Kamis, 09 Agustus 2007

AYAM KAMPUS (CERPEN)

AYAM KAMPUS
Oleh : Rachmat Nugraha

Malam itu, keringat mengucur deras membasahi tubuh kami. Deru nafas terdengar begitu hebat. Berpacu memburu nafsu. Kami sama-sama tenggelam dalam kenikmatan birahi.
“Kang, peluk aku lebih erat” Desah Imas.
Dengan penuh kelembutan, kupeluk tubuh sintal itu erat-erat. Sambil terus berjuang untuk mencapai titik puncak, aku telusuri setiap jengkal manis wajahnya dengan bibirku.
“Kang, cepetan! Aku udah enggak tahan….. Aku lapar nih”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dimana aku berada dalam sebuah ruangan yang sempit. Ruang kerjaku. Didepanku, Rani sudah menampakkan raut wajah kelaparan.
“Cepetan dong!” Rengeknya manja.
“Iya… iya! sebentar lagi juga selesai” Kataku sambil melanjutkan kembali catatan hasil liputan yang sempat terhenti akibat lamunan tadi.
Aku adalah lelaki tulen, produktif, dan bertubuh kekar (Penting?). Aku bekerja di sebuah majalah Lifestyle sebagai reporter. Rani adalah kekasihku yang sudah hampir 2 tahun ini mewarnai setiap hari-hariku. Dia berprofesi sebagai accounting si sebuah perusahaan swasta di Jalan Ahmad Yani, Garut kota. Sudah satu jam dia menungguku menyelesaikan ketikan hasil liputanku.
Dan Imas, gadis yang barusan memasuki setiap jengkal pikiranku. Dia adalah seorang mahasiswi di Universitas Tanah Kuring yang berprofesi ganda sebagai ayam kampus (You knowlah!). Aku mengenalnya ketika sedang melakukan liputan tentang lika-liku kehidupan ayam kampus di Garut. Orangnya begitu terbuka dalam hal apapun. Termasuk untuk urusan “itu”. Dia amat terbuka. Dan yang pasti, senyumnya itu lho! Sangat menggoda. Baik birahi, maupun isi dompet. Tapi sayang, adegan“panas” itu hanya ada dalam ruang anganku saja. Karena, aku bukanlah tipe lelaki yang suka mengorbankan cinta demi nafsu sesaat.
Pikiranku kembali melayang pada pertemuan dengan Imas semalam. Waktu itu, jam menunjukkan pukul 12 malam saat aku tiba Labuan, sebuah diskotik ternama di Garut. Seorang wanita cantik datang menghampiriku.
“Puenten, Kang! Akang yang namanya Dadan, kan?” Sapa wanita bertubuh sintal itu.
Aku mengangguk mengiyakan. Dan ketika dia menggandeng tanganku, mengajakku memasuki ruangan yang dipenuhi dengan lampu warna-warni yang kelap-kelip disetiap sudut ruangan, aku menurut saja.
“Silahkan duduk, Kang”
“Makasih” Aku langsung menjatuhkan pantatku di sofa empuk.
Setelah memesan minuman,
kami pun ngobrol. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata wanita cantik yang bernama Imas itu adalah mahasiswi Universitas Tanah Kuring yang dijanjikan oleh Rajib untuk menemuiku. Sangat menggoda. Itulah kesan pertama yang kudapat. Dan yang pasti, dihadapan Imas aku tidak mengaku sebagai wartawan. Aku takut tidak akan mendapatkan informasi yang aku perlukan untuk liputanku.
“Akang berani bayar berapa?”
“Satu juta!” Jawabku.
“Kurang atuh, Kang! Kalo segitu sih cuma buat short time” Desisnya sembari mengelus pipiku.
“Terus, berapa?”
“Satu setengah!”
“Setuju!”
“Ya udah, kalo gitu sekarang kita…..ke warung”
“???” Lagi-lagi aku kembali ke alam sadar.
“A! Aa dengerin Rani enggak, sih?”
“Iya, Aa dengar!”

****
Malam ini, aku kembali menemui Imas guna menyelesaikan tugas liputanku. Dan kali ini, kecanggungan yang kemarin terasa sudah mulai lenyap.
“Akang mau long time lagi?”
Aku mengangguk.
“Tapi Kang, kali ini Imas dicicipi kek! Masa Imas cuma diajak ngobrol kayak kemarin sih?!”
Aku tersenyum datar. Aku?! bercinta dengan wanita yang memberikan kehormatannya untuk kepentingan umum?!. It’s possible, you know!
“Ngomong-ngomong kita kemana, Kang?”
“Kita ke Cipanas, yuk!”
Tanpa basa-basi lagi, Imas langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar diskotik dan pergi menuju Cipanas.
Sepanjang perjalanan, kami banyak ngobrol. Mulai dari asal muasal dia bisa terjerumus ke lembah hitam, sampai bagaimana dia pernah mencoba berjuang dengan keras untuk dapat meninggalkan dunia malam yang telah menjauhkannya dari kehidupan normal yang sangat didambakannya.
Sungguh, pemandangan yang indah sekaligus mengharukan ketika melihatnya menangis. Indah, karena wajah cantiknya tetap memancarkan pesona yang luar biasa meski sedang menangis. Mengharukan, karena aku tidak mengira jika dibalik kebinalannya tersimpan keinginan untuk melepaskan diri dari jerat kenistaan.
“Terus, kenapa kamu menyerah?”
“Nanggung, Kang! Sudah basah, lebih baik nyelam sekalian”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Kalau saja aku belum memiliki Rani, mungkin aku akan menjadikan Imas istriku sehingga dia dapat keluar dari lembah nista ini.

