperti halnya cerpen, tema novel pun bisa diambil dari mana saja. Bisa dari kejadian nyata, pengalaman sehari-hari, atau rekaan (fiktif).
Dan tahu tidak? Semua orang boleh menulis novel, karena novel bukan hanya dominasi para penulis senior. Untuk itu, jika anda ingin menulis novel? Sebaiknya ikutilah tips-tips berikut ini.
Cobalah memutar otak anda untuk mencari sebuah ide atau gagasan cerita yang akan anda tulis.
Lalu, buatlah sinopsis dan penokohan dari cerita yang ingin anda tulis
Mulailah menulis dengan perasaan.
Cobalah untuk menulis di tengah malam, karena biasanya pada malam hari ide lebih mengalir dengan lancar.
Untuk lebih lengkapnya, bacalah novel karya penulis-penulis terkenal agar anda mengetahui teori-teori yang diterapkan dalam novel yang sudah jadi.
Terakhir, publikasikan karya anda melalui penerbit.
Ok! Selamat mencoba. Jadilah penulis yang handal dan ingat, musuh terbesar bagi penulis adalah mood. Jadi, lawanlah bad mood anda! (RN)

HIV/AIDS, I HATE YOU! (Cerpen)

Oleh:Rachmat Nugraha



Yudhis Nataadmaja. Aku biasa memanggilnya Adis. Dia sahabatku. Anaknya tinggi, putih, dan memiliki potongan rambut ala To Ming Se, tokoh utama dalam film seri Meteor Garden. Diantara kami berdua, dialah yang selalu paling modis penampilannya. Maklum, dia selalu mengikuti trend dibanding aku. Segala model terbaru, pasti diikutinya. Dari model rambut, baju, sampai gaya omongan terbaru. Sedang aku, tak begitu berminat dengan yang namanya trend. Bahkan, dalam penampilan pun aku selalu seenaknya. Yang menurutku itu bagus, itulah yang kupakai. Sedang aku, adalah wanita yang tidak pernah sedikitpun menampakan sisi kewanitaanku. Itulah sebabnya, banyak teman-teman kuliahku sesama wanita yang agak enggan berteman baik denganku. Padahal, aku sudah memproklamirkan diriku sebagai wanita yang tidak menyukai sesama jenis. Tapi, rupanya mereka kadung (terlanjur) tidak percaya.
Ohya, namaku sendiri Citra. Lengkapnya Lia Triani Citrasari. Aku kuliah di jurusan vokal Sekolah Tinggi Musik Tatar Sunda, di Bandung. Sedang Yudhis, begitu lulus SMU dia lebih memilih kuliah di jurusan teknik sipil Universitas Mangkunegara yang letaknya sekitar 10 kilometer dari kampus tempatku menuntut ilmu.
Aku dan Yudhis sudah bersahabat sejak kami sama-sama masih duduk di kelas 1 (berdasarkan pembagian tingkatan kelas sebelum berlakunya KBK) di SMU Harapan Bangsa, di daerah Ledeng, Bandung. Dan kami tak pernah sedikitpun ada niat untuk mengakhiri persahabatan kami. Cause friendship is never die, Right!. Setidaknya itulah yang selalu kami kumandangkan, sebelum Tuhan mengambil Yudhis dari sisiku.
Ya, Yudhis sudah tiada. Dia meninggal seminggu yang lalu di rumah sakit Kurnia karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya sejak kuliahnya baru menginjak semester pertama. tepatnya empat tahun silam. Semua itu gara-gara pergaulannya yang salah. dan itu bermula dari perceraian kedua orang tuanya. Sering aku mencoba menasihatinya. Tapi, pergaulannya sepertinya telah menutupi akal sehatnya sehingga sulit untuk mendengar nasihaku. Ohhh… I hate AIDS!. mengingat itu aku kembali larut dalam kesedihan. Tanpa terasa aku terhanyut dalam kenangan masa lalu…

****
Waktu itu, sabtu sore. lima tahun lalu.
Aku asyik membaca majalah remaja sambil menikmati jus alpukat yang kubuat sendiri di teras rumah. Yudhis datang dan langsung menjatuhkan pantatnya disampingku.
“Aduh, kamu Dis! Ngagetin aja” Aku memasang muka masam.
Tapi, Yudhis diam saja. Wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kamu kenapa, Dis?”
Yudhis tidak menjawab. Ia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Baru kali itu aku melihatnya merokok. Biasanya dia tidak pernah sedikitpun menyentuh racun itu.
“Ada masalah?”
Yudhis menghela napas panjang. “He-em”
“Orang tua kamu?”
Yudhis mengangguk. “Mereka mau cerai, Cit”
“Apa?” Mataku langsung terbelalak. “Kenapa?”
“My father! He had a another woman!”
“Your kidding, right?”
“No! I’m seriously”
Kepadaku, Yudhis lalu menceritakan semuanya. Sesekali, dia berhenti sejenak. Menghisap rokok yang terselip di jarinya. Guratan wajahnya menunjukkan kesedihan. Kurasakan ada luka yang mendalam di hatinya.
“Yang tabah ya, Dis” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku sendiri tidak tahu harus berkomentar apa. Aku telah ikut terhanyut dalam kesedihannya.
“Cit… rasanya aku udah enggak tahan dengan semua ini….. celana dalamku mana?”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dan mendapatkan Rani, adikku semata wayang yang baru saja beranjak remaja sudah menampakkan raut wajah manja.
“Mana?”
“Apaan?”
“Celana dalamku yang ada gambar Winnie The Pooh-nya”
“Mana kaka tau, cari aja di tempat gosokan sana! ganggu aja”
“Huuuhhh….” Rani pergi dengan mulut manyun.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka 11 malam. Karena takut kesiangan, akhirnya kuputuskan untuk beranjak tidur.


****
“CIT, AWAS!”
“BRUKK! ADUH!”
Aku jatuh tertelungkup diatas tubuh gempalnya Sifa. Dan Sifa tergencet antara aku dan sepedanya. Aku meringis menahan sakit. Dengkulku yang belum sembuh dari memar akibat main bola bersama anak-anak SD di lapangan seberang rumahku beradu dengan batang sepeda milik Sifa.
“Citra, kamu enggak apa-apa?” Rendy, teman kampusku datang menolong.
“Enggak… enggak apa-apa”
“Aku yang kenapa-napa!”
“Ya, ampun!” Aku langsung bangkit berdiri. Aku dan Rendy lalu membantu membangunkan sepeda. Upss, maksudku Sifa.
“Tega!”
“Sori Fa, keenakan”
Setelah memastikan bahwa tidak ada apa-apa dengan Sifa, terutama sepedanya, aku dan Rendy kemudian beranjak menuju kelas yang berada di pojok belakang gedung untuk mengikuti praktek olah vokal. Sebuah ruangan yang sebenarnya tak pernah sedikitpun aku berminat memasukinya. Aku pernah mengajukan usulan perpindahan kelas pada Bu Necy Astrea, dosen olah vokalku. Tapi, beberapa kali ditolaknya dengan alasan diruangan kelas yang lain dia tidak dapat menyalurkan hasrat pipisnya yang menyerangnya setiap sepuluh menit sekali dengan cepat (seriously?). Karena hanya kelas itu yang memiliki jarak terdekat dengan WC. Dan bagiku, aroma WC itulah yang membuatku kehilangan selera untuk mengikuti kuliah.
Hari sudah semakin siang. Dosen belum juga datang. Sambil menunggu, kugunakan waktuku dengan mendengarkan musik dari MP3-ku. Aku terdiam. Lagu “Kisah Klasik”nya Sheila On 7 membuatku kembali teringat Yudhis. Lagu ini kesukaannya. Aku ingat benar, Yudhis sering menyanyikannya didepanku. Tak terasa aku larut dalam kenanganku bersama Yudhis….


****
Waktu itu, malam-malam. Yudhis datang ke rumahku dengan penampilan yang lebih rapih dari biasanya. Aku agak heran melihatnya. Karena malam itu, seharusnya dia berada di aula, sekolah kami. Ya, malam itu ada acara pesta sekolah. Aku sendiri tidak datang , karena acara tersebut mewajibkan seluruh siswa berpasangan. Jelas saja aku tidak bisa. Pacar saja aku tidak punya.
“Kamu enggak datang ke pesta sekolah?”
“Mau…. Aku mau datang kesana”
“Lho, terus kenapa kesini? Si Widi, mana?”
“Widi enggak bisa datang, nganter Ibunya ke Bogor” Yudhis lalu duduk dikursi. “Kamu ganti baju sana! kita pergi”
“Kemana?” Aku bingung.
“Ya, ke pesta sekolah dong, Non! Emangnya kemana lagi, udah sana cepetan”
Buru-buru aku berlari ke kamar dan mengganti pakaianku. Gaun hadiah dari Ayahku setahun yang lalu menjadi pilihanku malam itu. Dan ketika aku menemui Yudhis kembali, dia memandangku dengan terkesima.
“Kenapa?”
“Aku enggak nyangka, ternyata kamu cantik banget kalau dandan”
Itu adalah pujian pertama yang kudengar dari mulut Yudhis. Maklum, biasanya dia selalu mengejekku karena selalu berpakaian seenaknya dan tidak pernah dandan layaknya seorang wanita.
“Ya udah, ah! jalan yuk, ntar terlambat lagi” Ajakku.
Dengan mobil CR-V milik Yudhis, kami pun beranjak menuju sekolah. Malam itu, jalanan begitu sepi. Hujan yang mengguyur kota Bandung tadi sore membuat udara menjadi dingin, hingga orang-orang segan untuk keluar rumah. Yang ada hanyalah segelintir binatang malam yang dengan penuh semangat hidup mencari makan di keremangan malam. Sambil terus menyetir, kulirik Yudhis sesekali menggerakkan bibirnya mengikuti alunan lagu “Kisah Klasik” milik Sheila On 7. Agak tersenyum geli aku memperhatikannya. Aku yakin, jika saja banyak orang yang mendengarkannya, maka setelah malam itu omset penjualan kaset Sheila On 7 akan mengalami penurunan yang drastis.
“Kenapa senyum-senyum?” Yudhis melirikku ketika mobil kami terhenti oleh lampu merah. “Kamu pasti mau ngeledek suaraku, ya?”
Aku menggeleng. Bohong. “Enggak… suara kamu bagus kok!”
“Makasih! Baru tau, ya?”
“Lebih bagus lagi kalau diam”
Sejam kemudian akhirnya kami tiba. Malam itu sekolah benar-benar ramai tak seperti biasanya. Suara alunan musik berdentum keras dari aula yang dirubah menjadi tempat pesta. Aku dan Yudhis bergegas turun dari mobil dan menuju aula sekolah.
Malam itu, kami benar-benar larut dalam meriahnya pesta. Kami seperti terbebas dari segala beban yang selalu menguntit kami selama 3 tahun kami belajar di sekolah. Maklum aja, malam itu adalah malam perpisahan kami dengan sekolah.
Lamunanku langsung buyar ketika Rendy menepuk pundakku memberitahukan kalau Bu Necy Astrea sudah datang.


****
Jam 5 sore, aku tiba di rumah. Sepi. Tidak ada satupun orang di rumah. Di meja tamu kudapati secarik kertas berisikan pesan dari Ibu. Rupanya Ibu dan Rani pergi ke rumah Tante Yanti, teman Ibu semasa sekolah.
Dengan langkah agak gontai, kumasuki kamarku. Kurasakan, letih dan penat setelah seharian bergelut dengan tiga mata kuliah terus menggelayuti tubuhku. Kurebahkan tubuhku diatas kasur. Fiiuuuhh…..I’m very tired this day. Mataku begitu perih.
Setelah istirahat sebentar, aku kemudian mandi dan ganti baju. Kemudian aku berjalan keluar kamar menuju teras rumah. Dan lagi-lagi aku teringat pada Yudhis. Entah kenapa sosoknya masih terus menggerayangi pikiranku. Sepertinya aku masih tidak dapat mempercayai kematiannya. Ingatanku pun kembali hari dimana Yudhis menghembuskan nafas terakhirnya dihadapanku.
Waktu itu, mega terlihat mulai memerah menyambut datangnya malam ketika aku sampai di rumah sakit Kurnia. Dengan hati yang terus gelisah, aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang cukup panjang. Kabar yang kudengar dari orang tua Yudhis telah membuatku resah sejak perjalanan tadi.
Setibanya di ruang ICU, aku menghentikan langkahku. Kulihat kedua orang tua Yudhis sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Yudhis yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar, berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Citra, kok malah bengong? Kesini!” Rupanya Orang tua Yudhis menyadari kedatanganku.
Aku menurutinya. Dengan berat, kulangkahkan kakiku menghampiri kedua orang tua Yudhis. Setelah ngobrol sejenak, kami lantas masuk dalam ruangan dengan mengenakan masker dan jas demi menjaga ruangan tetap steril. Dengan perlahan, kami menghampiri Yudhis yang masih terbaring tak berdaya. Sungguh memilukan. Tubuhnya yang dulu gemuk dan sehat kini berubah tinggal tulang berbalut kulit.
“Yudhis, ini Citra datang!”
Tapi Yudhis tidak menyahut. Jangankan menengok, membuka mata saja tidak. Menyaksikan kondisi Yudhis yang memprihatinkan, aku tak mampu membendung air matanya. Aku pun menangis terisak. Tak kuasa diriku menahan pilu.
Suasana malam itu berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah isak tangisku dan orang tua Yudhis. Kami seperti tak percaya jika Yudhis menderita HIV/AIDS. Selama ini Yudhis terlihat sehat-sehat saja di depan kami. Tidak ada hal yang ganjil pada diri Yudhis.
Disaat aku terus menangis, tiba-tiba saja jemari Yudhis bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke arahku.
“Cit…Cit…Citra,” Suara Yudhis terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku, Citra!”
“Ma… Ma…. Maafin aku ka… ka….karena enggak dengar nasihat kamu”
Aku mengangguk sambil terus terisak.
Setelah itu Yudhis kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Yudhis memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, aku semakin tidak mampu membendung air mataku. Begitu juga dengan kedua orang tua Yudhis. Mereka menangis begitu histeris. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
Aku benar-benar terpukul dengan kepergian Yudhis. Sejak itu, entah kenapa aku jadi begitu benci dengan yang namanya HIV/AIDS. Sejak itu pula aku jadi aktif di Stigma, sebuah lembaga yang sangat giat dalam memerangi HIV/AIDS.

****

Biarkan Cinta itu Tumbuh (cerpen)

Oleh : Rachmat Nugraha

Hujan mulai mengguyur kota Jakarta ketika Vina duduk sendiri di dalam café Bona. Pertemuannya dengan Rizky kemarin begitu mengusik pikirannya.
“Rizky! Hhh….”
Nama itu terus-menerus terngiang di telinganya. Wajah cowok itu tak henti-hentinya memadati setiap ruang pikirannya. Sepertinya dia tidak mampu mengenyahkan bayangan Rizky yang selalu mengiringi langkahnya sejak rendevouze mereka di Plaza Senayan sebulan lalu. Terdengar helaan napas panjang dari Vina.
Vina melirik jam tangannya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dengan malas, dia kemudian bangkit dari duduknya. Namun, dia tidak beranjak dari situ. Dia hanya berdiri menghadap danau kecil di luar cafe. Tatapannya kosong. Entah kenapa, dirinya seperti kembali diseret ke masa-masa saat dia masih bersama Rizky.
Vina mencoba menepis kenangan itu, tapi tak bisa. Bayangan masa lalu itu justru semakin kuat mencengkram dirinya. Rupanya, begitu sulit menyingkirkan sebuah masa lalu.
“Vina..!” Terdengar suara dari belakangnya.
Vina langsung berbalik. Ternyata Yunita.
“Eh, elo! Sendirian?”
“He-em!”
Yunita kemudian menjatuhkan pantatnya di kursi. Vina mengikutinya
“Vin, elo beruntung ya!”Kata Yunita pelan.
“Beruntung… beruntung kenapa?” Vina mengerutkan dahinya.
“Iya, elo beruntung! Punya cowok yang begitu baik sama elo. Liat aja, Wisnu setia banget sama elo. Selalu ada setiap elo butuhin”
Vina tersenyum dikulum. “Kayaknya elo lagi ada masalah ya?”
Yunita mengangguk. “Cowok gua…”
“Kenapa sama cowok elo?”
“Dia selingkuh”
“Ya udah, sabar aja ya! mungkin dia emang bukan yang terbaik buat elo”
Vina lalu terdiam. Dipikirkannya kata-kata Yunita tadi. Ya, Yunita memang benar. Dia memang beruntung karena telah memiliki Wisnu yang begitu setia pada dirinya. Tapi, Yunita tidak tahu kalau sebenarnya saat ini dia sangat merasa bersalah karena telah menyakiti cowok itu. Dia kini terjebak diantara dua cinta. Wisnu dan Rizky. Hhh… seandainya saja dulu aku dan Rizky enggak berpisah, mungkin keadaannya enggak akan kayak ini, batinnya.

****
Di kamar, malam itu Vina membuka kembali surat-surat dari Rizky. Satu-persatu dibacanya. Kata-katanya begitu romantis. Puitis. Dia jadi tersenyum sendiri membacanya. Entah mengapa tiba-tiba saja dia begitu rindu pada Rizky.
“Duh, lagi baca surat dari pacar, ya!”
“Eh, mamah! Ngagetin aja!”
Buru-buru Vina melipat kembali surat digenggamannya.
“Kamu malu ya?”Desis Bu Sifa menggoda.
“Udah tahu, nanya!”
“Ya udah deh, Mamah pergi”
Setelah kepergian Ibunya, Vina kembali membaca surat-surat Rizky yang masih disimpannya dengan rapih itu. Sekejap, dia kembali menerawang ke masa lalu. Saat-saat indah sewaktu bersama Rizky. Mendadak Vina teringat ucapan Rizky kemarin siang yang memintanya untuk kembali padanya. Saat itu dia tidak menjawab. Vina bingung. Satu sisi dia harus mengakui bahwa cinta Rizky telah kembali hadir dalam hatinya. Tapi, disisi lain dia juga tidak bisa mengkhianati cinta Wisnu yang begitu tulus pada dirinya.
Hhh! Ya, Tuhan… aku mohon, berikanlah aku petunjuk agar aku dapat memilih satu diantara mereka, gumam Vina dalam hati.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bergegas Vina merapihkan surat-surat yang tadi dibacanya dan memasukkannya kembali ke dalam lemari.

****
Sepanjang jalan Wisnu sama sekali diam. Tak ada satupun kata keluar dari mulutnya. Dia hanya berjalan di samping Yunita dengan wajah yang masam.
“Wisnu?”Tegur Vina bingung.
Digenggamnya jemari tangan Wisnu yang masih terdiam.
“Kamu kenapa sih?” Desak Vina penasaran. “Kamu marah, ya?”
“Kelihatannya gimana?” Sahut Wisnu dingin.
Akhirnya dia bicara juga.
“Kelihatannya sih gitu, emangnya ada apa sih?”
“Sudah berapa lama kamu hubungan sama Rizky?” Suara Wisnu terdengar datar.
Vina terperangah kaget. dia heran darimana Wisnu bisa tahu hubungannya dengan Rizky.
“Kenapa, bingung jawabnya?”Katanya lagi.
“Kamu tahu darimana?”
“Enggak penting aku tahu darimana, sekarang kamu jawab aja pertanyaanku!”
Vina menghela napas panjang. “Baiklah, aku akan jujur sama kamu! Hubungan aku sama dia sebenarnya sudah lama. Aku pernah pacaran sama dia dulu”
“Terus sekarang?”
Vina tak bisa menjawab. Dia tak tahu harus bicara apa. Dia tidak bisa memungkiri perasaannya terhadap Rizky. Tapi, dia juga tidak ingin kehilangan cowok yang saat ini ada didepannya.
“Kenapa diam?”
“Sudahlah, Nu! Kita enggak usah bahas ini lagi, dia bukan apa-apaku kok” Kata Vina berbohong.
“Terserah kamu deh!”
Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah suara kicauan burung yang menyambut hari dengan riangnya.

****
Sesampainya di rumah, Vina langsung berdiam diri di kamar. Dia menangis. Dia mencoba merenungi kembali kata-kata yang telah dia ucapkan. Dia tahu dia telah membohongi Wisnu. Tapi, itu terpaksa dia lakukan karena dia tak ingin melukai hati cowok itu.
Sebenarnya dia ingin sekali jujur pada Wisnu. Ingin sekali dia mengatakan bahwa cinta Rizky telah kembali hadir dalam hatinya. Namun, kenyataan itu terpaksa dipendamnya. Itu dia lakukan karena dia tidak ingin menyakiti Wisnu. Wisnu telah begitu baik pada dirinya. Cintanya begitu tulus. Dan kini dia telah mengkhianati ketulusan cinta Wisnu.
“Vina, kamu kenapa?” Tanya Bu Sifa melihat anak gadisnya menangis.
Dia lalu menghampiri anak gadisnya itu dan memeluknya dengan penuh kelembutan. “Ada masalah? Cerita dong sama mamah ” Sambungnya.
Vina mengangguk pelan. Dia pun menceritakan semuanya. Dari mulai pertemuannya dengan Rizky, sampai rasa cintanya pada Rizky yang kembali memenuhi setiap ruang hatinya yang menyebabkan hubungannya dengan Wisnu mengalami sedikit keretakan. Atau bahkan, terancam bubar.
“Vina, mamah rasa kamu harus memilih satu diantara mereka!” Kata Bu Sifa memberi saran.
“Tapi mah, saat ini Vina belum siap! Apalagi Wisnu begitu baik sama Vina. Vina enggak tega”
“Terus kapan kamu siapnya? Itu sama saja kamu mempermainkan mereka”
Mamah memang benar. Aku memang harus memilih. Tapi, enggak sekarang. Aku belum siap. Aku masih ingin keduanya berada disisiku. Aku belum siap untuk kehilangan salah satunya, Vina terus membatin. Biarlah waktu yang menentukan semuanya.

****
Sudah hampir dua minggu Vina tidak bertemu dengan Rizky. Sejak pertemuan terakhirnya dengan cowok itu di café Bona ketika Rizky memintanya untuk kembali, Rizky sama sekali tidak menghubungi atau bahkan menemui dirinya. Dan tadi sore, dia justru mendapatkan sms yang cukup mengejutkan dari Rizky . Dalam smsnya Rizky mengatakan kalau mulai detik ini dia mungkin tidak bisa menemuinya lagi. Selain itu, dalam smsnya, Rizky juga berulang kali meminta maaf pada Vina. Vina benar-benar tidak mengerti apa maksud Rizky mengirim sms seperti itu.
Vina telah mencoba menghubungi handphone Rizky, tapi tidak aktif . dia juga telah berulang kali menghubunginya melalui telepon rumah. Tapi, berulang kali dia mencoba, berulang kali juga tidak ada yang mengangkat.
Vina lalu memaksakan kakinya melangkah keluar rumah dan duduk di kursi teras rumahnya. malam itu, langit terlihat begitu cerah. Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit, menunjukkan sinarnya yang terang. Vina tersenyum sambil terus memandangi langit. Dia mencoba melupakan sejenak rasa penat yang ada dalam dirinya. Tapi, ingatannya terus tertuju pada Rizky. Dia masih belum bisa mengerti kata-kata Rizky sore tadi. Tapi, apapun maksudnya dia tidak ingin berpisah dengan Rizky.
Malam itu Vina tak bisa menutupi kegundahan hatinya. Gundah karena dia tidak ingin kehilangan Rizky, cinta pertama yang telah kembali bersemi dihatinya. Gundah karena dia tidak tahu harus memilih siapa.

****
“Vina, barusan Wisnu nelpon. Katanya, dia kepingin ketemu kamu besok!” Kata Bu Sifa begitu Vina sampai di rumah.
Mendengar itu, Vina tidak terlihat senang. Hatinya terlalu disesaki oleh rasa gundah. Dia terlalu sibuk memikirkan Rizky yang sudah dua minggu ini menghilang.
“Makasih ya, Mah!” Sahutnya sambil terus berjalan masuk kamar.
Bu Sifa sangat heran melihat sikap Vina. Bergegas dia menemui gadis itu di kamarnya.
“Vina” Pelan-pelan dia duduk di samping anaknya yang sedang merebahkan tubuhnya di pembaringan. Dibelainya rambut Vina dengan penuh kelembutan. “Ada apa? Kok mamah lihat beberapa hari ini kamu diam aja” Sambungnya.
Awalnya Vina bungkam. Tapi, setelah didesak akhirnya dia pun bercerita tentang kegalauan hatinya beberapa hari terakhir ini.
“Kamu benar-benar mencintai Rizky?” Tanya Bu Sifa.
Vina mengangguk mengiyakan. Raut wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kalau begitu, kamu temui dia. Katakan kalau kamu ingin kembali sama dia”
“Tapi, Wisnu?”
“Mamah yakin, Wisnu memiliki jiwa yang besar untuk bisa menerima kenyataan ini” Kata-kata Bu Sifa terdengar begitu bijak.
“Makasih ya, Mah” Vina memeluk tubuh wanita paruh baya yang sangat dicintainya itu.

****
Vina begitu berbeda dari biasanya. Tidak ada sedikitpun senyuman di wajahnya. Dan itu membuat Wisnu bingung.
“Kamu kenapa? kok diam aja?” Tanyanya.
Vina menggeleng. “Enggak… enggak apa-apa kok!”
Wisnu tidak langsung percaya. Dia tetap merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu. “Bener, enggak apa-apa?”
“Iya, bener!”
Karena tak ingin berdebat, Wisnu lalu mengajak Vina ke KFC. Restaurant cepat saji itu terlihat begitu ramai. Begitu banyak pengunjung yang memadati tempat itu. Wisnu lantas langsung antri di depan kasir untuk memesan makanan. Sementara, Vina mencari tempat yang nyaman untuk duduk Sambil duduk, Vina terus memikirkan Rizky. Dia merasa harus segera menemui cowok itu. dan sekarang sudah saatnya dia bicara jujur pada Wisnu.
“Kok, ngelamun aja! Lagi mikiran siapa?” Tiba-tiba saja Wisnu sudah duduk didepannya.
“Ah nggak, lagi pengen bengong aja” ujar Vina gelagapan.
“Ayo, makan!”
Vina hanya mengangguk. Tapi, dia sama sekali tidak menyentuh makanan yang ada dihadapannya.
“Kok enggak dimakan?” Tanya Wisnu melihat Vina sama sekali tidak menyentuh makanannya. “Kamu enggak suka?”
“Enggak, aku suka kok!”
“Terus, kenapa enggak dimakan?”
“Iya…iya, aku makan!”
Dengan malas, Vina kemudian menyentuh makanan yang dipesan Wisnu untuknya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan makanannya. Hanya saja, saat ini dia sedang tidak bersemangat. Nafsu makannya telah dikalahkan oleh rasa rindunya pada Rizky . Melihat Vina seperti itu, lama-lama Wisnu jengah juga.
“Vina, kenapa sih , kok kelihatannya kamu enggak bergairah banget ketemu aku?” Desisnya menahan kesal.
“Enggak… enggak apa-apa, aku senang ketemu sama kamu! Aku lagi kurang enak badan aja kok”
“Kamu lagi mikirin Rizky, ya?”
Zahra tak menyahut.
“Kok diam? Wisnu menghela napas panjang. “Kenapa, kamu malu mengakuinya?”
Vina tertunduk. Menarik napas dalam-dalam.
“Wisnu, mungkin sebaiknya kita akhiri saja hubungan kita” Desisnya pelan.
Wisnu langsung membelalakkan matanya mendengar ucapan Vina. “Kenapa?”
“Aku…. Aku ingin kembali sama Rizky. Aku mencintainya!”
“Jadi, selama ini kamu sudah membohongi aku?”
Vina mengangguk pelan. “Maafin aku, Nu. Aku sudah berusaha untuk mempertahankan hubungan kita. Tapi, aku juga enggak bisa memungkiri perasaanku sendiri. Aku enggak bisa membohongi diriku sendiri, kalau ternyata cinta Rizky telah kembali bersemi dalam hatiku”
“Jadi, itu keputusan kamu?”
Vina mengangguk mengiyakan. Dia tahu keputusannya ini telah sangat menyakitkan Wisnu. Tapi, dia harus melakukannya. Karena kini dia benar-benar menyadari jika dia ternyata lebih mencintai Rizky.
“Baik, kalau memang itu keputusan kamu, aku bisa terima. Terima kasih atas kesempatan yang kamu berikan, selamat tinggal!” Wisnu langsung bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Vina sendiri.
Vina tidak bisa mencegahnya. Dia mengerti betapa sakitnya hati Wisnu. Dia dapat merasakan perihnya hati cowok itu. Sama perihnya dengan hatinya saat ini. Perih karena pada akhirnya dia harus membuat keputusan yang menyakitkan bagi mereka berdua.

****
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Vina terlihat berbaring sambil termenung sendiri di kamarnya. Dia terus saja memikirkan Rizky. Sudah lebih dari dua minggu Rizky menghilang. Tapi, sampai sekarang belum juga ada kabar dari cowok itu. dia sudah mencoba mendatangi rumah Rizky. Tapi, pintu gerbangnya terkunci. Tetangganya pun tidak ada yang tahu kemana Rizky dan keluarganya pergi.
Tiba-tiba saja bunyi suara handphone yang sistematis mengusik lamunannya. Vina lalu bangkit dari tidurnya dan meraih HP Sony Ericsson yang diletakkan diatas meja.
“Ada apaa, Yun?” Tanya Vina begitu tahu Yunita yang menelponnya.
“Hallo, Vin! Besok bisa ketemu enggak? gua ada kabar soal Rizky nih, penting!”
“Rizky? Kenapa dia?”
“Ehm… besok deh gua ceritain!”
“Ya udah, kita ketemuan dimana?
“Di café Bona, ya!”
“Jam berapa?”
“Jam 2!”
“Ya udah, sampai ketemu besok ya!”
Ada apa ya?, Tanya Vina dalam hati. Dia merasa ada sesuatu terjadi pada Rizky. Dan itu telah membuat hatinya gundah. Berbagai macam pertanyaan pun mulai menghigapi otaknya. Kecelakaankah dia? atau sakitkah? Atau…?.
“Aahh! Kenapa sih Yunita enggak langsung ngomong aja di telepon,” Vina menggerutu sendiri.