****
“A, kamu mau kemana lagi malam-malam begini?” Suara Rani terdengar datar di ujung telepon. Dia BT
“Ee...ee... Anu.... Aa mau cari berita” (Bohong)
“Lho, bukannya Aa libur?!”
“Tadinya, tapi Aa harus gantiin Fahmi”
Akhirnya setelah dua jam usaha meyakinkan Rani berhasil juga. Dan itu semua aku lakukan hanya demi Imas. Ya, aku bertekad akan mengembalikan dia ke kehidupannya yang dulu. Demi rasa kemanusiaanku yang selama ini seringkali aku abaikan.

****
Tepat pukul 11 malam aku tiba di diskotik Labuan. Kulihat Imas tengah duduk berdiri di dekat pintu masuk. Menunggu para pria hidung belang yang ingin mencicipi kehangatan tubuhnya. Tonight, she’s look more beautiful.
“Akang!” Imas melirik ke arahku.
Bergegas dia meng-hampiriku dan mengajakku duduk.
“Kok enggak ngomong-ngomong mau datang?”
“Maklum, dadakan”
Aku langsung ajak dia keluar diskotik, dengan sedikit uang pelicin untuk sang germo tentunya.
Semalaman aku banyak ngobrol dengannya dan kali dia tidak lagi memaksaku untuk menikmati tubuhnya.
Aku terus membujuknya untuk meninggalkan kehidupannya yang kelam dan kembali seperti wanita lainnya yang memiliki kehidupan normal.
“Gimana, kamu mau enggak ninggalin semua ini?”
“Tapi aku enggak punya keahlian apa-apa untuk membiayai hidupku”
“Enggak usah takut, aku akan carikan kamu kerjaan”
Imas memandangku dengan senyum. “Beneran, Kang?”
Aku menggangguk.

****
Hari ini aku kembali menemui Imas dan kali ini bukan di diskotik, tempat biasa dia menghabiskan malamnya. Melainkan di alun-alun kota Garut.
Dia sudah bertekad untuk meninggalkan dunia hitamnya dan meminta bantuanku untuk melarikan diri dari genggaman sang germo.
“Sudah siap?” Tanyaku begitu bertemu Imas.
Imas mengangguk.
Kami kemudian bergegas meninggalkan alun-alun dan pergi menuju Bandung.
“Nanti kamu aku titipin sama Lina. Dia temen kuliahku dan dia bersedia bantu kamu”

****
Jam 1 siang aku sampai di rumah Lina di daerah Cicadas.
Lina yang memang sudah mengetahui kedatangan kami langsung menyambut di depan rumah.
“Hallo, Dan! Apa kabar?” Sapa Lina sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Baik! Makasih ya sudah mau bantu” Balasku sedikit basa-basi. “Ohya, kenalin, ini Imas”
Setelah mereka berkenalan, kami lalu diajak masuk oleh Lina ke dalam rumah. Cukup lama kami ngobrol, hingga akhirnya aku pamit karena aku harus sudah berada lagi di Garut pukul 7 malam.
“Lin, aku titip sama kamu ya”
Lina mengangguk tersenyum.
“Nah, Imas! Kamu baik-baik ya di sini”
“Ya, Kang! Makasih ya”
Aku lalu pergi meninggalkan rumah Lina. Meninggalkan Imas dengan harapan-harapan barunya.

****
Dua bulan berlalu. Hari ini aku menerima surat dari Imas. Dia mengatakan bahwa kini dia sudah bekerja di perusahaan Lina dan berangsur kehidupannya kian membaik. Bahkan, dia sudah tidak lagi tinggal menumpang bersama Lina. Dia mengontrak rumah petak tidak jauh dari rumah Lina dan dia sepertinya lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang.
“Derrrrrt.....derrrrrrt” Getar handphone mengusikku.
“Hallo”
“Aa, kok ngangkatnya lama banget sih?!” Terdengar suara Rani di ujung telepon. “Cepetan, katanya mau jemput!”
“Iya....ya! Aa berangkat sekarang”