****
“Rizky kenapa, Yun?” Tanya Vina kebingungan.
Vina menarik napas panjang. Dia merasa tak kuasa memberitahukan keadaan Rizky pada Vina. Tapi, apa boleh buat. Bagaimanapun juga dia harus mengatakannya.
“Rizky…”
“Rizky kenapa?” Potong Vina penasaran.
“Rizky masuk rumah sakit!” Desah Yunita pelan.
Sontak Vina terhenyak. “Dirawat? Memangnya dia sakit apa?”
Dengan perlahan, Yunita menceritakan semuanya. Termasuk penyakit yang diderita oleh Rizky. Vina yang mendengarnya langsung menitikkan air mata. Dia tak kuasa menahan tangis mendengar orang yang dia cintai kini terbaring lemah tak berdaya karena penyakit yang selama ini disembunyikan Rizky darinya.
“Yun, tolong antar gua ke rumah sakit sekarang!” .
“Ayo!”
Mereka pun kemudian beranjak menuju rumah sakit tempat Rizky dirawat. Selama perjalanan, Vina lebih banyak diam. Pikirannya terus tertuju pada Rizky.
“Vin, kita sudah sampai!” Cetus Yunita begitu tiba di rumah sakit.
Vina lalu turun dari mobil dan berjalan masuk mengikuti Yunita..
Setibanya di ruangan ICU, mereka bertemu dengan kedua orang tua Rizky. Pasangan suami istri paruh baya itu terlihat sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Rizky yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar. berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Kamu, Vina ya?” Tanya Pak Beni, Ayah Rizky.
Vina hanya mengangguk sambil tersenyum mengiyakan.
“Rizky sudah cerita banyak soal kamu. Ternyata benar, kamu memang cantik” Istri pak Beni ikut bicara.
Dengan ditemani Yunita, Vina kemudian masuk ke dalam kamar rawat. Dilihatnya Rizky sedang terbaring tak berdaya. Vina menangis. Dia tak kuasa menahan sedih menyaksikan kondisi Rizky. Digenggamnya jemari Rizky yang dingin
“Rizky, kamu enggak boleh pergi? Aku ingin kembali sama kamu. Kini… kini hanya cinta kamu yang tumbuh dihatiku” Desis Vina lirih. “Please, bertahanlah demi aku” Lanjutnya.
Tiba-tiba saja jemari Rizky bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke Vina.
“Yun…” Vina memalingkan wajahnya ke Yunita.
Yunita tersenyum.
“Vi…Vi…Vina,” Suara Rizky terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku Vina!”
Bi… bi…biarkan cinta itu terus tumbuh dalam hatimu”
Setelah itu Rizky kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Rizky memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, Vina langsung meneteskan air matanya. Yunita yang sedari tadi berdiri disamping Vina bergegas memanggil kedua orang tua Rizky. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
“Rizky, kamu jangan pergi… kamu enggak boleh pergi” Vina menangis tersedu.
“Sudahlah, Vin! Kita relakan saja kepergiannya” Yunita merangkul pundak Vina.
Pemandangan itu membuat seisi ruangan makin terenyuh. Vina benar-benar terpukul dengan kepergian Rizky. Dia tidak mengira jika Rizky akan pergi meninggalkannya secepat ini. Kini dia hanya bisa pasrah menerima kenyataan ini. Dia harus merelakan kepergian Rizky.

****

KOMUNIKASI ORGANISASI

Komunikasi (communicare, latin) artinya berbicara atau menyampaikan pesan, informasi, pikiran, perasaan yang dilakukan seseorang kepada yang lain dengan mengharapkan jawaban, tanggapan, dari orang lain (Hohenberg : 1978).
Komunikasi bermula dari sebuah gagasan yang ada pada diri seseorang yang diolah menjadi sebuah pesan dan disampaikan atau dikirimkan kepada orang lain dengan menggunakan media tertentu. Dari pesan yang disampaikan tersebut kemudian terdapat timbale balik berupa tanggapan atau jawaban dari orang yang menerima pesan tersebut.
Dari proses terjadinya komunikasi itu, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat dirumuskan sebagai kegiatan dimana seseorang menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta memahami sejauh kemampuannya, penerima pesan menyampaikan tanggapan melalui media tertentu pula kepada orang yang menyampaikan pesan itu kepadanya (Agus M. Hardjana :Komunikasi intrapersonal dan interpersonal, 2003).

Komunikasi dan organisasi
Dalam sebuah organisasi, komunikasi merupakan sebuah tuntutan yang paling utama untuk menjaga keutuhan organisasi. Hal inilah yang membedakan organisasi dari sekumpulan orang lainnya.
Adapun ciri-ciri khusus didalam organisasi yang menuntut adanya komunikasi yang efektif antara lain :
1. Visi/tujuan
2. Sasaran
3. Pembagian tugas/struktur, didalam organisasi membentuk struktur dan hierarki yang melahirkan koordinasi
4. Sistem, konsepnya merujuk kepada hubungan antara atasan dan bawahan. Sifat hubungannya saling mempengaruhi/interdependensi.
Fungsi komunikasi dalam organisasi
Dalam organisasi, komunikasi berfungsi untuk :
1. Pengaturan dan operasi, yakni untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan dan membereskan tugas demi pencapaian tujuan.
2. Inovasi/pembaharuan, untuk kepentingan pembaharuan dan pengubahan tata kerja demi penyesuaian, kelangsungan hidup, dan pengembangan organisasi di tengah lingkungan yang terus berubah.
3. Sosialisasi atau pembinaan, yakni berkaitan dengan anggota sebagai manusia. Khusus dalam upaya motivasi, pengimbalan, dan moral kerja. Sosialisasi berdampak kepada :
a. Harga diri anggota
b. Hubungan interpersonal dalam organisasi
c. Motivasi ; integrasi kepentingan pribadi ke dalam kepentingan organisasi

Efektifitas komunikasi dalam organisasi
Sebuah komunikasi dalam organisasi akan efektif apabila :
1. Saluran komunikasi diketahui dengan pasti.
2. Kita dapat mengatakan tahu kepada siapa harus melapor atau kepada siapa menyampaikan informasi dan dapat menerima informasi dari siapa.
3. Lini komunikasi yang lengkap biasanya harus dipergunakan.
4. Komunikasi itu akan terjadi sependek mungkin tanpa melalui jenjang.
5. Selama komunikasi berlangsung tidak boleh ada interupsi/pemutusan hubungan.
6. Semua yang menjadi apa yang disebut pusat komunikasi/unit komunikasi harus memiliki kompetensi.
7. Setiap komunikasi harus ada outentifikasi/pengesahan.

MANAJEMEN KONFLIK

OLEH : RACHMAT NUGRAHA


Konflik adalah proses yang muncul apabila seseorang/kelompok beranggapan bahwa pihak lain telah atau akan membuyarkan tujuan atau kepentingan yang dia/kelompok itu miliki. Atau dapat dikatakan pula bahwa konflik adalah hubungan-hubungan yang mengandung potensi pengaruh yang tidak cocok.
Konflik bukanlah sesuatu yang perlu di hindari karena kehadirannya dalam organisasi adalah yang biasa terjadi dan bukanlah suatu hal yang tabu. Untuk itu yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengorganisir konflik tersebut, sehingga solusi yang diambil dapat dijadikan titik pijak bagi kemajuan organisasi .
Adapun jenis-jenis konflik antara lain :
Kognitif : selisih paham, salah pengertian, bertentangan pandangan.
Afektif : beda sikap, beda pendirian.
Perilaku : tindakan menyakitkan, tak patut.
Tujuan : berebut kekuasaan, kepentingan sendiri.
Jenjang-jenjang konflik :

Intra pribadi--- Antar pribadi ---Intra kelompok---- Antar kelompok ---Intra organisasi ---Antar organisasi

Mengorganisir konflik
Dalam organisasi, biasanya konflik berlokasi pada :
- Komunikasi. Bentuk-bentuk komunikasi dalam organisasi cukup ambil bagian dalam menciptakan suasana konflik, seperti penggunaan bahasa, dll,
- Perselisihan antar individu dalam organisasi,
- Peraturan yang ketat, dan
- Faktor-faktor yang berasal dari luar organisasi.
Secara umum konflik dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, oleh sebab-sebab bersifat permukaan, sepele, dan emosional. Pada umumnya konflik ini mudah diselesaikan dan tidak memakan waktu yang lama. Kedua, oleh sebab yang mendasar, konflik ini sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dapat bisa diselesaikan karena biasanya konflik ini sudah menyangkut mengenai tujuan (seperti arah yang ingin dituju, dan pandangan-pandangan dasar mengapa tujuan tersebut ingin dicapai) dan sistem organisasi.
Pada umumnya konflik tidak dapat diselesaikan secara baik dan bahkan cenderung menjadi picu kehancuran. Hal ini yang mungkin menjadikan konflik cenderung dianggap negatif. Kiranya perlu dikembangkan tradisi baru dalam menyelesaikan konflik. Pendekatan negosiasi atau atau digunakannya cara-cara negosiasi untuk mengatasi konflik akan sangat berguna.
Dalam rangka pengembangan organisasi, maka diperlukan langkah-langkah antisipatif, cepat, dan bertahap untuk menyelesaikan konflik.
Pertama, temukan akar persoalan. Hal ini dapat dilakukan dengan menceburkan diri dalam konflik yang sedang berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui sumber konflik.
Kedua, buatlah jarak antara yang berkonflik. Cara ini merupakan metode klasik dalam permainan anak-anak; ketika ada persoalan, maka memisahkan mereka merupakan langkah penting untuk mengakhiri konflik.
Ketiga, menggali masalah lebih dalam dari masing-masing pihak yang berkonflik. Bila anda mengambil peran sebagai penengah, maka anda perlu menyingkap lebih dalam masalah yang sedang timbul.
Keempat, membeberkan duduk persoalan yang sebenarnya kepada masing-masing pihak. Bila masalah komunikasi yang menjadi pangkal persoalan, maka pembeberan akan sangat membantu.
Kelima, menegosiasikan/memusyawarahkan. Setelah semua aspek diketahui, maka negosiasi merupakan jalan yang harus ditempuh. Dalam proses negosiasi dibahas mengenai yang bisa diselesaikan dan mana yang tidak.
Penyelesaian konflik harus mengacu kepada usaha untuk memajukan dan bukan memenangkan satu pihak serta mengalahkan pihak yang lain. Dengan demikian organisasi tidak akan mengalami kemunduran atau bahkan kehancuran.

Membangkitkan konflik
Dalam sebuah organisasi, terkadang konflik harus sengaja dibangkitkan dengan tujuan membuat kehidupan organisasi menjadi lebih dinamis dan demi kematangan organisasi. Adapun cara-cara efektif membangkitkan konflik, antara lain :
1.Mengaku memendam konflik.
2.Secara terbuka menunjukkan contoh konflik melalui beda pendapat dan tanggapan bersama.
3.Menahan informasi.
4.Sengaja menyampaikan pesan/informasi kabur.
5.Menantang struktur kekuasaan yang ada.
Dengan menciptakan konflik, bukan berarti meretakkan keutuhan organisasi. Konflik yang tercipta sangat bermanfaat untuk,
1.Memupuk perubahan dan kreativitas dalam menjajagi peluang-peluang baru.
2.Meningkatkan komunikasi dan kinerja organisasi.
3.Menciptakan keseimbangan kekuatan dan pengaruh melalui kerjasama dalam teknik-teknik pemecahan masalah

Teknik-teknik stimulasi konflik
I. Komunikasi
Komunikasi top down : menyimpang dari saluran normal, formal, maupun informal.
Menahan dan menyembunyikan informasi.
Membanjiri informasi sehingga terjadi overload.
Informasi kabur atau mengancam.
II. Struktur
Besaran organisasi dan jenjang-jenjang baru.
Kualitas pengurus
Gaya kepemimpinan
Pergantian jabatan
III. Faktor-faktor personal perilaku
Mempengaruhi perilaku atau pengaruh hubungan.
Mengubah persyaratan untuk peran segenap anggota.
Menciptakan status yang tidak sesuai.
Memisah-misahkan tujuan sub unit.

Tips PenulisanTeras Artikel

Teras sering pula disebut "lead", atau alinea pembuka. Teras dipandang penting karena dia yang paling menentukan apakah pembaca akan terus membaca atau berhenti di situ, yang artinya penulis gagal memikat pembaca.
Fungsi Teras :
- Menimbulkan efek dramatis
- Menimbulkan efek menggoda
- Meringkaskan keingintahuan pembaca
Teras harus cukup ringkas, tangkas. (Tidak lebih dari dua alinea). Selain itu tidak terlalu banyak angka, nama dan istilah sulit.
Jenis Teras :
- Narasi
- Ringkasan
- Kutipan
- Bertanya
Contoh Teras :
Narasi :
- Ada beribu-ribu orang Indonesia yang berdebar-debar mengikuti malam
terakhir sidang MPR. Sampai lewat tengah malam, Majelis berembug
perlukah kategori `pribumi' dicantumkan dalam salah satu perumusan.
- Malam itu saya tidur pukul 11.30 WIB. Besok paginya saya baru tahu,
bahwa kategori rasial itu diputuskan untuk dibuang. Di sebuah tempat
olahraga bersama, seorang kenalan, seorang keturunan Cina, berkata
pelan, `Hari ini saya tambah bangga jadi orang Indonesia'.
Ringkasan :
- Pemerintah Filipina mengusulkan sesuatu yang jika Indonesia memenuhinya bisa menimbulkan dampak hukum internasional yang serius di masa mendatang.
- Usulan Filipina itu berkaitan dengan Kasus Agus Dwikarna, warga
Indonesia yang telah divonis pengadilan Manila. Seperti kita baca dalam berita media, seorang pejabat Filipina mengusulkan kemungkinan Agus ditukar dengan narapidana Filipina yang dikurung dalam penjara Indonesia.
Kutipan :
"Dua awak perahu kami hilang tersesat di pulau tanpa tuan," tulis Alfred Russel Wallace (1823–1913). "Perahu kami sepuluh kali membentur karang; kehilangan empat jangkar; dan tikus-tikus menggerogoti tiang layarnya. Perjalanan yang harusnya memakan waktu 12 hari molor tiga kali lebih lama."
Bertanya :Di manakah foto-foto Bung Hatta tersimpan? Bagaimanakah kondisinya sekarang? Begitulah sederet pertanyaan yang terlintas di benak Jaap Erkelens ketika pertama kali menyatakan bersedia ikut terlibat dalam buku 100 tahun Mengenang Bung Hatta. Buku ini, selain berisi sekilas tentang sejarah salah satu proklamator Indonesia itu, juga akan dihiasi oleh foto-foto Hatta.

Selasa, 10 Juli 2007

I'm Sorry !

I'm Sorry !
Oleh : Rachmat Nugraha


Anak Baru


Pagi-pagi banget Egi sudah bangkit dari tidurnya. Dia terpaksa, soalnya pagi ini dia harus datang lebih awal. Bukan karena upacara. Bukan karena takut sama satpam yang sudah keseringan memergoki dirinya ketika telat. Tapi, karena Pak Ating. Males banget bangun pagi gini, batinnya kesal.
Pak Ating adalah salah satu guru killer di sekolahnya. Dan setiap pelajarannya, dia selalu memaksa siswanya untuk masuk lebih awal dari jam masuk yang ditentukan oleh sekolah. Lelaki dengan kumis melintang itu enggak akan segan-segan membentak dengan logat sundanya yang kental dan mengusir siswanya kalau ada yang datang telat. Egi salah satu yang pernah jadi korbannya. Pernah suatu hari, dia habis dimaki-maki olehnya. Padahal, waktu itu dia cuma telat sepuluh menit pas sedikit lagi pelajaran mau selesai (???).
Seribu alasan dia luncurkan, tapi Pak Ating tetap enggak mau mengerti. Dan tak ayal lagi, nama semua binatang yang ada di kebun binatang plus jenis kelamin dan hobbynya keluar dari mulutnya yang baunya minta ampun(Kasihan amat tuh binatang! Punya salah apa mereka sama Pak Ating?). Begitu tuh, contoh pendidik yang enggak mendidik.
Diambilnya handuk yang tergantung dibalik pintu kamar. Dengan malas, dipaksanya kakinya yang lebat oleh bulu melangkah ke kamar mandi. Saking lebatnya, persis uwaknya yang tinggal di hutan Kalimantan.
“Ihh…gila! Dingin banget” Gumamnya.
Baru sepuluh menit berada di kamar mandi, Egi memutuskan untuk selesai. Dia enggak tahan dengan dinginnya air yang mengalir dari shower. Bergegas dia meraih handuk yang tersangkut dipintu kamar mandi. Setelah itu, dengan tubuh yang masih gemetar kedinginan Egi jalan keluar untuk berpakaian.
Selesai berdandan, Egi langsung meninggalkan kamarnya yang sempit oleh buku menuju ruang makan yang ada tepat dibawah kasur, eh kamar. Coba bayangin! Hampir separuh tembok kamarnya penuh dengan buku. Tapi maaf, yang dimaksud disini bukan buku-buku pelajaran, melainkan buku novel. Maklum, dia hobi banget menulis novel. Jadi, enggak heran kalau dia memiliki banyak buku novel. Katanya sih membaca dan mempelajari hasil karya orang lain adalah suatu kewajiban sebagai bahan perbandingan
“Eh…eh! Betulkan dulu resleting celanamu, baru makan!” Tukas Bu Rini melihat Egi yang langsung menyantap nasi goreng buatannya.
Egi hanya tersenyum malu begitu menyadari resleting celananya terbuka. Dengan sigap dia langsung membetulkannya. Melihat tingkah anaknya, Bu Rini geleng-geleng kepala. Dasar anak ini! Masih saja enggak berubah, Bu Rini membatin.
Usai makan, Egi kemudian pamitan dengan ibunya. Diciuminya orang yang melahirkannya itu pipi kiri, pipi kanan, atas-bawah, depan-belakang, samping kiri-samping kanan (Kok kayak ngukur buat bikin baju?). Dengan langkah terburu-buru, dia berjalan ke garasi dan mengeluarkan escudonya yang berwarna biru metalik.
“Mang, bukain gerbangnya dong!” Teriaknya memanggil Mang Usro.
Mendengar itu, Mang Usro yang lagi asyik menggunting rumput langsung berlari ke arah gerbang dan membukanya.
“Makasih, mang!” Kata Egi sembari menancap gas.
Dia lalu meluncurkan mobilnya menuju sekolah. Jalanan pagi itu sedikit macet oleh kehadiran delman dan becak yang lalu lalang mencari penumpang. Maklum, di Garut enggak ada aturan yang melarang kendaraan bebas polusi itu beroperasi.
Disetelnya radio kencang-kencang untuk melenyapkan kepenatannya. Sesekali, Egi menggoyangkan kepalanya mengikuti irama musik yang diputar oleh stasiun radio Anthrax. Namun baru saja dia merasakan kenikmatan dari lagunya SLANK versi sunda, tiba-tiba saja sebuah delman menyeruduk dari sebelah kiri. Hampir saja dia menabrak kendaraan bertenaga hewan itu kalau enggak buru-buru menginjak rem.
“Sialan tuh kuda! Pengen mati apa!” Egi menggerutu kesal. “Kalau belok pake lampu sen kek!” (???).
Tapi rasa kesal itu langsung sirna ketika matanya menangkap sosok makhluk cantik di belakang kusir delman yang tadi hampir ditabraknya. Wah! Itu dia, baru cewek, bisik hatinya.
Karena merasa diperhatikan, gadis itu lalu melirik ke arah Egi. Anak muda berambut cepak itu langsung terkesiap ketika dengan jelas melihat wajah gadis putih nan cantik itu. Sampai-sampai dia enggak sadar sudah diklakson beberapa kali oleh mobil yang ada dibelakangnya.
“Hey, monyet! Jalan, sia!”
Egi celingukan mencari tahu suara yang berteriak itu.
“Hey, kalakah cicing, sia(malahan diem lu)! Buru jalan!”
Barulah Egi sadar setelah mengetahui ada lelaki tua yang menyembulkan kepalanya yang setengah botak dari jendela di mobil belakang. Takut lihat tampangnya yang mulai mengeluarkan taring, Egi buru-buru tancap gas. Roda mobilnya pun langsung berdecit hebat. Orang tua yang tadi emosi karena jalannya terhalang oleh Egi cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah anak muda itu. Dasar, budak ngora (anak muda)! Enggak ada yang benar, umpatnya dalam hati.

****
Setibanya di sekolah, Egi langsung memarkirkan mobilnya di samping gedung. Sebelum turun, seperti biasa dia ganti sandal jepitnya dengan sepatu yang dia taruh di mobil. Dia lalu berlari menuju ruang kelas yang terletak di lantai satu.
“Aduh, kacau nih kalo sampe telat” Gumamnya dengan napas tersengal.
Begitu sampai di depan ruangan yang bertuliskan XI IS-2, Egi coba mengintip dari jendela, persis maling yang baru lulus dari International Thief School. Lihai banget. Loli saja yang duduk dekat jendela enggak menyadari keberadaannya, walau matanya jelas-jelas belonya minta ampun. Untunglah di kelas baru ada segelintir orang. Dia pun bergegas masuk. Tapi, betapa terkejutnya dia ketika melihat sosok yang ditemuinya di jalan tadi pagi berada dalam kelas. Kapan sampenya dia, ya? masa sih duluan delman daripada mobil gua, batinnya sambil garuk-garuk kepala. Padahal, mobilnya yang keren, yahud, dan ngetop di kampungnya itu sudah dijejali turbo yang super canggih special handmade dari Asep Gelo, sang maestro dalam dunia balap karung F1 di Indonesia.
Dan tambah gelagapan lagi Egi, saat gadis itu melemparkan senyum padanya. Secepat kilat dia memalingkan wajahnya dan berjalan mencari tempat duduk.
“Eh, siapa sih cewek itu?” Tanya Egi pada Fais, temannya yang duduk di kursi depan.
“Yang mana?” Fais celingukan.
Egi lalu menunjuk ke arah gadis yang duduk di tengah. “Itu yang pake bandana merah!”
“Oh! Itu kalo enggak salah namanya Via. Lengkapnya Lavia Damayati. Dia baru pindah dari Jakarta”
“Ooh…anak baru” Egi manggut-manggut.
Egi kemudian menjatuhkan pantatnya di kursi tepat disamping Fais. Matanya sesekali bergerak dengan liar keluar jendela mencari-cari Adi. Namun hingga ruang kelas telah dipenuhi makhluk-makhluk pemburu ilmu, sosok sahabatnya itu belum juga menampakkan dirinya. Diliriknya jam yang melingkar ditangan kirinya. Udah jam sembilan, kemana tuh anak?, batinnya.
Dia ingat pertama kali kenal Adi. Waktu itu mereka sama-sama siswa baru dan sedang mengikuti MOS. Awalnya, dia sebal banget setiap kali melihat Adi. Habis, gayanya angkuh. Urakan. Sok PD. Dan sok tahunya itu lho! Hii…Pokoknya nyebelin banget deh!.
“Hai, Egi!” Sapa Dewi dari depan pintu.
“Hai juga! Eh Dew, elo liat Adi enggak?”
“Kok malah nanya Adi sih, emang elo enggak kangen sama gua?” Desahnya manja
Mendengarnya, Egi langsung ilfil. Please deh! Jangankan kangen, pengen ketemu aja enggak pernah terlintas dalam benak gua, bisiknya dalam hati. Bagaimana mungkin dia kangen pada sosok gembrot yang terkenal doyan makan itu. Iihh! Bisa-bisa kiamat dunia.
“Ehm… kangennya ntar aja ya, kalau gua lagi butuh contekan sama lo. Sekarang gua lagi kangen sama Adi, elo liat enggak?”
“Aahh, sialan lu! Enggak… gua enggak liat” Dengus Dewi sambil berlalu dari hadapan Egi.
“Yee, sewot gitu loh!” Sorak Egi mencibir.
“Oiy, Gi! Elo kok ninggalin gua sih? Katanya mau bareng” Tiba-tiba saja kepala Adi nongol di jendela.
Spontan Mata Egi melirik ke arah Adi. “Oh iya! Sorry Di, gua lupa”
“Lupa… lupa! Kebiasaan lu!” Ketus Adi sewot.
“Ah elo, gitu aja ngambek! Udah masuk sini, sebentar lagi Pak Ating datang”
Dan benar saja. Belum lama setelah Adi masuk, guru bertubuh gempal itu sudah menampakkan wajah seramnya di depan pintu.
“Selamat pagi semuanya!” Sapanya dingin.
“Pagi, Pak!” Serempak seluruh siswa menyahutinya.
“Ok, karena saya harus menghadiri pertemuan antar guru se-kabupaten, maka hari ini kita tidak belajar! ”
Mendengar itu, seisi kelas bersorak kegirangan. Ada yang merayakannya dengan minum jamu, pake toast lagi. Ada yang jingkrak-jingkrak kayak lutung. Dan ada juga yang diam aja nahan pup.
“Tapi, sebagai gantinya saya akan memberikan tugas kepada kalian”
Sontak saja wajah-wajah yang tadinya senang langsung berubah. Yang minum jamu, langsung dibanting gelasnya. Yang jingkrak-jingkrak, langsung menghentikan aktivitasnya. Dan yang diam, terpaksa terus menahan diri dari panggilan alam. Lagi-lagi tugas! Padahal tugas yang kemarin saja belum selesai, batin Egi.

****
“Gi, tadi di kelas kayaknya ada anak baru ya?”
Egi tersenyum. Hhh… rupanya dia tahu juga. Pantas saja di kelas tadi matanya enggak pernah berhenti melirik ke arah Via, si anak baru itu.
“Iya!”
“Yang pake bandana merah kan?”
Egi mengangguk. “Kenapa, naksir?”
“Naksir? Gua?” Adi mendengus. “Tapi boleh juga tuh!”
Huu… dasar playboy cap kadal!, gumam Egi dalam hati.
“Elo kenapa manyun-manyun aja, enggak suka kalau gua naksir dia?”
“Kenapa gua musti enggak suka, itu kan hak elo! Lagian belum tentu kan dia suka sama elo” Sahut Egi mencibir. “Udah ah! Kita ke perpustakaan, yuk!”
“Ngapain ke sana?”
“Yee… gimana sih, katanya elo mau cari data buat tugas!”
Adi langsung menempelkan telapak tangan ke dahinya. “Oh iya, sampe lupa!”
Dua sobat kental itu kemudian beranjak dari kantin. Sepertinya hari ini mereka bakalan menghabiskan waktu mereka di perpustakaan. Habis, tugas makalah dari Pak Ating barusan cukup membuat mereka panik. Soalnya, mereka cuma diberi waktu tiga hari untuk menyelesaikannya. Padahal, data yang harus mereka cari banyak banget. Tapi, mau gimana lagi? mereka enggak mungkin bisa menolak tugas pemberian guru tambun itu. Dikutuk jadi ganteng, baru tau rasa lu! (Lho?)
“Eh, Gi! Anak baru itu lagi disitu tuh”
“Mana?” Tanya Egi celingukan.
“Itu!” Adi menunjuk ke arah Via yang sedang duduk di kursi taman depan perpustakaan.
“Oh..! Terus kenapa?”
“Kita kenalan, yuk! Kasian kan dia, kayaknya belum ada temannya tuh”
“Kasian? Emangnya dia kaum dhuafa, musti dikasianin!”
Dan belum lagi Egi selesai bicara, Adi sudah melenggang mendekati gadis cantik itu. Egi cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya yang kegatelan. Diikutinya Adi dari belakang.
“Hai!” Sapa Adi ramah.
Via yang tengah asyik membaca “Galau Orang Tua di Panti Jompo”nya Mila. Werr hanya membalasnya dengan senyum. Walau sedikit, tapi cukuplah buat menyenangkan hati Adi yang sudah enam bulan ini enggak mendapatkan belaian kasih sayang cewek.
“Boleh duduk enggak?” Kata Adi lagi.
Sekali lagi Via tidak menyahut. Dia hanya menggeser tubuhnya untuk memberikan tempat buat Adi. Tanpa malu-malu, Adi langsung duduk di samping Via. Ada bunyinya lagi. Sudah itu, disusul dengan bau yang kalau dipikir-pikir enggak jauh beda sama bau telur busuk. Pokoknya bau banget, deh!. Tapi, anehnya si Via tidak merasa mencium bau apa-apa. Dia biasa aja. Atau jangan-jangan dia yang kentut? (Idiih, masa sih cakep-cakep jorok!).
“Kamu suka baca novel ya?”Lagi-lagi Adi mencoba memulai percakapan.
Via mengangguk.
“Ehm… Ohya! Namaku Adi, kamu?”
Via melirik Adi. Lama dia terdiam. Agak ragu dia untuk membalas uluran tangan Adi. Habis, tampang Adi kayak orang yang maniak sex. Bikin ngeri. Tapi, karena dia anak baru dan butuh teman, akhirnya dia pun mengulurkan tangannya. Ya, lumayanlah daripada enggak ada temen, pikirnya.
“Via” Jawabnya singkat.
“Nah, kalau yang ini namanya Egi!” Adi menunjuk ke Egi. “Dia temenku”
“Hai!”Sapa Egi tersenyum.
Via balas tersenyum. Senyum yang begitu manis. “Kamu yang tadi pagi hampir nabrak delman itu kan?”
“I…i…iya!” Agak rikuh juga Egi menjawabnya. Mukanya langsung merah kuning hijau, dilangit yang biru (lagu kali!)
“Delman?” Adi bingung. Dia lalu menoleh ke Egi untuk mendapatkan jawaban.
“Udahlah, bukan apa-apa!” Bisik Egi.
“Eh, sory ya, aku pulang dulu!” Cetus Via sambil bangkit dari duduknya.
“Lho kok buru-buru banget?”
“Itu, mobil jemputannya udah datang!”
Egi dan Adi terus memandangi gadis itu sampai akhirnya mobil yang menjemputnya membawa Via pergi dari hadapan mereka. Egi sih mandangnya biasa saja, tapi Adi tuh! Untung aja matanya rada-rada sipit kayak cina Depok. Kalau enggak, bola matanya sudah loncat tahu kemana deh.

****
Egi mencoba menahan tawanya melihat wajah masam Adi. Dia hanya diam saja di samping Adi yang terus menumpahkan kekesalannya pada pelayan café yang telah menumpahkan segelas juice ke bajunya.
“Makanya, kalo jalan liat-liat! Enggak punya mata apa!”
“Maaf, A! saya enggak sengaja” Kata pelayan agak gugup.
“Maaf… maaf!” Mulut Adi terlihat maju mundur.
Malu disaksikan banyak orang, Egi bergegas menarik tangan Adi keluar dari café yang terletak di jalan Ahmad Yani, Garut.
“Kenapa sih elo, Gi! Pake narik-narik tangan gua, gua kan belum puas ngomelin tuh orang!” Dengus Adi kesal saat mobil bergerak meninggalkan café..
“Sory, Di! Gua tau elo lagi kesel, tapi gua malu banget diliatin orang banyak” Sahut Egi.
“Malu? Ngapain pake malu, emangnya kita enggak pake baju apa?”
“Iya sih, kita emang pake baju, tapi celana elo tuh enggak diseletingin!” Mata Egi melirik ke bagian bawah Adi yang lagi buka warung. Dia pun tersenyum. Jadi ingat kemarin pagi. Untung yang melihat cuma ibunya.
Buru-buru Adi menarik resleting celananya ke atas. Rugi dah, gua! Pantes aja di café tadi banyak cewek-cewek sama emak-emak yang enggak ngedip-ngedip ngeliatin gua, bisik hatinya.
Sambil terus menyetir, Egi membiarkan matanya bergerak liar menyisir sepanjang jalan Ahmad Yani. Dari mulai mall Asia sampai dengan kantor pos yang berdampingan dengan kantor Bank Jabar. Hhh…Betapa rapihnya jalan ini sekarang! Enak, enggak macet, batinnya.
Ya, begitulah. Sejak para pedagang kaki lima yang selama ini mangkal di sepanjang jalan itu dipindahkan ke tempat yang sudah disediakan pemda didekat stasiun kereta api, jalan utama di pusat kota ini berubah lebih lengang. Enggak ada lagi kemacetan. Enggak ada lagi pejalan kaki harus mengalah karena tempatnya diserobot sama pedagang. Dan, yang pasti! Sekarang enggak malu lagi kalau mau mejeng disini. Soalnya, enggak akan lagi disamakan dengan tukang jual batterai jam atau tukang becak yang tiap hari mangkal di jalan ini.
“Eh, Gi! Si Via cantik, ya?”
“Ah, enggak! biasa aja” (Boong)
“Hah…please deh, Gi! Masa cakep kayak gitu, elo bilang biasa aja?”
“Iya! Terus, emangnya kalo dia cantik kenapa, suka?”
“Ehm… gimana, ya! Biasanya cewek duluan sih yang suka sama gua, maklumlah orang ganteng”
“Huh… narsis banget sih lu!” Celetuk Egi mencibir. “Kalo ada yang bilang elo ganteng, sumpah itu fitnah!” Lanjutnya sambil menyeringai geli.
“Cie… sirik tuh! Inget Gi, sirik itu tanda enggak mampu”Balas Adi tak mau kalah.
“Ngapain juga sirik sama elo, enggak ada gunanya!”Ketus Egi yang disambut pergerakan bibir Adi yang enggak mau kalah dowernya sama orang utan.
Mobil terus melaju membawa mereka ke arah Bayongbong, sebuah wilayah di pinggiran kota Garut. Rencananya mereka akan menanti kedatangan Firman di rumah Egi. Firman adalah teman baik mereka. Tadinya, Firman satu sekolah dengan mereka. Tapi, dia terpaksa harus pindah ke North Carolina, Amrik menyusul orang tuanya yang sibuk mengembangkan usaha tempe bongkreknya. Sudah setahun lebih dia tinggal disana. Dan sekarang dia mau datang berlibur di Garut selama enam bulan. Kangen katanya. Habis, disana dia enggak pernah lagi melihat hamparan sawah yang menguning, enggak pernah lagi bisa menghirup udara sejuk khas tanah sunda. Dan yang paling membuat dia kangen, disana dia enggak bisa lagi narik-narik kolor Adi yang dulu sering banget menginap di rumahnya.
“Gi, kira-kira si Firman kayak gimana ya sekarang?” Desis Adi bertanya. “Jangan-jangan perutnya makin buncit aja nih”
“Yaa… dia mah buncit juga buncit makmur, emang elo buncitnya gara-gara busung lapar!”Seloroh Egi.
“Sialan lu! Orang sehat gini dibilang busung lapar”Adi menjentulkan kepala Egi.
“Sewot sih sewot, tapi jangan ngejentulin kepala gua dong! Difitrahin pake beras kantor nih!”
“Murah dong!”
Enggak sampai setengah jam, mereka sudah tiba. Mang Usro yang melihat kedatangan mereka langsung membukakan pintu gerbang.
“Thanks, Mang!” Kata Adi dari dalam mobil.
“Your welcome, Aden!”
Spontan Adi terkejut. “Gi, si Mang Usro bisa bahasa Inggris? Baru tau gua”
“Hoo… iya dong! Percuma tiap hari gua ajak dia pergi”
“Elo ajak dia pergi les?”
“Enggak, jadi kuli panggul di pasar!”