--Tamat--

MULTI PARTAI DAN NKRI

Partai politik, secara arti sempit merupakan alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Untuk sampai kepada hal itu, jalan yang harus dilalui adalah melalui mekanisme pemilu. Dalam pemilu terjadi perebutan kekuasaan secara demokratis. Siapa yang menang dalam pemilu, berarti mendapat mandat dari rakyat dan berhak memerintah atau berkuasa.
Di Indonesia, partai politik sudah ada sejak jaman pergerakan. Namun, secara formal tumbuh sejak Indonesia merdeka, takkala pemerintah mengeluarkan maklumat No. X Tahun 1945. Semenjak itu, partai-partai politik berdiri. Partai-parati politik yang muncul banyak berlatar belakang aliran dan ideologi, seperti Masyumi, NU, PKI, PNI, dan PSI.
Pada jaman demokrasi parlementer, partai-partai politik memainkan peranan yang cukup signifikan. Partai-partai politik lah yang menentukan arah dan dinamika kehidupan politik Indonesia. Peran ini dilakukan melalui parlemen yang merupakan pusat kekuasaan.
Memasuki demokrasi terpimpin, partai-partai politik yang ada dipangkas. Demokrasi terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat di tangan presiden, yakni Soekarno. Partai-partai politik tidak berfungsi, bahkan jumlahnya dikurangi dari 28 partai politik menjadi 10 partai politik, yaitu PNI, PKI, NU, Perti, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Murba, dan Partindo. DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk DPR-GR yang anggotanya diangkat oleh Presiden Soekarno. Dengan gambaran seperti ini, maka demokrasi tidak ada lagi. Yang ada hanya tinggal “terpimpinnya”(Lili Romli ; 2002).
Saat Orde Lama jatuh dan digantikan dengan Orde Baru, ada harapan akan kebangkitan partai politik seperti masa demokrasi terpimpin. Namun, ternyata harapan itu hanyalah tinggal harapan. Yang terjadi justru terjadi reorganisasi dan refungsionalisasi, baik pada tingkat suprastruktur dan infrastruktur politik. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan stabilitas politik sebagai landasan terlaksananya pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru, stabilitas politik merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan.
Orde baru melihat bahwa biang kekacauan yang mengganggu stabilitas politik adalah partai-partai politik. Hal ini berdasarkan pengalaman pada jaman demokrasi parlementer dimana seringkali terjadi pergantian kabinet di tubuh pemerintah akibat ulah partai-partai politik. Sehubungan dengan itu, Orde Baru melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Kesembilan partai politik yang ada (Parmusi, NU, PSII, Perti, PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba) dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu kelompok materiil-sprituil yang terdiri dari PNI, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, dan Murba yang kemudian bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok spiritual-materiil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan. Selain itu, pemerintah mendirikan Golkar sebagai wadah pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kondisi yang demikian jelas menguntungkan Golkar sebagai partai pemerintah. Makanya, tak heran jika pemilu pada masa Orde Baru selalu dimenangkan Golkar. Akibatnya, lahirlah sistem kepartaian yang hegemonik. Sistem partai hegemonik berada diantara partai dominan dan sistem satu partai. Dalam sistem ini, eksistensi partai-partai diakui, namun peranannya dibuat seminimal mungkin, terutama dalam pembentukan opini publik.
Barulah pada masa reformasi, sistem multi partai kembali muncul dengan kian menjamurnya partai-partai politik baru sebagai wujud ketidakpuasan atas system kepartaian yang diterapkan selama 32 tahun dibawah kekuasaan Orde Baru.
Namun, kenyataannya partai-partai politik yang lahir pada masa reformasi yang keberadaanya bisa sekarang ini berkat perjuangan mahasiswa ternyata tidak lebih baik dari partai-partai produk Orde Baru. Saat ini, yang terlihat justru sikap mengekslusifkan diri dari partai-partai politik dan bersikap tidak peduli terhadap aspirasi rakyat dan juga agenda reformasi.
Selain itu, para elit partai semakin terlihat asyik dengan kepentingan pribadi masing-masing dan kelompoknya guna memperebutkan kekuasaan yang pada prosesnya tidak jarang menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.
Hal tersebut jelas akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena, ketika konflik tersebut tidak mampu diredam, maka yang terjadi adalah semakin meluasnya bibit-bibit perpecahan ditengah masyarakat sebagai akibat dari ketidaksensitifan partai politik.
Seharusnya partai politik melek mata melihat keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Partai politik harus sadar untuk tidak terlalu sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus lebih peka atas fenomena yang terjadi di masyarakat terutama mengenai kesejahteraan rakyat.
Karena jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan bukan tidak mustahil bangsa ini akan mengalami perpecahan yang lebih dahsyat lagi.
Seluruh elit partai harus menyadari keterpurukan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia dan tidak lagi terpaku pada masalah perebutan kekuasaan. Toh lagipula kehidupan mereka itu kan sudah sangat beruntung jika kita bandingkan dengan kondisi rakyat yang sampai saat ini masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan.

PERANAN PEMUDA DALAM PENGEMBANGAN HAM DI INDONESIA

Hak asasi manusia adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. Dalam Deklarasi Wina (1993) bahkan disebutkan adalah kewajiban negara untuk menegakkan HAM dan menganjurkan pemerintah untuk menegakkan standar-standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen HAM internasional ke dalam hukum nasional. Proses mengadopsi dan menetapkan pemberlakuan instrumen HAM inilah yang disebut sebagai ratifikasi.
Di Indonesia sendiri, pemenuhan hak asasi juga merupakan amanat konstitusi yang harus ditunaikan oleh negara. Amanat luhur tersebut tertuang dengan jelas pada UUD 1945. Disamping itu, hak asasi juga lebih spesifik dinyatakan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kenyataan di Indonesia, pemenuhan atas hak asasi ternyata masih jauh panggang dari api. Ini terbukti dengan masih banyaknya warga negara yang belum mendapatkan penghidupan yang layak, pengangguran yang kian meningkat, jaminan kesehatan yang masih buruk, kebebasan berekspresi yang masih terbatas, dan masih banyak yang belum mendapatkan pendidikan yang layak, atau bahkan tidak sama sekali dapat merasakan bangku pendidikan. Bahkan, angka pelanggaran HAM justru meningkat.
Hal tersebut dapat kita lihat dari belum dituntaskannya kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei, penculikan Aktivis, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus pembunuhan Munir, dan banyak lagi kasus pelanggaran HAM yang tak terselesaikan.
Ini membuktikan bahwa pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang belum mampu menegakkan HAM di Indonesia. Pemerintah seperti enggan menjalankan kewajibannya dalam upaya pemenuhan atas hak asasi di bumi nusantara ini.
Begitu juga dengan DPR, sebagai lembaga perwakilan rakyat justru menambah sakit hati masyarakat dengan tindak- tanduknya yang lebih mementingkan kepentingan kelompoknya.
Padahal, para wakil rakyat yang katanya terhormat itu seharusnya menyadari keterpurukan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia yang salah satunya karena tidak adanya upaya penegakkan HAM di negeri ini.
Bukankah tugas para anggota parlemen itu adalah memperjuangkan kepentingan rakyat? Lantas kenapa DPR yang katanya merupakan pembawa aspirasi rakyat mengotori tugas mulianya sebagai wakil rakyat dengan perilakunya yang tidak menghiraukan rasa keadilan rakyat.
Di samping itu dan yang paling penting adalah peran pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Kaum muda terlihat sangat minim dalam memainkan perannya sebagai pewaris negeri dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, khususnya pengembangan HAM di Indonesia.
Hingga kini, kaum pemuda masih terjebak dalam kungkungan hedonisme, matrealisme, dan konsumtifisme. Mereka seperti tertutup kesadarannya sehingga membuat mereka kurang sensitif terhadap permasalahan bangsa.
Seharusnya, dengan kondisi yang demikian peran pemuda sangat dibutuhkan. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus mampu menjadi garda terdepan upaya menegakkan HAM di Indonesia. Pemuda sebagai pewaris negeri harus dapat menjadi motor penggerak penegakkan HAM agar seluruh warga negara mendapatkan haknya. Dalam hal ini, keberpihakan pemuda pada rakyat harus dipertegas karena ini menyangkut masa depan bangsa.
Sudah saatnya pemuda melek mata melihat keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Karena apapun alasannya, tidak dibenarkan bagi pemuda untuk membiarkan segala bentuk pelanggaran HAM yang mengorbankan rakyat. Jangan sampai ada lagi keberpihakan pemerintah terhadap kalangan pengusaha/ konglomerat dan pihak asing tanpa ada political will yang mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia tersisihkan hak-haknya.
Dan yang terpenting, jangan lagi pemuda harus terus menerus digugah dan diingatkan untuk tidak terlalu sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus lebih peka atas fenomena yang terjadi di masyarakat terutama mengenai penegakkan HAM. Karena jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan bukan tidak mustahil bangsa ini akan terus terjerumus dalam jurang kehancuran.

MINAT BACA DI INDONESIA

Kurangnya kesadaran remaja di Indonesia akan pentingnya sebuah buku bukanlah faktor utama minat baca generasi muda kita rendah.
Ada hal-hal lain yang sangat mempengaruhi minat baca remaja. Salah satunya koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah yang kurang up to date. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman pengelola pendidikan akan arti penting dari sebuah perpustakaan.
Tak heran, ketika siswa datang ke perpustakaan untuk mencari buku terkadang mendapat jawaban, “Maaf, buku yang anda cari tidak ada”.
Tak perlu susah-susah untuk menebak imej perpustakaan dlaam benak umumunya orang Indonesia. Yang terbayangkan adalah kesan sumpek, tidak terawat, sepi, dan membosankan..
Sudah begitu, imej perpustakaan kian buruk karena pelayanan yang tidak professional disebabkan untuk pengelolaannya diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya.
Disamping itu, kurangnya produktivitas penulis untuk membuat buku. Bayangkan saja, seorang penulis di Indonesia dalam setahun paling-paling hanya mampu menerbitkan karyanya sekitar 1 – 3 judul.
Hal ini disebabkan, pertama, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar menulis. Kita cukup tahu, di Indonesia, pekerjaan menulis masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan dan belum bisa menjamin hidup seseorang secara ekonomi. Sebab, belum tentu bukunya laku. Dari setiap eksemplar buku yang terjual, penulis hanya mendapat 10 persen saja. Itu pun kalau penerbitnya jujur dan memenuhi hak penulis.
Kedua, minimnya kemampuan penerbit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerbit di Indonesia selalu terbentur dengan masalah ongkos produksi yang sangat besar, seperti harga kertas dan tinta yang kian menggila, media promosi yang cukup besar, hingga bayar honor penulis, editor, layout, dan pajak. Sedangkan, jika mereka mematok
harga tinggi akan mem- persulit masyarakat untuk mendapatkan buku. Dikarenakan kondisi ekonomi masyarakat yang masih belum stabil benar sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sembilan tahun yang lalu.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan minat baca di Indonesia, harus ada komitmen dari seluruh pihak.
Pertama, pengelola pendidikan harus meng- up to date buku-buku di perpustakaan, membuat nyaman pengujung, dan mengisi dengan orang-orang yang mengerti bagaimana cara mengelola perpustakaan dengan benar.

TEKNIK LOBI DAN NEGOSIASI

Menurut Stephen Robbins dalam bukunya “ Organizational Behavior” ( 2001), negosiasi adalah proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut. Sedang dalam komunikasi bisnis, negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan.
Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala :
Kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan.
Terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak.
Keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain.
Kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ? Menurut Arbono Lasmahadi (2005), upaya negosiasi tidak diperlukan manakala :
1. Persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak,
2. Salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain.
3. Negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi.
Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain :
Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi?
Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan?
Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan?
Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :
BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement) , yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan.
Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi.
ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.
Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan.