****
“Hey, Friend!” Teriak Firman.
“Hey!” Sahut Egi dan Adi barengan
“Jam berapa elo dari Bandara?” Kata Egi sambil menyambut uluran tangan Firman.
“Jam 8! Gimana Di, udah dapet tempat persinggahan cinta elo?”
Kali ini gantian Adi yang membalas uluran tangan Firman. “udah, tapi kecil-kecil!”
“Berapa banyak?”
“Ratusan!”
(Payah, korban iklan!)
“Eh, Man! Ngomong-ngomong gimana kabarnya Nyokap-Bokap elo?” Tanya Egi begitu Firman duduk.
“Alhamdulillah, baik! Cuma…”
“Cuma kenapa?”
“Cuma, kasian Nyokap gua! Udah seminggu ini dia ngurung diri terus di kamar”
“Emangnya kenapa? sakit?”
“Enggak! Hhh…. Dia cuma lagi sedih aja”
“Sedih? Sedih kenapa?”Giliran Adi yang nanya.
“Minggu kemaren di rumah gua ada yang meninggal, Di”
“Siapa?”
“Kucing gua! Dia mati ketabrak motor” (Alah!)
“Ya, ampun! Gimana kejadiannya?”
“Jadi begini ceritanya! Waktu itu gua mau pergi ke sekolah, terus tuh kucing ngerengek mau ikut, gua enggak kasih. Eh, dia malah lari ngejar gua, ya udah akhirnya dia kelindes motor yang lagi ngebut di depan rumah gua”
“Terus yang bawa motornya tanggung jawab, enggak?”
“Enggak! dia langsung kabur”
“Ya, udah deh! Yang tabah, ya!” Kata Egi sambil menepuk pundak Firman. “Ohya! Elo tadi ke rumah lo dulu, enggak?”
“Enggak, gua sengaja langsung kemari! Kan, katanya elo berdua mau nginep di rumah gua!”
Usai ngobrol ngalor ngidul, mereka lalu pergi. Sesuai kesepakatan, mereka meluncur ke rumah Firman di Karang Pawitan. Kapan lagi bisa kumpul bareng kayak dulu? Apalagi kalo ngumpulnya di rumah Firman yang serba ada, pasti nyenengin!. Daripada di rumah Adi. Udah sempit, jauh banget lagi!. Bukannya menghina, tapi itu kenyataan. Bayangin aja, jarak rumahnya Adi dari sekolah aja kayak dari Garut ke Jakarta. Makanya, tuh anak lebih memilih ngekost. Walaupun terkadang percuma dia ngekost. Abis, dia lebih sering tidur di rumah Egi dibanding di kost-annya.
Ditengah jalan, tepatnya di jalan Merdeka laju Escudonya Egi yang warnanya biru metalik terhenti. Bukan cuma mereka yang terpaksa harus bercengkrama dengan panasnya terik sang mentari yang bersinar dengan gembiranya di tanah Garut, para pengendara mobil pribadi lainnya, pengguna jasa angkot dan pengendara motor pun harus rela berpanas-panas ria siang itu. Itu semua gara-gara kuda-kuda yang berunjuk rasa di depan gedung DPRD menuntut kenaikan gaji. Dengar-dengar sih, mereka sudah bosan jadi sapi perahan para kusir delman (lho, ini kuda apa sapi sih?). Makanya mereka minta sama para wakil rakyat untuk mendesak majikan mereka supaya mau meningkatkan kesejahteraan mereka.
“Elo sih, Gi! Gua bilang lurus aja tadi” Celetuk Adi menyalahkan.
“Lah, jangan nyalahin gua dong! Yang ngajak lewat sini kan Firman” Sergah Egi.
“Iya..iya, gua yang salah! Udah ah, enggak usah ribut!” Sambar Firman. “Lagian tuh kuda ngapain sih pake demo segala?”
“Tau, tuh!”
Singkat cerita (pokoknya disingkat-singkatin aja ya, abis capek kalo musti nungguin kuda selesai demo!) mereka sampai juga di rumah Firman yang indah dan megah bak istana Pangeran Ceret yang kondang dari kerajaan linggis.
“Biii….!” Teriak Firman dari ruang tamu.
Bi Inah yang lagi asyik nguleg cabe di dapur langsung lari, tapi bukan ke ruang tamu. Dia malah lari ke halaman belakang, terus celingukan melihat ke atas genteng.
“Suara naon (apa) tadi, nyak (ya)?” Bi Inah garuk-garuk kepala. “Siga aya nu tigusrag kana genteng!” (kurang lebih artinya kayak ada yang jatuh di genteng)
Karena merasa enggak ada apa-apa, Bi Inah pun kembali ke dapur dan meneruskan goyangan ngecornya melibas habis setumpuk cabe yang akan dibuatnya menjadi sambel terasi ala Bi Inah yang sudah termahsyur di kalangan keluarga Pak Haji Sidik, Ayahnya Firman.
“Bibiiiiiiiiiiii…!” Lagi, Firman memanggil wanita paruh baya itu. Kali ini suaranya agak sedikit melengking, biar mirip kayak Cakil, vokalisnya Becanda.
Lagi-lagi Bi Inah bingung cecelingukan. “Suara naon sih, eta?”
Melihat Bi Inah mondar-mandir kayak setrikaan, Mang Kosim yang lagi serius ngajarin Jagur, domba adu kesayangannya Pak Haji Sidik berlatih pencak silat langsung menghampiri wanita yang sudah dinikahinya hampir setengah abad itu.
“Hey, Inah! Kamu kok malah cicing aja sih, itu kamu dipanggil sama Den Firman”
“Oh, jadi tadi tuh suarana Den Firman”
“Nyak! Mangkana itu kuping jangan cuma buat ngedenger gosip ajah!” Kata Mang Kosim yang disambut cengengesan Bi Inah.
Bergegas Bi Inah melangkah ke ruang tamu. Jalannya sedikit dipercepat. Supaya enggak keserimpet, kain panjang yang membalut sepanjang pantat sampai mata kakinya diangkat setinggi lutut. Dan berkat ilmu yang diperolehnya di gua macan gunung Cikuray, hanya dalam waktu sekejap mata Bi Inah sudah sampai di ruang tamu. Tikus saja yang segitu lincahnya dibuat tercengang oleh kehebatan Bi Inah. Sampai-sampai si tikus langsung masuk dan enggak keluar-keluar lagi dari sarangnya. Malu kali!
“Ada apa, Den?”
“Bibi lagi ngapain sih, kok dipanggil enggak nyahut-nyahut?”
“Anu, Den! Ehm… Bibi lagi bikin sambel terasi”
“Buat siapa, Bi? Buat kita bertiga, ya?”
“Ehm… Bukan, Den! Bibi bikin itu buat si Jagur, Den!”
(baru kali ini denger kambing doyan sambel!)
“Ya, udah! Sekarang Bibi bikinin kita kopi aja deh, cepetan ya!”
“Iya, Den!”

****
Hari sudah pagi. Si raja siang telah kembali menunaikan tugasnya menggantikan sang dewi malam yang kudu istirahat setelah semalaman dia begadang menemani bintang-bintang meramaikan langit. Dan seluruh makhluk yang ada di dunia ini telah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Kecuali tiga cecunguk ini. Walau ayam tetangga sudah sampai serak tenggorokkannya mencoba membangunkan mereka, tapi baik Egi, Adi, maupun Firman, satupun enggak ada yang bisa menghargai usaha ayam itu. Karena kesal, sang ayam berhenti berkokok dan langsung masuk apartemennya yang ada dibelakang rumah majikannya. Kalo gini caranya, gua berhenti jadi ayam!, batin sang ayam kesal.
Baru deh pas alarm jam yang ditaruh disamping telinganya Adi bunyi, mereka bertiga bangun.
“Jam berapa, Di?” Tanya Egi sambil menguap.
“Jam setengah tujuh”Agak berat Adi membuka matanya. “Setengah tujuh? Setengah tujuh, Gi! Kacau, dah”
Spontan Adi dan Egi melompat dari ranjang dan berebut masuk kamar mandi. Mirip anak kecil yang rebutan mainan, pakai ada acara jenggut-jenggutan segala (Ah, perasaan anak kecil juga enggak gitu-gitu banget, deh!)
“Ya, udah…. Ya, udah! Mendingan kita suit aja, yuk!” Usul Egi
“Suit? Elo kira mau maen petak umpet!”
“Daripada kita rebutan terus, mau enggak?”
“Hhh…Ayo, deh!”
“Elo berdua lagi ngapain? Kata Firman yang baru saja kelar mengumpulkan nyawanya.
“Tau nih, mau mandi aja pake suit segala!” Sahut Adi mendumel.
“Oh…. Ya, udah! Kalo gitu gua duluan deh yang mandi, elo berdua kan lagi sibuk” Firman langsung masuk kamar mandi.
Adi dan Egi cuma bisa bengong saja melihat lahan yang mereka perebutkan diambil alih oleh Firman. Kalau sudah begitu, jangan harap acara mandinya Firman bakalan cepat selesai. Belum ngepupnya, terus nyiram badan, sabunan. Sudah itu, pakai senandung-senandung kecil lagi. Tambah pakai acara melamun sedikit. Ya, sekitar setengah jam-an lah. Itu juga musti digedor-gedor dulu. Kalau enggak, bisa satu jam dia ngerem di kamar mandi. Ya, buyar deh, acara mendekati Via pagi ini, Adi membatin. Padahal, hari ini dia kepingin banget bisa duduk didekat Via. Dia lagi mau melancarkan jurus mautnya buat bisa PDKT dengan Via.
“Tuh, siapa yang mau mandi?” Kata Firman begitu keluar kamar mandi.
“Udah deh, Gi! Enggak usah pake suit-suitan segala, kita mandi bareng aja, yuk!” Ajak Adi setengah BT.
“Mandi sama elo? Enggak, ah! Ntar gua diapa-apain lagi” Tubuh Egi bergidik.
“Enak aja, lu! Gua masih normal tau!” Adi mendengus sewot.
“Enggak… enggak! Elo aja yang mandi duluan!”
“Ya, udah!” Buru-buru Adi masuk kamar mandi.
Dan, lagi-lagi Egi harus sabar menunggu makhluk brengsek itu mandi. Sambil nunggu, iseng-iseng dia coba ngisi TTS yang dibawanya dari rumah. Beberapa pertanyaan dengan mudah dijawabnya. Tapi, begitu sampai ke pertanyaan 17 menurun, dia bingung. Bukan soalnya yang bikin dia jadi mumet, tapi perutnya yang mulas bener-bener enggak bisa diajak kompromi lagi. Jangankan buat mikir, untuk membayangkan pizza sepuluh loyang aja sudah enggak sanggup.

****
Siang itu, Via lagi asyik mendengarkan musik yang terdengar merdu dari MP3nya. Dia kaget banget waktu Adi secara tiba-tiba merangsek duduk disampingnya. Napasnya langsung ngos-ngosan, kayak abis melihat setan. Hampir saja botol cocacola yang diatas meja melayang ke mukanya Adi kalau Via enggak cepat sadar.
“Kaget, ya? Sory, deh!”
Dasar bego!Udah tau kaget, pake nanya, dengus Via dalam hati.
“Maafin temenku ya, maklum rada-rada!” Cetus Egi.
“Rese, lu! Mending elo ke warnet gih, bukannya elo musti ngirim novel!”Celetuk Adi rada ketus.
“Iya, deh…iya! Tinggal dulu ya, Vi”Buru-buru Egi minggat dari hadapan Adi sebelum anak itu menggigitnya. (Anjing kali, ngegigit!)
Bener-bener sialan tuh anak, Gerutu Egi dalam hati. Udah tadi pagi dia terpaksa nahan-nahan mules cuma buat nungguin si kunyuk itu mandi. Eh, sekarang dia ngusir gua. Brengsek!.
“Eh, Via! Katanya kamu pindahan dari Jakarta, ya?”
“Iya!” Jawab Via singkat.
“Terus, disana kamu sekolah dimana?”
“Di SMA 62!”
“Ohhh!”Adi manggut-manggut.
“Emang tau?”
“Enggak!”
“Yeee!”
“Terus, sekarang kamu tinggalnya dimana?”
“Di rumah!”
“Orang bloon juga tau itu, mah! Maksudku, rumah kamu dimana?”
“Ditinggal, masa dibawa-bawa!”
Kening Adi langsung berkerut. Otaknya dipaksa berpikir. Ditinggal?, batinnya bingung. “Kok ditinggal?”
“Ya, iyalah!Emangnya aku keong, pake bawa-bawa rumah segala. Berat kali!”
“Oh iya, ya! Enggak…enggak, maksudku alamat kamu dimana?”
“Nah, gitu dong! Kalo nanya yang bener. Alamatku di Jalan Muhammadiyah No. 17 Z, jelas?”
”Ya…ya!”Adi menganggukkan kepalanya. “Berarti, kapan-kapan aku boleh dong maen ke rumah kamu?”
“Tergantung!”
“Tergantung apa?”
“Tergantung kamu bawa apa!”
“Emangnya aku harus bawa apaan?”
“Kalo kamu mau maen ke rumah, kamu harus bawa makanan sendiri. Soalnya, di rumahku enggak ada makanan tuh!”
“Ohh… kalau itu soal gampang! Kamu mau apa, martabak keju, pizza, singkong, atau pete? Tinggal ngomong aja”
“Kalo martabak keju sama pizza sih ok, tapi kalo singkong sama pete enggak deh, makasih!” Kata Via sembari mengibaskan tangannya. “Atau gini aja, mending kamu bawain mentahnya aja deh. Biar ntar aku yang beli sendiri!”
Adi hanya tersenyum kecut. Matre juga nih cewek, gumamnya dalam hati. Tapi enggak apa-apa deh, daripada ngejomblo terus-terusan. Kan tengsin, diledekin terus sama Fais and the gank. Apalagi, udah dua bulan ini beredar isu kalau dia ada main sama Egi. Ihhh, geli banget deh! Emangnya gua cowok apaan!, katanya dalam hati.
“Ok, gini aja! Gimana kalo kita cari mentahnya itu bareng-bareng?”
“Caranya?”
“Kamu yang cari duit, aku yang jagain lilin! Gimana?”
“Ngepet dong!”
“Ya, gitu deh!”
“Idih, amit-amit deh!”
Sementara itu di warnet, Egi masih kelihatan sibuk melototin komputer. Sudah hampir sejam-an dia di depan layar. Biasa, apalagi kalau bukan mengirim novelnya dia ke penerbit. Entah sudah berapa banyak penerbit yang dia kirimin, tapi sampai detik ini belum juga ada yang jawaban. Eh, enggak…enggak! Pernah sih ada satu penerbit yang menjawab. Waktu itu, mereka menyuruh Egi untuk menunggu satu bulan. Katanya, naskahnya lagi dipelajari. Terus, pas sudah sebulan mereka menyuruh menunggu sebulan lagi. Terus, dan terus, dan terus, dan terus, dan terus….(Stop! Iklan itu kan udah enggak ada lagi). Sebel juga Egi menunggunya. Bayangin aja! Dia nunggu dari ganteng, jelek, sampe ganteng lagi. Gila enggak, tuh!.
Dan hari ini, dia bisa agak sedikit tersenyum. Sebuah email bertajuk jawaban dari penerbit Grages Medoi telah masuk. Buru-buru dia membukanya.

From : naskah@gragesmedoi.com
To : egi_cute@yuhuu.com
Subject : Jawaban naskah novel

Selamat siang
Naskah anda sudah kami terima dan kami siap untuk menerbitkannya dengan syarat anda harus lari keliling lapangan sambil berteriak “hore”, ok!.

Egi langsung melonjak kegirangan.

From : naskah@gragesmedoi.com
To : egi_cute@yuhuu.com
Subject : Ngingetin doang

Eit…eit, Inget! Lari keliling lapangan!
sebuah email masuk lagi.
Gila apa nih penerbit, masa sih dia bisa ngeliat kesini sih?, Egi mengerutkan dahinya.

Lagi sebuah email masuk.
From : naskah@gragesmedoi.com
To : egi_cute@yuhuu.com
Subject : Ngingetin lagi

Cepetan, ntar enggak diterbitin nih!

From : egi_cute@yuhuu.com
To : naskah@gragesmedoi.com
Subject : Ngasih tau

Iya…iya! Sebentar, saya sign out dulu, terus bayar, terus mau makan dulu biar kuat, terus nunggu nasinya turun dulu ke perut. Baru deh, abis itu saya lari.

****
Sekolahan sudah mulai sepi. Egi yang lagi senang banget karena novelnya mau diterbitkan buru-buru mengajak Adi pergi. Diseretnya makhluk yang sudah masuk dalam daftar species langka itu dari sisi Via.
“Oiy…oiy, pelan-pelan dong! Emang gua sapi, pake diseret-seret segala!”
Egi belagak budeg. Dia terus menyeret kaki Adi yang segede singkong sampai ke parkiran. Via yang menyaksikan pemandangan itu cuma bisa nganga. Enggak nyangka kalau ternyata si Adi masih ada keturunan sapi. Hal itu dia ketahui ketika matanya melihat tas Adi yang bertuliskan “I’m a Cow”, PD banget enggak sih!, batin Via. (Aduh, Via bener-bener buta! Orang tulisannya I’m a Cowboy juga!)
Sampai mobil, kaki Adi baru dilepas.
“Elo kenapa sih? Nyebelin banget deh!” Cetus Adi bingung lihat muka Egi yang mesem-mesem.
“Gua lagi seneng banget hari ini, Di!”
“Seneng sih seneng, tapi jangan nyengsarain orang dong! Masa gua diseret-seret didepan si Via sih, bikin malu gua aja” Protes Adi kesal. “Emangnya elo seneng kenapa, sih?”
“Barusan gua dapet email dari Grages Medoi, itu lho penerbit yang waktu itu gua kirimin naskah novel gua. Inget enggak?”
“Ntar dulu!” Adi mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan ingatannya yang berceceran. Konsentrasi!.
Egi sabar banget menunggu. Sejam. Dua jam. Tiga jam. Busyet deh, lama banget ngingetnya!. Perasaan, kakek gua yang udah pikun juga enggak gini-gini banget.
“Aha!”
“Inget?”
“Enggak!” Adi geleng-geleng kepala.
“Alah...!”
“Ya, udah… ya, udah! Terus, kenapa sama novel elo?Ditolak lagi?”
Egi menggeleng.“Kali ini enggak! Sebentar lagi elo bakalan ngeliat novel gua ada dimana-mana!”
“Serius?” Adi mengerutkan keningnya.
Egi mengangguk. “Makanya, gua kepingin nraktir elo makan sekarang!”
“Laahh! Kalo gitu kenapa masih disini? Ayo kita pergi!”Adi langsung loncat ke dalam mobil.
“Dasar, gembul! Denger makan aja deh, semangat banget”
“Oh, iya dong! Kapan lagi gua makan gratis”
“Emangnya tiap makan sama gua, siapa yang bayar?” Kata Egi sembari masuk mobil.
“Iya…iya, elo yang bayar! Udah deh, cepeten jalan!”
Egi pun langsung memacu mobilnya meninggalkan sekolah.
“Ohya! Si Firman gimana?” Tanya Adi di tengah jalan
“Tadi udah gua sms! Katanya dia nungguin di Asia”
“Oh!” Adi mengangguk.

****
“Buruan jalannya dong!” Kata Adi enggak sabar. Cacing-cacing dalam perutnya udah mulai pada demo. Malahan sebagian cacing dengan beraninya menusuk-nusuk dinding perut Adi pake baliho yang dibawanya. Dasar, enggak tau diri! Padahal, tadi pagi Adi mencoba membungkam mereka pakai sepotong roti tengik sisa kemarin, asli buatan pabrik Coe En Lay. Tapi, mereka belum kenyang juga. Kayaknya, musti dikasih sepiring spaghetti porsi jumbo sama segelas juice alpukat plus es krim rasa coklat yang diatasnya ditaburin krim dulu nih. Baru mereka diam. (Rakus banget tuh cacing!)
“Sabar, napa! Gua kan musti ngiket mobil gua dulu, ntar lepas lagi” (Diiket? Emang kambing!)
Sudah jadi kebiasaan dia, memastikan mobilnya aman untuk ditinggal. Supaya lebih tenang, dia meninggalkan seikat rumput buat makan escudo kesayangannya. (Heran, ini mobil apa hewan sih?)
“Udah, belum?”
“Iya…iya, udah! Bawel banget sih lu!” Dengus Egi kesal.
Mereka lalu berjalan masuk ke mall Asia. Sampai di lantai 1, langkah mereka terhenti.
“Gi, Via tuh!”
“Mana?”
“Itu!” Egi menunjuk sosok yang berdiri di kasir.
“Yang mana, sih? Itu, yang pake kebaya?”
“Bukan, itu mah nenek-nenek! Itu tuh, yang pake baju sekolah. Yang paling cantik sendiri”
“Oh, yang itu. Yang kumisan!”
“Bego! Masa sih Via kumisan. Melek napa, melek!” Adi mulai kesal.
Egi berusaha memfokuskan matanya ke arah meja kasir yang ditunjuk Adi. Tapi berkali-kali Egi mencobanya, wajah cantik Via belum juga bisa kelihatan olehnya. Gimana mau kelihatan, lha wong pandangan dia terhalang nenek-nenek yang lagi ngomel-ngomel sendiri gara-gara pembalut wanita yang dibawanya direbut anak bayi didepannya. Belum lagi lelaki berkumis yang berdiri dibelakang nenek-nenek yang masih juga enggak berhenti ngedumel. Badannya yang segede gajah semakin membuat mata Egi kesulitan mengambil gambar.
“Keliatan, enggak?” Kata Adi lagi.
Karena penasaran, Egi pun melangkah mendekati meja kasir. Pas banget. Begitu dia sampai, pas Via lagi dapat giliran bayar.
“Lho, Egi! Lagi ngapain?” Tanya Via melihat Egi berdiri di depannya. Agak kaget juga dia melihatnya. Abis, muka Egi Cuma berjarak 5 senti dari wajahnya.Untung saja tampang si Egi lumayan ganteng. Coba kalau enggak, sudah dia colok matanya kali!.
Si Mbak penjaga kasir menoba menahan tawa melihat adegan yang persis kayak seorang bidadari cantik didekati jin ifrit itu.
“Ini, nih! Tadi si Adi katanya ngeliat kamu lagi ngantri di kasir, makanya aku nyoba negesin bener enggaknya”
“Negesin sih negesin, tapi jauhin tuh muka! Nakutin tau!”Ketus Via dengan nada setengah tinggi. Kira-kira sekitar 7 oktaf.
Si Mbak penjaga kasir masih terus nahan ketawanya. Kali ini tayangan telah berubah jadi adegan Inohong Di Bojorangkong (Itu lho, program acara yang pernah ada di TVRI Bandung).
“Kenapa, Mbak? Mau ngetawain kita ya?”
“Ah, enggak! orang saya ngetawain nenek-nenek itu, kok” Dia menunjuk ke arah nenek-nenek yang belum juga berhasil mengambil pembalut miliknya dari anak bayi tadi. (Boong tuh!)
Mata Egi dan Via kemudian melirik nenek-nenek yang ditunjuk sama Mbak penjaga kasir. Walah! Edan juga nih nenek-nenek, bisik hati Egi.
Mereka cuma bisa ketawa melihat aksi laga yang ditampilkan oleh orang tua itu. Walau sudah seribu jurus dia keluarkan, si anak bayi malah cengar-cengir sambil terus membejek pembalut di gendongan ibunya. Sakti juga tuh bayi!.
“Terus, si Adi-nya mana?” Desis Via.
“Tuh!” Egi nunjuk ke Adi yang berdiri dekat escalator. “Ehm.. Ohya! Kalau tau mau kesini, kenapa enggak bareng aja tadi?”
Huh…. Nawarin juga enggak tadi!, gumam Via dalam hati. “Enggak, ah! aku takut ngerepotin”
“Aku mendingan direpotin kamu deh, daripada direpotin sama si Adi!”
“Emang kenapa?”
“Bayangin aja! Tiap dia nginep di rumahku nih, kalo tidur maunya lampu tetep nyala. Aku kan biasanya suka digelapin. Terus, kalo pagi nih dia minta sarapannya pake karedok asli buatan Mak Icih dari Sumedang. Mintanya tiga porsi lagi. Aduh, pokoknya nyusahin deh!”
“Jangan begitu, gitu-gitu kan dia temen kamu!”
“Iya, sih! Untungnya orang model kayak dia cuma satu, coba kalo banyak aku bunuhin satu-satu!” Egi memperagakan kungfu ala Cimande yang diajarkan oleh Abah (kakek)nya. “Ohya! Mau ikut enggak?”
“Kemana?”
“Aku sama Adi mau makan diatas, ikut yuk!”
“Ehm…..”
“Udah, enggak usah kebanyakan mikir! Ikut aja”
“Ehm….Ehm….”
“Ayo! Ngapain sih pake bingung, aku yang traktir kok”
“Ehm…. Maaf! Bukannya aku bingung, bukannya aku mikir. Tapi, kakiku keinjek sama kamu!”
“Ups…!”
Mereka bertiga kemudian beranjak menuju Food Court yang ada di lantai II. Dari kejauhan, Egi melihat Firman melambaikan tangannya ke arah mereka sembari mengembangkan senyumnya yang boro-boro manis.
“Oiy, Man! Udah lama nunggu?” Tanya Egi begitu mendekat.
“Ya, lumayan!”
“Lumayan lama?” Kata Adi menyambar.
“Lumayan buat jadi alasan gua ngebacok elo berdua!” Firman langsung berdiri diatas meja sambil menghunus pisau dapur yang dia rebut dari tukang bakso dan diubahnya sendiri jadi keris.
“Waduh!” Via mendesis.
Spontan, Egi langsung narik tangan Adi dan menyembah. “Sori, deh… sori! Lain kali gua enggak bakalan bikin elo nunggu lagi, deh”
Via yang enggak tahu apa-apa bingung mau ngapain. Dia cuma bisa bengong menyaksikan adegan drama itu.
“Sori… sori! Emangnya siapa yang lagi seuri?”Mata Firman melotot. (Seuri = ketawa) “Gua enggak mau tau, pokoknya elo berdua harus tanggung jawab!”
“Ok…Ok! Elo mau apa dari kita?”Cetus Adi dan Egi serempak.
“Gua mau dari sekarang sampe besok pagi, elo berdua ngelayanin gua!”
“Maksudnya jadi pembantu elo?” Lagi-lagi serempak.
“He-em!”
“Ya udah, deh! Daripada elo terus-terusan ngambek” Kata Egi mengalah yang disambut anggukan kepala Adi.
“Good….good!” Firman kembali ke posisi semula. Duduk.
“Ih, kamu berdua kok mau aja sih?” Tanya Via bisik-bisik.
“Abis, aku takut kalo dia ngambek!” Jawab Egi bisik-bisik juga.
“Emangnya kalo dia ngambek kenapa?”
“Dia tuh ya, kalo udah ngambek, kacau. Dulu aja waktu si Adi ketauan pake rok ibunya, dia langsung ngacak-ngacak WC, gila kan!”
“Idihh!”Via meringis jijik. “Lagian, ada-ada aja! Masa si Adi iseng amat make rok ibunya Firman”
“Bukannya begitu, soalnya waktu itu si Adi celananya kebasahan gara-gara kehujanan! Udah itu, celananya Firman enggak ada yang muat lagi sama dia”
“Ooo..”
“Ngomong-ngomong, ini siapa?”kata Firman sambil nunjuk ke Via. Terus, senyum-senyum, gitu!.
“Ini Via! Temen sekolah gua” Sahut Adi.
“Oh, namanya Via! Kenalin, gua Firman. Gua sahabat dua anak jin ini. Dan yang perlu dicatat, diantara kita bertiga gua yang paling ganteng, ok!” (Narsis!)
“Aku Via! Aku temen sekolah mereka. Dan yang perlu dicatat, aku paling cantik diantara kami bertiga”
“Jangan macem-macem lu!” Kata Adi setengah berbisik pada Firman. Dia tahu apa yang dipikirkan Firman.
Mereka lalu memesan makanan. Selama hampir satu jam, Via terpaksa mendengarkan trio belel’s ini ngoceh enggak karuan. Ada saja yang diceritakan. Soal Pak Ating lah yang kalau marah suka naik turun perutnya. Soal Si Fais lah yang suka makan tumila (Bangsat) yang sudah hidup tenang di bangku kelas. Atau soal Dewi yang kalau nimbang berat badan pakai timbangan gajah. Via narik napas dalam-dalam. Bingung, ada aja cowok yang demen ngegosip kayak mereka, gumamnya dalam hati.