Strategi Dalam Bernegosiasi
Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut :
1. Win-win. Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation.
2. Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
3. Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
4. Lose-win. Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka.

Taktik Dalam Negosiasi
Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator.
Membuat agenda. Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan.
Bluffing. Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar.
Membuat tenggat waktu (deadline). Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan.
Good Guy Bad Guy .Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat’ dan “baik” pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
The art of ConcesiĆ³n .Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi .
Intimidasi. Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak.

Perangkap Dalam Negosiasi
Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya “The Mind and the Heart of Negotiation”, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama , yaitu :
Leaving money on table (dikenal juga sebagai “lose-lose” negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan “win-win” solution.
Setting for too little ( atau dikenal sebagai “kutukan bagi si pemenang”), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh.
Meninggalkan meja perundingan , yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan.
Setting for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain.

Proses Negosiasi
Berikut proses negosiasi :
Persiapan
Memulai
Langkah strategis
Diskusi dan komunikasi
Melakukan pengukuran : a. Diri
b. Lawan
c. Situasi
d. Pengembangan strategi
Penutup dan kesepakatan
Pasca kesepakatan

SISTEM PERS DI DUNIA

Pandangan hidup suatu bangsa akan mempengaruhi hubungan sosial masyarakatnya yang akan membentuk sistem kemasyarakatan, secara makro dapat dikatakan bahwa pandangan hidup, falsafah atau ideologi suatu bangsa akan menentukan sistem ketatanegaraan.
Terkait dengan masyarakat pers, hampir setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri, sesuai dengan kebudayaan, ideologi, dan struktur masyarakatnya. Namun, pada umumnya sistem pers yang dibentuk berguna untuk dijadikan acuan dalam tugas dan fungsi pers sebagai alat perjuangan dan pembangunan, penerangan, hiburan, kontrol sosial, sekaligus sebagai penyalur dan pembentuk pendapat umum.
Menurut William A. Hachten (dalam bukunya yang berjudul “The World News Prism” Tahun 1981), ada lima sistem pers yang berlaku di dunia, yakni :
Pers Otoriter
Pers Liberal
Pers Komunis
Pers Revolusioner
Pers Pembangunan (disebut juga Pers dunia ketiga)
Sementara itu, Fred. S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schram dalam karangannya yang berjudul “Four Theories of The Pers” (1965) menyebutkan bahwa ada empat konsep atau teori pers yang berlaku di dunia, yakni :
Otoritarian (akhir renaissance) dengan ciri-cirinya :
Kebenaran dari lingkaran pusat kekuasaan.
Pers milik kantor kerajaan.
Pers swasta ada hanya dengan ijin khusus.
Bertanggung jawab kepada raja atau Negara.
Libertarian dengan ciri-cirinya :
Kebenaran milik massa, berdasarkan pilihannya atas beberapa alternative. Tidak mutlak dari Negara.
Pers sebagai mitra mencari kebenaran. Bukan instrumen penguasa.
Media massa sebagai pasar ide dan pendapat.
Tanggung jawab sosial (social responsibility) :
Kebenaran adalah alternatif yang dimunculkan/sindikat media massa.
Siapa, fakta bagaimana, versi bagaimana yang disajikan ditentukan oelh pemilik media.
Invasi seseorang tidak dilayani demi perlindungan hak umum.
Totalitarian :
Berkembang di negara Komunis, Nazi, dan Italia Fasis.
Aspirasi yang disiarkan bersumber dari anggota partai yang loyal.
Media massa milik Negara dan kegiatannya dikontrol dengan ketat.
Kritik terhadap tujuan partai dilarang.
Memberikan support terhadap usaha-usaha partai.
Mungkin banyak lagi pendapat dan pandangan para pakar komunikasi dapat memberikan pandangan dan pendapatnya tentang penggolongan sistem pers tersebut. Namun dalam makalah ini, kita akan hanya akan membicarakan tentang sistem pers yang banyak berlaku di Negara-negara di dunia, yakni sistem pers otoriter, sistem pers liberal, sistem pers komunis, dan sistem pers pancasila yang berlaku di Indonesia

Sistem pers otoriter
Sistem ini hampir secara otomatis digunakan di semua negara ketika masyarakat mulai mengenal surat kabar sebagai wahana komunikasi. Sistem pers otoriter telah berhasil selama dua ratus tahun membentuk dasar khusus dalam menentukan fungsi dan hubungan pers dengan masyarakat. Penggunaan sistem ini tidak terbatas pada abad 15 hingga 17 saja, tetapi berlanjut sampai abad modern seperti negara Jepang, Rusia, Jerman, Spanyol, dan beberapa Negara di Asia dan Amerika Selatan.
Dalam sistem pers otoriter, setiap teori tentang hubungan komunikasi yang terorganisasi dimana pers menjadi bagiannya akan ditentukan oleh asumsi dasar filosofis dasar tentang manusia dan negara sebagai berikut.
Hakikat manusia : manusia dapat mencapai potensi sepenuhnya hanya apabila manusia itu menjadi anggota masyarakat. Manusia sebagai individu bidang kegiatannya terbatas.
Hakikat masyarakat : manusia sebagai anggota masyarakat atau kelompok yang terorganisasi akan mampu mencapai tujuan hidupnya, bahkan tak terukur. Dengan asumsi ini, maka kelompok lebih penting daripada perseorangan karena hanya melalui kelompoklah tujuan perseorangan dapat tercapai.
Hakikat negara : negara adalah ekspresi tertinggi dari organisasi kelompok manusia, mengungguli perseorangan dalam segala skala nilai. Tanpa negara orang perseorangan tidak sanggup mengembangkan atribut-atribut manusia yang berbudaya. Ketergantungan perseorangan terhadap negara dalam mencapai dan mengembangkan peradaban muncul sebagai formula umum dari sistem otoriter. Asumsi ini menjadi asumsi dasar tentang hakikat negara.
Hakikat kebenaran dan pengetahuan : pengetahuan dapat ditemukan melalui usaha mental. Kemampuan dalam menggunakan proses mental untuk mendorong munculnya proses itu sangat berbeda. Karena adanya perbedaan ini, maka manusia juga harus dibedakan tempatnya dalam struktur masyarakat. Orang-orang bijaksana yang mempunyai kesanggupan menganalisis dan menyimpulkan masalah harus menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat yang terorganisasi. Atau, apabila tidak menjadi pemimpin maka setidaknya harus menjadi penasihat bagi pemimpin-pemimpin masyarakat. Pengetahuan yang tidak diilhami tuntutan ketuhanan didapat melalui negara untuk kebaikan semua orang. Dengan demikian maka pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan dan dapat dijadikan panutan semua anggota masyarakat yang membutuhkan rumusan absolut.
Memang, sistem otoriter ini lahir lebih awal dibanding sistem pers lainnya. Namun, walau begitu hingga sekarang sisa-sisa teori ini belum hilang dan masih dapat dilihat pelaksanaannya di beberapa negara. Karena menurut negara penganut sistem ini, media massa harus diatur dan diawasi kegiatannya agar tidak merusak kegiatan negara dalam mencapai tujuannya.

Sistem pers liberal
Sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem yang pertama. Jika sistem pers otoriter dikuasai oleh negara, maka pada sistem pers liberal lebih dikuasai oleh golongan pengusaha bermodal besar.
Lahirnya prinsip liberal yang mendasari berbagai lembaga sosial politik terutama pers disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya. Pertama, penemuan geografis menghasilkan perluasan pikiran manusia terutama penemuan-penemuan ilmiah, seperti Newton, Copernicus, dan Kepler yang memperlihatkan adanya nilai-nilai baru. Kedua, kehadiran kelas menengah dalam masyarakat terutama di Eropa dimana kepentingan kelas komersial sedang berkembang dan menuntut agar pertikaian agama dihentikan. Sementara itu hak khusus para bangsawan dibatasi.
Selain itu, terbentuknya sistem pers liberal ini didasari oleh asumsi-asumsi dasar filosofis sebagai berikut.
a. Hakikat manusia
Manusia seperti hewan rasional dan memiliki tujuan sendiri. Walaupun manusia sering melatih kemampuannya untuk berpikir yang diberikan Tuhan kepadanya untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi, pada akhirnya mereka mampu menghimpun keputusan secara terpisah. Berbeda dengan hewan, maka manusia dapat menggunakan kemampuannya untuk berpikir, mengingat, dan pengalamannya untuk membuat keputusan.
b. Hakikat masyarakat
Tujuan masyarakat ialah kebahagiaan dan kesejahteraan manusia dan sebagai organisme yang dapat berpikir ia sanggup mengorganisasi dunia sekelilingnya dan membuat keputusan yang dapat mendukung kepentingannya. Fungsi utama masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggotanya serta menciptakan perlindungan agar masyarakat tidak mengambil alih peran utama dan menjadi tujuan itu sendiri.
c. Hakikat negara
Negara merupakan alat yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan. Negara menyediakan lingkungan bagi masyarakat dan perorangan sehingga mereka dapat menggunakan kemampuannya sendiri untuk mencapai tujuan. Jika negara gagal dalam mencapai tujuan tersebu, maka dianggap penghalang dan boleh diubah. Karena tercapainya tujuan perorangan merupakan tujuan terakhir, yaitu tujuan manusia, masyarakat, dan negara.
d. Hakikat pengetahuan dan kebenaran
Kemampuan berpikir manusia adalah pemberian Tuhan yang sama halnya dengan pemberian kejahatan dan kebaikan. Dengan kemampuan tersebut manusia dapat memecahkan permasalahan sehingga makna pemberian Tuhan memudar dan kemampuan manusia memecahkan persoalan lebih menonjol. Tindakan manusia yang menggunakan panca indera untuk memecahkan permasalah menjadi nyata. Kebenaran adalah suatu yang dapat ditemukan dan diperlihatkan kepada manusia lain untuk diperdebatkan dan melalui musyawarah akan dapat mengakhiri perdebatan dan hasilnya dapat diterima oleh akal.
Pada tahap akhir perang dunia kedua, golongan liberal menyatakan bahwa prinsip demokrasi tentang kebebasan berbicara dan pers akan tersebar luas sehingga dibentuklah sebuah organisasi internasional. Mereka yakin bahwa melalui badan organisasi internasional, maka prinsip-prinsip otoriter dan komunisme dapat dicegah. Salah satu pendorong terbentuknya organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ialah diakuinya hak-hak asasi manusia oleh seluruh dunia sesuai dengan prinsip liberal.