****
Hari ini, Egi kembali harus berpacu dengan waktu. Karena jam pelajaran pertama pagi ini adalah “Sejarah”, dan gurunya siapa lagi kalau bukan Pak Ating, si raja tega. Itu berarti dia harus mengumpulkan tugas yang dikasih Pak Ating tiga hari yang lalu.
“Eh, Via! Baru dateng juga?” Sapa Egi saat berpapasan sama Via di depan tangga.
“Iya, nih!” Mata Via naik turun memandangi Egi dari atas kebawah.
“Kenapa, ada yang aneh?”
“Aneh sih enggak, tapi aku baru kali ngeliat cowok pake sepatu hak tinggi! Emangnya cocok sama kamu?”
“Hah!” Egi menempelkan telapak tangannya ke dahi. “Aduh, ini pasti gara-gara Mang Usro salah masukin sepatu ke mobil!”
Tapi, kenapa dia enggak nyadar ya?, desis Via dalam hati.
Mereka lalu berjalan masuk kelas yang ada di lantai I yang mana perjalanan itu sudah menghabiskan waktu selama satu jam. Waktu yang terlalu lama untuk mencapai kelas yang letaknya cuma dua meter dari permukaan bumi. Sebuah perjalanan dimana Egi dengan sangat terpaksa harus menahan malu ditertawakan oleh setiap siswa yang ditemuinya gara-gara salah pakai sepatu.
“Gi, udah lama jadi cewek?”
“Gi, kenapa enggak sekalian aja pake rok!”
“Egi gila! Egi gila!”
“Arrrggghhhh!”
Ditambah lagi dengan kenyataan pahit bahwa Via enggak mengakui dia sebagai temennya setiap ledekan terlontar dari setiap siswa yang mentertawakannya.
“Oiy, Egi, Via! Sini!” Teriak Adi agak serak-serak banjir.
Mereka berdua langsung jalan mendekati Adi yang ternyata sudah menyiapkan dua buah kursi buat mereka. Dan lagi-lagi selama sepuluh meter perjalanan mendekati Adi, Egi terpaksa harus menerima ledekan dari temen-temen sekelas.
“Egi, gua nyangka kalo elo ternyata banci!” Kata Dewi dengan sorotan mata penuh rasa jijik.
“Gi, elo abis mangkal dimana?” Kata Fais ikutan meledek.
“Yang tabah ya, Gi!” Bisik Via berusaha menenangkan Egi. “Oiy, ledek lagi dong!”
Enggak bisa nahan sewot, Egi buru-buru melepas sepatunya dan melemparnya tepat ke mulut Fais yang lagi makan tumila. Karuan aja si Fais langsung kelojotan begitu sepatu Egi tertelan. ( Mulutnya lebar banget kali, ya?)
“Biar rasa dia!”
“Eit…eit! Elo duduknya dipojok, Via disini!” Cegah Adi begitu Egi mau duduk disebelahnya. “Via, duduk deket Aa ya!”
“Makasih, A! Aa udah ee belum? Aa, ii mau uu!”
“Via sayang, Via udah pernah digigit monyet belum?”
“Belum!”
“Gi, gigit!”
“Makasih, gua lebih doyan daging orok!” Desis Egi jutek.
Enggak lama kemudian, Pak Ating masuk. Dia terus minta anak-anak supaya mengumpulkan tugasnya. Dan berbahagialah mereka karena harus mendangarkan dongeng tentang kejayaan kerajaan Padjajaran dari mulut yang baunya naujubillah!.

****











Aku Cinta Kamu!


Sudah enam bulan Via menikmati hari-harinya di sekolah dia yang baru. Dan selama sebulan itu, dia makin akrab sama Egi dan Adi yang sebenarnya dia enggak pernah membayangkan bisa kenal atau bahkan akrab dengan dua makhluk aneh itu. Ini sebuah kutukan. Habis gimana, mau akrab sama yang lain sudah enggak mungkin. Soalnya, seluruh penghuni SMA 1 Tarogong sudah menganggap dia ketularan penyakit rada-rada gelo (gila)-nya Adi dan Egi. Padahal, sumpah! Sedikitpun dia masih waras.
“Pagi, Via!” Sapa Fais
“Pagi!”
Fais langsung duduk disamping Via. “Tumben, pagi-pagi bener udah dateng”
“Iya, nih! abis tadi dianterin sama Ayah sih”
“Ooo…!” Fais mengangguk. “Ohya! Via mau?” Katanya lagi sambil menyodorkan kotak makanan.
“Apaan tuh?”
“Ini, tadi Fais bikin semur tumila! Mau?”
“Ooeek!” Via langsung geleng-geleng. Matanya kemudian menangkap sosok yang sudah enggak asing lagi baginya. Bahkan saking biasanya, dia kadang suka berharap supaya makhluk itu mau operasi plastik untuk merubah wajahnya yang pasaran. “Eh, Adi! Duduk sini, Di!”
Dari depan pintu, Adi cuma mengangguk sambil menebar senyum. Dia lalu jalan mendekati Via yang masih eneg gara-gara ditawari semur tumila oleh Fais.
“Fais, kamu duduknya deketen deh!” Kata Via lagi.
“Lha, ini kan udah deket!”
“Deketan sama tempat sampah, maksudku!”Jari telunjuk Via menunjuk ke kursi yang ada persis di samping pintu. “Cepeten, sana!”
Sembari manyun, Fais beranjak dari duduknya dan pergi menuju kursi yang ditunjuk Via. Ini adalah kesepuluh kalinya dia disuruh pindah sama Via setiap dia duduk disampingnya. Enggak tahu kenapa?.
“Si Egi udah dateng, belum?” Tanya Adi yang baru aja menggantikan tempat duduk Fais.
“Belum!” Jawab Via singkat. “Eh, Di! Ehm… aku boleh nanya, enggak?”
“Boleh aja! Soal apa?”
“Ehm….begini, ehm…. Tapi, kamu jangan marah ya!”
“Iya!”
“Janji?”
“Iya!”
“Enggak boong?”
“Iya! Bawel banget sih, cepetan kamu mau nanya apa?”
“Iya…iya! Ehm… begini, sebenernya kamu sama Egi hubungannya kayak gimana sih?”
“Maksud kamu?”
“Ehm…. Kalian berdua bukan pasangan homo, kan?”
Mata Adi langsung mendelik. “Enak aja! Kita berdua masih normal tau!”
“Syukur deh, kalo gitu! Berarti gosip itu ternyata enggak bener” Via mengangkat kedua tangannya.
“Sekarang aku dong, gantian nanya!” Adi merubah arah kursinya.
“Boleh! Mau nanya apa?”
“Kamu sebenernya udah punya pacar belum, sih?”
“Belum!”
“Kenapa belum?”
“Masih ilfil sama cowok!”
“Kenapa?”
“Abis, cowok kebanyakan tukang boong”
“Iya, bener tuh! Makanya, aku juga enggak suka sama cowok”
“???”
Sebenarnya sih, Via bukannya masih ilfil sama cowok. Tapi, belum ketemu saja yang cocok. Setidaknya itu yang dia rasakan sampai dua bulan yang lalu. Sebelum dia merasa ada yang beda dalam hatinya setiap kali ketemu Egi. Dia berusaha untuk menepis perasaan itu. Tapi, enggak bisa. sosok Egi terlalu kuat untuk disingkirkan dari pikirannya.Dia sendiri enggak tahu, apakah itu yang namanya cinta?. Tapi yang pasti, sejak itu dia merasa selalu enggak ingin jauh dari Egi.

****
“Lagi ngapain nih, kayaknya serius banget? Ngomongin aku, ya?” Tiba-tiba Egi sudah berada di depan Via dan Adi yang lagi terlibat obrolan seru. Yakni, membahas masalah penting enggaknya sikat gigi sebelum tidur.
“PD banget sih lu!”Cibir Adi.
“Tau!” Sambar Via.
“Alah…. Udah deh, ngaku aja!”
“Idih, rugi banget ngomongin kamu!” Kata Via lagi.
“Eh, elo kok tadi enggak masuk?” Tanya Adi.
“Gua disuruh kepala sekolah ngehadirin seminar kampanye anti narkoba di SMA 2!”
“Gi! Pak Ating tadi nyariin elo, tuh!” Fais yang dari tadi anteng dengan semur tumilanya ikutan nimbrung.
“Biarin aja! Paling-paling dia minta bantuan gua lagi” Sahut Egi sembari menjatuhkan pantatnya di kursi.
“Emangnya dia minta bantuan apaan?”Tanya Via.
“Itu, ngajarin anak-anak kecil renang!”
“Lha, bagus tuh! Yang penting dibayar, kan?”Timpal Adi.
“Dibayar, sih!”
“Terus, kenapa elo enggak mau?”
“Ogah banget, gua!”
“Ya udah deh, Gi! Kalo elo enggak mau, biar gua aja” Kata Fais menawarkan diri.
“Bener elo mau?”
“Iya! Timbang ngajarin anak kecil renang, apa susahnya sih”
“Ya udah! Tapi anak buaya, mau?” (udah, kalo mau ketawa enggak usah ditahan!)
“Ckjfkjkgk….”Fais garuk-garuk kepala.
Setelah puas mentertawakan Fais, Egi dan Via kemudian pergi ke kantin. Sementara Adi harus pulang ke kost-an. Maklum sekarang dia lagi sibuk dengan kegiatan barunya. Memberi makan bebek piarannya yang dibawanya dari kampungnya di Pameungpeuk dua minggu yang lalu. Sebenarnya mereka kepingin menghabiskan waktu mereka di Kampung Sampireun. Tapi siang itu, cuaca kelihatan bener-bener enggak bersahabat. Enggak ada sedikitpun tanda-tanda matahari mau muncul. Yang ada cuma segerombolan awan hitam yang siap memuntahkan air hujan yang dibawanya. Jadi, mereka terpaksa deh membatalkan niatnya.
“Gi, kok aku enggak pernah liat kamu bawa cewek sih?”Entah kenapa pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Via.
“Gimana, ya? Abis aku belum punya sih!”
“Ya, nyari dong! Di sekolah ini kan banyak”
“Disini? Ihh… aku enggak level sama cewek-cewek sini”
“Kenapa?”
“Cewek-cewek disini kan kebanyakan pada kampungan semua!”
“Termasuk aku dong!”Cetus Via mendengus.
“Oh, enggak! Kamu sih beda”
“Awas ya, kalo ngatain aku kampungan!”Ancam Via. “Ngomong-ngomong kampungannya gimana?”
“Coba aja liat, tiap hari di luar sekolah mereka selalu pake baju brukat sama kain songket. Terus, kalo makan lauknya itu-itu aja. Nasi timbel, ikan asin sama sambel terasi. Kayak emak-emak jaman dulu banget, kan!” Jelas Egi yang disambut tawa Via.
“Terus, kamu maunya tipe cewek yang kayak gimana?”
Please, bilang kayak gua dong!, gumam Via dalam hati.(ngarep ni ye!)
“Kayak gimana, ya? Aku sendiri bingung, soalnya masih trauma sih!”
“Trauma? Kenapa, kamu pernah punya masalah sama cewek?” Alis Via menyatu.
Egi mengangguk.
“Sama mantan cewek kamu?”
Egi mengangguk lagi
“Dia ninggalin kamu?”
Lagi-lagi Egi mengangguk.
“Selingkuh?”
Kali ini Egi menggeleng.
“Pindah keluar kota?”
Geleng lagi.
“Enggak disetujuin sama orang tua?”
Lagi-lagi geleng.
“Patah tuh leher!” Suara gaib ikut nimbrung.
“Terus kenapa dong?”
“Begini ceritanya. Waktu itu, kira-kira dua tahun yang lalu aku punya pacar,….”
“Cantik?” Potong Via agak jutek.
“Cantik banget! Kita udah setahun tiga bulan pacaran dan aku udah berharap banget kalo dia yang bakal jadi temen hidupku nantinya. Tapi, harapan itu ternyata harus kandas cuma karena dia enggak ngerasa nyaman sama hobiku saat itu”
“Enggak nyaman? Emangnya hobi kamu apa?” Tanya Via heran.
“Ngoleksi macan!”
Via langsung menelan ludah. “Jangan-jangan kamu sering ngajak dia pacaran sambil ditemenin macan, ya?”
“Emang! kok tau?”
“Yee… terang aja! Aku juga kalo jadi dia enggak bakalan tahan pacaran model gitu”
“Emangnya siapa yang mau pacaran sama kamu?” Kata Egi menyeringai.
Via memasang tampang masam.

****
Langit sudah mulai cerah lagi ketika Via sampai di rumah. Setelah mandi dan ganti baju, dia memilih untuk melamun dalam kamar. Menurutnya itu lebih baik daripada harus mendengarkan suara cempreng Mamahnya di dapur yang lagi marah-marah sama kucing yang menumpahkan adonan kuenya. Udah itu, tuh kucing bukannya diem malah nyahutin. Ya udah deh, makin jadi aja Mamah marahnya.
Dari balik jendela kamar, Via terus memandangi pelangi yang baru saja muncul menghiasi langit. Indah banget!.
“Via… Via!” Terdengar suara Ibu Eti dari depan pintu.
“Iya, Mah!”
“Kamu kok bengong aja, lagi mikirin siapa? Pacar, ya?”
“Ah, Mamah! Pacar yang mana? Via kan enggak punya pacar, Mah” (boong…boong! dia lagi mikirin Egi tuh)
“Terus, kamu lagi mikirin apaan dong?”
“Lagi mikirin kucing yang tadi diomelin Mamah!”
“Lho kok, jadi mikirin kucing brengsek itu?”
“Iya! Abis kasian, pasti kucing itu sekarang stress gara-gara ngedengerin suara soprannya Mamah”
“Kamu ini, kucing kayak begitu aja dikasianin! Biarin aja, biar tau rasa dia” Ketus Bu Eti sewot.
“Jangan begitu, Mah! Gitu-gitu kan dia pernah berjasa buat kita. Mamah inget enggak waktu kita baru pindah kesini? Dia kan yang ngebantuin kita nurunin barang(maklum, tuh kucing ngerangkep jadi kuli panggul). Terus,….”
“Udah….udah! Mamah enggak mau ngebahas lagi” Bu Eti buru-buru pergi sebelum Via semakin membuatnya merasa bersalah.
Setelah kepergian Ibunya, Via kembali hanyut dalam lamunannya. Novel “Lirikan si Buta” urung dibacanya. Siapa lagi kalau bukan Egi, penulis novel yang kini tergeletak disampingnya yang bikin dia jadi kebanyakan melamun belakangan ini. Dia sudah mencoba buat membuang jauh-jauh bayangan Egi dari pikirannya. Tapi, semakin dia mencoba justru si Egi semakin menyesaki setiap jengkal lahan pikirannya.
Bayangin aja! Mau makan, ingat dia. Perasaan di piring kayak ada mukanya. Mau tidur, ingat dia juga. Rasa-rasanya setiap kali melihat bantal seperti ada mukanya dia. sampai-sampai tiap kali mau pup selalu ingat dia. Kayaknya cuma dia yang bisa membuat acara ngepupnya jadi lancar. (busyet, dah!).
Di waktu yang sama, tapi dilain tempat Adi juga lagi kecebur dalam lamunannya (kompakan ni, ye!). Cuma bedanya dia enggak lagi memikirkan Egi. Yang dipikirannya adalah orang yang sekarang lagi memikirkan Egi. Ya, dia sedang memikirkan Via. Lavia Damayanti. Dia sudah jatuh cinta sejak gadis itu dekat dengannya . Dan hari ini sudah yang ke dua puluh kali dia memikirkan cewek cantik itu sejak perpisahannya dengan Via tadi siang. (kasian banget ya si Adi kalo dia tahu Via enggak mikirin dia!)
Bebek piaraan Adi menatapnya prihatin. Melihat majikannya bengong saja, si bebek memilih kabur ke rumah tetangga buat PDKT sama bebek betina yang sudah seminggu ini diincarnya.
“Oiy, mau kemana lu!” Teriak Adi yang sadar bebeknya keluar dari kandangnya.
“Wek…wek….wek!” (kira-kira artinya, gua mau indehoi sama cewek gua)
“Enggak, elo enggak boleh keluar!”
“Wek…wek…wek!” (bodo! emang gua pikirin!)
“Yee…dibilangin ngelunjak lu ya, ayo, masuk!”Adi langsung mencekik leher si Bebek.
“Weeeek…wek….wek…weeek!” Si Bebek menjerit kesakitan.
Sempat terjadi perlawanan dari si bebek. Beberapa kali dia mencoba melepaskan lehernya dari cengkraman Adi. Bahkan, dia sempat menendang “adik”nya si Adi.Tapi, tidak bisa. Si Adi sama sekali enggak merasakan sakit. Karena dia sadar tenaganya kalah gede, akhirnya dia diam saja waktu dijebloskan Adi ke dalam kandang. Gagal deh PDKTnya hari ini.

****
Sementara Via dan Adi lagi enjoy dengan lamunannya, di rumah Firman, Egi justru lagi kelihatan senang banget. Maklum, selain novelnya sudah terbit dia juga baru saja mendengar kabar kalau dia berhasil memenangkan kuis “Siapa Cepat Dia Dapat” yang diadakan Meteor TV, satu-satunya TV lokal di kota Garut. Enggak tanggung-tanggung, dia berhasil merebut uang sebesar Tiga Juta rupiah (potong pajak lho) plus makan sepuasnya di restaurant cepat saji “Mak Dani” selama lima hari berturut-turut tanpa henti. Semua itu gara-gara dia bisa menjawab pertanyaan yang diberikan Dik Loyang, sang pembawa acara. Yakni, tentang apa bedanya monyet dulu sama monyet sekarang. Dan enggak tahu kenapa jawabannya dibenarkan waktu dia menjawab,
“Kalau monyet dulu enggak bisa bawain acara kuis, sedangkan monyet sekarang bisa”. (berarti pembawa acaranya monyet dong!)
“Man, besok anterin gua ya!”
Firman yang lagi sibuk memaksa undur-undur supaya berhenti jalan mundur langsung mengangguk. “Emangnya elo mau kemana?”
“Ke Meteor TV! Gua mau ngambil hadiah gua”
“Waduh, boleh…boleh! Tapi, ntar elo traktir gua ya!” Kata Firman sambil terus memaksa undur-undur supaya berhenti jalan mundur.
“Tenang aja!”
“Ohya! Si Adi diajak enggak?”
“Ya, diajak dong!”
Setelah tiga jam memaksa undur-undur, akhirnya Firman menyerah juga. Ternyata undur-undur benar-benar enggak bisa hidup kalau jalannya tidak mundur. Bisa-bisa namanya berubah, dari undur-undur menjadi aju-aju (maksain banget sih!).
Dia lalu manggil Bi Inah yang lagi membujuk si Jagur supaya mau makan. Buru-buru Bi Inah meninggalkan Jagur yang masih ngambek dan bertekad mogok makan selama satu hari, gara-gara enggak dibikinin sambel terasi oleh Bi Inah.
“Aya naon, Aden?” Kata Bi Inah.
“Tolong bikinin jus jeruk dong , Bi! Buat saya sama Egi!”
“Aduh, maaf den! Jeruknya enggak ada”
“Hhh… Ya udah, kalo gitu jus alpuket deh!”
“Alpuketnya belum ada yang mateng, Den”
“Jus markisa?”
“Markisanya belum dipetik dari kebon, Den!”
“Ya udah, adanya apaan?”
“Kalo cabe sih ada, Den! Mau jus cabe?”
“Makasih deh, Bi!”
“Lho, kok Aden pake bilang makasih? Saya kan teu acan bikin nanaon keur (saya belum bikin apa-apa buat) Aden!”
“Hhh……”

****
“Mau kemana, Gi?” Sapa Via melihat Egi buru-buru keluar dari kelas.
“Mau ke Meteor TV, ngambil hadiah! Mau ikut?”
“Mau dong!” sahut Via rada manja.
“Ya udah, ayo!”
Via pun kemudian setengah berlari mengikuti Egi. Lima puluh meter pertama masih semangat. Lima puluh meter kedua, sudah mulai ngos-ngosan. Lima puluh meter terakhir, Via nyambit Egi pakai sepatu. Dan bisa ditebak, Egi teriak kesakitan gara-gara sepatunya Via mendarat keras di kepalanya.
“Rasain! Makanya kalo jalan jangan cepet-cepet dong!” Teriak Via kesal.
Egi tidak menjawab. Dia terlalu sibuk menyingkirkan tujuh bintang yang sekarang lagi berputar-putar di sekitar kepalanya.
“Ayo, jalan!” Kata Via lagi setelah dia memasukkan lagi kakinya ke sepatu yang dipakai untuk nyambit tadi.
Sambil terus menahan sakit, Egi berjalan disamping Via. Setibanya di parkiran, Adi dan Firman sudah berdiri dekat mobil Egi. Sempat photo-photo dulu malah.
“Eh, Via! Mau ikut ke Meteor TV, ya?” Sapa Adi sok kalem.
“Iya nih, elo sendiri mau ngapain?” Via balik Tanya.
“Mau ikut juga dong, kan biar deket sama Via!”
“Hah! Enggak ah, aku takut kena rabies” Desis Via mencela.
Firman tergelak mendengarnya.
“Rabies, emang aku doggy!” Adi memberengut.
“Udah yuk, pada naik semua!”Cetus Egi.
Begitu semuanya naik, Egi lalu melarikan mobilnya ke arah jalan Papandayan. Sesekali dia mengusap-usap kepalanya yang masih terasa sakit. Disebelahnya, Via duduk dengan manis tanpa sedikitpun merasa berdosa karena sudah menyambit Egi. Dibelakang Egi, Firman duduk sambil melirik terus ke arah Adi yang duduk disebelahnya. Sementara Adi, sibuk memunguti serpihan-serpihan roti yang ada dibawah jok dan memakannya.
“Iiihhh, jorok!”
Setelah seperempat jam, mereka sampai di kantor Meteor TV. Egi langsung memarkirkan mobilnya di areal parkir. Mereka berempat keluar dari mobil dan berjalan menuju gedung utama yang ada disebelah kanan dari tempat mereka parkir.
“Selamat siang, Dik! Ada yang bisa saya bantu?” Sapa seorang wanita cantik yang duduk dibelakang meja bertuliskan resepsionis. Kalau ditaksir, umurnya sekitar dua puluhan.
“E…e…Si...siang! Saya Egi, pemenang kuis “Siapa Cepat Dia Dapat”. Kira-kira dimana ya saya bisa ngambil hadiahnya?”
“Oh!” Wanita itu mengangguk sambil ngupil (idih! Cakep-cakep jorok). Keempat anak muda yang melihatnya langsung meringis menahan jijik. “Boleh liat KTPnya?”
“Boleh…boleh!” Egi lalu mengeluarkan KTP dari dompetnya. “Ini, Mbak!”
Resepsionis itu kemudian meneliti dengan seksama keabsahan tanda pengenal Egi. Maklum, sekarang ini banyak orang yang suka menipu. Berkali-kali dia melirik ke Egi, untuk memastikan kalau photo yang ada di KTP itu adalah photonya. Sekalian juga memastikan kalau Egi bukanlah orang yang selama ini diincar polisi karena terkait kasus bom. Karena kalau itu benar, berarti dia bisa dapat lima ratus juta karena telah membantu menangkap pelaku pengeboman.
“Ok, tunggu sebentar ya!” Wanita itu bangkit dari duduknya dan pergi.
Firman yang memang sudah terbiasa sama kehidupan bebas di Amrik langsung membayangkan yang enggak-enggak begitu melihat goyang pinggul yang cukup menantang dari sang resepsionis dari belakang. Berkali-kali dia menelan air liur yang hampir luber dari mulutnya. Yang ada dalam pikirannya cuma satu. Cari jalan supaya bisa dapat nomor teleponnya dan mengajak dia “Senam Kesegaran Jasmani”.
“Elo pasti lagi ngelamunin yang enggak-enggak deh!” Tangan Adi menjentulkan kepala Firman. Si Firman cuma cengengesan kayak monyet. (bukannya mikir!)
Enggak lama kemudian wanita itu keluar sambil membawa amplop coklat. “Ini hadiahnya!”
“Makasih, Mbak!”Kata Egi sembari menerima amplop.
“Sama-sama! Ohya, ini bukti penerimaannya. Tolong, tanda tangan disini!”
Saat Egi lagi tanda tangan, Firman dengan konyolnya meminta nomor telepon wanita itu. Tapi, dibalas dengan tatapan penuh rasa jijik dan gelengan kepala. Merasa diacuhkan, Firman lalu mengeluarkan jurus rayuan mautnya. Wanita itu tetap bersikeras enggak mau ngasih. Si Firman yang nafsunya sudah sampai di ubun-ubun mencoba mendesak. Wanita itu akhirnya menghajar Firman pakai gagang telepon. Karena malu, Egi, Adi, dan Via pergi dan membiarkan Firman terus dihajar sama wanita itu. Firman teriak minta tolong. Mereka pura-pura enggak dengar.
“Syukurin, biar kapok!” Kata Adi.
“Dik…dik! Itu temennya kasian” Teriak seorang ibu penuh rasa iba.
“Bukan, Bu! Itu bukan temen kami” Kilah Egi dan Via barengan.
“Lho, tadi bukannya datangnya bareng kalian?”
“Iya, Bu! Tapi sumpah deh, itu bukan teman kami”Timpal Adi sembari terus ngeloyor pergi.
Mereka bertiga terus berjalan cepat keluar gedung. Begitu sampai di mobil, mereka langsung masuk mobil dan secepat kilat pergi meninggalkan pelataran parkir.

****
Dengan wajah bonyok dan pakaian compang-camping, Firman berjalan tertatih-tatih keluar gedung. Tapi, betapa sialnya dia begitu tahu ketiga temennya sudah tidak ada. Yang tersisa hanya jejak mobil dan sisa kotoran ayam yang menempel di aspal. Firman bergegas lari ke pinggir jalan dan menyetop angkot yang lewat didepannya.
“Ayo, A! Satu orang lagi masih muat, A!” Teriak lelaki kerempeng yang menggelantung di pintu angkot.
“Alun-alun?”
“Iya…iya! lewat”
Dengan cepat, Firman langsung melompat ke dalam angkot.
“Coba ya tolong, yang pinggir geser ke tengah. Yang tengah geser ke pojok. Yang pojok mendingan turun aja deh!” Teriak si kenek yang kulitnya hitam kayak habis hangus terbakar. Sudah itu kurus lagi.
Spontan yang duduk di pojok langsung nyambit kenek pakai martil. Terus kampak. Terus pacul. Dan terakhir pakai mesin molen. (nih, penumpangnya tukang kuli bangunan semua apa?)
“Punten (permisi), A! kenapa mukanya kayak dakocan gitu? Abis show, ya?”Tanya anak SMP yang duduk didepan Firman.
Firman tidak menjawab. Baginya, adalah aib kalau sampai memberi tahu penyebab yang membuat wajahnya jadi enggak berbentuk kayak gini sama orang lain. Lagipula, disamakan dengan dakocan adalah sebuah penghinaan yang tertinggi buat dia.
“Kok Aa enggak ngejawab sih? Gagu, ya?”
Firman tetap diam. Baginya, diam adalah keputusan yang tepat daripada harus memukuli anak kecil pakai dongkrak yang ada dibawah kakinya.
“A, jawab dong! Saya kan nanya”Tangan anak SMP itu menyolek dengkul Firman.
Firman terus diam. Tapi, si anak enggak berhenti-berhentinya nyerocos minta pertanyaannya dijawab. Karena kesal, Firman akhirnya memutuskan untuk melenyapkan anak SMP itu dari hadapannya. Firman lalu membuka jendela angkot dan melempar anak SMP itu keluar lewat jendela. Alhasil, itu anak nyangkut di tiang rambu lalulintas.
“Siapa lagi yang mau nanya?” Firman melototin penumpang satu persatu.
Semua penumpang enggak ada yang berani ngomong. Kecuali satu anak balita yang dengan tanpa berdosanya mengatai Firman orang gila.
“Enggak, Adik! Kaka enggak gila” Desis Firman lembut.
“Oyang giya! Oyang giya!” Anak manis itu terus mengatai Firman.
“Enggak, kaka enggak gila! Sumpah deh!”
“Oyang giya! Oyang giya!”
“Enggak!” Kata Firman mulai ngotot.
“Oyang giya!” Anak balita balik ngotot.
Adu mulut itu terus berlanjut sampai angkot tiba di Alun-alun kota Garut.
“A, udah sampe!” Kenek kerempeng yang sudah puyeng mendengarkan debat terbuka antara anak balita dengan anak gorilla langsung mencolek pundak Firman. Buru-buru Firman turun sebelum emosinya lebih tersulut lagi. dan akhirnya semua penumpang bisa bernapas dengan lega.
“Nah, itu dia mobilnya!” Gumam Firman begitu melihat mobil Egi didepan café Dodol, tempat biasa mereka nongkrong. Dia lalu masuk ke dalam café.
“Ya ampun, Firman! Gua nyangka kalo elo jadi sejelek ini” Ledek Adi begitu melihat Firman. “Duduk sini, Man”
“Makasih!” Kata Firman rada ketus.
“Sory ya, Man! Tadi kita bertiga bukannya maksud pengen ninggalin elo, tapi kita terpaksa. Abis, daripada ntar kita semua ikut-ikutan dipukulin” Cetus Egi yang sudah merasakan hawa buruk dari Firman.
“Elo semua emang pada enggak solider sama temen!” Gerutu Firman.
“Elo sendiri yang salah, pake ngegodain cewek!” Kilah Egi.
“Abis mau gimana lagi, kan hobi!”
“Makanya cari hobi yang agak sehatan, kek!” Sambar Adi.
Via diam aja. Dia tidak ikut mengomentari kesialan yang dialami Firman. Menurut dia, sekarang solusi yang terbaik adalah mencari jalan gimana caranya supaya wajah Firman yang sudah enggak ketahuan bentuknya ini bisa kembali normal seperti sediakala. Walau tampang aslinya enggak jauh lebih baik dari saat ini, tapi senggaknya ada bentuknya.

****
Dua minggu telah lewat. Egi terus sibuk mempromosikan novelnya ke teman-teman, saudara, tetangga, dan bahkan ke setiap orang yang dia temui. Baik itu di warung, di jalan, dan di WC umum. Pokoknya biar semua orang tahu kalau dia telah membuat sebuah karya sastra yang pantas dinikmati oleh semua orang (itu menurut dia sendiri lho!). dan kali ini dia memusatkan kegiatan promosinya di terminal Guntur.
“Eh, Egi! Kamu lagi ngapain disini?” Via keheranan melihat Egi berdiri di depan pintu masuk terminal.
“Ehm… anu….ehm… lagi bagiin famlet!” Jawab Egi rikuh. Rada-rada malu juga dia menyahutinya.
“Bagiin famlet? Famlet apaan?”
“Ini!” Egi menyodorkan selembar kertas ke Via.
“Ya, ampun! Emangnya kamu yakin orang-orang bakalan beli novel kamu?”
Egi mengangkat bahu. “Kamu sendiri ngapain?”
“Aku mau jemput sepupuku yang dari Bandung, dia mau tinggal disini! Anterin, yuk!” Via langsung menarik tangan Egi.
Karuan saja setumpuk famlet yang ada digenggaman Egi jatuh berantakan. Dan dua orang pedagang kacang rebus yang sedari tadi sudah mengincar tumpukan kertas itu buat dijadikan bungkus kacang langsung berebutan. Persis kayak orang baru nemu duit.
“Mana, Vi?”
“Itu!” Via mengarahkan telunjuknya ke cewek yang berdiri dengan antengnya dekat tukang teh botol.
“Oh, itu! aku pikir tukang teh botol”
“Sialan! Udah yuk, kita samperin!” Lagi-lagi Via narik tangan Egi. Kali ini lebih drastis dari yang tadi. Bayangin aja! Si Egi diseret kayak kambing yang meronta-ronta menolak dipotong. Sudah itu, dinaiki pula. Alhasil, aksi koboy itu jadi tontonan orang se-terminal dengan judul “Wild Wild West Java”. Enggak sedikit dari mereka yang merasa terhibur dengan pemandangan itu. tapi, ada juga sih yang enggak berhenti-berhentinya mengucapkan istigfhar. Kasian gituh!.
“Aduh, saya kalo punya istri kayak gitu, saya cincang!”Gumam seorang pria.
“Ah, kalo menurut saya itu wajar! Sekali-kali dong laki-laki yang dibawah, masa perempuan mulu!” Timpal seorang wanita disebelahnya.
“Ida!” Via melambaikan tangannya.
“Hey, Via!” Ida membalas lambaian tangan Via sambil tersenyum. Tapi senyumnya langsung sirna begitu melihat Egi yang menangis Bombay. “Ini, siapa?”
Via turun dari punggung Egi. “Ini Egi, temen sekolahku!”
“Hai!”Sapa Ida dengan tatapan penuh iba.
“Hai juga!” Sahut Egi sembari cecegukan menahan tangis.
“Udah lama berprofesi ganda jadi kuda?”
“Udah!” Muka Egi jutek.
“Ohya! Sejak kapan?”
“Sejak lima belas menit yang lalu!”
Ida tergelak. “Temen kamu lucu ya, Vi?”
“Emang badut!” Gerutu Egi.
“Udah yuk, kita pulang!”Ajak Via ke Ida. “Gi, kamu mau kan nganterin kita?”
“Boleh aja, tapi aku enggak mau jadi kuda lagi!”
“Ya, enggaklah! Lagian kita berdua mana muat naik ke punggung kamu”
Akhirnya, selama dua jam Egi didaulat jadi sopir. Selama dua jam, Egi terpaksa mengikuti perintah Via yang minta keliling kota Garut dulu sebelum pulang. Mau nolak, enggak enak. Habis, selama perjalanan dia terus dicekokin makanan kedoyanan dia. Pizza rasa tempe bacem dan bajigur, plus bensin full tank. Makanya, dia menurut saja waktu kedua cewek kece itu minta ke Kampung Sampireun. Terus, ke candi Cangkuang. Dan terakhir, ke Papandayan. Tapi, pas mereka minta ke Paris, Egi spontan menolak. Walau, mereka membujuk pakai pisang setandan dan sepiring bakwan jagung Egi tetep bersikeras nolak. Gila apa!. Dan Egi pun langsung melarikan mobilnya pulang.
“Makasih ya, Gi!”Cetus Via begitu sampai rumah.
Egi mengangguk. “Aku pulang, ya!”
“Lho, emangnya enggak mau mampir?”
“Lain kali aja deh, soalnya aku mau ke rumah Firman! Yuk, semua”
Via terus memandangi mobil Egi yang melaju pergi. Sebenarnya dia berharap banget Egi mau mampir ke rumahnya dan mencoba mencicipi blackforest hasil ujicobanya selama seminggu. Dia kepingin tahu komentar Egi. Kali aja beda sama Ayah dan Ibunya yang langsung bersumpah enggak mau lagi mencicipi apapun yang dibuat Via.
“Via, si Egi keren juga ya!” Kata Ida setelah mereka masuk kamar.
“Kenapa, suka? Ati-ati, dia rada-rada!” Via menyilangkan jarinya di kening. Menghentikan niat Ida untuk menggebet Egi. Ida langsung memasang tampang ngeri. “Ohya! Mau nyobain blackforest bikinan aku enggak?”
“Hah! Enggak deh, enggak. Terakhir aku nyobain kue buatan kamu, aku langsung bolak-balik kamar mandi selama tiga hari!”
Mendengar penolakan Ida, Via cuma mendengus sebal. Buat dia, ini adalah penolakan yang paling menyebalkan.

****
“Darimana aja elo, Gi? Kita berdua tadi ke rumah elo juga” Tanya Firman melihat Egi datang.
“Iya, nih! kemana aja sih lu!” Sambar Adi.
“Abis nganterin Via sama sepupunya jalan-jalan!” Sahut Egi sambil mencari posisi yang enak buat duduk.
“Hah! Jalan-jalan? Sama Via?” Mata Adi mendelik kaget.
“Iya!”
“Kok elo enggak ngomong-ngomong sih?”
“Kenapa gua musti ngomong? Emangnya elo bapaknya!” Kata Egi setengah mencibir. Dia sengaja memanas-manasi Adi. Dia tahu betul kalau makhluk langka ini lagi berjuang buat mendapatkan Via.
“Jadi, gitu nih!” Kepala Adi mulai bertanduk (kambing kali, bertanduk!). Dia merasa Egi harus diberi ultimatum. Kalau enggak, dia bakalan gagal memiliki Via.
“Gitu kenapa?”
“Kayaknya bakal seru, nih!” Firman yang diam aja langsung memanggil Mang Kosim dan mengajak dia taruhan untuk menentukan siapa yang bakalan jadi pemenang dari duel maut antara Adi dan Egi. Mendengar ada yang taruhan, si Jagur yang lagi mengasah tanduknya buru-buru ikutan. Sekalian dia kepingin tahu, seru-an mana adu domba sama adu orang?.
“Elo mau jadi saingan gua?”
Egi ketawa. Dia tidak mengira kalau temannya ini bakalan dengan cepat terpancing emosinya. “Gua saingan sama elo? Sory, enggak level!”
“Kok elo ngomong gitu?” Kata Adi bingung melihat Egi ketawa cekikikan sampai jungkir balik segala.
“Nah, elo ada-ada aja! Ngapain juga gua rebutan cewek, udah enggak musim. Udah, elo tenang aja. Gua enggak bakalan saingan sama elo”
Penonton kecewa. Mang Kosim langsung mengantongi kembali duit seratus ribunya. Si Jagur langsung mengambil sambel terasinya yang dipakai buat taruhan. Si Firman bengong saja setelah dimaki-maki Mang Kosim dan si Jagur yang memintanya supaya lain kali memastikan dulu benar enggaknya kalau ada duel lagi sebelum memanggil mereka.
“Terus, kalo enggak saingan ngapain tadi elo jalan-jalan sama dia?”
“Gua tuh enggak sengaja ketemu dia di terminal! Dia lagi jemput sepupunya, terus kita pulang bareng. Eh, ditengah jalan dia ngajakin keliling dulu. Ya udah, gua nurut aja, dibayarin ini”
“Oooo”
“Makanya, elo kalo enggak mau si Via direbut orang, cepetan dong nembak!”Celetuk Firman.

****
Matahari baru saja merangkak ke ubun-ubun, ketika Adi dengan segerobak bunga mawar mencoba menghampiri Via yang sedang asyik dengan MP3nya dikursi taman depan perpustakaan sekolah. Dia merasa saat ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya pada gadis itu. Seperti yang dikatakan Firman kemarin. Enggak peduli dia akan ditolak atau diterima. Yang penting baginya, dia sudah mencoba mengutarakan perasaannya. Daripada keduluan yang lain, katanya.
“Hey!”
Via tidak menyahut. Mulutnya sudah terlanjur nganga menatap segerobak bunga mawar yang dibawa Adi.
“Hallo… hallo!” Adi melambaikan tangannya di depan wajah Via.
Via berpaling ke Adi. “Di, kamu bawa bunga segini banyak buat apa?”
“Buat kamu!”
Via mengerutkan keningnya. “Buat aku? Perasaan aku enggak pernah pesen bunga deh!”
“Emang enggak!”
“Terus?”
“Bunga ini sengaja aku beli khusus buat kamu!” Adi kemudian menceritakan bagaimana dia bersusah payah berdebat dengan bebek piaraannya agar sang bebek mau ditukar dengan bunga mawar. Ditambah lagi dia harus berjuang menawarkan jasa pijat refleksi pada teman-teman kostnya demi mendapatkan uang tambahan untuk membeli bunga mawar, karena dari hasil barter bebeknya cuma dapat sedikit. Dan itu semua , dia lakukan demi Via (ciee, segitunya!).
“Via, aku cinta kamu!”
Mata Via langsung terbelalak. Petir menggelegar. Burung-burung berhamburan jatuh dari ranting pohon karena kaget. Dan kucing yang lagi mau ngepup langsung membatalkan niatnya. Semua kayak enggak percaya.
“Masa sih, Adi bisa jatuh cinta sama Via?”
“Masa sih, mereka bukannya temenan?”
“Masa sih, Adi normal?”
“Lho?”
Adi lalu bersimpuh dihadapan Via. “Kalau kamu bersedia, silahkan kamu ambil bunga mawar ini. Dan kalau enggak, silahkan kamu ambil bunga bangkai ini!” Sang pejuang cinta mengulurkan kedua tangannya.
Kenapa bukan Egi?, batin Via bertanya.“Enggak ada pilihan lain? Bunga deposito, gitu!”
“Hah!”
Via kelihatan bingung. Dia enggak tahu harus menjawab apa. Kalau dia bilang iya, itu berarti dia harus menerima resiko. Yang pertama, dia akan dikutuk oleh dewi cinta karena telah memungkiri perasaannya sendiri.Yang kedua, pacaran dengan Adi adalah sebuah musibah. Karena, sudah menjadi rahasia umum kalau Adi adalah satu-satunya orang yang mendapat sertifikat waras dari rumah sakit jiwa dengan terpaksa. Dan kalau dia bilang tidak, maka dikhawatirkan hubungan mereka sebagai teman akan terancam.
“Via, aku tahu ini terlalu cepat. Tapi, aku harap kamu bisa menerima cintaku!” Adi mendesis.
“Bisa enggak, kalo jawabannya ditunda?”
“Berapa lama?”
“Ya, sampe aku nemuin jawabannya!”
Dua alis Adi menyatu. “Emangnya jawabannya kamu umpetin dimana?”
“….”
Via kemudian pergi dan meminta Adi untuk menunggunya. Via berjalan menyusuri lorong kelas mencari sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini. Egi. Ya, dia harus bertemu Egi. Dia harus mengutarakan isi hatinya pada cowok itu, karena hanya dengan cara itu dia bisa memberikan jawaban yang pasti pada Adi. Via sudah enggak peduli lagi dengan prinsip wanita sejagad yang mengatakan gengsi bagi wanita menyatakan cinta lebih dulu. Baginya, cinta harus diungkapkan. Enggak peduli wanita atau pria. Dan Adi masih dengan posisi yang sama. Bersimpuh dengan kedua tangan menggenggam bunga dan menghadap pohon jambu air. Menunggu Via yang sedang mencari jawabannya. Dari raut mukanya, terpancar dengan jelas kalau sebenarnya dia sudah enggak kuat. Ini terbukti dengan keluarnya keringat dingin di sekujur tubuhnya, urat yang menonjol dipermukaan kulit, dan bibirnya yang berubah pucat. Tapi, dia coba menahannya.
“Demi cinta, gua harus kuat! Harus kuat!” Gumamnya dengan tubuh gemetar
Tapi, sayang. Segerobak bunga mawar yang didapatinya dengan penuh perjuangan enggak mampu menahan serangan kambing-kambing yang menerobos masuk. Semua bunga mawar itu habis dilahap oleh hewan-hewan berjanggut itu.

****
“Egi!” Desis Via begitu menemukan Egi di warnet.
“Eh, Via! Sini, aku lagi promosiin novelku di cybersastra.com nih”
Via lalu duduk disebelah Egi. “Gi, masa tadi Adi nembak aku!”
“Ohya?”
“Iya! Terus menurut kamu, aku harus gimana?” Dalam hati,Via berharap Egi memintanya untuk enggak menerima cinta Adi.
“Ya udah, terima aja! Dia baik lho”
“Kok gitu, sih?”
“Ya, gitu! Tenang aja lagi, aku yakin kamu enggak bakalan nyesel deh nerima dia!”
“Tapi… tapi, aku kan cinta kamu Gi!”
Egi terkejut. “Kamu…. Kamu bercanda kan, Vi?”
Via menggeleng. “Terus terang, sejak pertama kali aku ketemu kamu, aku sudah jatuh cinta sama kamu. Hanya saja, selama ini aku selalu berusaha untuk membuang jauh-jauh rasa itu. Tapi, semakin aku mencobanya aku justru semakin mencintaimu. Aku semakin enggak bisa jauh dari kamu, Gi”
“Tapi, aku enggak! Bagiku kamu adalah sahabat” Egi menarik napas dalam-dalam. “Maafin aku, Vi!”
Via tak kuasa menahan tangis. Dia lalu bangkit dari duduknya dan beranjak pergi. Tinggallah Egi yang diam terpaku menatap kepergian Via. Dia dapat merasakan kepedihan hati Via. Tapi, mau gimana lagi? dia harus menolak kehadiran cinta diantara mereka. Apalagi, dia tahu benar bahwa Adi menaruh hati pada gadis itu. dia tidak ingin persahabatannya dengan Adi hancur gara-gara seorang Via.
Sementara itu, Adi masih terlihat menunggu Via dengan setianya. Dia sama sekali enggak merubah posisinya. Bedanya, kini dia telah menjadi tontonan seluruh siswa kelas sepuluh yang sedang istirahat. Semua mata menatap ke arahnya sambil berkomentar.
“Kasian ya, ganteng-ganteng gila! Masa pohon dirayu?”
“Iya, ya! Jangan-jangan dia gila gara-gara cintanya ditolak. Iihh, ngeri!”
“Anak-anak, siapa yang nyewa topeng monyet disini? Ayo, ngaku!” Teriak Guru Biologi yang mengaku hapal betul ciri-ciri monyet.
“Bukan kita, pak!”Jawab anak-anak serentak. “Monyetnya dateng sendiri!”
Karena enggak kuat nahan malu, setelah tiga jam menanti akhirnya Adi memutuskan untuk berlari dari kerumunan. Besok, dia akan menemui Via lagi untuk menanyakan jawabannya. Sementara kambing-kambing tetap sibuk menghabiskan bunga-bunga yang dibawa Adi.

****
Esok harinya, Egi berlari mengejar Via yang buru-buru pulang. Sudah berkali-kali dia memanggilnya, tapi Via sama sekali enggak nengok. Yang nengok justru Pak Jaya, satpam sekolah yang sudah enggak bisa membedakan lagi antara Via dan Jaya.. Dan itu cukup membuat Egi menyesal telah berteriak. Karena ternyata satpam yang terkutuk itu adalah seorang banci. Bergegas Egi mempercepat larinya menghindar dari Pak Jaya yang berusaha menggodanya.
“Via, tunggu!”Kata Egi begitu berhasil meraih tangan Via.
Via menghentikan langkahnya. Ditatapnya wajah gadis itu dengan sedih.
“Via, kamu marah sama aku?”
Via diam. Wajahnya terus tertunduk.
“Via, jawab! Kamu marah sama aku?”
Via tetap membisu.
“Oiy, Via!” Teriak Adi dari depan ruang kepala sekolah. Dia lalu berlari menghampiri Via dan Egi. “Hai, Gi!”
Egi tersenyum membalas sapaan Adi.
“Ada apaan, Di?” Tanya Via datar.
“Gimana, jawabannya udah ketemu?”
“Udah, tapi kita ngomongnya jangan disini ya!”
“Jawaban apaan sih?” Tanya Egi bingung atau tepatnya pura-pura bingung.
“Ada deh, mau tau aja!” Kata Adi sambil nyengir. “Gimana, Vi?”
“Ehm… kita ngomongnya disana aja, yuk!” Via mengarahkan telunjuknya ke kursi taman depan perpustakaan. “Gi, tinggal dulu ya!”
“Sori nih, Gi! Gua tinggal, ya” Kata Adi sambil mengikuti Via dari belakang.
Egi tersenyum kecut. Dia kemudian berjalan meninggalkan gedung sekolah. Enggak tahu kenapa tiba-tiba saja dia merasa seperti telah kehilangan seseorang yang berharga. Via. Ya, dia telah kehilangan Via. Kehilangan sosok Via yang biasa bersamanya. Gadis itu mendadak berubah sejak Egi menolak kehadiran cinta ditengah-tengah mereka.
“Ok, Di! Aku akan kasih jawabannya sekarang” Kata Via yang disambut senyum yang boro-boro manis yang mengembang di wajah Adi. “Aku mau jadi pacar kamu!”
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Via. Kata-kata yang enggak semestinya terucap. Kata-kata yang keluar atas dasar sebuah keterpaksaan. Dan kini dia harus terima resikonya. Menjadi bahan gunjingan satu sekolahan karena telah kehilangan akal sehatnya menerima cinta dari orang yang mendapat sertifikat waras dari rumah sakit jiwa dengan terpaksa.
“Bener?”
Via mengangguk agak terpaksa. Adi langsung melonjak kegirangan. Dikelilinginya gedung sekolah sambil berteriak-teriak. Mulai dari perpustakaan sampai WC siswa yang terletak di belakang gedung. Jelas saja aksi Adi ini telah mengusik ketenangan siswa kelas satu yang baru saja memulai aktivitas belajarnya. Kepala sekolah yang mulai kesal langsung menghubungi pihak kebun binatang Bandung dan mengatakan bahwa ada orang utan gila yang berkeliaran di sekolahnya. Guru BP dengan dibantu oleh seluruh siswa lalu berusaha menangkapnya dengan menggunakan jaring. Tapi, sia-sia. Adi yang tercatat sebagai siswa kelas sebelas jurusan IPS itu begitu lincah. Mereka kesulitan mengimbangi gerakan zig-zagnya Adi. Melihat pacar barunya bertingkah aneh, Via cuma bisa geleng-geleng kepala.
“Ya, Tuhan! semoga dia kembali ke jalan yang benar”

****
Sang dewi malam mulai menampakkan sosoknya yang anggun ketika Via menghentikan langkahnya di bibir Situ (danau) Bagendit. Mendadak, Via menangis. Dia teringat kata-kata Egi kemarin. Kata-kata yang telah menyesakkan hatinya. Kata-kata yang membuatnya siang tadi terpaksa menerima cinta Adi. Seseorang yang sama sekali enggak pernah dibayangkannya untuk menjadi kekasihnya.
Tapi, enggak lama kemudian tangisnya berhenti. Kedua alisnya langsung menyatu ketika matanya melirik sosok di pinggir situ disebelah kanannya.
“Firman…!” Desahnya pelan.
“Eh, Via! Lagi ngapain?” Sapa Firman begitu menyadari ada orang disampingnya.
“Main! Kamu sendiri lagi ngapain?”
“Mancing!” Jawab Firman sambil melemparkan uang seratus ribu yang dikaitkan di mata kail sebagai umpan ke tengah situ. Ini adalah teknik baru yang diajarkan Adi kepadanya. Katanya, ikan jaman sekarang lebih pintar. Mereka lebih memilih uang dibanding cacing atau dedek. (enggak nyangka ya, ternyata ikan juga matre).
“Mancing? Enggak salah, masa mancing malem-malem?” Dahi Via berkerut.
“Yeee, justru kalo mancing bagusan malem! Kata orang, kalo malem ikan-ikan banyak yang keluar dari dasar situ”
“Emang kenapa?”
“Soalnya dibawah enggak ada listrik, jadi gelap. Makanya ikan-ikan pada naik keatas, biar terang!”
“Oh..!” Via kemudian duduk disebelah Firman. “Udah dapet berapa?”
“Belum ada!” Firman menggeleng.”Padahal gua udah hampir dua jam mancing”
“Boleh aku bantu?”
“Emang bisa?” Tatap Firman ragu.
“Buatku sih ini soal gampang!” Via berdiri. “Coba buka sepatu kamu!”
Firman bingung. “Buat apaan?”
“Udah, ikutin aja!”
Firman lalu membuka sepatunya dan memberikannya pada Via. Saat itu juga langsung tercium aroma enggak enak dari sepatu Firman. Buru-buru Via menjepit hidung dengan kedua jarinya. Seumur hidup, baru kali ini dia mengetahui kalau ternyata di dunia ini ada orang yang joroknya minta ampun. Tapi, enggak apa-apa! Justru bau seperti inilah yang diperlukan saat ini, batin Via.
“Sepatu gua mau elo apain?”
“Udah, diem aja! Kamu mau dapet ikan banyak, kan?” Kata Via yang disambut anggukan kepala Firman.
Dengan sekuat tenaga, Via kemudian melemparkan sepatu Firman ke tengah situ. Tentunya proses itu diiringi dengan teriakan Firman yang enggak rela berpisah dengan sepatu kesayangannya itu. Enggak lama setelah itu, satu persatu ikan yang menghuni situ menyembul ke permukaan dalam keadaan teler. Mereka semua enggak kuat mencium aroma bau busuk yang melebihi bau bangkai. Dan itu semua berkat bau yang ditimbulkan oleh sepatu Firman.
“Wah, hebat banget lu!” Firman tersenyum girang.
Via tersenyum. Dia lalu meninggalkan Firman yang siap-siap terjun ke situ untuk mengambil ikan-ikan yang mengambang.
Di tempat lain, Egi dan Adi menghabiskan waktu mereka di tempat biasa mereka nongkrong. Café Dodol. Café yang sering mereka jadikan sebagai tempat bertukar pikiran, tukar kenalan, dan tukar celana dalam (ssst, untuk yang ini mereka sepakat untuk enggak saling tuker isinya lho!).
“Gi, Si Firman kemana sih?”
“Tadi sih pas gua telpon, katanya lagi mancing!” Egi menyeruput bajigur cola. “Ohya, ngomong-ngomong tadi siang apaan sih yang elo omongin sama Via?”
“Bener, mau tau?” Adi memicingkan matanya ke Egi.
Egi mengangguk dengan antusias.
“Ok! Ehm… tadi siang dia nerima cinta gua. Hebat enggak tuh! Gua enggak nyangka, akhirnya gua bisa jadi pacarnya” Kata Adi bangga.
Egi bengong. “Serius lu?”
“Serius!”
Egi terdiam. Pikirannya kembali melayang pada pertemuannya dengan Via di warnet kemarin siang. Dia heran. Kenapa saat itu Via mengatakan cinta padanya, jika ternyata dia justru menerima cinta Adi?. Apa mungkin ini hanyalah sebuah pelarian bagi Via? Atau sebagai usaha untuk membuatku cemburu?. Ah, enggak mungkin!, batin Egi. Lagipula, kenapa aku musti cemburu. Aku kan enggak ada perasaan cinta sama dia. Ngapain juga cemburu? Untuk apa aku harus cemburu? Atas dasar apa aku harus cemburu?.
“Gi….Gi!” Suara Adi membuyarkan lamunan Egi.
“Apaan?”
“Tolong dong, lepasin tangan gua! SAKIT TAU!”
“Ups, sori…sori!” Egi yang secara enggak sadar telah meremas tangan Adi hingga berwarna merah kebiru-biruan langsung melepaskan remasannya.

****
“Kamu dari mana, Vi?” Tanya Ida begitu Via pulang.
“Abis dari Situ Bagendit!”
“Pantes, aku cariin dari tadi enggak ada!” Ida merebahkan tubuhnya di sofa. “Ohya Vi, besok anterin aku ya!”
“Kemana?”
“Ke Asia, aku mau nyari kado buat Mamahku! Tiga hari lagi dia kan ulang tahun”
Via menepukkan tangannya ke dahi. “Oh iya, aku lupa! Tiga hari lagi, ya?”
Ida mengangguk.
“Ya udah, besok aku anterin!” Via menjatuhkan pantatnya disebelah Ida. “Ohya, rencananya kamu mau ngasih apa ke mamah kamu?”
“Enggak tau nih, aku juga bingung! Kira-kira bagusnya aku ngasih apa, ya?”
Via memicingkan matanya keatas. Melakukan yang biasa dia lakukan setiap kali
sedang berpikir dan mencari ide. Membelai rambutnya yang hitam sebahu, dan menempelkan jari telunjuknya di jidat orang yang ada didekatnya (???).
“Aha! Gimana kalo kamu ngasih beliau tamiya”
“Hah!” Ida membelalakkan matanya. “Please deh, Vi! Yang ulang tahun itu mamahku, bukannya bocah!”
“Ya, udah! Ehm… kalo enggak ini aja deh, gimana kalo patung arca? Aku tau lho tempatnya”
“Hhh…. Via yang manis, aku mohon tolong kasih idenya yang agak sehatan, ya!” Ida memasang wajah melas.
Suasana kembali hening. Mereka sama-sama larut dalam pikirannya masing-masing. Memikirkan hadiah yang cocok untuk mamahnya Ida. Beberapa ekor tikus menganggap pemandangan itu sebagai sebuah kesempatan emas. Mereka berduyun-duyun menuju dapur dan mencuri sedikit demi sedikit potongan keju dan makanan lainnya yang ada di meja makan. Semuanya mereka boyong ke sarang mereka. Kecuali satu, blackforest bikinan Via. Mereka menganggap blackforest itu sebagai sesuatu yang membahayakan bagi mereka. Memakannya sama saja bunuh diri, itu pikiran mereka. Via yang enggak sadar dengan aksi pencurian itu kembali menyampaikan usulannya.
“Ehm… gini aja! Gimana kalo kamu kasih kalung aja” Via mengangkat jari telunjuknya. “Yang emas putih, gitu!”
Ida tersenyum lebar. “Wah, bener juga tuh! Ok deh, besok kita beli itu aja!”
“Ya udah, kalo gitu besok sepulang aku sekolah kita langsung jalan, ok!”
“Ok!”

****

























Sebuah Penyesalan


“Belum jugakah kau menyadarinya
Akulah yang pantas kau cintai
Dibawah langit biru aku bersumpah
Diriku tanpamu, apa artinya cinta
Cinta ini telah menelan waktuku
Siang malam hanya pikirkan engkau
Sejuta kali aku berani bersumpah
Diriku tanpamu, apa artinya cinta”
Lagu duet Melly Guslow dan Ari lasso yang dinyanyikan dalam versi tarling oleh Nelly Pillow dan Aki Assu, dua penyanyi Garut yang memulai karir musiknya sebagai cleaning service di studio musik, terus mengalun dari radio tape kepunyaan Via yang disetelnya sepulang dari Mall Asia bersama Ida. Sebuah suara yang mengundang sejuta hujatan dari para pendengar radio yang terus menerus menelpon radio Sreg sejak lagu diputar. Tapi entah mengapa, dia merasa lagu ini begitu mewakili perasaannya saat ini. Perasaan yang begitu teramat sangat pada Egi.
“Ok, kawula muda! Bagi kawula muda yang saat ini lagi bingung nyari temen curhat, silahkan hubungi kami melalui line telepon 472-351. kami siap menjadi pendengar yang baik buat kawula muda semua!” Terdengar suara penyiar begitu lagu memudar. “Hallo, Radio Sreg disini, selamat sore! dengan siapa ini?”
“Via!”
“Via dimana?”
“Di Jalan Muhammadiyah!”
Ditempat lain, Egi yang lagi asyik makan sama ayam (catat ya, sama ayam! bukan pake daging ayam!) langsung berhenti begitu mendengar suara Via di radio yang baru saja dihidupkannya.
“Via” Desisnya pelan.
Egi lalu memperbesar volume radionya.
“Iya nih, bener Via” ucapnya lagi.
Dia kemudian kembali mendengarkan radio dengan serius.
“Ok, Via! Apa masalahnya, nih?”
“Begini, saya baru aja jadian sama si A,”
“Ohya? Selamat, ya!”
“Makasih! Tapi, masalahnya saya enggak suka sama dia”
“Lho, kok gitu? Terus kalo enggak suka, kenapa kamu jadian?”
“Terpaksa, abis cowok yang saya harapin ternyata enggak suka sama saya!”
“Ohh… Jadi, si A itu cuma jadi pelarian?”
“Iya!”
“Kasian banget!”
“Udah berapa lama jadiannya?”
“Seminggu”
“Ok, Via! Kalo gitu, sekarang supaya hati kamu lebih plong, silahkan kamu bilang sama si E kalo kamu tuh cinta banget sama dia”
“E, ehm…. Kalo kamu sekarang lagi dengerin radio ini, aku cuma kepingin ngomong kalo aku cintaaaa banget sama kamu!”
“Udah, Via? Gimana, lega?”
“Udah! Lega, makasih ya!”
“Ok! Bye, Via!” Kata penyiar mengakhiri. “Selanjutnya, mari kita dengerin sebuah lagu dari Suplement, Menunggu tanpa baju! (….)”
Egi mematikan radionya. Tapi, tidak bisa. Tombolnya on/of nya tiba-tiba saja rusak. Dia lalu mencabut kabel dari stop kontak. Aneh, radio masih menyala. Dia banting radio ke lantai. Seketika itu juga radio yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun itu hancur berantakan. Dan anehnya, masih juga menyala.
“Maaf, kesalahan teknis bukan pada radio anda karena yang menyala adalah radio tetangga anda! Kasian deh lu, ketipu!”
“Ckjfkjkgk….”
(Garing)

****
Jam 6 sore, acara curhat di Radio Sreg selesai. Kira-kira itulah yang terdengar dari radio tetangga yang suaranya sampai ke ujung kampung. Egi masih terdiam, merenungi kata-kata Via barusan ketika Adi dan Firman masuk ke kamarnya.
“Kenapa, Gi? Sakit?” Firman bertanya. “Gua liat dua hari belakangan ini elo enggak pernah ngumpul sama kita-kita”
“Tau, nih! Biasanya elo yang paling aktif “ Adi menyambar.
Egi diam enggak menjawab. Dan Adi lalu memamerkan giginya penuh bangga. Menceritakan betapa beruntungnya dia memiliki pacar sekelas Via, yang cantik, kaya, gaul, dan enggak malu-maluin dibawa kondangan. Egi dan Firman mendengarkannya sambil sesekali mengalihkan pembicaraannya ke sebuah topik yang enggak biasa. Yakni, tentang berapa lama waktu yang harus ditempuh menuju ke Afrika dengan menggunakan otoped. Yang beberapa kali juga diperingatkan oleh Adi bahwa didepan mereka ada seorang sahabat yang tengah berbahagia dan ingin berbagi cerita dengan mereka.
“Di, elo emang serius sama Via?” Tanya Firman.
“Ya, serius dong!”
“Terus, si Via juga serius sama elo?”
“Pasti!”
“Yakin?”
“Ya, yakin dong! Emangnya kenapa sih?”
“Enggak! Gua cuma kasian aja sama si Via”
“Kasian kenapa?” Adi penasaran.
“Kasian aja, musibah banget buat dia…. jadian sama elo!” Kata Firman cengengesan, yang disambut pukulan matahari ala Wiro Sableng oleh Adi.
Egi cuma tertawa melihat kedua sahabatnya itu. Setelah itu, mereka kemudian beranjak keluar menuju café Dodol. Sepanjang perjalanan, Egi tetap lebih banyak diam. Kata-kata Via di radio masih terngiang di telinganya. Disebelahnya, Firman duduk manis sambil bersenandung kecil mengikuti alunan musik di radio. Dan dibelakang, Adi berusaha menutup telinganya dengan tissue karena merasa terganggu oleh suara Firman yang lebih mirip suara babi tercekik.
“Man, suara elo bagus deh!”
“Makasih!”
“Tapi lebih bagus lagi kalo diem!”
“Kurang ajar!”Firman melempar Adi dengan sebatang rokok yang menyala sehingga Adi menjerit kesakitan ketika rokok itu mendarat mulus di bibirnya. Alhasil, mulut Adi berubah persis Mimin (itu lho tokoh komik yang terkenal dengan kulitnya yang hitam dan bibir yang oversize!)

****
Egi langsung memarkir mobilnya ketika sampai di depan café Dodol. The Three Musketeer itu kemudian keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam café. Sebuah perjalanan dimana mereka harus mengalami kejadian memalukan dimaki-maki oleh seorang kakek yang secara enggak sengaja terinjak oleh mereka ketika orang tua yang sudah bau tanah itu sedang terlentang menikmati indahnya bulan di depan pintu masuk café (???).
Setibanya di dalam, mereka lantas dikejutkan oleh kehadiran Fais yang dikerumuni oleh lima cewek yang kecantikannya berada dibawah standar yang ditetapkan oleh Komisi Kecantikan Indonesia.
“Oiy, Fais! Lagi ngapain nih, rame-rame?” Tanya Adi begitu mereka mendekat.
“Hey, semuanya! Gabung yuk, gua lagi ulang tahun nih!”
“Ohya? Selamat deh kalo gitu!” Egi menjulurkan tangannya. Disusul Firman. Lalu Adi.
Setelah itu, mereka dikenalkan oleh Fais kepada lima cewek yang duduk bersama Fais. Namun, mereka menolak bergabung begitu tahu hidangan yang tergeletak diatas meja.
“Makasih, deh! Kebetulan gua alergi sama tumila” Kata Adi berusaha menolak dengan halus yang disambut anggukkan kepala Egi dan Firman sembari menahan eneg.
Buru-buru mereka pergi meninggalkan Fais dan kelima cewek yang sama sekali enggak menimbulkan gairah mereka menuju meja yang terletak di sudut kiri ruangan.
“Mau pesan apa, A?” Tanya seorang pelayan yang datang menghampiri setelah mereka duduk.
“Saya pesen Capucino campur cendol, ya! Elo, Gi? Man?” Kata Adi.
“Saya minta Lemon Squash aja! Jangan pake garem, ya!” Cetus Egi.
“Kalo saya, Bandrek aja deh! Jangan pake lama, ya!” Pinta Firman.
“Makanannya, A?”
“Peuyem (tape) sama uli, porsi jumbo!” Sahut Adi.
Setelah mencatat semua pesanan dengan susah payah karena pulpennya yang mendadak ngadat, pelayan tipe mujadul (Muka jaman dulu) itu kemudian pergi. Sambil menunggu pesanan, mereka menghabiskan waktu dengan obrolan yang cukup serius. Yaitu, apakah mungkin Dr. Azahari (itu lho, biang teroris yang udah tewas!) waktu kecil enggak pernah merasakan bermain-main dengan petasan, sehingga dia memutuskan untuk menciptakan petasan dengan daya ledak yang cukup dahsyat dimasa tuanya? Atau untuk melampiaskan kekesalannya pada Tuhan karena telah menciptakan gigi yang tidak sempurna untuknya?.
“Gua rasa sih begitu!” Kata Adi menyahuti Egi. “Kalo elo, Man?”
“Kalo menurut gua, pantatnya bohai banget!”
“Lho?” Adi dan Egi mengerutkan dahinya. Mata mereka lalu melirik ke arah gadis yang berdiri menghadap wastafel di dekat WC yang ternyata sejak tadi telah menyita perhatian Firman. “Huh, dasar penjahat kelamin!”
“Punteun (permisi), A! ini pesenannya” Kata pelayan sambil meletakkan pesanan ketiga makhluk itu.
“Makasih, ya!” Kata Egi.
Setelah berdiri lama dengan harapan akan mendapatkan uang tips, akhirnya pelayan yang katanya mantan model majalah kuncung itu pergi ketika harus mendapatkan kenyataan bahwa ketiga remaja yang belakangan ini digosipkan sebagai trio homo itu enggak mau memberikan uang tips padanya.

****
Waktu menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Waktu belajar belum dimulai. Begitu masuk kelas, Egi langsung menghampiri Via yang tengah duduk sambil membaca novel “Untukmu, Mbakyu”nya Nugraha.
“Hai!” Sapa Egi.
Via mendongakkan kepalanya menatap Egi. Lama sekali. “Hai !”
“Boleh aku duduk?”
“Silahkan, kursi ini bukan punyaku kok!”
Egi lalu duduk disebelah Via. Rasa rikuh dan canggung menyelimuti mereka berdua. Mereka seperti kembali ke masa-masa di saat mereka baru kenal Egi berusaha menutupi rasa itu dengan menggerakkan tangannya seolah sedang mendayung sampan di tengah arus sungai yang sangat deras. Sedang Via, terus membaca novelnya yang tanpa disadarinya sudah dalam keadaan terbalik. Dewi yang baru saja masuk kelas langsung keheranan melihat kedua temannya itu.
“Lagi ngapain, Gi?” Tanya Dewi dengan sorot mata penuh kengerian. Takut kalau gilanya Egi kambuh.
“Lagi senam gaya baru! Mau nyoba?”
“Enggak, makasih!” Dewi menggeleng cepat. “Via, novelnya terbalik tuh!”
“SENGAJA!”
“Ya udah, jangan ngotot! Santai dong… santai” Buru-buru Dewi menjauhi mereka.
“Via, Ehm… kenapa cicak enggak ada bulunya, ya?”.
“….”
Aduh, kenapa itu sih yang keluar dari mulut gua, batin Egi. “Kamu masih marah, ya?”
“Enggak!” Jawab Via singkat.
“Terus, kenapa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku?”
“Enggak apa-apa, lagi sibuk aja!”
“Bukannya enggak mau kenal aku lagi?”
Via menggeleng. Bukan. Bukan itu. aku hanya ingin berusaha untuk membunuh cintaku padamu, Via membatin.
Enggak jauh dari mereka duduk, Fais tengah tenggelam dalam lamunannya. Sejak seperempat jam yang lalu dia sibuk memikirkan Leli, sang primadona sekolah yang selama enam bulan ini merasa risih dengan kehadiran Via yang dianggapnya telah merebut hati para penggemarnya. Fais sangat menyukai gadis berparas cantik nan bahenol yang kini sering kali mencari ilham di pinggir sungai Cimanuk guna mencari jalan untuk menyingkirkan Via dari persaingan itu.
Dulu, Fais pernah menyatakan cintanya pada Leli, tapi gadis blesteran Garut dan Canada bagian kulon itu menolaknya mentah-mentah. Bahkan, Fais yang kala itu sengaja berpakain necis ala James Bond harus menerima bogem mentah dari Leli. Pasalnya, waktu itu dia mempersembahkan bunga kamboja plus semur tumila buat Leli.
Kembali ke Via dan Egi. Saat ini enggak ada satupun yang bicara. Egi berusaha memeras pikirannya untuk mengumpulkan kata-kata yang akan diucapkannya. Sesekali matanya melirik ke coretan yang menghiasi meja. Berharap semoga ada beberapa kata yang dapat digunakannya. Tapi, enggak jadi. Tulisan “Egi Monyet” buah karya Dewi waktu gadis gembrot itu kesal karena Egi menolak ajakan kencannya ke pemakaman umum desa Cikuray membuat Egi kehilangan konsentrasinya.
“Hai, Gi!” Tiba-tiba saja Adi sudah berdiri didekat Egi. “Hallo, sayang!”
“Hai!” Jawab Egi dan Via barengan.
Adi langsung duduk disebelah Via. Egi bergegas bangkit dan pindah ke sebelah Fais. Menurutnya itu lebih baik daripada dia harus menjadi kambing congek ditengah-tengah mereka. Walau sebenarnya berada didekat Fais enggak jauh lebih baik. Karena ketika Egi mendekatinya, Fais tengah mengunyah sepuluh ekor tumila yang ditangkapnya pada saat mereka merayap masuk ke dalam celananya.
“Mau, Gi?” Kata Fais menawarkan.
“Ooeek!” Spontan Egi geleng-geleng. “Makasih, ngeliat muka elo aja gua udah kenyang!”
Sementara Egi tengah berjuang menahan rasa mual, Adi terlihat sedang mengeluarkan jurus mautnya. Terus-terusan dia merangkai kata untuk meyakinkan Via akan cintanya. Dan itu adalah suatu hal yang cukup sering dia lakukan setiap kali bersama Via. Tanpa mengurangi rasa sayang yang sebenarnya enggak ada sama sekali, Via mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Di, kira-kira kapan ya sekolah ini roboh?”
“….”

****
Siangnya, Egi memutuskan enggak ikut Adi dan Via ke Mall Asia. Dia lebih memilih menemui Firman yang ketika ditelponnya sedang adu panco dengan si Jagur.
“Elo beneran enggak mau ikut, Gi?” Tanya Adi
“Iya! Gua udah janji sama Firman” Kata Egi menegaskan.
Egi bergegas meninggalkan dua sejoli itu, tanpa dia menyadari kalau dia sebenarnya melangkah ke arah yang salah.
“Gi…. Egi!” Teriak Via.
Egi menghentikan langkahnya dan menengok kebelakang. “Ada apa?”
“Tempat parkirnya disitu!” Via menunjuk ke depan gedung.
Untuk menyembunyikan rasa malu, Egi mengatakan kalau dia ingin menengok WC siswa dulu untuk memastikan enggak ada siswi yang salah masuk. Dia kemudian meneruskan langkahnya, memutar lewat pintu samping menuju mobil yang dia parkir bersebelahan dengan mobil kepala sekolah. Tempat yang salah, karena untuk dapat mengeluarkan mobilnya, dia harus menyogok Pak Jaya dengan memberikan nomor telpon Bani, teman SMPnya yang sengaja dia jadikan tumbal untuk menjadi teman kencan Pak Jaya.
“Kira-kira, dia mau enggak diajak kencan?” Tanya Pak Jaya setelah menerima secarik kertas bertuliskan nomor telpon Bani..
“Tenang aja, Pak! Dia pasti mau deh” Sahut Egi dengan nada serius. “Kalo enggak mau, paksa aja! Dia lebih suka kalo dipaksa, Pak”
Setelah berusaha menyakinkan Pak Jaya, Egi langsung melajukan mobilnya meninggalkan halaman sekolah. Dan
“BRUUKK!”
Mobil Egi menabrak sebuah gerobak bakso yang tengah mangkal persis didepan gerbang. Tukang bakso yang baru saja kembali setelah mengirim pesanan seorang penjaga wartel disamping sekolahan langsung berteriak histeris melihat gerobaknya sudah enggak berbentuk lagi. Mirip adegan sinetron, sang tukang bakso berjalan slow motion dengan raut wajah sedih. Berteriak memanggil-manggil gerobaknya. Sebuah pemandangan yang mengundang simpati orang-orang yang berada di sekitar kejadian. Berbondong-bondong mereka berlari mendekati gerobak bakso.
“Asyik, bakso gratis!”
(Lho?)
Karena panik, Egi lantas menancap gas. Tukang bakso yang menjadi korban berlari dibelakangnya, berusaha mengejar. Seluruh tenaga dan pikiran dia kerahkan. Sepeda ontel milik tukang otak-otak pun dipinjamnya untuk mengejar Egi.
“A, pake turbo aja! Tombolnya di sebelah kiri” Teriak tukang otak-otak.
Tukang bakso memalingkan wajahnya ke belakang dan mengacungkan jempolnya yang segede gajah sebagai tanda mengerti (beneran nih, ada jempol segede gajah?).
“A, AWAS!”
“BRUUKK!”
Sang tukang bakso terjerembab di selokan dengan posisi tubuh tertindih sepeda dan tanpa celana (tanpa celana?). Dan Egi yang hari itu menjadi buronan tukang bakso akhirnya berhasil lolos dari cengkraman sepeda ontel, eh maaf! Tukang bakso.

****
Sementara itu, di Alun-alun Kota Garut, Adi dan Via sedang berkencan. Mereka berjalan-jalan menyusuri jalan Ahmad Yani menuju Mall Asia. Tatapan setiap orang yang berpapasan dengan mereka membuat Adi semakin PD. Dia yakin, orang-orang itu pasti menganggap mereka adalah pasangan serasi. Sampai akhirnya seorang ibu berkata yang cukup mengejutkan.
“Aduh Neng Geulis, yang tabah ya!”
“???”
“Saya tahu, dapet cowok sejelek ini adalah sebuah musibah buat gadis cantik seperti Neng!”
“Ckjfkjkgk….”
Via tersenyum menahan geli.
“Kamu seneng ya, pacarnya dibilang jelek?” Dengus Adi sewot.
“Seneng sih enggak! Tapi mau gimana lagi, itu kan fakta”
“Lho?”
(Jayus!)
Setelah puas membalas ucapan orang tua itu dengan segudang ejekan yang disampaikan dengan nada sopan (???), Adi kemudian menarik tangan Via dan mengajaknya buru-buru pergi meninggalkan wanita paruh baya itu sebelum membalasnya lebih keji lagi.
“OIY, MAU KEMANA SIA! DIKADEK SIA KUAING (Gua bacok lu!)!”
“Ada apa, Bu?”Seorang pemuda berpakaian ala kadarnya yang kebetulan melintas bertanya.
“Itu tuh, anak muda itu!” Sang Ibu menunjuk ke arah Adi dan Via yang sudah agak menjauh. “Masa saya ngomong jujur malah dihina sama dia!”
“Emang ibu bilang apa?”
“Saya bilang dia jelek, yaa…. Kayak kamu gini deh tampangnya!”
“Hhh…. Pantes aja! Kalo gitu, Ibu ngomong aja deh sama tong sampah” Ketus pemuda itu sambil berlalu.
“Dasar, anak muda! Semuanya sama, enggak bisa nerima kenyataan” Ibu itu mendumel sendirian.
Begitu sampai di depan Mall Asia, mereka enggak langsung masuk. Adi mengajak Via untuk makan nasi goreng dulu yang berada enggak jauh dari Mall. Sebuah ajakan yang dengan sangat terpaksa dituruti Via yang sebenarnya lebih menginginkan makan peyek laron (peyek laron?).
“Pesen apa, A?” Tanya seorang pelayan begitu mereka duduk.
“Nasi goreng kambing dua, ya!”
“Kambingnya, jantan atau betina?”
“Kalo yang waria, ada?”
“….”
“Minumnya?”
“Kamu mau minum apa, Vi?” Adi menoleh ke Via.
“Es jeruk aja deh!”
“Minumnya es jeruk satu, ehm…. Sama es teh manis satu”
Pelayan berambut spike itu kemudian berlalu dari hadapan Adi dan Via. Sambil menunggu pesanan mereka, Adi mencoba membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.
“Vi, apa bedanya aku sama saya?”
“Apa, ya? tulisannya kali!”
“Salah!”
“Ehm…. Cara bacanya!”
“Salah!”
“Nyerah deh!” Kata Via setelah tenaganya habis terkuras untuk berpikir.
“Kalo aku, dari ujung rambut sampe ujung kaki” Tukas Adi sembari mengarahkan telunjuknya ke kepala dan kakinya.
“Kalo saya?”
“Monyet!” Jawab Adi yang langsung disambut lemparan freezer oleh Via yang diambilnya dari sebelah meja tempat mereka duduk.
Untunglah pesanan cepat datang. Kalau enggak, mungkin bukan hanya freezer yang dilempar Via. Bisa jadi kursi, meja. Atau pelayan yang selama ini mengaku sebagai mantan selebritis kesetiap tamu yang datang.
“Sayang, pelan-pelan dong makannya! Ntar keselek lho” Desis Adi mesra. “Mau pake cikihi (air kencing) enggak?”
“PLAK!”
Gua yakin, kayaknya gua udah salah ngomong, nih!, batin Adi.

****
“Si Adi mana, Gi?” Tanya Firman melihat Egi datang sendirian.
“Lagi jalan sama Via!”
Egi lalu duduk disebelah Firman yang sedang membalur tangannya yang keseleo akibat adu panco dengan si Jagur dengan balsem. Sebuah pemandangan yang amat aneh bagi Egi, karena Firman membalur tangannya dengan posisi kaki menjuntai ke langit-langit rumah.
“Man, kasih tau gua apa efeknya ngebalur tangan elo dengan posisi kayak gitu?”
“Enggak ada efeknya!”
“Terus kenapa elo lakuin itu?”
“Biar gaya aja, tau!”
“….”
Firman merubah posisinya. Siang itu, Egi menghabiskan waktunya bersama Firman. Tidur-tiduran di sofa dan mencurahkan rahasia yang selama ini dipendamnya pada Firman. Rahasia selama beberapa waktu terakhir ini.
“Jadi, si Via sebenarnya cinta sama elo? Dan elo juga cinta sama dia?”
Egi mengangguk.
“Terus, si Adi cuma buat pelarian aja, gitu?”
Egi lagi-lagi mengangguk.
“Kalo emang begitu, terus kenapa elo nolak dia?”
“Gua cuma enggak mau persahabatan diantara gua, Adi, dan Via hancur, Man!”
“Lantas elo lebih memilih ngorbanin perasaan elo, gitu?” Kali ini suara Firman terdengar lebih serius. “Kenapa sih elo enggak akuin aja kalo elo juga sebenarnya cinta sama Via?”
“Gua enggak mau nyakitin si Adi!”
“Egi…Egi, gua salut sama elo! Tapi, apa elo enggak mikir? Dengan begitu, elo sama aja udah nyakitin si Adi. Gimana kalo si Adi tau, kalo ternyata Via nerima dia cuma sebagai pelarian aja?” Firman menepuk pundak Egi. “Gimana kalo ntar dia patah hati, terus nekad bunuh diri?”
“Ya, itu berarti enggak akan ada lagi yang ngerepotin kita!”
“Kok?”
“Iya! Enggak akan ada lagi yang sering nginep di rumah kita. Enggak ada lagi yang ngerengek minta karedok asli buatan Mak Icih dari Sumedang. Pokoknya, kita jadi lebih tenang ngejalanin hidup. Bener enggak?”
“Bener juga, sih!” Firman manggut-manggut. “Eh, tapi ntar gua enggak bisa lagi dong narik-narik kolornya dia. enggak, ah! gua enggak mau dia mati”
(Sumpah deh, jayus!)

****
Waktu menjelang sore ketika Adi dan Via memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya mengacak-ngacak seluruh counter pakaian yang ada di Mall Asia. Sebuah kebiasaan yang buruk, karena telah mengundang amarah puluhan satpam mall yang dianggap sang manajer enggak mampu menjaga keamanan mall dan terancam enggak mendapatkan THR. Adi memberikan argumentasi dengan menyatakan bahwa hal itu mereka lakukan dalam rangka memilih pakaian cocok untuk dipakai dalam acara midnight party. Argumentasi yang enggak bisa diterima oleh seluruh satpam yang kemudian dengan senang hati mencambuk dan memaksanya membereskan kembali pakaian yang mereka acak-acak.
“Kita berdua, Pak?”
“ENGGAK, KAMU AJA!”Hardik komandan satpam.
“Terus, dia gimana?” Adi menunjuk ke Via.
“Si Eneng ini biar nemenin kami main gaple!”
“….”
“Mau kan, Neng?” Suara sang komandan berubah lembut.
“Ma…ma….mau, Pak!”
Sadar dengan ketidakadilan yang menimpa dirinya, Adi lalu berupaya merajuk sang komandan satpam. Dengan penuh keyakinan, dia mengatakan akan mentraktir sang komandan beserta seluruh anak buahnya makan Batagor plus bajigur jika mereka mau membebaskannya dari hukuman. Suatu tawaran yang basi bagi mereka, karena keduanya adalah menu mereka saat makan siang tadi.
“BURU, DIGAWE (kerja)!” Bentak komandan satpam. “Ayo Neng, kita ke pos satpam”
“Via!”
“Adi!”
“Via!”
“Adi!”
“Udah, ah! kayak telenovela aja” Satpam menarik tangan Via.

****
Tiga hari kemudian. Pagi-pagi sekali, Egi dan Adi mengantar Firman ke terminal Guntur. Dia sudah melebihi batas waktu liburan yang diberikan oleh orang tuanya dan kini dia harus bergegas kembali ke North Carolina. Dia harus kembali sekolah. Dan yang terpenting, dia harus kembali membantu orang tuanya mengambangkan usaha tempe bongkreknya.
“Ok deh, friend! Sampe disini aja” Kata Firman setibanya mereka di depan peron. “Thanks ya, udah nemenin gua selama liburan ini”
“Sama-sama, Man! Hati-hati di jalan, ya!”Desis Egi.
“Jangan lupa sering-sering ngasih kabar ke kita, Man!” Sambar Adi.
“Ok!” Firman menjabat tangan kedua sahabatnya. “Gua berangkat dulu, ya!”
Firman kemudian berjalan masuk ke dalam terminal diringi lambaian Egi dan Adi.
“Kita café Dodol, yuk!” Ajak Egi setelah Firman lenyap dari hadapan mereka.
“Enggak, ah! gua mau ke rumah Via” Kata Adi menolak. “Gua udah janji mau nganterin dia sama si Ida ke Cipanas”
“Ya udah, kalo gitu kita pisah disini ya!”
Adi mengangguk. Mereka lalu berpisah. Adi naik angkot menuju rumah Via. Sedang Egi, dia ke café Dodol dengan mobilnya.
Mobil berjalan lambat. Sambil mendengarkan suara melo-nya Glenn Dhangan, penyanyi yang telah bersusah payah mempermak dirinnya agar mirip Glenn Fredly. Egi mencoba mengumpulkan kembali serpihan-serpihan peristiwa terungkapnya isi hati Via. Peristiwa yang secara perlahan telah menumbuhkan penyesalan di dalam dirinya. Menyesal karena enggak ngomong yang sebenarnya ke Via. Bahwa dia sebenarnya juga mencintai gadis itu.
“Syukurin lu! Lagian sih, pake mungkir segala” Kata isi hatinya
“Udahlah, enggak perlu disesalin! Keputusan elo udah tepat kok. Lebih baik kita kehilangan cinta, daripada persahabatan” Kata isi hatinya yang lain.
“Jangan didenger! Masa sih, elo bela-belain ngorbanin cinta elo demi seorang sahabat yang belum tentu juga mau berkorban demi elo” Isi hatinya yang pertama membantah.
“Elo jangan dengerin, Gi! Seorang sahabat lebih penting artinya” Isi hatinya yang lain enggak mau kalah.
“Ya, bener! Sahabat lebih penting. Gua enggak mau persahabatan gua hancur cuma gara-gara cinta” Egi bicara sendiri. Otaknya lebih menerima saran dari isi hatinya yang lain.
Sementara itu, didalam angkot yang melaju ke arah alun-alun. Adi yang pagi itu duduk dekat seorang lelaki paruh baya tengah berjuang menahan bau kelek (ketiak) yang menyeruak dari tubuh lelaki disebelahnya itu. Didepan Adi, seorang ibu dengan anaknya bahkan sudah memegangi kantung plastik untuk menampung bubur ayam tadi pagi yang memaksa keluar lagi dari perut mereka.
Awalnya sih, dia mengira itu adalah pengharum mobil aroma baru. Tapi setelah mendapatkan jawaban dari supir yang mengatakan kalau dia belum menaruh pengharum dalam mobilnya dan dia juga enggak tahu kalau ada aroma pengharum jenis ini, maka Adi memastikan kalau itu adalah bau kelek. Dan untuk mencegah jatuh korban lebih banyak lagi, Adi memutuskan untuk melempar lelaki itu dari mobil. Dengan mengambil salah satu gaya dalam lempar lembing, dia mengeluarkan lelaki paruh baya itu secara sopan dari dalam mobil. Lelaki itu pun nyangsrang (nyangkut) di tiang rambu lalulintas.
“Makasih ya, Jang!” Kata Ibu yang duduk didepannya.
“Sama-sama, Bu! Saya cuma ingin menjaga ketertiban umum aja kok”
Sebuah alasan yang enggak masuk akal, karena selama ini belum ada undang-undangnya bau kelek dianggap sebagai salah satu yang berpotensi mengganggu ketertiban umum. Kalau merokok, iya! tapi, kalau bau kelek?.


****


























Lagi-lagi Sebuah Penyesalan


Waktu menunjukkan pukul 12 siang ketika Adi, Via, dan Ida sampai di depan Bumi Wisata, sebuah tempat wisata kolam renang dan pemandian air panas yang berada di kaki gunung di daerah Cipanas, Garut. Rekreasi ini digunakan Adi untuk mempererat hubungan cintanya dengan Via.
“Sayang, kita mojok di sana aja, yuk!” Kata Adi mesra. “Biar aja si Ida berenang sendirian, dia kan udah gede!”
Satu tawaran yang ditolak mentah-mentah oleh Via dengan alasan cuaca saat ini sangat buruk dan enggak mendukung untuk mojok (apa hubungannya mojok sama cuaca ya?).
Adi jutek. “Kenapa sih, kamu enggak pernah mau setiap diajak mesra-mesraan?”
Karena aku enggak cinta kamu. Tapi, Via memilih kalimat lain. “Emangnya harus?”
“Ya, enggak sih! Tapi, sekali-sekali boleh kan?”
“Ya udah, kalo gitu kapan-kapan aja ya!”
Mulut Adi maju lima senti. Ini adalah kesekian kalinya Via menolak ajakannya. Padahal, sejak mereka pacaran Adi sama sekali belum merasakan indahnya mojok sambil bermesraan bareng Via. Ini merupakan sebuah ironi baginya. Seenggaknya, itulah yang dikatakan Dado, sang playboy sekolah dua hari yang lalu ketika mereka berbincang di depan toilet saat mengantri buang air kecil.
“Via, Adi! Kita ganti baju, yuk!” Ajak Ida yang sedari tadi berjalan didepan mereka.
“Kalian berdua aja, deh! Aku lagi enggak mau berenang” Sahut Adi malas.
“Kenapa?” Tanya Via.
“Aku mau ngukur gunung dulu, buat digambar!”
“???”
Tak lama kemudian, Via dan Ida sudah keluar dari kamar ganti dengan baju renang model baru yang berbahan wol. Adi memperhatikan kedua gadis itu dari saung yang terletak di pinggir kolam. Sambil bakar ikan yang didapatnya dari kolam dibelakang saung yang terdapat tulisan “dilarang mancing ikan disini”, Adi larut dalam lamunannya. Dia terus memikirkan Via yang sampai detik ini dirasa kurang menunjukkan cintanya. Dan entah kenapa, dia merasa kalau Via enggak mencintainya. Dia merasa kalau Via selama ini hanya berpura-pura mencintainya.
“Semoga aja gua salah!” Gumamnya sendirian.
Namun, baru saja Adi hanyut dalam lamunannya, Adi tiba-tiba saja dikejutkan oleh suara bass-nya satpam yang menegurnya karena telah mengkonsumsi ikan koi yang seharusnya menjadi penghias kolam.
“Anda enggak tahu apa kalo di kolam itu dilarang mancing?”
Adi diam tidak menyahut. Dia sudah enggak bisa ngelak lagi setelah dia gagal membohongi sang satpam dengan mengatakan kalau ikan yang nyawanya telah berakhir diatas panggangan adalah bekal yang sengaja dia bawa dari rumah. Kini, dia terpaksa harus menerima sanksi mengerok punggung satpam yang sudah tiga hari ini masuk angin akibat kena angin malam.
“Hakan ku siah (makan tuh sama elo)!” Dengus seorang kakek di saung sebelah penuh dendam karena enggak dapati bagian setelah membantunya menangkap ikan tadi.

****
Di café Dodol. Egi duduk membisu seorang diri setelah menghabiskan peuyem sebanyak tiga piring porsi jumbo. Egi membayangkan dirinya berhadapan dengan Adi. Ada Via berdiri diantara mereka. Dalam bayangan itu, Egi berterus terang pada Adi tentang semuanya. Tentang perasaannya pada Via. Tentang perasaan Via terhadapnya
“Bener itu, Via?” Tanya Adi mencoba memastikan.
Via hanya mengangguk.
“Lantas, kamu nerimaku cuma buat pelarian aja, begitu?”
Via mengangguk lagi. “Maafin aku, Di”
“Kamu jahat, Vi! Aku enggak nyangka kalau kamu bisa setega itu mainin perasaanku” Desis Adi lirih. “Dan elo Gi, kenapa elo enggak terus terang dari awal? Hhh… Gua benci elo, Gi! Gua benci”
“Sory, Di! Gua cuma enggak mau nyakitin elo” Kata Egi pelan.
“Udah! Elo udah nyakitin gua, Gi!”Mata Adi memancarkan kekecewaan. “Dengan sikap elo kayak gini, elo udah nyakitin gua”
“Gi…. Gi!” Suara Fais membuyarkan lamunan Egi. “Bengong aja, ntar kesambet lu!”
“Elo mau ngapain kemari?” Tanya Egi datar.
“Mau mancing! Ya makan, emangnya mau ngapain lagi?” Jawab Fais agak ketus. “ Kang, semur tumila dong!” Lanjutnya berteriak.
“Maaf, A! disini enggak ada semur tumila” Sahut pelayan dari kejauhan.
Fais menghela napas panjang. Kecewa. “Ya udah, bakwan jagung aja deh!”
“Minumnya?”
“Kopi pahit!”
“Pake menyan, enggak?”
“Dikit aja! Sekalian kembang tujuh rupa, ya”
“….”
“Elo kok kayak enggak ada gairah gitu sih, Gi! Lagi ada masalah?”
Egi menggeleng. Bohong.
“Kalo gitu, semangat dong! Cayo… cayo!”
“Sory, nama gua Egi, bukan Cahyo!”
“???”

****
Malam harinya. Setelah pulang dari Cipanas, Via dan Ida melewati malam dengan mengobrol di balkon. Dengan ditemani secangkir teh manis, mereka terlibat dalam pembicaraan yang serius.
“Hah! Jadi si Adi cuma kamu jadiin tempat pelarian aja, gitu?” Cetus Ida setengah berteriak begitu tahu yang sebenarnya tentang hubungan Via dengan Adi. “Via, kamu semestinya enggak boleh begitu, kasian Adi”
“Iya sih! Aku juga nyesel nih ” Desis Via lirih. “Terus aku harus gimana sekarang?”
“Kamu harus jujur sama Adi, Vi! Sebelum kamu menyakiti dia lebih dalam lagi” Kata Ida lagi.
“Dengan resiko, Adi bakalan marah sama aku?”
“Ya!”
“Enggak tahulah, Da! Aku pusing”
Ida geleng-geleng kepala. “Via…Via! Kamu akan terus pusing kalau kamu tetap menjalani hubungan seperti ini sama Adi”
Ida benar. Aku memang harus berterus terang sama Adi. Tapi, enggak sekarang. Aku belum siap. Aku belum siap menerima kemarahan Adi. Biarlah kujalani dulu hubungan ini, Via terus membatin.
“Ok, aku akan ngomong ke dia. Tapi, enggak sekarang”
“Terus kapan? Nunggu Adi lebih terluka lagi?”
“Da, kita ngomongin yang lain aja ya! Bisa enggak?”
Ida pun menurutinya dengan mengalihkan pembicaraan ke sebuah topik yang sangat lazim di kalangan wanita. PMS (bukan Penyakit Menular Seksual lho!). Sebuah masa yang sering dialami wanita dimana mereka akan berubah dari wanita lembut menjadi wanita galak dan sensitif. Dimasa ini, para lelaki dipaksa untuk hati-hati dalam berbicara. Kalau enggak, mereka enggak akan segan-segan mengacuhkan lelaki yang menjadi pasangannya. Atau, bahkan melempar lelaki dengan apapun yang ada didepannya. Yakinlah! Mereka mampu melakukannya walau benda yang ada didepannya teramat sangat berat untuk diangkat (serius lu?).

****
Siang itu, sekolah begitu ramai oleh siswa yang baru keluar dan masuk. Egi baru saja selesai memenuhi panggilan alam yang ditahannya sejak jam 11 tadi. Untungnya WC siswa sepi. Jadi dia enggak perlu berlama-lama berdiri didepan toilet layaknya mengantri sembako seperti biasanya. Egi kemudian melangkahkan kakinya melewati perpustakaan. Ke Warnet. Didepan perustakaan, dia melihat Adi sedang duduk bersama Via. Adi terlihat begitu mesra. Via jutek. Hal itu dapat dilihat dari sorot matanya yang enggak menyukai sikap Adi yang teramat sangat mesra. Sorot mata yang menggambarkan rasa jijik. Mungkin bagi Via, mendengarkan kata-kata manis penuh rayuan dari mulut Adi sama dengan melihat bangkai tikus saat dirinya sedang makan. Bikin mual. Maklumlah, Via bukanlah tipe gadis yang haus akan kalimat-kalimat gombal.
Egi dan Via beradu pandang. Tatapan mata mereka seperti saling berbicara.
“Gi, tolong pukul Adi pake balok sampe pingsan dong.”
“Enggak, Ah! itu terlalu berbahaya”
“Kalo enggak, masukin tawon ke dalam bajunya deh! Aku kepingin dia pergi dari sini”
“Kenapa?”
“Karena aku mau kamu yang duduk disisiku, Gi!”
Seolah mengerti, Egi lalu mendekati Via dan Adi. Dengan memasang mimik serius, Egi mengatakan pada Adi kalau dia diminta pulang buru-buru oleh Induk semangnya (ibu kost lho, bukan monyet) yang meminta bantuannya memindahkan pohon beringin dari belakang rumah ke pinggir empang yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah. Egi tahu persis, hanya induk semangnyalah yang mampu memaksa Adi pergi dari sisi Via.
“Makasih ya, Gi!” Via menghela napas lega.
“Sama-sama! Ehm… aku ke warnet dulu ya”
“Aku ikut dong!” Tapi kalimat itu tertahan dalam hati. Dia hanya mengangguk merelakan kepergian Egi.
Dalam perjalanannya menuju warnet, Egi sesekali memalingkan wajahnya ke belakang. Menatap Via yang juga enggak berhenti-berhentinya mengarahkan pandangannya ke Egi.
“EGI, AWAS!”
“BRUKK!”
Egi jatuh tertelungkup dengan Pak Jaya berada dibawahnya.
“Maaf, Pak… maaf!” Kata Egi sambil bangkit berdiri. Disusul Pak Jaya.
“Enggak apa-apa! Sering-sering aja, ya” Pak Jaya menggerakkan lidahnya disela-sela bibirnya dari kiri ke kanan. Menandakan kalau dia horny.
Melihat itu, Egi meringis jijik. Dia pun lalu bergegas angkat kaki dari hadapan Pak Jaya, sebelum satpam cabul itu melakukan hal yang lebih buruk lagi.

****
Satu jam setelah perjalanannya dari sekolah, Adi tiba di kost-an. Sesuai amanat yang disampaikan Egi, dia langsung menuju rumah besar yang berada disebelah kamar kostnya. Menemui Bu Ajat, induk semangnya.
Begitu mendekati pintu, Adi tiba-tiba saja mendengar erangan yang aneh. Yang jika teliti dengan seksama, lebih tepat bila disebut sebagai sebuah desahan. Adi penasaran. Dia lalu mengintip lewat jendela. Adi terperangah. Kaget. dia menyaksikan kepala Bu Ajat menyembul dibalik kaca jendela yang agak gelap. Wajah Bu Ajat meringis. Sesekali Adi melihat induk semang yang selama ini dihormatinya menggigit bibirnya. Dan yang membuat dia tambah kaget, ada Yogi, teman kostnya. Sekejap otak ngeresnya bereaksi.
“Gila juga si Yogi, masa janda tua diembat juga” Gumam Adi.
Pemandangan yang samar itu menggoda Adi menyaksikannya lebih jelas. Dia pun lantas mendekati pintu yang sedikit terbuka untuk lebih memastikan kegiatan yang sedang dilakukan Bu Ajat bersama Yogi.
“Ah….ah! Terus, Yogi…. Terus” Desah Bu Ajat. “Pijitan kamu enak juga, ya”
“…..”
Aksi pengintipan yang dilakukan Adi akhirnya ketahuan oleh Bu Ajat yang menyuruhnya untuk masuk dan meminta Yogi menghentikan pijatannya.
“Ada apa, Di?” Tanya wanita paruh baya itu sopan.
“Ehm… ini, Bu! Kata Egi, Ibu mau nyuruh saya mindahin pohon beringin yang dibelakang rumah” Kata Adi agak rikuh.
“Enggak, ah! saya enggak bilang apa-apa, ketemu Egi juga enggak” Bu Ajat menggeleng. “Tapi, berhubung kamu ada, saya bisa minta tolong enggak?”
“Tolong apa, Bu?”
“Ajak main si Eneng”
“Hah! Aduh… maaf Bu, saya lupa kalo sebentar lagi saya harus nyukur bulu kelek saya” Cetus Adi menolak secara halus. “Permisi, Bu!”
Buru-buru Adi menghilang dari pandangan Bu Ajat sebelum induk semangnya itu memaksa dia untuk mengajak main si Eneng, anjing helder setinggi dua meter kesayangan Bu Ajat.
Sementara itu, di alun-alun. Via tengah duduk di kursi beton dipinggiran halaman Mesjid Agung Garut yang menyatu dengan balai kota.. Sebuah tembang lawas milik Kaforit grup menemani kesendiriannya. Mengiringi lamunannya.
Via terperangkap dalam penyesalannya yang telah menjadikan Adi sebagai tempat pelarian cintanya. Sebuah tempat yang salah, karena ternyata dia harus terpaksa menerima setiap sikap Adi yang sedikit gila yang secara perlahan mulai menjangkiti otaknya. Dan itu harus segera dicegah.
“Tapi, aku enggak! Bagiku kamu adalah sahabat”
Kata-kata Egi saat Via mengungkapkan isi hatinya kembali terngiang ditelinganya. Via terunduk. Menangis. Dia heran. Kenapa Egi enggak mencintainya. Padahal, sudah jelas sejak pertemuan mereka pertama kali, Egi telah memperlihatkan tanda-tanda kalau cowok itu menaruh hati padanya.
“Enggak, Gi! Aku enggak mau jadi sahabatmu” Gumam Via sendirian.
Ya, dia enggak mungkin menempatkan Egi sebagai sahabat. Memang benar, persahabatan merupakan wujud cinta yang paling tulus. Tapi sayang, dirinya belum mampu menggapai cinta yang seperti itu. dirinya masih terlalu rendah untuk bisa memahami makna cinta yang demikian hebat itu. Dia hanya menginginkan Egi menjadi kekasihnya. Bukan sahabat.

****
Tuhan! ini enggak adil! Katanya cinta itu adalah sebuah anugrah yang Kau berikan pada hamba-Mu agar mereka bahagia. Tapi, kenapa hal itu enggak terjadi padaku. Kenapa cinta itu malah menjadi malapetaka yang membuatku menderita. Enggak adil!
Egi menghentikan tulisannya. Dia memandang jauh keluar jendela. Sepi. Enggak ada satupun orang diluar sana. yang ada hanyalah seekor tikus di pinggir jalan yang sedang mencari makan di warteg depan rumah yang sudah mau tutup. Sesaat kemudian muncul tikus lainnya. Datang dengan setangkai bunga mawar di mulutnya. Dia memberikan bunga itu pada tikus tadi. Dia berbisik. Dia seperti menawarkan sesuatu. Cinta (beneran, nih?). Sepasang tikus itu lalu menghilang di kegelapan malam. Mereka bercinta.
Bener-bener enggak adil. Liat aja, bahkan binatang pun bisa ngerasain indahnya cinta. Tapi, gua. Cinta gua kebentur sama tembok persahabatan antara gua sama Adi, Egi terus membatin.
Egi melempar ballpointnya jauh-jauh keluar kamar. Melewati pagar dan berhenti tepat dikepala orang yang melintas didepan rumahnya. Karuan saja, orang itu mencak-mencak. Egi langsung bersembunyi dibalik tembok kamar. Dengan menggunakan ilmu tingkat tinggi, orang itu memaki-maki ke arah kamar Egi hingga suaranya mengejutkan sepasang tikus tadi yang sedang bercinta. Suara itu juga mengagetkan Nyi Surti, sang pemilik warteg yang tengah melakukan adegan panas bersama sang suami hingga mereka terpaksa menghentikan aktivitasnya membuat gehu (tahu goreng yang isinya toge dan wortel).
“Hey, orang gila! Pergi sana, tong (jangan) teriak-teriak disini!” Teriak Nyi Surti kesal.
Sebelum Nyi Surti lebih kalap lagi, orang itu bergegas meninggalkan halaman warteg, wilayah yang menjadi kekuasaan Nyi Surti. Dia tahu persis, Nyi Surti memiliki kedigdayaan yang begitu hebat yang enggak bisa ditandingi oleh siapapun. Hal ini telah terbukti ketika Nyi Surti berhadapan dengan orang yang enggak mau bayar setelah makan di wartegnya. Pengunjung warteg yang sial itu harus mengakui kehebatan Nyi Surti setelah enggak mampu menahan serangan mulut cerewetnya Nyi Surti yang terkenal seantero kota Garut.
Setelah aksi lempar ballpoint sembunyi badan, Egi kemudian memutuskan untuk tidur. Egi tidur dengan perasaan gundah dan sejuta penyesalan. Diringi lagu Bethoven dari tape yang baru dibelinya untuk menggantikan tape yang rusak akibat bantingan, Egi mencoba menembus dinding mimpi.
Dalam dunia impian yang tercipta, Egi mendapati dirinya berada di tepi pantai laut selatan di pameungpek, Garut. Dia tidak sendiri. Ada Via disisinya.Via bersandar dengan manja dibahunya. Dari bibirnya yang tipis, Via sesekali mengucapkan kata sayang pada Egi. Egi membalasnya dengan kecupan di kening Via. Suasana terasa begitu romantis.
Dan semakin romantis lagi kala sang dewi malam mulai menampakkan dirinya menghiasi malam.
“Egi, aku boleh enggak minta sesuatu dari kamu?” Suara Via terdengar merdu.
Egi mengangguk pelan. “Boleh”
“Aku…. Minjem celana dalam elo dong!”
“Lho?”
Egi kembali ke alam sadar. Terbangun dari mimpinya dan mendapati Adi berdiri di sisi ranjang.
“Elo ngapain kesini?” Ketus Egi sambil bangkit dari tidurnya.
“Gua mau nginep disini! Gua pinjem celana dalam elo dong”
“Kalo nginep, boleh! Tapi celana dalam, ENGGAK!”
“Ya udah, enggak usah sewot gitu dong”
Setelah mandi dan numpang makan (emangnya hotel!), Adi lantas mengajak Egi ngobrol. Dia curhat. Curhat soal hubungannya dengan Via.
“Enggak tau kenapa ya, Gi! Tiba-tiba aja gua ngerasa kalo dia enggak serius pacaran sama gua” Desis Adi mengeluh.
Emang, batin Egi. “Kenapa elo punya pikiran kayak gitu?”
“Enggak tau! Perasaan gua aja”
“Itu kan cuma perasaan elo”. Kata Egi agak rikuh. “Udah,ah! kita tidur, yuk!”

****
Pagi tiba. Egi yang semalaman tidur enggak nyenyak gara-gara harus mendengarkan alunan suara ngorok Adi yang sumbang terlihat sudah rapih, bersiap-siap ke sekolah. Adi, masih ngepup sambil bersenandung kecil. Lagu manuk dadali (burung garuda), diubahnya menjadi manuk pak haji.
“Adi, cepetan!” Teriak Egi dari luar kamar mandi.
“Iya, sebentar lagi! Nanggung nih” Kata Adi sembari ngeden.
Setengah jam kemudian yang katanya sebentar, Adi keluar dari kamar mandi. Bagi Egi, kalau Adi enggak segera menyelesaikan kegiatan memperganteng dirinya, itu berarti alamat mereka akan terlibat debat dahsyat dengan Pak Jaya untuk bisa melewati gerbang sekolah.
“Gi, kolor gua mana?” Adi celingukan.
“Tuh, di jendela” Egi menunjuk ke celana kolor putih yang berkibar-kibar disisi jendela. Celana yang menyebabkan bau tak sedap dalam kamar selama satu malam.
Usai penantian yang menyebalkan sekaligus menggemaskan, Egi bernapas lega karena akhirnya mereka berangkat juga. Egi memacu mobilnya dengan kencang. Dia harus melakukan itu, karena gerbang sekolah lima belas menit lagi akan dinyatakan tertutup bagi siswa. Jika itu terjadi, maka debat dengan Pak Jaya takkan terelakkan.
Disamping Egi, Adi duduk dengan tegang. Sesekali terdengar suara komat-kamit tak jelas dari mulutnya. Dia berdoa. Berdoa agar dia diperkenankan oleh Tuhan untuk menyelesaikan sekolahnya, lantas bekerja, menikah, dan memiliki keturunan sebelum dia mati. Dan doa agar Egi mendapat kutukan tujuh turunan jika dia harus mati muda hari ini. Itu pun kalau Egi enggak ikut mati. Karena jika Egi mati, itu berarti kutukannya sia sia. Sebab mana mungkin Egi yang sudah mati akan mempunyai keturunan.
Enggak lama kemudian, mereka sampai di sekolah. Setelah berhasil meyakinkan Pak Jaya kalau mereka terlambat karena harus membawa nenek tetangga yang akan melahirkan ke rumah sakit, mereka langsung berlari masuk kelas. Untunglah Bu Dani, guru yang memimpin pelajaran pertama belum hadir. Sehingga mereka dapat dengan leluasa masuk tanpa harus menjawab teka-teki silang yang biasa diberikan oleh guru narsis itu kepada setiap siswa yang datang terlambat (serius tuh?).
“Hai, Baby!” Sapa Adi yang disambut pukulan telak ke “adik” Adi oleh Via, karena kata yang dilontarkan Adi kedengaran seperti menyebutnya babi.
“Aduh, Via! Kamu kok mukulnya pake perasaan banget sih” Adi meringis kesakitan.
“….”

****
Siangnya, usai pelajaran.
“Ehm… Gi! Bisa anter aku ke toko buku enggak?”
“Lho, emangnya si Adi mana?”
“Pulang! Dia lagi disuruh sama Bu Ajat mandiin Eneng” Jawab Via. “Kamu bisa enggak?”
Egi mengangguk. “Ya udah, sekarang?”
“He-em”
Mereka kemudian berjalan ke tempat parkir. Mereka sama-sama rikuh. Gugup. Ini adalah sebuah perjalanan sepuluh menit yang melelahkan. Sampai akhirnya Egi memaksakan diri untuk memulai pembicaraan.
“Via, dada kamu gemukan ya” Kata Egi menunjuk. “Ups..!”
“PLAK!”
Pake salah ngomong lagi, Batin Egi menyesal.
Setibanya di tempat parkir, Egi langsung membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Via masuk.
“Via, ngomong-ngomong ke toko buku ngapain?” Tanya Egi begitu berada dalam mobil.
“Nyari Bra!”
“???” Egi garuk-garuk kepala.
“Ya, nyari buku lah!”
Egi manggut-manggut. “Buku apaan?”
“Buku ibu hamil”
Buku ibu hamil, gumam Egi dalam hati. Emangnya siapa yang hamil? Jangan-jangan….
“Jangan mikir yang enggak-enggak deh!” Via memicingkan matanya ke Egi. “Buku itu buat ibuku, tau!”
Egi lantas melajukan mobilnya menuju toko buku “Gunung Putri” yang letaknya di Jalan Siliwangi, Garut.
“Via, aku mau ngomong jujur sama kamu, boleh?” Tanya Egi dalam perjalanan.
Via mengangguk. “Soal apa?”
“Soal perasaanku!” Suara Egi terdengar agak pelan. “Jujur, aku udah memungkiri perasaanku sendiri. Aku udah salah karena telah ngebohongin diriku sendiri, kalo sebenarnya aku juga mencintai kamu”
Via hanya tertegun menatap Egi begitu mendengar ucapan cowok itu. Dia benar-benar enggak nyangka jika ternyata Egi juga menyimpan perasaan yang sama dengannya. Rasa bahagia langsung menyelimuti dirinya. Rasa bahagia yang bercampur dengan rasa sedih. Bahagia karena akhirnya Egi mengungkapkan cintanya. Sedih karena Egi baru menyatakan cintanya justru saat sudah ada Adi ditengah-tengah mereka. Dan kini, dia harus mencari jalan untuk mengatakan yang sesungguhnya pada Adi tanpa harus membuat Adi sakit hati.
“Via, maafin aku ya, udah enggak jujur sama kamu”
“Kenapa?”
“Aku cuma enggak mau persahabatanku sama Adi jadi hancur karena ngerebutin kamu, Vi”
“Egi, sadar enggak kamu? Kita sebenarnya udah nyakitin Adi”
Egi mengangguk. “Mungkin udah seharusnya kita terus terang sama dia, sebelum kita menyakiti dia lebih dalam lagi”
“Ya”
Sesampainya di toko buku, mereka langsung masuk. Toko buku “Gunung Putri” siang itu sangat sepi. Tak ada pengunjung. Suasananya benar-benar seperti kuburan. Suasana yang sangat menjamin “suara–suara misteri” (maksud lo?) akan terdengar ke setiap sudut ruangan.
“TUTTT….!”
Benar kan, suara misteri mulai beraksi.
“KAMU KENTUT, YA!” Hardik manajer toko ke anak buahnya.
“Enggak, Pak! Saya enggak kentut, sumpah”
“JANGAN BOHONG KAMU! DIRUANGAN INI CUMA ADA KAMU, YANG LAIN LAGI PADA MAKAN SIANG”
“Bener, Pak! Saya enggak bohong kok”
“TERUS, SIAPA YANG KENTUT?”
“Pantat, Pak” (emangnya, selain pantat ada lagi organ tubuh yang bisa kentut?)
“KALO GITU, AJARIN PANTAT KAMU BIAR TAU SOPAN SANTUN!”
Setelah menyaksikan adegan dengan judul “Inikah rasanya, kentut!”, Via dan Egi langsung menuju ke deretan buku yang bertuliskan kesehatan di atas raknya yang ada di tengah ruangan. Via mengambil satu buku yang berjudul “Senam sehat untuk ibu hamil”. Sedang Egi sibuk membaca sebuah buku yang belum waktunya untuk dibaca olehnya. Buku “ 100 Gaya Seks Sehat”.
“Gi, kamu enggak salah baca buku?” Via mengerutkan dahinya.
“Enggak! menurutku ini penting buat pendidikan seks di usia dini” Kata Egi menjelaskan. “Seenggaknya dengan buku ini, kita jadi tau asal-usul kita lahir ke dunia”
“Bener juga”
“Dan kita jadi tau gimana caranya melakukan seks yang benar dan sehat, jika kita ingin melakukannya”
“Itu yang enggak bener!”
“Kenapa?”
“Karena kita masih dibawah umur, Gi”
“Tapi, ini kan gambarnya kartun! Dan kartun itu kan buat orang-orang yang masih dibawah umur, bener enggak?”
“Gi… Egi!”
“Apa?”
“Udah pernah kelilipan lemari, belum?”
“Belum”
“Mau?”
Egi segera menangkap maksud Via. Buru-buru dia mengembalikan buku yang dipegangnya ke rak buku sebelum Via melemparnya dengan lemari kaca yang dipegang gadis itu.

****
“Egi ngomong cinta sama kamu?” Mata Ida terbelalak saat mendengar cerita Via.
“He-em”
“Itu berarti, kamu bakalan ngomong sama Adi?”
Via mengangguk.
“Kapan?”
“Secepatnya! Aku enggak tau kapan, tapi aku sama Egi udah sepakat untuk ngomong ke Adi secepatnya”
“Terus, gimana kamu ntar ngomongnya?”
“Itu dia, aku masih belum ketemu kata-kata yang tepat buat ngomong ke Adi. Yang enggak bakalan bikin dia sakit hati” Kata Via pelan. “Bantuin aku dong, Da”
“Tenang aja, aku pasti bantu kamu deh”
“Bener?”
“Bantuin doa, maksudnya” Ida cengengesan.
“Makasih, doa kamu itu sama aja kayak kutukan buat aku!” Via mendengus kesal.
Setelah memastikan enggak ada yang dapat diandalkan dari Ida dalam mencari cara yang tepat untuk bicara pada Adi, Via kemudian memilih beranjak dari teras rumah, pergi ke kamar.
“Mau kemana, Via?”
“Ke kamar”
“Masa sih, masih sore gini udah mau tidur?”
“Siapa yang mau tidur, orang cuma mau jagain kasur doang kok” (kasur kok dijagain, emangnya bisa kabur gitu?)
“Yee, sama aja! Dasar jelek”
Di tempat lain, Egi duduk termenung di balkon. Sama seperti Via, dia juga sedang memutar otak mencoba mencari cara dan kata-kata yang tepat untuk bicara pada Adi tentang perasaan dirinya dan Via selama ini.
“Lagi ngapain, Den?” Tegur Mang Usro.
“Lagi nyari Ilham, Mang”
“Nyari Ilham? Emangnya ada perlu apa sama Ilham?”
“….”
“Mau saya panggilin, Den? Saya tau kok rumahnya”
“Makasih, Mang! Mang mendingan beliin saya coklat ayam jago, gih!”
“Belinya dimana, Den?”
“Dimana kek, di Cirebon juga boleh! Pokoknya yang jauh deh”
“Iya deh, Den! Berarti manggil Ilham nya enggak jadi?”
“Arrrggghhhhh”


****













Pengakuan


Egi menghabiskan waktunya hampir seharian untuk mendengarkan cerita Adi. Cerita tentang hubungannya dengan Via yang dirasakannya ada yang enggak beres. Yang Adi enggak tahu adalah bahwa Egi lah yang menjadi penyebabnya.
“Kalo menurut gua, elo mungkin enggak pernah ngejajanin dia setiap kali jalan”
“Ah, enggak juga! Perasaan gua, dia sering banget gua jajanin” Kilah Adi. “Kemaren aja, dia gua jajanin gulali sekantong kresek di depan alun-alun”
“Atau, mungkin elo keseringan ngajak dia pacaran di astana (kuburan) kali! Makanya dia jadi BT”
“Sialan lu! Emangnya gua jin apa” Kata Adi mendengus. “Kalo gua rasa sih, kayaknya ada orang ketiga deh”
“Elo bener! Setiap orang pacaran, pasti ada orang ketiga” Egi manggut-manggut. “Dan itu, pasti setan!”
“Setan?”
“Iya! kata ibu gua, kalo ada cowok berduaan sama cewek, pasti ditengah-tengahnya ada setan”
“IYA, SETANNYA ELO!” Adi mulai kesal melihat Egi yang serius juga menanggapi curhatnya.
Elo bener, Di! setannya itu gua, Egi membatin.
Setelah berkali-kali memberi peringatan pada Egi untuk lebih serius, akhirnya Adi menyudahi curhatnya dengan ucapan terima kasih dan salam (emangnya pidato!). dan kini, pembicaraan mereka beralih pada kiriman royalti Egi yang diterimanya tadi siang dari Grages Medoi.
“Kalo gitu, elo musti traktir gua sekarang”
Sebuah komentar yang tak diharapkan meluncur dari mulut Adi. Dan itu membuat Egi dengan sangat terpaksa berbohong dengan mengatakan kalau royalti yang diterimanya akan dipergunakan untuk beli coklat coki-coki se-truk guna menunjang program penggemukkan diri yang telah dicanangkannya sejak seminggu yang lalu. Walaupun sebenarnya tubuh sudah lebih dari cukup buat persiapan lebaran haji (emang hewan qurban!).
“Gua enggak tau kalo coki-coki bisa bikin orang gemuk”
“Makanya, nonton koran, baca tv!”
“….”

****
Keesokkan harinya di sekolah, saat jam istirahat, Egi dan Adi langsung beranjak keluar kelas dan pergi menuju kantin. Kantin adalah tempat favorit mereka yang sering mereka gunakan untuk menghabiskan waktu dikala bolos pelajaran. Egi dan Adi dengan penuh rasa suka cita setengah berlari ke kantin. Via mengikuti mereka dari belakang bersama Dewi, gadis yang selalu mengkumandangkan filosofi “Big Is Beautiful”. Filosofi yang sangat-sangat salah untuk gadis berwajah dibawah standar minimum regional (gaji kali, pake standar minimum regional!) seperti Dewi.
“SERBU…!!!” Teriak Adi dan Egi yang kelaparan.
Via dan Dewi menjaga jarak dari dua makhluk yang sudah enggak punya urat malu itu. Bagi Via dan Dewi, jalan berbarengan dengan Adi dan Egi adalah sebuah malapetaka. Mereka pasti enggak akan bisa menghindar dari tatapan penuh rasa jijik dari setiap siswa yang mereka lewati. Dan akhirnya, mereka sampai juga di kantin.
“Dew, kita duduknya disana aja yuk!” Ajak Via yang disambut anggukan kepala Dewi.
“Via sayang, kok duduknya di situ sih?” Teriak Adi melihat kedua gadis itu duduk di meja yang lain.
Via menutupi wajahnya dengan telapak tangannya karena malu. Buru-buru dia memakai topeng Supergirl (ngaruh?).
“Ayo Gi, kita pindah!”
Adi dan Egi kemudian bangkit dari dari duduknya dan menghampiri Via yang tengah berusaha melenyapkan diri dengan ilmu kudu (kudu ngilang) milik Dewi yang ternyata justru membuat siswa-siswa yang lain yang ada di kantin satu persatu lenyap menghindari bau busuk yang keluar lubang pantat Dewi. Ada juga yang muntah dan langsung pingsan ditempat (itu kentut apa gas beracun?).
“Dew, gua rasa sebaiknya stop aja sebelum kantin semua pedagang di kantin ini bangkrut karena kehilangan pembeli, ok!”
“Uuuffhh…. Bau banget! Siapa sih yang kentut?” Egi langsung menutup hidungnya “Elo ya, Di!”
“Enak aja! Jelek-jelek gini, kentut gua wangi tau” Dengus Adi
“Terus siapa dong?”
Mata mereka mengarah ke Via dan Dewi. Via yang takut dituduh langsung menunjuk Dewi sambil terus menutup hidung dengan tangan yang lain.
“Maaf, ya!” Kata Dewi tersipu malu.
“Huuu… Dasar, kebo! Kalo kentut, ijin dulu kek” Cibir Adi.
Lantas, berbekal pengalamannya sebagai anggota PMR, Egi bergegas menetralisir kantin dengan membuka setiap kaca jendela dan pintu. Selain itu tak lupa Egi menyemprotkan 1000 liter pengharum ruangan kesetiap sudut kantin (really?). Ini dilakukannya untuk mencegah korban muntah-muntah dan pingsan lebih banyak lagi.

****
Siang harinya, sepulang sekolah. Egi dan Via ngobrol di kursi taman depan perpustakaan. Sedang Adi, pulang karena harus membantu Bu Ajat membuat parit disekeliling rumah guna menjebak pencuri sandal yang dikabarkan telah meresahkan warga sekitar. Mereka terlihat mesra (Egi dan Via lho, bukan Adi dan Bu Ajat!). Sambil terus ngobrol ngalor ngidul, sesekali jemari mereka saling bersentuhan.
“Gi, kapan kita harus ngomong sama Adi?”
“Hhh… ntar aja, kita tunggu waktu yang tepat”
“Tapi Gi, aku enggak mau bohong terus sama dia”
“Sama, aku juga! Tapi, kita butuh persiapan” Kata Egi menjelaskan. “Kita harus cari waktu dan kata-kata yang tepat”
Dan tanpa disadari, dari kejauhan ada Fais yang tengah mengintip mereka dari balik pintu WC yang letaknya tak diseberang perpustakaan. Mengawasi mereka dengan penuh tanda tanya. Apakah Egi memang sedang memijat tangan Via karena keseleo? Atau mungkinkah terjadi perselingkuhan diantara mereka? Saksikan kelanjutannya di episode berikutnya (lho?).
“Gi, kayaknya ada yang ngawasin kita deh” Desis Via pelan.
“Orang apa setan?”
“Ya, orang lah! Setannya kan emang udah nimbrung dari tadi”
Egi celingukan . “Mana? Enggak siapa-siapa kok”
“Itu, dekat WC” Via memberi isyarat dengan matanya.
Bergegas Egi bangkit dari duduknya dan melangkah ke WC. Sadar aktivitasnya diketahui, buru-buru Fais angkat kaki dari persembunyiannya. Dalam sekejap dia sudah menghilang dari balik pintu WC.
“Mana? Enggak ada orang disini” Teriak Egi dari depan WC. Dia lalu kembali menghampiri Via.
Aneh, batin Via sembari garuk-garuk kepala.
“Di WC enggak ada siapa-siapa tuh” Kata Egi sambil menjatuhkan pantatnya di sebelah Via. “Perasaan kamu aja, kali”
“Iya, kali!”
Sementara itu, Fais yang sudah angkat kaki langsung menuju wartel untuk menelpon Adi.
“Adi, ada telepon!” Kata Bu Ajat setengah berteriak dari ruang tengah.
Adi yang masih sibuk dengan paritnya bergegas berlari masuk rumah. “Siapa, Bu?”
“Fais!” Sahut Bu Ajat sambil memberikan gagang telepon ke Adi.
“Ada apaan, Is?”
“Ini, Di…. eee…eee …. Tadi gua liat Egi sama Via duduk berduaan di depan perpustakaan”
“Terus?”
“Terus ya, emangnya elo enggak curiga apa?”
“Curiga kenapa? mereka kan emang temenan”
“Masa sih, temenan sampe pegangan tangan segala?” Kata Fais memprovokatori. “Ya, gua sih bukannya mau ngomporin elo. Tapi, gua rasa mereka berdua ada main deh”
“Ada main apaan?”
“Ya, ada main! Selingkuh, gitu”
“Udah deh, elo jangan ngadu domba gua sama Egi deh!”
“Emangnya Domba Garut, diadu! Gua serius lagi”
“Udah, ah! Gua lagi lagi repot nih” Adi langsung menutup telepon.
“Yee, bocah! Dikasih tau juga” Kata Fais dari seberang.

****
Setelah menerima telepon dari Fais, Adi berubah muram. Semangat kerja yang tadi menyelimuti dirinya tiba-tiba sirna. Pembuatan parit pun enggan diselesaikannya. Dan ketika Bu Ajat memintanya untuk kembali bekerja, Adi justru mengancam induk semangnya itu dengan mengatakan akan menyebarkan photo telanjang Bu Ajat sewaktu masih berumur 6 bulan ke semua anak kost. Sebuah ancaman yang ampuh, karena setelah itu Bu Ajat enggak lagi berani mengusik Adi dan lamunannya.
Jangan-jangan, yang diomongin Fais bener lagi. Ah, enggak mungkin! Egi kan temen gua. Masa sih dia tega?, Adi terus membatin. Dia berusaha menepis prasangka buruknya. Dia yakin, Egi enggak akan setega itu pada dirinya. Apalagi Egi tahu kalau dia begitu mencintai Via. Setidaknya itu yang dia coba tanamkan dalam dirinya hingga kemudian dia kembali mendapat telepon dari Dado, sang playboy sekolah yang mengatakan kalau dirinya baru saja melihat Via dan Egi bergandengan mesra keluar dari café Dodol.
“Gila, Di! ini sih namanya pagar makan tanaman” Kata Dado dari ujung telepon.
Adi tersenyum kecut. “Makasih ya, Do, atas informasinya!”
Adi kemudian menutup telepon dan beranjak ke teras rumah. Dia kembali termenung. Dia masih belum bisa percaya. Egi bisa berbuat setega itu pada dirinya. Berkali-kali dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang dia dengar dari Fais dan Dado adalah sebuah informasi yang salah. Tapi, tetap saja hatinya gundah.
“Apa ini yang selama ini bikin gua merasa ada yang enggak beres sama hubungan gua berdua” Gumam Adi sendirian.
“Oiy, Di! bengong aja” Sapa Yogi
“Siapa yang bengong, orang lagi ngintipin kodok yang lagi pacaran dibalik pohon itu” Kilah Adi.
“Ngintipin?” Yogi mengerutkan dahinya. “Ntar bintitan lho”
“Serius lu?”
“Serius! Malahan minggu kemarin aja, temen gua matanya buta”
“Gara-gara ngintipin kodok?”
“Kesiram cairan formalin!”
“Ckjfkjkgk….”
Setelah didesak oleh Yogi, Adi pun lalu menceritakan kabar yang baru saja diterimanya. Panjang lebar dia bercerita. Dari A sampai Z. Dan sebagai orang yang sudah malang melintang di dunia percintaan, Yogi memberi saran pada Adi untuk mencoba menyelidiki dulu kebenaran dari berita yang didengarnya. Ini adalah sebuah cara yang biasa dipakai oleh banyak orang, terutama polisi dalam menyingkap suatu peristiwa.
“Berarti, gua musti bawa senjata dong!”
“Buat apaan?” Dahi Yogi mengkerut.
“Buat jaga diri, kalo ntar ada apa-apa”
“Di, yang mau elo selidikin ini temen lo, bukan mafia!”
Yogi lantas menceritakan pengalamannya ketika hubungannya dengan Mia, gadis satu RT di kampungnya Majalengka yang kandas akibat kehadiran orang ketiga yang enggak lain adalah sahabatnya sendiri. Dia berharap pengalamannya dapat dijadikan pelajaran bagi Adi dalam menyelesaikan persoalan cintanya.

****
Seperti yang disarankan Yogi, keesokan harinya disekolah, Adi menemui Egi. Dia ingin bertanya langsung pada sahabatnya itu tentang kabar yang diterimanya. Hal itu dia lakukan untuk menghindari kesimpangsiuran. Karena menurutnya, kalau mendengar dari mulut orang lain belum tentu benar. Bisa jadi dilebih-lebihkan. Atau bahkan ada yang dikurangi.
“Gi, sebenarnya gimana sih hubungan elo sama Via?” Tanya Adi setelah tahu Egi enggak membantah kabar yang diterimanya.
Tiba-tiba saja Egi merasa dirinya berada dalam suasana yang mencekam begitu mendengar pertanyaan Adi. Dia seperti berada di tengah-tengah komplek pemakaman umum ditengah hujan lebat.
Egi menghela napas panjang. “Ok, kayaknya gua enggak bisa nyembunyiin lagi semuanya dari elo”
“Maksud elo?”
“Gua sama Via pacaran!”
“HAH!” Mata Adi mendelik. “Jadi,…”
“Ya, gua sama Via udah dua minggu pacaran”
Suasana berubah hening. Keduanya terdiam dan saling tatap. Yang terdengar hanyalah suara anjing yang menjerit kesakitan karena digigit Dewi (???). Adi terlihat begitu terhenyak. Dia seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Maafin gua, Di” Desis Egi pelan.
“Maaf? Setelah apa yang elo lakuin ke gua, elo mau minta maaf? Gua enggak nyangka elo bisa setega itu sama gua, Gi. Padahal, selama ini elo udah kayak sodara buat gua. Gua kurang apa sama elo? Gua makan daging, elo juga makan daging. Gua makan tempe, elo juga makan tempe. Gua makan telor, elo makan kulitnya” Adi mendengus kesal.
“Lho?”
“Mulai detik ini elo bukan temen gua, Gi! Gua benci elo!”
Adi kemudian melangkah pergi. Tinggallah Egi yang masih terdiam terpaku di depan perpustakaan. Akhirnya, apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Semua persis dengan apa yang telah dibayangkannya. Adi telah membenci dia.
“Tuh kan, bener apa yang gua bilang! ” Kata isi hatinya
“Alah, enggak usah didengerin! Tenang aja, masih banyak ini orang yang mau jadi sahabat elo” Kata isi hatinya yang lain.
“Elo harus kejar dia, Gi! Elo harus minta maaf ” Kata isi hatinya yang pertama lagi.
“Enggak usah, Gi! Elo liat sendiri kan tadi, dia enggak mau maafin elo” Isi hatinya yang lain enggak mau kalah.
“AAAHHHH!” Egi teriak sendiri. Otaknya menjadi keruh mendengar isi hatinya berdebat. Egi beranjak pergi

****
“Ada apa, Di?” Via heran melihat Adi tiba-tiba memasang wajah sinis.
“Makasih ya, udah ngasih pelajaran ke aku soal cinta” Desis Adi menahan marah.
“Apa maksud kamu?” Tanya Via tidak mengerti.
“Kamu tau apa yang aku maksud”
“Kamu kenapa sih, Di?” Via makin bingung.
“Aku? Kamu mau tau aku kenapa? Aku sakit, tau enggak! SAKIT!” Suara Adi meninggi. “Kamu tega-teganya mainin cintaku! Kamu udah bohongin aku, Vi”
Via terdiam. Matanya terlihat mulai sembab.
“Kenapa diam? Kamu kaget, aku tahu soal hubungan kamu sama Egi, iya?”
“Kamu tau darimana?”
“Enggak penting aku tau darimana, sekarang sebaiknya kita akhiri aja hubungan kita!”
Via tertunduk. Rasa lega dan menyesal bercampur aduk menjadi satu. Lega karena akhirnya Adi tahu yang sebenarnya. Menyesal karena dia ternyata telah sangat-sangat menyakiti hati Adi. Dan kini dia harus menerima keputusan Adi.
Via menarik napas dalam-dalam. “Baiklah, kita putus! Aku minta maaf karena udah nyakitin kamu. Aku minta maaf karena udah mainin cinta kamu ”
Adi langsung berbalik dan pergi meninggalkan Via beserta beberapa siswi yang berpura-pura enggak berada dalam kelas untuk menghindari tuduhan sebagai penguping pembicaraan orang. Via tak bisa mencegahnya. Dia mengerti betapa kecewanya Adi. Dia dapat merasakan perihnya hati cowok itu.
Enggak lama kemudian, Egi datang. Melihat raut wajah Via yang sedih, Egi langsung menghampiri gadis itu dan membenamkan kepala Via dalam pelukannya.
“Egi, Adi…”
“Ya, dia juga tadi nemuin aku kok!” Kata Egi memotong. “Udahlah, sabar aja ya! Memang kita yang salah”
Sementara itu diluar kelas, hujan gerimis mulai membasahi tanah. Seluruh siswa berlarian meninggalkan lapangan. Kecuali Fais dan Dewi. Mereka berdua malah mencopot sepatu, kaos kaki, baju (cuma Fais lho!), dan jingkrak-jingkrakkan di tengah lapangan dibawah siraman hujan. Tapi, bukan berarti itu dilakukannya tanpa resiko. Karena selama itu pula, mereka harus berjuang habis-habisan untuk dapat lepas dari kejaran Pak Jaya yang diperintahkan oleh kepala sekolah untuk menangkap mereka. Belum lagi anjing yang menaruh dendam karena digigit Dewi di depan perpustakaan tadi. Dengan bantuan kerabatnya yang berjumlah sepuluh ekor ikut mengejar Dewi untuk membalas dendam. Dan untungnya, mereka selamat.

****
Sejak pengakuan itu, Adi semakin menjauh. Dia enggak pernah lagi berkumpul dengan Egi dan Via. Bahkan, setiap kali mereka berpapasan, Adi sama sekali enggak pernah menyapa Egi dan Via. Dan hari ini, ketika semua siswa kelas XI IS 2 sedang berkumpul dalam kelas merayakan kepergian Pak Ating yang dimutasi ke SMA 1 Leles dengan pemotongan tumpeng, Adi memilih menyendiri di depan WC (enggak ada tempat lain, apa?)
“Kok enggak ngumpul sama anak-anak, Di?” Sapa Dewi yang baru keluar dari WC siswi.
“Males!” Jawab Adi singkat.
“Mau gua temenin?”
“Enggak, makasih”
“Kok, enggak mau sih. Emangnya aku kurang apa sih dibanding Via?”
“Kurang kurus!”
“Huh, sebel!”
Dewi langsung berpaling dan meninggalkan Adi bersama dua kecoa yang sedari tadi mentertawakan Dewi. Tapi sayang, kedua kecoa itu harus berhenti ketawa untuk selamanya begitu sepasang kaki yang kokoh menginjak mereka.
“Hey, Di! ngapain bengong aja di depan WC” Tegur Dado, sang playboy sekolah yang barusan menginjak dua kecoa yang malang.
Adi tersenyum kecut. “Lagi jagain WC, biar enggak hilang”
“Ohh…” Raut muka Dado menampakkan kebingungan. “Gua kencing dulu, ya”
Adi mengangguk mempersilahkan.

****
“Halo?”
“Hey, Gi… apa kabar?”
“Firman, ya?”
“Iya, ini gua Firman”
“Hey, Man! Baik… gua baik-baik aja, elo gimana disana?”
“Baik juga! Gimana kabarnya Adi?”
“Aduh, gua enggak tau gimana ngejelasinnya nih sama elo”
“Kenapa emangnya?”
“Dia lagi marah sama gua, Man”
“Gara-gara apaan?”
“Via”
Melalui telepon, Egi lalu menceritakan semuanya pada Firman. Dan dari cerita yang berlangsung selama satu jam ini, Firman menangkap adanya sebuah kesedihan dalam diri Egi. Kesedihan karena telah terusiknya persahabatan yang sudah terjalin selama satu tahun setengah itu. Firman pun merasa prihatin mendengarnya.
“Ya udah, elo yang sabar aja ya!”
“Hhh…. Iya, ini memang udah jadi resiko gua,” Desis Egi lirih. “Ngomong-ngomong, gimana kabar keluarga elo?”
“Baik! kemarin kita semua abis pulang dari Los Angles”
“Ohya, ngapain disana?”
“Ninjau pabrik pengolahan tempe bongkrek Bokap gua. Ya… itung-itung sekalian refreshing”
“Ohhh…”

****















Sorry!


Kamar kost terlihat berantakan. Cucian baju dan piring sudah seminggu dibiarkan menumpuk. Adi, sang pemilik kelihatan hanya tidur-tiduran sambil menghisap rokok. Sesuatu yang belum pernah disentuh sebelumnya. Dan itu cukup membuat dia batuk-batuk gara-gara enggak kuat menghisap asap rokok.
Sudah sebulan peristiwa pengakuan itu terjadi. Tapi, Adi. Sampai sekarang dia belum juga bisa melupakan kejadian itu. Sebenarnya, dia pernah berniat bunuh diri. Tapi, enggak jadi. Dia ingat pesan ibunya yang memintanya jangan mati dulu sebelum membayar utang bapaknya kepada Juragan Asep sebesar lima juta yang digunakan untuk biaya sekolahnya selama ini.
“Gua sama Via pacaran!”
Kata-kata Egi masih terngiang ditelinganya. Adi bangkit dari tidurnya. Kesal. Dia benar-benar enggak nyangka. Kenapa Egi begitu tega menghancurkan cintanya. Padahal, sudah dia telah menganggap Egi sebagai sahabat sejatinya.
“Baiklah, kita putus! Aku minta maaf karena udah nyakitin kamu. Aku minta maaf karena udah mainin cinta kamu ”
Gantian, kata-kata Via terngiang ditelinganya. Entah mengapa, Adi belum juga bisa memaafkan Egi dan Via. Padahal, sudah sering kali keduanya menemui dia hanya untuk meminta maaf. Terakhir, Egi datang ke kost-annya membawa satu porsi jumbo karedok asli buatan Mak Icih dari Sumedang kesukaannya, tapi hatinya belum juga goyah.
“Tok…tok…tok!” Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
“Siapa?”
“Ini aku, Ida!”
Adi langsung beranjak membukakan pintu. Dia sadar, Ida tidak pantas ikut terseret dalam masalahnya dengan Via.“Ada apa, Da?”
“Di, kamu bisa temenin aku ke café Dodol enggak? aku lagi butuh temen nih”
“Emangnya Via kemana?”
“Ehm…. Dia lagi jalan sama Egi” Agak rikuh Ida mengatakannya. Dirinya takut kalau tiba-tiba Adi kalap dan menghujamkan pisau ke tubuhnya.
“Ohh… ya udah, aku ganti baju dulu”
“Fiuhh….!” Ida menghela napas panjang.

****
Setibanya di café Dodol, Adi dan Ida bertemu dengan Fais yang kali ini ditemani oleh dua cewek yang lagi-lagi kecantikannya berada dibawah standar yang ditetapkan oleh Komisi Kecantikan Indonesia.
“Oiy, Fais! Ganti lagi nih ceweknya, ada acara apaan?” Tanya Adi begitu mereka mendekat.
“Hey, elo Di! Biasa nih, lagi ngerayain kelahiran kambing gua!” (keren pake ada perayaan segala)
“Ohya? Selamat deh!”
Buru-buru Adi mengajak Ida pergi meninggalkan Fais dan kedua temen ceweknya sebelum Fais menawarkan hidangannya yang tergeletak diatas meja yang dikhawatirkan akan membuat mereka muntah-muntah dan akhirnya melenyapkan nafsu makan mereka
“Mau pesan apa, A?” Tanya seorang pelayan yang datang menghampiri setelah mereka duduk.
“Saya minta jus alpukat, ya! Jangan pake cuka!” Cetus Adi. “Kamu, Da?”
“Kalo saya, bajigur aja deh!” Pinta Ida.
“Makanannya, A?”
“Daging orok dikecapin!” Sahut Adi.
“…” Sang pelayan garuk-garuk kepala.
“Maaf, Kang…” Ida memberi isyarat kepada pelayan yang menandakan kalau Adi lagi agak kurang waras akibat benturan keras waktu tabrakan dengan seorang wanita gendut di depan café barusan. “Kupat tahu aja ya, Kang”
Buru-buru si pelayan mencatat pesanan dengan tangan gemetar dan angkat kaki dari hadapan Adi dan Ida.
“Da, boleh minta tolong enggak?”
“Boleh aja! Minta tolong apa?”
“Tolong ceritain semua yang kamu tau soal hubungan Via sama Egi” Tatapan Adi terlihat tajam. “Please, jujur sama aku”
“Jujur ayam, apa jujur kacang?”
“Itu bubur, Neng!”
Awalnya Ida enggak mau menceritakannya. Tapi setelah dijanjikan akan ditraktir es cendol kedoyanannya di warung Mang Udel, di depan Garut Plaza, akhirnya Ida mau juga bercerita. Cerita itu pun berlangsung selama tiga jam (kalah film bioskop!). Setelah itu dilanjutkan dengan curahan hati Ida tentang hubungannya dengan pacarnya yang baru saja berakhir lantaran cowoknya yang kini tinggal di Australia mengikuti orang tuanya yang bertugas sebagai duta besar PBB bidang pemberdayaan laki-laki (???) akan dikawinkan dengan putri dari teman baik Ayahnya.
Di tempat lain, Egi dan Via duduk berdua di tempat yang agak sepi, di tepi kolam pemancingan milik Ayah Egi yang terancam terkena gusuran oleh Pemda Garut yang berencana akan membangun tempat uji praktek SIM delman.
Egi memulai percakapan dengan mengatakan tempat ini pernah dijadikan tempat usaha bunuh diri seorang lelaki paruh baya yang putus asa karena penyakit panu-nya yang tak kunjung sembuh. Suatu hal yang dianggap aneh oleh Via, karena dia belum pernah tahu kalau ternyata panu bisa memicu orang bunuh diri.
“Gi, kenapa sih Adi belum juga bisa maafin kita?”
Egi melirik ke Via. “Aku juga enggak tau kenapa, tapi yang pasti kita harus terus berusaha untuk menyambung kembali persahabatan kita sama dia”
Usai lama membicarakan Adi, mereka pun kemudian larut dalam suasana romantis. Sambil terus menikmati suara air yang diciptakan oleh ikan-ikan yang gundah gulana memikirkan dimana mereka akan tinggal setelah penggusuran nanti, mereka terus mencoba merangkai kisah mereka yang hari ini.

****
Jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul 11.30. Adi kelihatan belum bisa tidur juga. Padahal, dia sudah mencoba untuk memejamkan mata sejak jam sembilan tadi. Dan sekarang sudah yang ke dua belas kalinya dia merokok. Sebuah rekor bagi perokok pemula.
Karena kesal, akhirnya Adi memutuskan pergi ke warnet. Sudah lama dia tidak membuka email-nya. Terakhir dia buka, dia dapat sepuluh email dari Fais yang isinya sepuluh macam menu makanan yang memakai bahan tumila dan satu gambar dirinya berpakaian bikini (wow!). Sebuah pemandangan yang menggugah hasrat orang untuk membanting komputer yang ada didepannya karena jijik.
Sesampainya di warnet, dia langsung menyambungkan diri dengan internet. Ada satu email baru masuk. Dia lalu mengecek inbox-nya. Tertulis nama Ida. Digerakannya mouse dengan perlahan. Lalu diklik.
Hi, Di… makasih ya udah mau nemenin aku tadi sore. terus terang, abis curhat sama kamu, aku jadi lega. Thanks, ya!
Adi enggak membalasnya. Dia lalu sign out dan menghubungkan dirinya dengan situs Google. Dia penasaran dengan kabar Anges Monikah, artis muda yang tengah naik daun yang dikabarkan berfoto telanjang di dunia maya. Setelah terhubung, Adi lalu mengetik tulisan Anges Monikah telanjang di mesin pencari.
“Wah, banyak juga nih!” Celetuk Adi melihat layar monitor. “Coba buka yang ini, ah!” Lanjutnya sambil mengarahkan pointer ke sebuah situs yang bertajuk “Foto vulgar Anges Monikah, situs biru Indonesia, artis berpose telanjang”
Tapi, yang didapat bukanlah seperti yang diinginkan. Adi enggak mendapatkan sama sekali gambar seperti yang tertulis di google. Yang ada hanyalah gambar Anges Monikah berbusana lengkap beserta anjing peliharaannya. Setelah membuka situ situ, barulah Adi tahu kalau sebenarnya yang telanjang itu anjing peliharaannya, bukan Anges Monikah seperti yang diberitakan orang-orang.

****
Sejak ajang curhat antara Adi dan Ida itu, mereka berdua kini terlihat sering jalan bareng. Dari mulai sekedar keliling kota Garut dengan resiko kaki gempor karena kebanyakan jalan kaki sampai berenang di sungai Cikandang yang arusnya cukup untuk merubuhkan sepuluh orang berbadan gendut sekaligus, mereka lakukan berdua. Namun, kegiatan ini tak pernah diketahui Via dan Egi. Dan kali ini mereka memilih duduk-duduk di tepi petakan sawah milik Pak Haji Holil, di Gandasari, pinggiran kota Garut. Ditemani sepasang burung yang berterbangan di atas hamparan padi yang mulai menguning. Sang mentari yang mulai menurunkan kepakan sayapnya di ufuk barat. Dan lima orang petani yang terpaku menatap mereka sambil berharap Adi dan Ida akan melakukan adegan panas seperti yang terjadi di film-film. Tapi, sayang. Adegan panas tidak dapat dilakukan karena matahari sudah tidak lagi berjaya dan kompor yang menyala tidak ada di antara sepasang anak muda itu.
“Adi….”
“Apa?”
“Mungkin ini kedengarannya konyol, tapi entah kenapa aku begitu merasa nyaman ada didekat kamu”
“….”
“Makasih ya, Di! kamu udah mau nemenin aku”
Mereka saling bertatapan. Saling senyum. Adi menangkap sesuatu yang beda dari tatapan Ida. Sesuatu yang enggak pernah dia lihat sebelumnya. Cinta. Ya, ada cinta didalam mata Ida. Dan itu cukup membuat jantungnya berdetak kencang. Adi mengalihkan pandangannya dan mendapati kelima petani yang sedari tadi menontonnya salah tingkah.
“Bapak-bapak! Tolong beri alasan ke saya, kenapa bapak-bapak merhatiin kami terus”
“Kalian duduk diatas pupuk kandang kami, Jang!”
“Pantesan dari tadi bau banget!”Adi menunduk ke bawah dan mendapati dua karung pupuk yang terbuat dari kotoran kambing berada dibawah pantatnya. “Pindah yuk, Da!”
Mereka berjalan berdua ke tepi sungai yang berjarak lima petak sawah dari tempat semula.
“Di…”
“Eh, liat deh monyet sekarang hebat ya, bisa ngegarap sawah” Adi mengalihkan pembicaraan.
“Adi… itu orang, bukan monyet!”

****
Minggu siang. Saat ini Egi sedang berada di tepi situ Cangkuang yang berada di kawasan Leles, Garut, menikmati pemandangan disekeliling situ sebelum menyeberang ke daratan di tengah situ yang merupakan tempat berdiamnya sebuah candi peninggalan sejarah. Mengapa Egi berada di tempat itu? Jelas saja untuk refreshing dan menghilangkan stress.
Setelah beberapa kali permintaan maafnya ditolak Adi, Egi berpikir jalinan persahabatannya dengan Adi telah berakhir. Dia seperti merasa kehilangan sebagian dari hidupnya. Baginya, Adi adalah sahabat terbaik yang pernah dia miliki. Selama ini hanya dengan Adi, dia berbagi susah dan senang, ibarat kata “Ringan sama dijinjing, berat elo yang mikul”. Dan kini, tali persahabatan mereka terusik oleh sebuah kata. Cinta. Egi jenuh. Dia butuh refreshing.
Egi menerawang ke atas. Di langit, nampak burung-burung berterbangan dengan riangnya dan tanpa ada perasaan bersalah membuang kotoran diatas kepala lelaki paruh baya yang sedang memancing di pinggir situ. Mereka saling berpasangan. Di sebelah timur, sang mentari yang baru beberapa jam menampakkan dirinya seolah tersenyum dengan bangga, seperti ingin menyampaikan pesan kalau dia akan membuat bumi ini menggeliat kepanasan karena sinarnya. Satu sikap yang egois.
“Egi..!” Terdengar suara dibelakang Egi.
Egi enggak menyahut. Dia terlalu larut dalam lamunannya.
“Egi..!” Kembali suara terdengar di belakang Egi.
Lagi-lagi Egi enggak menyahut.
“EGI I I….!”
Egi yang terkejut langsung memamerkan jurus Cimande ajaran kakeknya. Sontak saja aksi itu jadi tontonan gratis orang-orang yang berada disekitar situ. Ada yang berdecak kagum melihat kepiawaian Egi. Ada yang mengelus dada dengan penuh rasa iba sambil berdoa semoga Egi kembali ke jalan yang benar (…). Ada juga yang diam saja nahan sembelit.
Egi baru berhenti ketika matanya menangkap sosok Adi yang menampakkan wajah bloon. Satu ciri khas Adi yang sering dia tampilkan ketikan melihat sesuatu yang menurutnya enggak logis dan aneh. Ciri khas yang telah menjatuhkan nama baik pelajar sebagai calon kaum intelektual muda.
“Ada apa, Di? apa gua ngelakuin kesalahan lagi?”
“Enggak… elo enggak ngelakuin kesalahan apa-apa sama gua” Adi menggeleng. “Justru gualah yang udah bersalah sama elo”
“Maksud elo?”
“Hhh….. gua udah denger semuanya dari Ida. Sekarang gua sadar, kalo ternyata elo begitu ngejaga persahabatan kita. Dan gua kini lebih mahamin kalo cinta enggak bisa dipaksain. Thanks, ya!”
“Apa itu berarti elo maafin gua sama Via?”
“He-em” Adi mengangguk. “Maafin gua juga, ya”
Mereka lalu melakukan ritual yang seringkali dilakukan para teletubbies, yakni “berpelukan”. Sebuah pemandangan yang cukup membuat para wanita disekitar situ terharu dan para lelaki meringis penuh rasa jijik.

****
Keesokan harinya, di café Dodol. Egi, Adi, Via, dan Fais, sosok makhluk yang tak diinginkan kehadirannya berkumpul untuk merayakan kebersamaan mereka kembali. Kecuali Fais, dia enggak masuk dalam hitungan.
“Via, kamu makan apa?” Tanya Egi lembut.
“Roti bakar aja deh”
“Elo, Di?”
“Ehm… biasa, peuyem!”
“Kang…Kang!” Egi memanggil pelayan yang lagi serius menjelaskan kepada seorang pelanggan bahwa dalam pembuatan onde-onde, mereka enggak nempelin wijen satu persatu karena itu akan memakan waktu yang sangat lama.
“Ada apa, A?” Tanya sang pelayan begitu mendekat.
“Kami pesan ini, ya…” Egi menunjuk pesanan mereka yang tertera dalam daftar menu.
“Gua enggak elo tanya mau makan apa, Gi?” Cetus Fais.
“Ohya, gua lupa! Elo mau makan apa?”
“Gua….”
“Nasi goreng!” Potong Adi menebak.
“Bukan, I…”
“Indomie pake telor!”
“Bukan,.”
“Irisan hati ayam”
“Ya, waktu anda habis! nilai anda dikurangi. Jawaban yang benar adalah Ikan bakar” Fais bergaya seperti Helki Paya, pembawa acara kuis Siapa Gak Berani.
“….”
Fais berpaling ke pintu masuk. Terlihat Leli, pujaan hatinya. Fais terdiam takjub menatap bodi Leli yang makin sedap dipandang. Kulitnya yang putih. Hidungnya yang mancung. Dan kepalanya yang bertanduk (???). sebuah pemandangan yang kontras dengan lelaki yang berjalan disampingnya yang kelihatan sudah tinggal menunggu panggilan Yang Maha Kuasa.
“Via, ada primadona sekolah tuh” Kata Adi setengah berbisik.
Via tersenyum kecut melihat Leli. “Mau ngapain dia kesini? Eh, disebelahnya itu siapa, ya?”
“Temen-temen, gua kesana dulu ya” Fais bangkit dari duduknya untuk menghampiri Leli.
“Oh, iya… iya! yang lama ya, jangan balik lagi kalo perlu”
Fais berjalan menuju meja Leli. Kini dia berada dihadapan gadis yang predikatnya sebagai primadona sekolah telah mengalami penurunan yang sangat drastis.
“Hai!”
Leli diam enggak membalas. Sorot matanya tajam menatap Fais seolah berkata, tolong jangan ganggu gua! Gua masih perawan, cantik, dan kaya, elo enggak pantes buat gua (ngaruh, ya?). Please, go to hell!.
“Maaf, Jang! Kami belum mau mesen, nanti aja balik lagi”
“…” Fais garuk-garuk kepala. Lalu kembali ke tempatnya.

****
Ini adalah yang kesekian kalinya Adi jalan dengan Ida. Tapi, kali ini kegiatan mereka telah diketahui Via dan Egi. Itu karena mereka telah tertangkap basah ketika sedang bermain congklak di Alun-alun (serius tuh?) dua hari yang lalu. Entah kenapa, hati Adi berdesir begitu hebat saat ini. Sesuatu yang enggak pernah dia rasakan sebelumnya. Jantungnya berdegup dengan kencang, mirip suara drum yang bertalu setiap pengumuman pemenang dalam acara pemilihan Putri Indonesia yang biasa diadakan setahun sekali.
“Adi, kamu kenapa? kok diam aja, sakit?”
“Ah, enggak…enggak kenapa-napa kok! Kita kesitu, yuk” Kata Adi menunjuk sebuah saung (gubuk) di pinggir sungai.
Mereka berjalan menuju saung yang ditunjuk Adi. Agak sulit untuk bisa sampai ke saung. Mereka harus melewati beberapa rintangan terlebih dahulu. Yang pertama, mereka harus berhadapan dengan lelaki tua yang memaki-maki mereka karena nasi timbel plus pete goreng miliknya terinjak sampai berantakan oleh mereka. Yang kedua, mereka harus dengan sabar berjalan dibelakang nini-nini (wanita tua) yang baru saja mengirim nasi timbel plus pete goreng untuk makan siang lelaki tua barusan.
Dan yang terakhir, yang merupakan babak bonus (ini kuis, apa cerita sih?), mereka harus rela untuk menceburkan diri diri mereka ke sawah yang becek ketika nini-nini yang berjalan sangat lambat didepan mereka berbalik arah dan kembali menemui lelaki tua yang tadi memaki mereka untuk mengambil kacamatanya yang ketinggalan.
“AAARRRGGGHHH… SIAH! KALO BUKAN NINI-NINI, GUA CEKEK LOGOR (longgar), SIA!”
Setelah satu jam bergulat dengan rintangan, mereka pun sampai di saung. Di dalam saung, mereka saling bertukar cerita. Memunguti kembali serpihan kenangan yang hilang. Adi bercerita tentang perjalanan persahabatannya dengan Egi dan Firman. Satu perjalanan dimana dia harus menghadapi cemoohan-cemoohan orang yang menganggap mereka sebagai trio homo, hingga akhirnya datang Via yang secara enggak langsung telah membebaskan mereka dari image buruk itu. Begitu juga dengan Ida. Kepada Adi, dia bercerita tentang perjalanannya dalam mencari cinta setelah ditinggal kawin pacarnya. Tapi, Ida tidak bercerita kalau sebenarnya dia sudah mendapatkan cintanya. Disini. Dihadapannya.
“Ida…”
“Iya…”
“Boleh enggak aku ngomong jujur sama kamu?”Tanya Adi rikuh.
“Boleh aja! Kamu mau ngomong apa?”
“Sebenarnya ini terlalu cepat. Tapi, aku harus ngomong sama kamu…”
Adi kemudian terdiam sejenak.
“Aku….aku cinta kamu, Da!” Sambungnya.
Ida terpaku menatap Adi. Dia enggak nyangka cintanya ternyata berbalas..
“Sebenarnya aku ngerasain ini udah lama, tapi aku masih ragu apa benar aku cinta kamu?. Dan baru sekarang aku yakin kalo yang aku rasain itu adalah cinta…”Adi menghela napas panjang. Merasa lega karena akhirnya perasaan yang selama tiga minggu ini menggelayuti setiap langkahnya.
“Adi, apa kamu benar-benar mencintaiku?”
Adi mengangguk pelan.
Ida tersenyum bahagia. “Kalo gitu, aku bakalan nyesel banget kalo aku sampai nyia-nyian cinta kamu”
“Apa itu artinya kamu mau jadi pacar aku?”
“Iya, aku mau!”


****



















Friendship Forever


Egi dan Adi bersama lagi, yang dalam hal ini Firman enggak masuk hitungan karena dia berada di belahan bumi yang lain. Via dan Ida tersenyum bahagia menyaksikan persahabatan mereka yang telah terjalin kembali. Dan mereka kembali melakukan hal yang sama. Nongkrong di café Dodol. Kongkow-kongkow di depan perpustakaan. Ngomongi Fais yang sampai detik ini belum juga menghilangkan kebiasaannya makan tumila dalam berbagai jenis masakan. Ngegosipin Dewi yang masih PD dengan filosofi “Big Is Beautiful”nya. Dunia mereka kembali berputar. Burung-burung kembali berterbangan sambil enggak lupa sesekali buang kotoran di atas kepala orang dan Matahari masih saja angkuh dengan sinarnya yang terang benderang.
Bagi mereka sudah jelas. Friendship is everything. Mereka sama-sama berjanji akan selalu menjaga persahabatan mereka untuk selamanya. Persahabatan adalah sumber kekuatan mereka. Sumber kekuatan dalam menjalani setiap rintangan hidup yang ada. Sumber kekuatan yang mampu membangkitkan semangat hidup mereka. Dan hanya dalam persahabatanlah, mereka dapat menemukan cinta sejati. Cinta yang tulus. Cinta yang begitu hebat.
“Pura-pura enggak ngeliat…. Pura-pura enggak ngeliat!” Bisik Adi begitu melihat Fais, makhluk hina yang diragukan jenisnya itu datang.
“Hey, temen-temen! Gua boleh ikut nimbrung enggak”
“ENGGAKKK!”


****

THE END