Sistem pers komunis
Sejak awal tradisi marxis telah memperlihatkan otorianisme, kecenderungan untuk membuat perbedaan yang keras dan tajam antara yang salah dan benar. Dalam pandangan umum yang diwariskan oleh Marx kepada orang-orang Rusia terlihat kesalahpahaman antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Orang Amerika biasa berpikir bahwa orang sebaiknya mempunyai ide dan nilai yang berbeda, dengan demikian menggalakkan seni bermusyawarah serta pemerintahan mayoritas. Sedangkan Rusia biasa berpikir bahwa orang-orang seharusnya tidak berbeda pandangan, musyawarah tanda kelemahan, dan hanya ada satu pandangan yang benar yang dapat dipertemukan dan dipertahankan, disebarkan, dan digalakkan. Dalam baying-bayang sikap umum inilah Marx mengembangkan konsep tetang perubahan sosial dalam pengertian dinamikanya (dialektikanya), motivasinya (determinisme materialistik), dan tujuannya (kemenangan kelas pekerja dan akhirnya masyarakat tanpa kelas)
Menurut Marx, perubahan itu tidak hanya terjadi dalam bidang politik saja atau bidang ekonomi saja, akan tetapi semua komponen kebudayaan lainnya juga akan berubah seperti seni, agama, dan filsafat. Baginya, negara hanyalah alat bagi kelas masyarakat untuk menguasai kelas lainnya. Dengan demikian masyarakat tanpa kelas artinya masyarakat tanpa negara.
Dalam masalah komunikasi massa, Marx tidak pernah secara langsung mempertahankan masalah tersebut. Satu yang jelas adalah konsep Marxis mengenai persatuan dan pembedaan antara kebenaran dengan ketidakbenaran tidak memungkinkan pers berfungsi sebagai lembaga sosial yang bebas mengkritik pemerintah dan bertindak sebagai forum bebas.
Pers komunis dianggap sebagai alat untuk menginterpretasi doktrin, melaksanakan kebijakan kelas pekerja atau militant. Jelaslah menurut Marx, sesuai dengan determinisme materialistik bahwa kontrol pers akan dipegang oleh mereka yang memiliki fasilitas seperti para pencetak, penerbit stasiun siaran, dan sebagainya. Selama kelas kapitalis mengontrol perangkat fisik ini, maka kelas pekerja tidak akan pernah mendapat kesempatan yang seimbang untuk menggunakan seluruh komunikasi. Agar mereka dapat memanfaatkan saluran komunikasi, maka mereka harus memiliki sarana-sarana komunikasi dan kemudian komunikasi massa sebagai lembaga lainnya.
Dalam banyak doktrin praktis Marx tidak berbicara, misalnya tentang penggunaan komunikasi massa. Kelalaian Marx adalah kegagalan dalam melengkapi revolusi dengan teori politik.

Sistem pers pancasila
Sistem pers pancasila adalah sistem pers yang digunakan di Indonesia yang merupakan salah satu dari sebelas sistem ketatanegaraan dan kehidupan pers termasuk dalam sub sistem dari sistem keenam. Sebelas sistem menurut UUD 1945 adalah :
Sistem Undang-Undang
Sistem Negara
Sistem Keuangan
Sistem Pemerintahan
Sistem Kehakiman
Sistem Kewarganegaraan
Sistem Keagamaan
Sistem Pertahanan Negara
Sistem Pendidikan dan Kebudayaan
Sistem Kesejahteraan Sosial yang meliputi ekonomi
Sistem Integrasi
Sistem kewarganegaraan diatur dalam pasal 26, pasal 27, sampai dengan pasal 28J UUD 1945 (yang telah diamandemen). Yang langsung terkait dengan kehidupan pers adalah pasal 28 UUD 1945 yang sekaligus merupakan landasan konstitusinya uang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam konteksnya dengan sistem ketatanegaraan nasional kita, maka penjabaran pasal 28 UUD 1945 tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Khusus tentang pasal 28 UUD 1945 tidak boleh dipandang sebagai berdiri sendiri, ia harus diperhatikan dengan seluruh komponen hukum konstitusi.
Pancasila adalah landasan idiil pers nasional Indonesia yang harus dilihat secara bulat dan utuh. Dewan Pers dalam sidang plenonya yang ke-XXV di Solo tanggal 7 Desember 1984 telah merumuskan “Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pers Pembangunan dan Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk pembangunan pers itu sendiri”.

PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI DI INDONESIA

PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI DI INDONESIA



Sejarah Ilmu Komunikasi di Indonesia dan perkembangannya
Istilah komunikasi berasal dari kata latin, “communicatio” yang secara estimologis bersumber dari kata “communis” yang berarti sama, bersama, atau sama makna (Drs. K. Prent CM, dkk. Kamus Latin-Indonesia. 157). Jadi, apabila ada dua orang terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi tersebut akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Bentuk dan cara komunikasi yang diciptakan manusia sesungguhnya terus berkembang sepanjang zaman, termasuk bahasa yang digunakan sebagai perantara.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu terapan dari kelompok ilmu sosial. Menurut ilmuwan, ilmu komunikasi bersifat indisipliner karena objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu yang lain, terutama yang masuk ilmu sosial. Dinamakan ilmu terapan karena dipakai untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dapat dirasakan kegunaannya secara langsung dan bersifat sosial. Ilmu-ilmu terapan berhubungan dengan perubahan atau pengawasan dari situasi-situasi paraktis,ditinjau dari sudut kebutuhan manusia. Sementara itu, bedanya dengan ilmu yang murni mengembangkan ilmu itu sendiri tanpa mempertimbangkan apakah ilmu tersebut secara langsung berguna bagi masyarakat atau tidak.
Di Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji saat ini sebenarnya merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres itu yang kemudian membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi.
Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang telah lama mengganti nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa.
Kajian terhadap ilmu komunikasi sendiri dimulai dengan nama Publisistik dengan dibukanya jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun 1950, Akademi Penerangan pada tahun 1956, Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta pada tahun 1953, dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1959. Nama Ilmu Komunikasi Massa dan Ilmu Komunikasi sendiri baru muncul dalam berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970-an.
Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan kemudian mengembangkannya di Perguruan Tinggi, antara lain Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960-an, deretan tokoh itu bertambah lagi dengan datangnya dua pakar dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil Astrid S. Susanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi Dahlan dari Amerika Serikat (1967).
Dalam perkembangannya, kendati telah terjadi perkembangan yang penting mengenai paradigma ilmu komunikasi dimana telah muncul paradigma baru yang diuraikan oleh B. Aubrey Fisher dengan sebutan perspektif psikologis, mekanis, dan pragmatis , di Indonesia hingga saat ini ternyata masih saja berkiprah pada paradigma lama atau klasik yang dinamakan perspektif mekanistis.
Hampir semua penelitian empiris komunikasi manusia di Indonesia berdasar pada perspektif mekanistis dimana yang menjadi objek penelitian adalah alam atau fisik saja. Kekecewaan dan kritik terhadap kajian ini memang telah tumbuh, bersamaan dengan semakin berkembangnya teori dan pengkajian ilmu komunikasi. Namun, mekanistis masih saja dipakai walau minat baru, gagasan baru, dan teori baru telah tumbuh dan berkembang

Komunikasi Massa dan Perkembangannya di Indonesia

Fungsi dan unsur-unsur komunikasi massa
Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa. Komunikasi massa dikatakan sebagai suatu objek studi karena semakin lama, peran media sebagai institusi penting dalam masyarakat kian meningkat.
Berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka komunikasi massa memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut :
- Serempak
- Meluas
- Segera
- Anonim (tidak saling kenal)
- Melembaga
- Komunikasi searah
- Influence (mempengaruhi)
- Menginformasikan
Adapun unsur-unsur dalam komunikasi massa adalah sebagai berikut :
- Sumber/komunikator
- Pesan/informasi
- Saluran/media
- Penerima pesan/komunikan
- Efek

Perkembangan komunikasi massa
Berikut perkembangan komunikasi massa di Indonesia :
Tahun 1920-1945
Di masa ini khalayak tidak berperan secara aktif, hal ini dikarenakan tidak diberikannya peluang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya. Masyarakat Indonesia berada dibawah tekanan penjajahan, sehingga minat intelektual masyarakat Indonesia relatif rendah.
Di sisi lain, media berperan aktif terutama sebagai alat perjuangan. Akan tetapi keberadaan media masih terkukung dalam semangat kedaerahan yang tak terelakkan, bahkan sampai penjajah meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah dengan adanya tekanan dari pemerintahan penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana tidak ada berita yang tersiar tanpa persetujuan gubernur jenderal membuat media tidak dapat bergerak dengan bebas.

Tahun 1945-1965
Berbeda dengan masa kemerdekaan, di masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai berperan secara aktif. Segala gagasan, kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas dituangkan khalayak di dalam media. Namun walau demikian, tidak semua gagasan, kreasi, dan pikiran khalayak dapat tersalurkan dalam media secara baik. hal ini dikarenakan sistem yang diterapkan oleh pemerintahan penjajah kembali diterapkan (walau tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno. Peran pemerintah di masa Orde Lama terlihat sangat dominant.
Hal ini dibuktikan dengan adanya penerapan situasi darurat perang (SOB), dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Aturan tersebut mengakibatkan banyak media yang diberangus dan juga penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963.

Tahun 1965- 1998
Di masa Orde Baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media.
Peran media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Represi bahkan sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru, orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya
Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Proses komunikasi berjalan dengan sangat selektif. Hal ini terlihat dengan adanya golongan yang sangat dominan di dalam proses komunikasi tersebut, yakni pemerintah. Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.. Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut--secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.

Tahun 1998- sekarang
Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde Baru, khalayak kembali menggeliat aktif. Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari pemerintah.
Begitu juga media, dapat berperan secara aktif khususnya dalam mengambil peran sebagai penyalur/penengah bagi khalayak dan hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.[21] Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Di era reformasi ini, peran pemerintah tidak dominan dibanding era-era sebelumnya. Pemerintah memberikan kebebasan kepada media sesuai dengan tugas dan fungsinya


DAFTAR PUSTAKA

1. Budiharsono S, Suyuti, Drs, Hj, 2003. Politik Komunikasi, Jakarta, Grasindo.
2. Arifin, Anwar, Prof, Dr, H, 1988. Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengatar Ringkas, Jakarta, Rajawali Press.
3. Effendy, Onong Uchjana, Prof, Drs, MA, 2004. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya.