Jumat, 12 Desember 2008

Mengembangkan Minat Sastra

Media Indonesia, Minggu, 05 Oktober 2008



KEGIATAN bertajuk Improve Writing Quality baru saja digelar Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) beberapa waktu lalu. Kegiatan itu terbagi dalam tiga bagian, yakni seminar, pelatihan menulis fiksi, dan bedah buku.

Kegiatan itu sengaja diadakan sebagai sebuah wujud peran serta FISIP USNI dalam membantu upaya pemerintah menumbuhkembangkan minat baca dan tulis, serta mengembangkan apresiasi terhadap sastra di kalangan pelajar.

Novelis Rachmat Nugraha yang hadir sebagai pembicara dalam pelatihan menulis fiksi mengungkapkan, kegiatan itu sangat penting karena selama ini para pelajar bukannya tidak memiliki minat baca dan menulis, tapi mereka hanya tidak tahu saja ke mana mereka harus belajar dan mengembangkan minat mereka. "Sebenarnya banyak, kok, pelajar yang suku menulis cerpen, puisi, atau bahkan novel," tutur Ketua Komunitas Penulis Jakarta itu.

Kegiatan seperti itu diharapkan dapat dilaksanakan secara berkesinambungan. Karena, untuk dapat menumbuhkembangkan minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di kalangan pelajar tidak dapat hanya dilakukan dengan sekali kegiatan saja. Melainkan harus terus-menerus dilakukan.

Selain Rachmat Nugraha, rangkaian kegiatan yang diadakan FISIP USNI bekerja sama dengan Aliansi Penulis Independen (API) itu menghadirkan pembicara yang sudah cukup berpengalaman di bidangnya, antara lain penyair ternama Bambang Widiatmoko, Rektor USNI Dr Andreas Yumarma, Ketua Umum API Supandi Halim, Sekjen API Ariyanto MB, dan lain-lain. (M-3)

Mendirikan Sekolah Menulis

Media Indonesia, Minggu, 05 Oktober 2008




ANAK muda yang satu ini bisa dibilang merupakan contoh sukses di bidang penulisan di Kampus Universitas Satya Negara Indonesia (USNI). Fokus dalam hobi penulisan menjadikan Rachmat Nugraha salah seorang penulis terkemuka di Tanah Air.
Hobi itu sudah dia mulai sejak masih di bangku SMP, tetapi hanya untuk dinikmati sendiri.

Orang yang sulit mengucapkan 'R' ini sempat mengenyam pendidikan di Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP). Sekarang tengah melanjutkan kuliahnya di Jurusan Komunikasi USNI.

Mahasiswa yang biasa dipanggil Pak Rachmat ini, ternyata telah menyelesaikan novel pertamanya April 2005, Karena Cinta ku Lakukan Segalanya, diterbitkan Penerbit Saujana. Setelah itu, pada tahun yang sama, novel keduanya berjudul Untuk Mu Ayu, juga diterbitkan Penerbit yang sama pada bulan Juli. Saat ini ia telah menyelesaikan dua bukunya Cinta Jangan Pergi yang diterbitkan Penerbit Saujana dan I’m Sorry yang di terbitkan KPJ Publishing bekerja sama dengan USNI.

Rachmat sangat mencintai hobinya sehingga apa pun akan ia lakukan untuk menambah ilmunya tentang menulis. Dia pernah bergabung dengan tim penyusun buku Mega the President, Selaras Media, yaitu sebuah komunitas yang didirikan mahasiswa, wartawan, dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk memajukan dunia baca dan tulis di Indonesia. Saat ini dia sedang menjalankan kegiatan barunya, talk show mengenai dunia penulis, cara menulis dan sebagainya ke berbagai sekolah yang bekerja sama dengan Aliansi Penulis Indonesia (API).

Pria ini memiliki cita-cita. Kepada tim rostrum ia bercerita bahwa dirinya ingin sekali punya sekolah penulisan, di mana ia bisa mengajak sebanyak mungkin anak-anak untuk belajar menulis di tempatnya secara gratis. Bahkan, dirinya telah membangun sebuah komunitas yang diberi nama Komunitas Penulis Jakarta (KPJ) guna menampung pelajar yang berminat mengembangkan bakat dan kemampuannya dalam bidang tulis-menulis.

Hanya saja, pengembangan komunitasnya mengalami kendala disebabkan ketiadaan dana dan fasilitas. Namun, pemuda bertubuh kecil ini tidak putus asa. Dia tidak henti-hentinya berusaha agar komunitas yang dibentuknya sejak 6 April 2007 itu tetap eksis dan bisa menghasilkan karya terbaik yang dapat diterima masyarakat. "Apa pun bisa tercapai selama kita mau berusaha dan tidak berhenti berdoa kepada Yang Maha Kuasa," katanya. (M-3)

Bantah Keterlibatan Enam Pati

Polri Tidak Serius Tangani Kasus Beking Judi


Bantah Keterlibatan Enam Pati

Polri Tidak Serius Tangani Kasus Beking Judi



Sikap Polri yang membela keenam perwira tinggi (pati) yang diduga menjadi beking judi di Riau mengundang reaksi keras dari sejumlah kalangan. Polri dinilai tidak serius dalam menangani kasus judi di Riau.

Demikian diungkapkan Pengamat Kepolisian Universitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar. Menurutnya, Polri harus melakukan transparansi dalam penanganan kasus tersebut.

“Jika hal itu (enam pati diduga jadi beking judi, red) sudah diumumkan, harusnya dituntaskan soal keterlibatannya,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Bambang menilai, pernyataan Kapolri yang menegaskan bahwa pemeriksaan keenam pati Polri hanya sebatas memintai pertanggungjawaban manajerial sebagai suatu alasan yang tidak tepat. “Jika benar mereka menjadi beking judi, maka itu adalah suatu penyalahgunaan kekuasaan, bukan penyimpangan manajerial,” ujarnya.

Dikatakan Bambang, Polri harus segera memperbaiki pengawasan internalnya guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggotanya di lapangan. Sebab, katanya, selama ini dia melihat pengawasan yang dilakukan oleh Polri terhadap aparatnya tidak ketat, sehingga banyak terjadi penyimpangan seperti menjadi beking judi dan menerima suap.

“Selain itu, perlu dikuatkan juga pengawasan secara eksternal. Kompolnas itu terlalu lemah, karena UU Nomor 2 Tahun 2002 tidak mencerminkan fungsi pengawasan bagi komisi itu. Jadi, harus ada yang melakukan pengawasan secara eksternal,” pungkasnya.

Sebelumnya, Kapolri Bambang Hendarso Danuri dalam keterangan resminya langsung melontarkan pembelaan terhadap keenam pati Polri. Menurutnya, tidak ada pati Polri yang terlibat membekingi judi seperti kabar yang merebak belakangan ini.

"Tidak ada perwira tinggi saya yang membekingi judi. Ini pernyataan Kapolri. Tidak ada. Tanggung jawab ada di saya," tegasnya, Rabu (3/12).

Terkait seputar pemeriksaan enam jenderal polisi yang pernah jadi Kapolda dan Wakapolda Riau, bekas Kapolda Sumut ini menegaskan, pemeriksaan keenam pati oleh jajaran Irwasum Polri itu hanya sebatas memintai pertanggung jawaban manajerial. Adapun sanksi atas kelalaian tersebut, lanjutnya berupa teguran.

Berbeda dengan pelanggaran yang dilakukan oleh para pamen, menurut Bambang, kepolisian sudah mengambil tindakan tegas terhadap tiga Kapoltabes. Ketiganya dicopot dari jabatannya lantaran secara kasat mata membiarkan perjudian jenis togel berlangsung di wilayah mereka.

Tiga Kapoltabes yang dicopot itu antara lain Kapoltabes Samarinda, Kapoltabes Pontianak dan Kapoltabes Pekan Baru. Sedangkan Kapoltabes Padang, sampai saat ini masih menjalani pemeriksaan di lingkungan Irwasum. “Dalam minggu ini juga akan diganti,” tandas jenderal bintang empat ini.

Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Yusuf Manggabarani yang dikonfirmasi menyatakan, untuk kasus judi di Riau pihaknya telah melakukan serangkaian pemeriksaan intensif. Setiap hari sejak kemarin, menurutnya akan diperiksa enam personil kepolisian.

Lagi-lagi ketika disoal mengenai keterlibatan enam pati yang sebelumnya disebut oleh bekas Dankor Brimob Polri ini telah diperiksa dan bakal dikenai sanksi tegas dalam kaitan kasus judi Riau, akan dilakukan setelah pemeriksaan terhadap para pamen Polri selesai dilakukan. “Pamen dulu yang diperiksa baru perwira di atasnya,” imbuhnya.

Secara terpisah, Ketua Fraksi PDIP DPR Tjahjo Kumolo menuntut janji kapolri pada saat fit and proper test yang akan berkomitmen melakukan pembenahan internal. "Oleh karena itu, salah satu dari tuntutan itu adalah Kapolri harus berani menyebut nama yang dimaksud. Tuntutan ini juga bagian dari janji Kapolri saat dilakukan fit and proper test oleh Komisi III DPR sebelumnya," pintanya.

Tjahjo mengingatkan agar Kapolri tidak menutup-nutupi keenam pati yang selama ini menjadi beking judi di Riau. “Publik, wajib tahu, siapa saja sebenarnya para penegak hukum, yang ternyata selama ini tidak bekerja sebagai penegak hukum,” cetusnya.

Polri Akan Terbuka

Sementara itu, Kabid Humas Mabes Polri Abubakar Nataprawira menegaskan, Polri berjanji akan terbuka mengenai informasi terkait siapa pun yang ketahuan membekingi praktek perjudian.

Abubakar memastikan, Kapolri tidak akan menolerir kepada seluruh anggota Polri, apakah yang menjabat Kapolres, Kapoltabes dan sebagainya yang membiarkan adanya tindak pidana. Misalnya, berupa perjudian, dan illegal loging. “Apalagi ada anggota Polri yang terlibat,” katanya.

Menurutnya, pemeriksaan bagi yang diangkat dan diberhentikan Kapolri akan diperiksa di divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri. Sedangkan bagi yang diangkat dan diberhentikan Kapolda, akan diperiksa di divisi Propam Riau.

“Proses pemeriksaan sampai saat ini masih berjalan untuk membuktikan apakah yang bersangkutan membekingi perjudian. Termasuk Kapoltabes Pontianak, Samarinda (karena praktek togel masih marak di sana),” tuturnya.

Di tempat berbeda, Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta Sanusi Pane mengatakan, pihaknya mencurigai ada niat tidak baik dari Mabes Polri dalam menangani para pembeking judi. “Saya memperkirakan kasus pembekingan judi ini pelan tapi pasti akan menghilang tanpa penyelesaian,” ujarnya.

Neta menilai, jika polisi ingin dianggap sungguh-sungguh melakukan penindakan tegas terhadap anggotanya yang jadi beking judi, maka harus ada progress untuk menyebutkan siapa saja yang diduga terlibat kemudian mereka diseret ke pengadilan," tantangnya.

Menurut Neta, peran Kapolda dalam membekingi judi di suatu daerah sangat mungkin terjadi. Apalagi togel merupakan jenis perjudian yang bersifat massal, sehingga mudah untuk diketahui dan ditelusuri siapa bandar besarnya.

"Bagaimana mau membongkar jaringan teroris kalau mengusut jaringan judi togel saja polisi tidak bisa dan berlagak tidak tahu. Jadi kalau ada Kapolda yang mengaku tidak tahu bila di wilayahnya ada praktik judi togel jelas tidak masuk akal. Itu polisi bloon namanya," tegas. n CR-3/GPG

////////////////////

Hendardi
Direktur Setara Institute

Gak Usah Ada Yang Ditutup-tutupi



Direktur Setara Institute hendardi menegaskan, Polri harus lebih terbuka dalam memberikan informasi kepada publik terkait dengan kasus beking judi di Riau.

“Gak usah ada yang ditutup-tutupi. Keterangan yang berubah-ubah dari Polri justru akan membingungkan masyarakat,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Hendardi berpendapat, Polri harus menuntaskan keterlibatan keenam pati yang diduga terlibat dalam kasus itu. Sebab, katanya, Polri sudah terlanjur mengumumkannya. Jangan sampai Polri dianggap tidak serius menanganinya.

“Tuntaskan. Kalau mereka benar menjadi beking, maka mereka harus dipidanakan dan diberikan sanksi administratif. Tapi kalau mereka hanya sekedar tahu dan membiarkan praktek perjudian itu, ya sanksi administrasi cukuplah” ucapnya.

Terkait dengan upaya pembersihan institusi Polri dari polisi ‘nakal’, Hendardi memandangnya sebagai suatu hal yang cukup baik. Bahkan, dirinya mendukung agar Polri segera memperbaiki fungsi pengawasan internalnya.

“Upaya pembersihan itu harus dibarengi dengan penguatan pengawasan secara internal, karena selama ini pengawasan di tubuh Polri itu bisa dikatakan sangat lemah,” bebernya. n CR-3

////////////////////////

Rudy Satrio
Pengamat Hukum UI

Gak Peduli Soal Pertanggungjawaban manajerial



Pengamat Hukum Universitas Indonesia (UI) Rudy Satrio mengatakan, masyarakat tidak peduli dengan mekanisme internal yang dilakukan Polri. Karena, menurutnya, saat ini masyarakat menunggu tindak lanjut dari kasus beking judi di Riau yang diduga melibatkan enam orang pati Polri.

“Kita gak peduli soal pertanggungjawaban manajerial. Kita hanya menunggu penyelesaian kasus itu secara hukum,” ungkapnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Rudy menilai, pernyataan kapolri yang membantah keterlibatan enam pati Polri dalam kasus judi tersebut sebagai pernyataan yang membingungkan masyarakat. Sebab, katanya, sebelumnya Irwasum Polri telah mengumumkan keterlibatannya.

Dikatakan Rudy, untuk menunjukkan keseriusan Polri dalam upaya pembenahan internal dan penegakkan hukum, maka Polri harus menuntaskan soal keterlibatan enam pati tersebut.

“Mereka (Polri, red) harus bisa membuktikan sampai sejauhmana keterlibatan keenam pati itu. Sebab, ini menyangkut tindak pidana, di mana keenamnya diduga membiarkan praktek perjudian di wilayahnya,” tandasnya. n CR-3

Ngerasa Diteror Via SMS

Ah, Antasari Azhar Terlalu Melankolis


Sasaran ‘tembak’ masih diarahkan pada aspek psikologis. Tekanan fisik, mudah-mudahan tidak terjadi.


KETUA Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman keheranan dengan sikap Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar. Soalnya, kata dia, mendapat teror pesan singkat alias SMS saja, Antasari sudah cuap-cuap di media massa.
Menurut Boyamin, seharusnya ketua KPK tidak usah berbicara di hadapan media terkait dengan ancaman tersebut. Apalagi, kata dia, ancaman itu hanya disampaikan lewat pesan singkat oleh orang tidak dikenal. “Masa cuma diteror gitu aja kok ngomong-ngomong. Itu kan sudah menjadi risikonya. Dia (Antasari Azhar, red) terlalu melankolis. Kita saja sering kok diteror secara fisik,” ungkapnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dikatakan Boyamin, dengan sikap Antasari yang mengadukan ancaman itu ke media, justru dikhawatirkan akan mempengaruhi psikologis masyarakat. “Diam saja, gak usah diumbar di media. Kesannya, kalau Ketua KPK saja ciut diancam begitu, apalagi masyarakat. Bisa-bisa gak ada lagi yang berani melapor,” katanya.
Boyamin menyarankan Antasari agar tidak mempedulikan SMS tersebut. Ancaman teror, kata dia, tidak boleh mengganggu kinerja KPK. Bahkan, dia meminta Komisi untuk lebih berani dalam mengungkap kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dananya disinyalir mengalir sampai jauh tersebut.
“KPK justru harus semakin berani menguak kasus BLBI yang tidak hanya melibatkan obligor partikelir saja. Mereka harus berani periksa BI, Menkeu, dan bank-bank BUMN yang lebih dekat dengan kekuasaan,” ujarnya.
Daniel Johan, Ketua Institute of National for Leadership and Public Policy (INLAPP) berharap, dengan semakin banyaknya teror yang diterima, seharusnya Komisi dapat lebih tegas dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. “Teror itu kan sudah biasa. Justru kalau tidak ada teror malah aneh. Dengan adanya terror tersebut, KPK seharusnya bisa bersikap lebih galak dalam memberantas korupsi di negeri ini,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia mengajak seluruh elemen masyarakat yang benar-benar berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi untuk bersatu mendukung langkah-langkah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. “Saya pikir, jika mereka (elemen masyarakat, red) bisa bersatu padu mendukung kerja-kerja KPK, maka sms teror seperti yang didapat Antasari itu menjadi tidak artinya lagi,” ujarnya.
Daniel mendesak KPK untuk segera menuntaskan kasus BLBI yang sudah terlalu lama mengendap itu. KPK, katanya, harus dapat menangkap obligor-obligor besar yang terlibat dalam kasus tersebut. “Kita baru akan yakin kinerja KPK jika Komisi itu mampu menyeret pelaku-pelaku kelas kakap yang terlibat dalam kasus tersebut. Jangan hanya menangkap yang kecilnya saja,” katanya.

Spirit Antikorupsi
Sementara itu, Direktur Setara Institute Hendardi menuturkan, informasi yang disampaikan Antasari Azhar kepada media terkait dengan sms teror yang diterimanya bukanlah sebagai wujud ketakutan. “Informasi yang dilontarkan Antasari ke media justru saya nilai sebagai upaya memberitahukan masyarakat bahwa betapa sulitnya membongkar kasus korupsi,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Disamping itu, kata Hendardi, informasi tersebut dapat juga diartikan sebagai ajakan kepada seluruh elemen masyarakat untuk turut serta mendukung dan membantu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. “Masyarakat harus dikuatkan spiritnya untuk bisa mendukung dan membantu KPK dalam memberantas korupsi,” cetusnya.
Hendardi berharap, dengan adanya teror semacam itu, KPK dapat lebih memperkuat keyakinannya dan mempertebal tekadnya untuk terus membongkar kasus BLBI. SMS itu, katanya, hanya teror ringan yang tidak perlu dianggap. Dia bilang, SMS teror merupakan bukti bahwa kasus BLBI sarat kepentingan dan melibatkan banyak pihak.
“Saya yakin, pengirim sms itu adalah orang yang memiliki kepentingan dalam kasus itu. KPK harus berani menguak kasus itu,” ujarnya. Hendardi meminta KPK untuk tetap mewaspadai teror dalam bentuk lain, seperti teror fisik.
Sebelumnya, Antasari Azhar mengaku mendapatkan kiriman pesan singkat berupa ancaman terkait dengan rencana ambil alih kasus aliran BLBI. Dia bilang, SMS itu berisi tudingan bahwa KPK telah mengutak-atik masa lalu.
“Katanya KPK berusaha mengobok-obok hal lama. Kami tidak akan mengutak-atik jika tidak ada lagi hal yang membebani rakyat dan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” ujarnya konferensi pers acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi 2008 di Balai Kartini untuk peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, Jakarta, Selasa (9/12) lalu.
Namun, lanjut Antasari, ternyata APBN masih terbebani utang BLBI. Karenanya, kata dia, KPK akan melihat sejauh mana BLBI merugikan APBN. Dia mengatakan, KPK memiliki obsesi menekan beban APBN terhadap masalah BLBI ini. “Ini yang kami minta segera. Bagaimana soal penyelesaian, utang BLBI yang diberikan ke bank pemerintah,” katanya.
Antasari menegaskan, pihaknya belum angkat tangan menangani perkara BLBI. Pengusutan kasus BLBI belum tuntas. Kata dia, BLBI yang menyangkut Departemen Keuangan dan bank pemerintah saja nominalnya mencapai Rp 400 triliun. “Komisi juga akan mengusut BLBI yang menyangkut bank swasta” jelasnya. n CR-3

//////////////////////

Kasus Agus Tjondro Dipertanyakan
Aktor Utama Koruptor
Tidak Pernah Dibongkar

PENELITI hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah mengungkapkan, upaya pemberantasan korupsi hingga kini masih menyisakan penyakit utama. Kata dia, pemberantasan korupsi tidak pernah tuntas hingga ke akar-akarnya.
“Pemberantasan korupsi tidak pernah menyeret aktor-aktor utama. Banyak sekali contohnya. Kasus Jaksa Urip Tri Gunawan, kasus aliran dana BI, laporan Agus Tjondro juga sampai sekarang tidak jelas,” cetus Febri di Jakarta, Selasa (9/12) lalu.
Selain itu, kata Febri, masalah lain yang masih mengganjal hingga saat ini adalah belum disahkannya Undang-undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor). Padahal, kata dia, putusan Mahkamah Konstitusi telah mengamanatkan bahwa undang-undang tersebut harus selesai pada 2009. “DPR berupaya mendeligitimasi peran KPK,” bebernya.
Anak buah Teten Masduki ini berharap, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung bisa menentukan skala prioritas dalam memberantas korupsi. “Secara kualitas, apakah trigger mechanism dan efek jera sudah terjadi, dan secara kuantitas apakah jumlah kasus yang ditangani sudah mencapai target atau belum. Ini harus dievaluasi kembali,” imbuh Febri.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan tekadnya untuk memberantas praktik korupsi di Negeri ini. Dia mengatakan, agar korupsi benar-benar hilang dari lembaga-lembaga pemerintahan, maka penyelenggaraan negara harus transparan dan akuntabilitas.
“Dengan begitu dapat mencegah terjadinya penyimpangan,” kata Presiden SBY saat membuka peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia di pelataran Monumen Nasional, Jakarta, Selasa (9/12) lalu.
Presiden pertama pilihan masyarakat ini menambahkan, jika aparat negara tidak tegas dalam mencegah terjadinya penyimpangan, maka upaya pemberantasan korupsi itu belum optimal. Karenanya, dia meminta pencegahan ini dilakukan dengan konsisten. “Hal itu sangat penting karena dalam pemberantasan korupsi itu sangat sulit,” pungkasnya. n CR-3

//////////////////

Zainal Arifin Muchtar
Direktur PUKAT UGM

Kalau Tangan Antasari
‘Berdarah-darah’, Baru Boleh Takut

DIREKTUR Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Muchtar meminta Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) untuk tidak menganggap SMS teror itu sebagai suatu hal yang serius. “Masa’ cuma gara-gara sms nggak jelas itu, upaya pemberantasan korupsi jadi terhambat. Jangan sampai dong,” cetusnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Zainal menuturkan, sebenarnya tanpa Antasari berbicara soal sms teror yang didapatnya di hadapan mediapun, rakyat ini sudah paham bahwa dalam upaya memberantas korupsi sudah pasti ada risikonya. Karena itu, dia meminta KPK untuk tidak perlu takut terhadap ancaman tersebut.
“Kecuali jika Antasari merasa bersalah, tangannya juga berdarah-darah dan penuh dosa, baru dia boleh takut. Kalau tidak, ya sudah jangan dianggap,” ucapnya.
Ditambahkannya, saat ini yang perlu dilakukan KPK adalah bagaimana caranya agar kasus BLBI yang sangat merugikan negara itu cepat terungkap. Karena, kata dia, selama ini penyelesaian kasus tersebut terkesan sangat lamban. “KPK harus membangun spirit masyarakat untuk turut membantu pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum di negeri ini. Jangan malah terpancing dengan sms yang nggak penting seperti itu,” tandasnya. n CR-3

Jumat, 05 Desember 2008

Ode Kampung # 3

Sungguh membahagiakan bagiku dan Komunitas Penulis Jakarta dapat kembali ikut memeriahkan pertemuan sastrawan bertitle Ode Kampung #3 yang diselenggarakan di Rumah Dunia. Awalnya aku pikir aku bisa turut serta menemani kawan-kawanku mengikuti perhelatan akbar itu. Tapi sayang, aku harus menghabiskan waktuku di kantor untuk stok berita setelah selama 3 hari aku meninggalkan tugas ke Malaysia.

Aku hanya bisa berharap Ode Kampung kali ini bisa semakin menguatkan keberadaan komunitas sastra dan para sastrawan yang bisa dibilang pinggiran. Aku juga sangat berharap Ode Kampung tahun ini bisa menjadi wadah terbaik bagi pengembangan komunitas sastra di Indonesia. Dan terakhir, aku berharap semoga kehadiran Ode Kampung kali ini dapat menghentikan adanya konflik yang mubazir dalam dunia sastra Indonesia.

Jujur, aku sudah muak dengan pertentangan yang terjadi di dunia sastra Indonesia. Aku muak dengan perdebatan siapa yang pantas disebut sastrawan dan siapa yang tidak pantas. Aku muak dengan masih adanya hegemoni dalam dunia sastra Indonesia. Karena bagiku, semua itu tidak penting. Yang penting adalah karya yang mampu memberikan pencerahan bagi masyarakat. Yang penting adalah dedikasi kita dalam membangun sastra Indonesia.

Aku mungkin tidak sehebat Goenawan Moehammad atau Taufik Ismail. Aku juga tak setenar Ayu Utami atau Gola Gong. Aku hanyalah seorang anak muda yang sok ingin mengabdikan diri pada dunia sastra. Aku hanyalah orang yang sok peduli terhadap perkembangan sastra Indonesia. Akan tetapi, aku mencoba untuk memahami bahwa kita harus bersama-sama dalam membangun sastra Indonesia yang bebas dan bertanggung jawab. Bahwa kita harus hentikan konflik dan mulai merajut persatuan demi kemajuan sastra Indonesia. Maafkan jika aku salah!

56 Hakim Illegal Logging Dilaporkan Ke KY

56 Hakim Illegal Logging Dilaporkan Ke KY

Hendardi: Putusan Hakim
Bela Yang Bayar Sudah Biasa

Upaya pembersihan mafia peradilan harus benar-benar dibuktikan dan bukan hanya sebatas wacana saja.



DI MATA Hendardi, direktur Setara Institute, putusan hakim Indonesia yang bukan berdasarkan pada obyektifitas dan fakta sudah bukan rahasia lagi. Putusan hakim, kata dia, kerap kali lebih didasarkan pada siapa yang paling kuat membayar.
“KY harus segera melakukan penyelidikan. Dan jika terbukti, mereka (56 hakim bermasalah, red) harus direkomendasikan ke MA untuk dikenai sanksi,” kata Hendardi kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia mendukung upaya ICW yang melaporkan hakim-hakim yang diduga bermasalah tersebut ke Komisi Yudisial. Menurutnya, hal itu merupakan tindakan yang patut diberikan apresiasi dalam rangka membersihkan mafia peradilan di Indonesia.
“Semoga saja data-data yang dimiliki ICW terkait dengan hakim bermasalah itu benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan,” katanya
Terkait dengan kasus-kasus illegal logging yang ditangani ke-56 hakim bermasalah itu, bekas ketua PBHI ini mengatakan, jika memang para hakim itu benar-benar terbukti melakukan pelanggaran, maka kasus-kasus yang mereka tangani harus dibuka kembali.
“Keputusan para hakim yang membebaskan para cukong kayu sangat mengiris keadilan masyarakat. Bagaimanapun caranya, kasus-kasus itu harus ditinjau kembali. MA tidak boleh melindungi hakim-hakim yang bermasalah,” pungkasnya.

Buka Lagi Kasusnya
Sebelumnya, Ketua Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho telah menyampaikan laporan tentang hakim yang menangani kasus illegal logging dan memutus bebas kepada Komisi Yudisial (KY).
Dalam laporan ICW, disebutkan terdapat 56 hakim yang diduga bermasalah dalam putusan hukumnya. Dari 33 kasus illegal logging yang ditangani, hakim-hakim itu memutus bebas. Hakim-hakim itu diduga telah membebaskan para cukong kayu selama tahun 2005 hingga 2008.
Padahal, kata Emerson, putusan para hakim yang membebaskan para cukong kayu tersebut sangat bertentangan dengan kinerja pemerintah memberantas illegal logging. ”Kami berharap KY menindaklanjuti laporan ini. Kami meminta KY untuk memonitoring para hakim yang ada di daerah-daerah sebagai shock therapy, terutama pada kasus-kasus illegal logging,” ujar Emerson, Rabu (26/11) lalu.
Emerson mengatakan, putusan para hakim yang dilaporkan itu sangat kontraproduktif dengan program pemerintah memberantas illegal logging. “Sebab itu kami laporkan dan kami minta putusan itu dilakukan pemeriksaan,” ujarnya.
Dia menambahkan, perlu ada suatu monitoring terhadap kinerja hakim, selain pengawasan dari internal MA. ICW, katanya, berharap ada suatu terobosan yang dilakukan MA dalam memberikan punishment kepada para hakim itu. Dengan adanya hasil pemeriksaan KY, maka bisa direkomendasikan ke MA.
“Dengan begitu MA bisa mempunyai pertimbangan terhadap para hakim tersebut. Yakni pertimbangan untuk memberikan sanksi dan pertimbangan untuk memutasi hakim tersebut,” tandas anak buah Tetan Masduki ini.
Topo Santoso, pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) mengatakan, partisipasi publik dalam rangka penegakan hukum, seperti yang dilakukan ICW harus diapresiasi. KY, kata dia, harus menindaklanjuti laporan tersebut. “Pastinya KY sangat terbantu dengan data-data yang dilaporkan ICW,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Kendati demikian, lanjut Topo, kasus hakim bermasalah ini sebaiknya dilaporkan juga ke Mahkamah Agung (MA) agar dapat disikapi secara lebih konkret. Sebab, kata dia, MA melalui Badan Pengawasnya-nya memiliki wewenang untuk menangani masalah yang berhubungan dengan perilaku hakim.
“Ini terkait dengan UU KY yang masih dalam proses revisi. Sehingga yang sangat memungkinkan untuk melakukan penyelidikan hingga penjatuhan sanksi adalah MA,” ujarnya.
Kata Topo, jika dalam kasus yang ditangani ke-56 hakim itu terbukti telah terjadi pelanggaran, maka MA harus meninjau kembali kasus illegal logging tersebut. “Kalau misalnya ditemukan hakim menerima sesuatu dalam proses pengadilan, itu kan artinya ada alat bukti baru yang bisa dijadikan dasar untuk membuka kembali kasus yang mereka (56 hakim bermasalah, red) tangani,” tandasnya.

Harus Dipidanakan
Di tempat terpisah, Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyarankan, jika memang ICW sudah kurang mempercayai MA, sebaiknya lembaga yang digawangi Teten Masduki itu tidak hanya melaporkan temuannya ke KY, melainkan juga melaporkannya hasil temuannya ke kepolisian.
“Kalau memang mereka (hakim bermasalah, red) melanggar hukum, langsung pidanakan saja ke polisi,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Sebelumnya, Emerson mengatakan sudah tidak percaya lagi MA.
Walau begitu, Boyamin menilai, langkah ICW sudah tepat. Sekarang, kata dia, yang dibutuhkan adalah keseriusan KY dalam menindaklanjuti laporan tersebut. Dia juga meminta DPR untuk segera mensahkan Undang-undang Komisi Yudisial agar tidak menghambat tugas-tugas komisi itu.
“Kalau ada novum (alat bukti) baru, kasus illegal logging yang terdakwanya divonis bebas oleh para hakim bermasalah, bisa dibuka kembali,” katanya.
Ditambahkan pengamat hukum dari Universitas Indonesia (UI) Rudi Satrio menyarankan ICW untuk juga melaporkan hasil temuannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, kata dia, pelanggaran yang dilakukan para hakim itu merupakan bentuk korupsi pejabat negara.
“Kalau bukti mereka (ICW, red) kuat, gak usah lapor ke KY. Langsung aja lapor ke KPK, bahkan kalau perlu ke polisi juga untuk dipidanakan,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurutnya, KY saat ini masih terhambat oleh UU KY yang masih dalam proses revisi. Dengan permasalahan itu, kata dia, tampaknya KY akan mengalami kesulitan untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Sementara MA, lanjutnya, hanya terkait dengan pengawasan internal saja.
“Apalagi kalau dilaporkan ke KY dan MA, paling-paling para hakim itu hanya dikenai sanksi administratif,” katanya. n CR-3


Busyro Muqoddas
Ketua Komisi Yudisial
Tidak Akan Tunggu Rivisi UU KY

KETUA Komisi Yudisial Busyro Muqoddas mengaku akan menindaklanjuti laporan Indonesia Corruption Watch (ICW). Namun, kata dia, sebelum memproses kasus tersebut, KY akan mempelajari terlebih dahulu putusan yang telah dikeluarkan para hakim itu.
“KY akan merespons. Dengan data ini kami akan pelajari lebih lanjut. Jika ditemukan indikasi pelanggaran, maka tidak usah kami menunggu revisi UU KY,” katanya.
Busyro menegaskan, jika nanti ditemukan pelanggaran kode etik, maka ke-56 hakim yang diduga bermasalah itu akan dipanggil untuk dimintai konfirmasinya. Soal sanksi yang bakal dijatuhkan jika benar-benar terukti bersalah, kata dia, KY akan melihat tingkat kesalahan dari para hakim tersebut.
“Nanti kita akan lihat sanksi apa yang cocok, apakah pemberhentian sementara atau tetap. Tapi itu nanti karena putusannya saja belum kami terima,” cetusnya.


Djoko Sarwoko
Juru Bicara Mahkamah Agung
ICW Sebaiknya Lapor Juga Ke MA

JURU bicara Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko menyatakan, pihaknya telah melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap jajaran pengadilan di seluruh Indonesia. Dia mengatakan, jajaran pengadilan yang dipriksa itu mulai dari hakim, hingga pegawai non-hakim.
Tak cuma itu, kata dia, setiap hukuman disiplin terhadap hakim dan pegawai non-hakim, baik di MA maupun di pengadilan selalu diumumkan secara terbuka. ”Semua itu sebagai bagian transparansi. Kita sudah punya pedoman pemeriksaan yang dilakukan secara terus menerus. Setiap bulan, ada laporan yang ditindaklanjuti oleh Badan Pengawas MA,” katanya, Rabu (26/11).
Djoko meminta agar ICW langsung melaporkan temuannya terkait 56 hakim bermasalah tersebut ke MA, agar dapat langsung ditindaklanjuti. “Saat ini KY tidak dapat menindaklanjuti karena undang-undangnya sedang direvisi. Toh, KY juga akan meneruskan ke kita nantinya,” jelasnya. n CR-3/WHY



Daftar Hakim Yang Diduga Bermasalah

1. Imanuel, Junita, dan Bakhtiar (PN Kutacane, Aceh)
2. I Made Ariwangsa, Dresden Purba, Poltak Pardede, Subaryanto, Cipta Sinuraya,
dan Puji Astuti (PN Pontianak, Kalbar)
3. Hanung Iskandar, Adrianus Infaindan, dan Maryono (PN Biak, Papua)
4. FX Soegiartho, Majedi Hendi Siswara, S Radiantoro, Lodewyk Tiwery, Syamsul
Ali, Moris Ginting dan Denny D Sumadi (PN Jayapura, Papua)
5. Marthen P Thosuly, Hedin Silalahi, dan Andi Asmuruf (PN Sorong, Papua)
6. Chairil Anwar, H Irwan (PN Jambi)
7. Ismail (PN Muoro Sijunjung, Sumbar)
8. Afrizal Hadi, Sofyan Saputra, Rindam, Irwan
9. ffendi, Dina Hayati Sofyan, dan Kharnozaro Waruwu (PN Panyabungan, Sumut)
10. Basuki, Hartati Sumantoro, dan Sukidjan (PT DKI Jakarta)
11. Jemmy WL (PN Cirebon, Jabar)
12. Arwan Byrin, Robinson Tarigan, Dolman Sinaga,
13. Jarasmen Purba, dan Ahmad Semma (PN Medan, Sumut)
14. Saur Sitindaon, Thomas Tarigan, Royzanti, Partogi (PN Tarutung, Sumut)
15. Sofyan Basid, Nuraina Agus, I Gusti Made Antara (PT Padang)
16. Djaroko Imam Winodadi, Kun Maryoso, dan Bambang Nurcahyo (PN
Tanjungpinang, Kepri)
17. N Betty Aritonang, Masrimal, Amat Khusaeri, Akhmad Rosidin, Rizal Ramli (PN
Padang, Sumbar)
18. Parulian Saragih (PN Ketapang, Kalbar)
Sumber: Indonesia Corruption Watch

(dimuat di harian rakyat merdeka edisi 30 November 2008)

Anggaran DPR Naik

Kerterpurukan ekonomi nasional akibat dampak krisis finansial global, tak membuat DPR prihatin. DPR justru menaikkan anggaran hingga Rp 300 miliar.



DARI total kenaikan anggaran DPR tahun 2009 tersebut, Rp 118,1 miliar justru dialokasikan untuk kunjungan ke luar negeri. Kenaikan anggaran di tengah keterpurukan ekonomi nasional itu menimbulkan tanda Tanya besar. Terlebih, pada 2009 itu sudah memasuki masa Pemilu 2009.
Tentang kenaikan anggaran DPR 2009 ini diungkapkan Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR Harry Azhar Aziz. Kata dia, anggaran DPR untuk tahun 2009 naik dari Rp 1,7 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp 2,021 triliun. Dari jumlah tersebut didapat kenaikan hingga Rp 300 miliar.
“Usulan semula Rp 2,3 triliun, tapi yang akhirnya disetujui Rp 2,021 triliun, kata politisi Partai Golkar ini, Senin (24/11) lalu.
Sebenarnya, bila ditilik lebih jauh, kenaikan itu bertolak belakang dengan pernyataan yang pernah disampaikan Ketua DPR Agung Laksono. Dalam konferensi pers pada 2 Januari 2008 lalu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu mengatakan, pada tahun 2008 kegiatan studi banding yang sifatnya non-legislasi akan dihapus.
Kata Agung saat itu, kebijakan tersebut diambil sebagai bentuk penghematan. Sementara untuk pembuatan UU tetap diperlukan, dan dibatasi. Agung mengaku belum mengetahui perihal kenaikan anggaran DPR untuk tahun 2009. Dia berjanji akan mengecek pagu anggaran DPR tahun 2009.
“Kalau pun anggaran DPR tetap dibandingkan tahun sebelumnya, sebenarnya nilainya turun jika inflasi diperhitungkan,” ujar Agung Laksono.
Karena itu, Direktur Indo Parliamentary Center (IPC) Sulastio menyesalkan kenaikan tersebut. Dia mengatakan, kenaikan anggaran DPR 2009 sangat patut dipertanyakan. Terlebih lagi, kata dia, sebagian besar anggaran tersebut akan dihabiskan untuk studi banding ke luar negeri.
“Waktu kerja untuk anggota DPR periode 2004-2009 kan tidak lama lagi. Apalagi menjelang pemilu, pastinya mereka bakalan sibuk kampanye,” ungkapnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Tio menilai, sangat riskan apabila kenaikan anggaran DPR benar-benar diketuk palu. Pasalnya, kata dia, masa kerja Dewan saat ini sudah sangat sempit dan tidak memungkinkan untuk melakukan studi banding. Di samping itu, sebut dia, kalau pun benar anggaran itu diperuntukkan untuk anggota DPR periode berikutnya, sangatlah tidak logis.
“Bagaimana mungkin yang merencanakan Dewan yang sekarang, digunakan untuk Dewan yang berikutnya,” ujarnya.
Dia menambahkan, seharusnya dalam penyusunan dan pembahasan undang-undang (UU), DPR dapat lebih mengoptimalkan keberadaan staf ahli ketimbang studi banding. Staf ahli, katanya, harus diberdayakan dan diberikan pelatihan-pelatihan untuk bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan Dewan.
“Kalau pun mau studi banding, lakukan saja itu via internet. Teknologi sudah canggih kok,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, kenaikan anggaran DPR untuk Tahun 2009 perlu dicurigai. Dia khawatir kenaikan anggaran dipergunakan untuk kegiatan Pemilu 2009. “Jangan-jangan nantinya negara dipaksa mengalokasikan anggaran kepada mereka (DPR, red) justru untuk membiayai kegiatan kampanye mereka,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Kalau pun benar, kata Ray, kegiatan ke luar negeri dengan biaya yang begitu besar merupakan hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Sebab, kalau tujuannya terkait dengan produk UU, DPR mesti lebih mengoptimalkan peran dan fungsi staf ahli Dewan. “Kalau masih saja studi banding yang jadi andalan, lantas buat apa keberadaan staf ahli yang mereka rekrut. Jangan hambur-hamburkan uanglah,” ucapnya.
Ray yakin, anggaran itu akan sia-sia. Karena, dalam masa kerja yang tidak lama lagi ini para anggota dewan tidak akan bisa melakukan kegiatannya sebagai wakil rakyat. Semua anggota akan tersita waktunya untuk kegiatan partai.
“Waktu mereka kan sempit, tinggal beberapa bulan lagi. Kalau mereka mau berkontribusi membantu ekonomi nasional dari dampak krisis, lebih baik mereka berupaya turut mendorong peningkatan produksi dalam negeri, daripada anggaran dewan mereka habiskan untuk menyumbang devisa negara lain,” pungkasnya.



Parameternya Harus Jelas
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Arif Nur Alam mengatakan, kenaikan anggaran DPR tahun 2009 ini sungguh mengecewakan rakyat. “Kenaikan itu benar-benar fantastis dan harus dipertanyakan. Masa’ lebih banyak digunakan untuk kunjungan ke luar negeri,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Naiknya anggaran DPR hingga Rp 300 miliar, lanjut Arif, sangat tidak realistis. Apalagi, DPR lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk kegiatan yang tidak menunjang optimalisasi fungsi legislasi, pengawasan, dan budget. “Apalagi sekarang ini kan banyak anggota Dewan yang lebih banyak menghabiskan waktunya buat kampanye. Kenaikan itu sudah pasti mubazir kan,” ucapnya.
Ditegaskan Arif, naiknya anggaran itu tidak sesuai dengan komitmen Ketua DPR Agung Laksono yang akan melakukan revitalisasi pengalokasian dan penggunaan anggaran Dewan. Dia meminta Agung Laksono harus segera melaksanakan komitmennya. “DPR harus melakukan transparansi anggaran,” pintanya.
Sementara itu, Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismed Hasan Putro juga mempertanyakan kenaikan anggaran DPR sebesar Rp 300 miliar untuk tahun 2009. Dia mengatakan, jika kenaikan tersebut benar dipergunakan untuk meningkatkan kinerja anggota Dewan, maka parameternya harus jelas.
“Kalau parameternya adalah produk UU, saya pikir gak tepat. Toh, RUU saja banyak yang terlantar di DPR,” kata Ismed kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dikatakan Ismed, hingga saat ini saja DPR tidak menunjukkan peningkatan kinerja secara signifikan, terlebih sekarang waktu dan tenaga mereka terkuras untuk kegiatan Pemilu 2009. Jadi, kata Ismet, sebaiknya DPR lebih berhati-hati dalam merencanakan anggaran dewan.
“Selain itu, DPR harus segera melakukan transparansi anggaran kepada publik. Hal ini, katanya, agar tidak kontraproduktif dengan hukum” cetusnya.
Terkait dengan anggaran DPR yang lebih banyak dialokasikan untuk biaya ke luar negeri, Ismet menuturkan, saat ini tidak ada urgensinya untuk melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebab, dia berpendapat, banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kinerja dewan tanpa harus studi banding ke luar. n CR-3



Eva Kusuma Sundari
Anggota Panitia Anggaran DPR
Tolak Ukurnya Akuntabilitas

PANITIA Anggaran DPR asal PDIP Eva Kusuma Sundari mengatakan, DPR menggunakan akuntablititas sebagai tolak ukur dalam penyusunan anggaran DPR. Dia mengatakan, jika kenaikan anggaran tersebut bisa dipertanggungjawabkan dan akuntabel, maka kenaikan anggaran sebesar Rp 300 miliar dari tahun sebelumnya bisa diterima.
“Sayangnya tidak setiap anggota tahu budget tersebut, karena tidak diparipurnakan. Maka prosesnya yang tidak akuntabel,” ungkapnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Eva menjelaskan, tidak ada formula khusus untuk menentukan angka yang ideal dalan penyusunan anggaran tersebut. Tapi, yang pasti setiap kegiatan DPR harus jelas outputnya. “Jadi, jika ke luar negeri kebanyakan berkaitan dengan fungsi legislasi DPR, maka harus ada output yang terukur. Sepatutnya, kegiatan ke luar negeri dilaporkan kepada publik agar dipahami workplannya,” terangnya.
Terkait dengan kinerja Dewan yang rendah, tambah Eva, harus dikaitkan dengan penyebab strukturalnya. Betapa lemahnya supporting system DPR sehingga kapasitas DPR menjadi rendah. “Semoga upaya penguatan kapasitas DPR melalui Susduk segera efektif sehingga inefesiensi akibat system dan mekanisme kerja DPR bisa ditekan di periode mendatang,” pungkasnya. n CR-3



Sebastian Salang
Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
Sudah Jadi Kebiasaan

KETUA Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, kenaikan anggaran DPR sudah menjadi kebiasaan dan terjadi setiap tahun. Bahkan, kata dia, boleh jadi kenaikan anggaran pada setiap tahun sudah menjadi suatu keharusan alias wajib ain.
“Walaupun kenaikan itu tidak ada korelasinya dengan peningkatan kinerja Dewan,” kata Sebastian kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia memperkirakan, anggaran DPR Tahun 2009 akan banyak meningkat pada belanja proyek pembangunan infrastruktur dan perjalanan luar negeri, serta perjalanan dalam negeri.
“Saya prediksi mereka (DPR, red) akan lakukan itu ketimbang untuk dukungan peningkatan kinerja, karena mereka memang tidak sensitive dengan persoalan rakyat. Penghematan yang pernah disuarakan hanya slogan,” tandasnya. n CR-3

Tabel
Rincian Anggaran DPR 2009
1. Kegiatan parlemen internasional : Rp 6,746 miliar
2. Kegiatan parlemen regional : Rp 4,845 miliar
3. Kegiatan parlemen bilateral : Rp 7,544 miliar
4. Kunjungan kerja ke luar negeri
dalam rangka penetapan RUU Usul DPR : Rp 24,428 miliar
5. Badan legislatif : Rp 2,721 miliar
6. Pembahasan 20 RUU : Rp 36,643 miliar
7. Panitia anggaran : Rp 2,67 miliar
8. Asuransi perjalanan ke luar negeri : Rp 1,503 miliar
9. Kunjungan komisi : Rp 23,929 miliar
10. Kunjungan komisi I dalam rangka kasus
Spesifik : Rp 3,065 miliar
11. Kunjungan Badan Kehormatan : Rp 2,513 miliar
12. Studi komparasi : Rp 1,485 miliar

I'm Back

Setelah selama 3 hari bergelut dengan paper dan presentasi di Putrajaya Malaysia, akhirnya aku kembali ke Indonesia. Sungguh, bisa berbicara di hadapan mahasiswa negeri jiran itu dan beberapa kawan dari negara lain merupakan pengalaman yang sangat berharga bagiku. Ternyata antusiasme mereka terhadap apa yang aku sampaikan cukup besar, walau ketika presentasi mereka cukup dipusingkan dengan ucapanku.

Well, dibalik rasa banggaku itu terbesit juga perasaan tidak betah. Maklum, aku kurang bisa beradaptasi dengan masakan Malaysia. Terlalu banyak kencur. Jadilah aku selama 3 hari di sana hanya makan nasi lemak dan nasi goreng kampung plus jus buah.

Di samping itu, ada hal lain yang menarik perhatianku selama di sana. Aku tidak pernah menemukan adanya kemacetan seperti biasa kuhadapi di Jakarta. Lalulintas begitu lancar dan tertib. Tak ada yang memotong jalur seenaknya. Tak ada yang menerobos lampu merah seperti orang Indonesia kebanyakan. Tak ada motor yang melaju di trotoar. Dan tak ada pula orang-orang yang saling serobot tak mau mengalah.

Harusnya orang kita lebih banyak belajar mengenai ketertiban pada Malaysia. Kita harus banyak berkaca pada negeri pak lah itu. Kenapa? karena mereka bisa tertib, sedangkan kita tidak.

Jumat, 28 November 2008

Sakit

Sudah empat hari ini tubuhku benar-benar tidak fit. Serba salah. Panas salah. Dingin lebih salah. Hhhh.... masa sih aku harus jatuh sakit ketika keberangkatanku ke negeri jiran tinggal hitungan hari? apa kata dunia...??? (gak mirip ya ma naga bonar)

Untung saja tubuhku cukup pengertian. Ketika aku tengah disibukkan dengan laporan yang harus kuserahkan ke redaktur, tubuhku dengan sendirinya mendadak memaksakan untuk fit. Tak ada keluhan darinya. Dan ketika semua sudah selesai, tubuhku baru merengek minta istirahat. Gantian, aku yang harus menurutinya.

Tubuhku benar-benar membuatku bangga. Terkadang aku berpikir, jangan-jangan aku sudah bertindak kejam terhadapnya. Selama 28 tahun tubuhku ini menemaniku, jarang sekali dia kuberikan kesempatan untuk sakit. Aku selalu memaksakannya untuk tetap fit setiap saat. Aku paksakan dia untuk memelototi komputer selama 24 jam hanya untuk menulis berjuta-juta kata bohong yang terangkum dalam keempat novelku kini. Dan parahnya, hasil menulis itu tak pernah sepeserpun kusisihkan untuk merawat kesehatan tubuhku. Aku memang tak tahu diuntung.

Kini dia sepertinya tak bisa lagi menahan amarahnya. Dia meletup. Berteriak di telingaku, mengatakan kalau dia juga bisa sakit. Aku tersentak. Tiba-tiba saja aku tersadar telah begitu melalaikannya.Dia gantian memaksaku untuk tidak melakukan apa-apa selama empat hari ini. Dia juga memaksaku merogoh kocekku dalam-dalam untuk biaya kesehatannya.Ditengah ringkihan kesakitannya, dia tersenyum padaku sambil berkata, emang cuma kamu yang bisa seenaknya ngatur!

Jumat, 14 November 2008

Polemik Iklan Kampanye

Polemik Iklan Kampanye
Golkar Dan PKS
Seide Soal Soeharto


Usaha menjadikan Soeharto sebagai pahlawan, tak pernah henti dilakukan Partai Golkar. Bahkan, PKS kini sudah ‘menjual-nya’ dalam iklan politik.

SETELAH sepuluh tahun reformasi, Soeharto ternyata masih mendapatkan tempat di hati bangsa Indonesia. Buktinya, pada peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember lalu, Partai Golkar kembali meminta kepada pemerintah agar pemimpin Orde Baru itu diberikan gelar pahlawan.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga secara khusus membuat iklan yang berisi, salah satunya gambar Soeharto. PKS, dalam pesan iklan itu, akan meneruskan perjuangan para pahlawan. Iklan politik yang ditayangkan di stasiun televisi itu, memunculkan polemik. Terlebih, PKS dikenal dengan jargon partai bersih. Tampaknya, dalam soal Soeharto, PKS dan Golkar memiliki pandangan yang sama.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono mengatakan, hingga saat ini pihaknya tetap mengharapkan agar Soeharto diberikan gelar kepahlawanan oleh pemerintah. “Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan, seharusnya lebih banyak melihat jasa-jasanya ketimbang kesalahannya,” ujarnya di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Senin (10/11) lalu.
Agung menjelaskan, Partai Golkar pernah mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Karenanya, dirinya berharap usulan tersebut dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dia juga berharap agar RUU tentang Pahlawan Nasional yang sudah menjadi agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) bisa cepat dibahas.
”Supaya jelas kriterianya, mana yang pahlawan dan mana yang bukan. Kriteria inilah yang menjadi tuntutan undang-undang di kemudian hari,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Ikatan Masyarakat Pencinta Soeharto (Imaha) Iwan Panggu. Menurutnya, Soeharto tidak bisa dipisahkan dari perjuangan bangsa. Terlebih, penguasa Orde Baru itu juga telah berjasa dalam membangun Indonesia. “Kalau ada yang tidak suka kan cuma sebagian kecil saja,” tuturnya.
Iwan menjelaskan, sampai saat ini masa-masa kepemimpinan Soeharto banyak dirindukan masyarakat. Karena, kata dia, pada saat Soeharto memimpin, orang tidak sulit mendapatkan pekerjaan dan negara selalu aman. “tidak seperti sekarang,” keluhnya.
Sementara itu, Ketua DPP Partai Golkar Firman Subagyo menyampaikan, usulan pemberian gelar kepahlawanan kepada Soeharto telah dikirim sesaat setelah bekas Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) itu wafat. Namun, tuturnya, hingga kini belum ada respons dari pemerintah.
“Kita masih tunggu keputusan pemerintah,” kata Firman di Jakarta, Senin (10/11).
Dia mengaku, pihaknya akan membuat surat penegasan kembali mengenai usulan tersebut dan akan segera melakukan pendekatan kepada pemerintah. Dia menambahkan, Partai Golkar menilai Soeharto telah memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional.
“Golkar akan menanyakan kembali kepada pemerintah mengenai usulan itu (gelar pahlawan untuk Soerharto, red). Presiden kedua RI itu jangan hanya dilihat kekurangannya saja, melainkan jasa-jasanya di masa lalu juga dong. Kan setiap orang itu memiliki kelebihan dan kekurangan,” katanya.

Penuh Darah Dan KKN
Namun, hal ini disanggah Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti. Menurut Ray, Soeharto tidak layak disebut sebagai pahlawan, apalagi sebagai guru bangsa. “Siapa yang bilang Soeharto pahlawan nasional? Sampai saat ini belum jelas kedudukannya, apakah sebagai pahlawan atau penjahat,” ungkapnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Bekas aktivis 98 itu menilai, selama 32 tahun kepemimpinan Soeharto hanya menyumbangkan peradaban buruk bagi bangsa Indonesia. Karena itu, menurutnya, tidak ada alasan yang logis untuk menyebut Soeharto sebagai pahlawan, termasuk dimasukkan dalam kategori guru bangsa.
“Era Soeharto penuh darah, KKN, moral busuk,” ujarnya ketus.
Sependapat dengan Ray, Ketua Umum Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem)-PDIP Budiman Sudjatmiko menyatakan, Soeharto sampai akhir hidupnya terindisikasi korupsi dan melanggar HAM. Karena tak pernah ada kejelasan dengan status hukum itu, kata Budiman, sangat tidak pantas Soeharto dijadikan sebagai pahlawan ataupun guru bangsa.
“Soeharto tidak patut dijadikan teladan. Saya yakin rakyat Indonesia pun tidak akan setuju kalau Soeharto dianggap sebagai pahlawan, apalagi sebagai guru bangsa. Coba aja minta komentar warga Indonesia, saya yakin lebih dari separuhnya tidak akan setuju,” ucapnya.
Calon legislatif dari PDIP ini menambahkan, untuk bisa menjadi pahlawan, diharuskan memiliki syarat tertentu. Dengan demikian, kata dia, tidak semua tokoh harus diangkat menjadi pahlawan. “Menjadi pahlawan, juga bukan berarti bisa menjadi guru bangsa. Guru bangsa itu sumber spiritual bangsa dan Soeharto tidak layak untuk itu,” tandas Budiman Sudjatmiko.
Penolakan juga disampaikan budayawan Revitriyoso Husodo. Menurut dia, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tidak tepat dan tidak ada urgensi yang tepat untuk penganugerahan tersebut. “Apalagi, Soeharto itu sangat berperan dalam melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat. Jadi mana bisa seorang pelanggar HAM jadi pahlawan,” katanya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Bekas ketua umum Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) ini mengatakan, usulan pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto hanyalah manuver dari kelompok tertentu untuk membersihkan dosa penguasa Orde Baru tersebut. Penanugerahan gelar itu, kata dia, menjadi pintu masuk dan pembenaran bagi kalangan militer untuk kembali berkuasa.
“Soeharto juga tidak layak disebut guru bangsa. Kalau disebut sebagai guru bangsa dalam hal nilai-nilai militeristik dan paham anti demokrasi mungkin ya,” katanya. n CR-3/TIF

///////////////////

Muchsis Malik
Direktur Kepahlawanan Departemen Sosial

Kalah Ilmiah Dibanding
Bung Tomo Dan M Natsir

DIREKTUR Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Departemen Sosial (Depsos) Muchsis Malik menyatakan, Soeharto memang pernah diusulkan menjadi pahlawan nasional pada tahun 2007. Namun, kata dia, usulan tersebut tidak lolos disebabkan ada beberapa persyaratan yang tidak terpenuhi. Salah satunya terkait pertanggungjawaban ilmiah.
“Saat itu, kami minta kepada pengusul, mana hasil seminar ilmiahnya. Ternyata nggak masuk-masuk sampai sekarang,” beber Muchsis.
Muchsis menerangkan, Soeharto ketika itu termasuk dalam dua puluh tujuh nama calon pahlawan nasional yang diusulkan oleh perorangan, organisasi kemasyarakatan, pemerintah daerah pada Periode 2007. Namun, setelah melalui proses seleksi, hanya sebelas orang yang lolos verifikasi Badan Pembina Pahlawan Daerah (BPPD) dan kemudian mengerucut menjadi empat nama.
Dia mengatakan, keempat pahlawan baru itu adalah, mantan Perdana Menteri M Natsir, Bung Tomo dan Abdul Halim asal Majalengka, Jawa Barat. “Tiga orang sebagai pahlawan nasional dan satu mendapat bintang jasa Mahaputra Utama, almarhum Petta Lolo La Sinrang asal Sulawesi Selatan,” beber Muchsis.
Secara terpisah, Kasubdit Kepahlawanan Keperintisan dan Tanda Jasa Depsos Muhammad Nur Sholeh menjelaskan, setiap unsur masyarakat di daerah, maupun instansi di bawah pemda berhak mengajukan nama pahlawan lokal. Daftar pengajuan nama pahlawan itu akan disaring di level pemda oleh elemen sejarawan lokal dan diajukan secara administratif kepada Depsos.
“Depsos hanya terlibat di level administratif. Sedangkan secara substansial akan dibahas di sidang BPPP (red; Badan Pembina Pahlawan Pusat) yang beranggota sejarawan dan ahli,” ujar Nur Sholeh.
BPPP, lanjut dia, menggelar sidang penetapan pahlawan lima kali dalam setahun. Dalam sidang tahunan tersebut, beberapa aspek yang menentukan kelayakan seorang tokoh untuk diakui sebagai pahlawan nasional. Di antaranya, hasil penelitian tentang tokoh tersebut, riwayat perjuangan di daerah, seminar tentang tokoh tersebut, dan hasil seminar yang menyertakan aspek legal.
“Dalam beberapa kejadian, yang membuat tokoh pahlawan itu gagal diakui sidang adalah karena materi referensi yang diajukan daerah tergolong miskin fakta atau bukti-bukti baru yang membatalkan status tokoh tersebut sebagai pahlawan,” paparnya.
Nur Sholeh lantas menggambarkan salah satu suasana sidang BPPP. Menurut dia, pernah terjadi perdebatan hingga adu argumen ilmiah sampai melibatkan data-data dan teks asli dalam bahasa Belanda dan bahkan arsip dalam tulisan Jawa. Rata-rata, jelas dia, tebal referensi untuk menentukan status pahlawan seorang tokoh mencapai ratusan halaman. n CR-3/JPNN

//////////////////////

JJ Rizal
Peneliti Sejarah
Pahlawan Itu Memberi Keteledanan

PENELITI sejarah JJ Rizal mengatakan, usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dinilai sebagai manuver politik menjelang Pemilu 2009. “Itu kepentingan Partai Golkar untuk merebut kekuasaan kembali dengan menjadikan Soeharto sebagai alat,” ungkapnya kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut dia, usulan tersebut lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Sebab, kata dia, Partai Golkar lebih mengutamakan kepentingan politik dan tidak memperhatikan pertimbangan sejarah. “Kita tahu kok Soeharto itu lebih banyak dosanya daripada jasanya,” tukasnya.
Rizal berpendapat, seharusnya gelar pahlawan itu diberikan kepada orang-orang yang memang benar-benar berjasa dan dianggap telah memberikan keteladanan yang baik bagi masyarakat. “Pahlawan itu dipandang karena keteladanannya. Kalau Soeharto, mana bisa dibilang pahlawan,” ujarnya. n CR-3

(Dimuat di harian Rakyat Merdeka Edisi kamis 13 November 2008)

Jumat, 17 Oktober 2008

Sepercik naskah novel ke-5

Blasting Kepala



Siang yang terik. Tak ada satu pun awan di langit, hingga sang mentari dapat memancarkan sinarnya dengan leluasa. Di kebun Murtani banyak orang berkerumun. Sanip setengah berlari mendekatinya Dia melihat, di tengah kerumunan terduduk seorang lelaki paruh baya dengan tangan terikat. Di sebelahnya si Cedot, centeng berwajah sangar berdiri sembari memegangi tali yang mengikat lelaki itu. Pieter van der Barr tersenyum dengan angkuhnya di atas kuda. Sementara puluhan centeng lainnya tengah mengangkut tumpukan padi, sayuran, kambing, dan harta benda dari sebuah rumah. Para marsose bersenjata lengkap yang diminta bantuannya oleh Pieter menjaga ketat proses eksekusi itu.
”Ade ape, Bang?” tanya Sanip kepada Rojali yang berdiri di sebelahnya
”Kasian Bang Miun, semua bandanye diangkut ma tuh Belande,” sahut Rojali setengah berbisik kepada Sanip. ”Dia kagak bisa bayar blasting”
Sanip cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kejadian itu. Ini merupakan peristiwa yang sudah tidak asing lagi di Djati Baroe. Peraturan gubernemen yang memaksa rakyat untuk membayar blasting kepala sebesar 25 sen terhadap tiap pemuda yang telah menginjak dewasa telah membuat rakyat Djati Baroe sengsara.
Dan peraturan itu selalu menjadi pembenaran bagi para tuan tanah untuk mengadukan petani yang gagal membayar cukai kepadanya ke landrad. Tak ada seorang pun yang bisa melawan. Para tuan tanah itu terlalu kuat karena dibekingi oleh centeng-centeng bayaran dan kompeni.
”Hei! Kalian semua dengar, inilah akibatnya kalau berani macam-macam padaku!” teriak Pieter sembari berdiri.
Setelah puas menguras semua harta benda Miun, Pieter beranjak pergi dengan kawalan marsose dan centeng-centengnya. Sedang Miun, hanya bisa meratap sambil menahan sakit. Dia tak kuasa mempertahankan hartanya, karena ia tidak mampu membayar denda sebesar 7.20 gulden ditambah ongkos perkara yang diputuskan oleh landrad di Meester Cornelis . Orang-orang di sekitar Miun pun hanya bisa melongo memandangi kepergian tuan tanah yang terkenal kejam itu. Rojali kemudian membantu Miun berdiri dan melepaskan tali yang mengikat tangan lelaki paruh baya itu.
”Bang, maapin aye ye! Aye kagak bisa bantuin Abang,” desis Rojali yang disambut anggukan kepala Miun. “Sanip, bantuin gua sini”
”Iye, Bang!” Sanip yang sedari tadi diam bergegas menghampiri Rojali.
Wajah Bang Miun terlihat lebam. Di sudut bibirnya keluar darah segar akibat pukulan bertubi-tubi yang dilayangkan si Cedot. Hari itu, teriknya mentari dan puluhan pasang mata kembali menjadi saksi atas perlakuan kejam Pieter Van der Barr kepada rakyat Djati Baroe.

****
Pieter van der Barr memasuki gedung Paleis yang dibangun pada tahun 1745 oleh kakeknya Zentgraff Van der Barr, seorang anggota Dewan Hindia dan merupakan kediaman keluarganya secara turun temurun hingga akhirnya menjadi milik lelaki duda itu. Para centeng dipimpin Cedot bersiaga di pekarangan Paleis.
Landhuis itu kelihatan megah dan dikelilingi perkebunan, serta terdapat peternakan yang diisi ribuan ekor sapi dan ratusan kambing yang dua diantaranya adalah hasil sitaan tadi siang. Di pekarangannya yang luas, berjejer kereta kuda. Panoramanya bertambah indah dengan kehadiran pepohonan Tamarindus indica mulai depan Paleis hingga jalan menuju Buitenzorg .
Para pembantu rumah tangga dengan pakaian dinas lengkap berbaris menyambut kedatangan Pieter van der Barr dengan anggukan kepala. Satu orang dari mereka dengan sigap meraih topi dari tangan Pieter.
Lelaki itu memang sengaja memberikan seragam kepada mereka demi menjaga gengsi. Dan untuk seseorang yang memiliki penghasilan mencapai 600.000 rijksdaalder pertahun, hal tersebut bukanlah sesuatu yang memberatkan.
”Surip”
“Saya, Mijnheer,” Seorang pembantu sedikit memajukan tubuhnya.
“Kamu angkut barang-barang itu ke gudang!” Pieter menunjuk ke arah gerobak di pekarangan.
”Baik, Mijnheer”
Bergegas Surip mengajak pembantu yang lain untuk membantunya menurunkan barang yang ada di gerobak.
Pieter van der Barr kemudian masuk ke dalam. Dia terlihat letih. Raut wajahnya memancarkan keletihan. Hari ini dia baru berkeliling Djati Baroe. Menyita harta benda lima orang petani yang tak sanggup membayar denda kepadanya. Terakhir, dia menyita harta Miun, petani yang dituntutnya di landrad dengan denda sebesar 7.20 gulden. Orang pribumi memang bodoh, umpatnya dalam hati.
Dia melepaskan pakaian yang membalut tubuh kekarnya dan menggantinya dengan piyama. Siang ini dia ingin istirahat sejenak sebelum pergi ke pesta dansa nanti sore.

****
Di kamarnya yang sempit, Miun terbaring. Siti, sang istri yang telah dinikahinya selama 25 tahun dengan penuh kasih sayang mengkompres lebam di wajah Miun. Di sebelahnya, dua gadis remaja terus memijat kaki Miun. Sinar mata Miun memancarkan kebencian. Setiap kali dia teringat kejadian tadi siang, hatinya meradang. Tapi, hanya itu yang dia bisa lakukan. Dia tak memiliki kemampuan untuk melawan Pieter van de Barr dan centeng-centengnya. Dia tidak ingin mati konyol. Dia tidak ingin seperti Rojak yang harus mati di tangan si Cedot sebulan lalu karena melawan ketika penjajah itu menyita harta bendanya.
Rojak mati mengenaskan. Lehernya nyaris putus ditebas golok centeng keparat itu. Istri Rojak pun tak lebih baik nasibnya. Wanita itu dibawa si Cedot, diperkosa, dan dibunuh. Mayatnya ditemukan warga sehari kemudian di rawa tak jauh dari kediaman Pieter van der Barr. Tak ada yang bisa menghukum si Cedot. Di Djati Baroe ini hukum Pieter van der Barr dan para centengnyalah yang berlaku.
”Assalamualaikum,” terdengar suara dari luar.
”Ti, coba liat sono! Siape yang dateng?” perintah Miun dengan nada pelan.
Siti bergegas keluar kamar dan menghampiri suara tadi. Dia tidak langsung membuka pintu. Dia mengintip lewat jendela. Dia takut si Cedot dan komplotannya datang lagi. Senyumnya lalu mengembang ketika tahu Rojali dan Sanip yang datang.
”Bang Miun mane, Mpok?” tanya Rojali ketika dibukakan pintu.
”Ade, di kamar,” sahut Siti. ”Masuk, Li” lanjutnya mempersilahkan.
”Makasih, Mpok”
Rojali dan Sanip melangkah masuk mengikuti Siti. Malam ini mereka sengaja mengunjungi Miun untuk memberikan sepuluh liter beras dan sedikit uang kepada lelaki itu. Mereka lakukan itu karena mereka tahu, Miun dan keluarganya tidak memiliki apa-apa lagi selain gubuk reyot yang ditinggalinya. Miun telah kehilangan segalanya. Sawah, kambing, dan hasil panennya minggu lalu habis dirampok Pieter Van de Barr. Yang tersisa cuma bale dan dua ranjang butut yang kini menjadi pembaringan Miun beserta istri dan kedua anak gadisnya.

****
Klub yang terletak di waterlooplein begitu ramai. Beberapa perwira Belanda asyik menghisap cerutu Havana dengan ditemani wanita-wanita cantik yang sengaja diundang oleh mereka. Di lantai dansa, lampu-lampu kristal gemerlapan mengiringi alunan musik yang dibawakan oleh korps militer.
Pieter akhirnya tiba di Concordia tepat jam tujuh malam. Membutuhkan waktu empat jam dengan kereta kuda untuk mencapai klub itu. Wajahnya terlihat lebih tampan dengan pakaian jas warna putih yang baru dibelinya kemarin, khusus untuk pesta malam ini.
Tepat di pintu masuk, seorang komisaris menyambut kedatangannya setelah sebelumnya memaksa van Cook yang tengah menggoda wanita untuk menyingkir. Letnan muda itu tak berani melawan sang komisaris yang berpangkat lebih tinggi darinya..Ia pun langsung pergi dari hadapan komisaris.
“Selamat datang di Concordia, Mijnheer! Mari,” ajak Muller, sang komisaris ramah.
Pieter mengangguk tersenyum. Dia langsung melangkah ke dalam ditemani komisaris dan berbaur dengan tiga komisaris lain yang diapit beberapa wanita. Tidak sampai sepuluh menit, mereka langsung akrab. Pieter lebih banyak berbincang dengan Mary, putri dari Muller. Ia terpesona dengan kecantikan Mary. Begitu pun Mary. Wanita itu seperti tak percaya jika saat ini ia tengah berhadapan dengan orang yang cukup berpengaruh di Djati Baroe. Dia sebenarnya sudah lama mendengar namanya. Tapi, baru kali dia berhadapan dengan penguasa tanah partikelir Djati Baroe yang masuk dalam wilayah Pemerintahan Gemeente Meester Cornelis itu.
Muller dan komisaris lainnya pergi meninggalkan mereka berdua. Para petinggi itu menyelinap keluar Concordia bersama wanita pasangannya.
“Een ogenblik , saya ingin mengambil minum lagi untuk kita”
Pieter bangkit dari duduknya. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawa dua gelas besar bir.
“Bedankt, ” Mary meraih gelas yang disodorkan Pieter dan meneguknya.
Pieter memandang takjub wanita itu. Benar-benar cantik.
“Kenapa Mijnheer memandang saya seperti itu?”
“Oh, het spijt me ... Saya hanya sedang mengagumi kecantikan anda”
Mary tersipu malu. Baru kali ini lagi ada lelaki yang mengatakan dirinya cantik.
” Mijnheer bisa saja bergurau”
”Nee, saya tidak bergurau. Mevrouw benar-benar cantik”
Mary semakin tersipu. Alunan musik dansa terus menggema. Pieter tanpa sungkan lagi mengajak Mary berdansa. Wanita itu memenuhinya. Di bawah sinar lampu kristal mereka berdansa. Kian lama tubuh mereka kian tak ada lagi jarak. Benar-benar menyatu. Berdansa hingga musik berganti.

****
Pagi menjelang. Burung-burung kembali berdendang menyambut kehadiran sang mentari. Menggantikan dewi malam yang telah menunaikan tugasnya. Tak terdengar lagi suara musik di Concordia. Tak ada lagi orang yang berdansa. Para perwira sudah pulang sejak pukul 3 dini hari. Mereka saling berpasangan. Kebanyakan dari mereka pulang ke kediaman para wanita yang mereka undang semalam. Saling memberikan persembahan terbaik mereka. Persembahan seorang suami kepada istrinya. Istri kepada suaminya. Mereka bergumul tanpa sebuah ikatan. Termasuk Pieter dan Mary
Pieter yang masih terlihat mabuk akibat semalaman minum bir berusaha bangkit dari tidurnya. Ditinggalkannya Mary yang tertidur lelap di sampingnya. Dengan langkah gontai, pria itu keluar dari kamar. Di luar kamar tertata rapih meja makan dan beberapa foto Mary dan Komisaris Muller beserta istrinya yang menghiasi dinding.
"Pagi, Mijnheer," seorang wanita pribumi menyapanya.
Pieter mengangguk tanpa senyum. Angkuh. "Di mana istri Mijnheer Muller?"
" Mevrouw Catharina tidak ada di sini, Mijnheer. Mevrouw Catharina ada di Holland"
Lagi, Pieter mengangguk. Ia lupa jika para petinggi Belanda di Batavia tidak ada yang memboyong istrinya ke negeri ini. Mereka semua banyak yang mempersunting wanita pribumi untuk dijadikan selir. Dan tentunya yang dipilih adalah wanita yang cantik.
"Sampaikan pada Mary, saya pulang!"
Lelaki itu melangkah keluar. Di pekarangan Landhuis sudah berdiri si Cedot dan dua anak buahnya.
”Cedot, kita pulang sekarang,” ujar Pieter.
”Baik, Mijnheer,” sahut Cedot.
Disuruhnya seorang anak buahnya mengambil kereta kuda. Setelah Pieter naik, kereta kuda pun bergegas meninggalkan Concordia untuk kembali ke Djati Baroe. Si cedot duduk di samping kusir, sementara anak buahnya bertengger di belakang kereta.
Kereta kuda terus melaju menyusuri Grote Postweg . Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di Struiswijk . Jalan ini tampak senyap. Dari kejauhan hanya tampak sebuah trem uap yang tengah menggelinding dari arah Meester Cornelis menuju Stadhuis . Di dalam lokomotif berdiri masinis pribumi dan seorang petugas yang menyalakan api. Di gerbong belakang ada dua orang pemuda pribumi berseragam tanpa alas kaki. Mereka adalah kondektur. Trem itu dikepalai oleh seorang Eropa. Ada tiga gerbong yang dimiliki trem itu. Masing-masing gerbong diperuntukkan bagi kasta yang berbeda. Ada kelas satu yang dikhususkan untuk warga Eropa, kelas dua untuk warga Tionghoa dan Arab, serta gerbong khusus kelas tiga untuk orang pribumi yang membayar dengan murah. Para penumpang harus duduk sesuai dengan kastanya.
Sebentar lagi mereka akan tiba di Gemeente Meester Cornelis. Masih sekitar tiga setengah jam perjalanan yang harus mereka tempuh. Di sisi jalan, terlihat dua orang marsose menyeret seorang lelaki pribumi yang sudah lemah tak berdaya. Keduanya tak henti-hentinya menghardik lelaki itu. Menghajarnya dengan popor senapan. Seorang lainnya berjalan tegak di depannya. Sepertinya lelaki itu akan dibawa ke rumah penjara Meester Cornelis. Pemandangan itu merupakan hal yang lazim di negeri Batavia. Setiap pribumi yang membangkang pasti akan mengalami perlakuan seperti lelaki itu. Itu tuh akibatnya kalo berani ngelawan kompeni, dengus Codet dalam hati. Senyumnya begitu mencibir.
Tak lama kemudian mereka memasuki wilayah Gemeente Meester Cornelis. Tangsi-tangsi militer mulai terlihat. Jalanan pun tak lagi senyap. Banyak orang lalu lalang di sisi De Groote Zuiderweg . Para mevrouw kompeni dan nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat disertai pembantu-pembantu berkereta hilir mudik di sekitar mereka.
Kereta kuda yang mengantar pembesar Djati Baroe itu tetap sunyi. Tak ada percakapan antara mereka. Pieter asyik menikmati pemandangan di bawah rimbunnya pepohonan di kiri-kanan jalan. Di depan, sang kusir terus berusaha mengendalikan sepasang kuda yang menarik kereta. Dan si Cedot beserta kedua anak buahnya membiarkan kedua mata mereka mengawasi setiap sudut jalan dengan liarnya.

****
” Mijnheer, kita sudah sampai,” Pelan, Cedot membangunkan Pieter.
Lelaki itu perlahan membuka matanya dan mendapatkan dirinya sudah berada depan Paleis. Rupanya cukup lama dia tertidur. Terakhir dia ingat ketika akan memasuki daerah Tsiawang.
Pieter lalu turun dari kereta. Dilangkahkan kakinya menapaki setiap anak tangga. Dua orang pembantu menghampiri Pieter. Seorang dari mereka meraih topi dari Pieter.
”Kemana Surip?” tanya Pieter.
“Surip sedang kasih makan sapi, Mijnheer,” jawab seorang pembantu.
“Oh…” Pieter mengangguk. “Kamu, siapkan air hangat untuk saya bersihkan badan”
“Baik, Mijnheer”
Pieter berjalan memasuki kamar tidur. Lalu duduk di depan meja rias almarhum istrinya. Wajahnya masih memancarkan keletihan. Pesta dansa semalam benar-benar telah menguras tenaganya. Cukup lama dia terduduk. Memandangi cermin dihadapannya. Sesekali ia tersenyum tipis. Memuji dirinya sendiri yang masih terlihat tampan di usianya yang mulai paruh baya.
”Tok...tok,” suara pintu membuyarkan lamunannya.
Pieter menoleh ke arah pintu kamarnya. Seorang wanita tua pembantunya berdiri.
”Maaf, Mijnheer! Air hangatnya sudah siap”
Pieter mengangguk.
Wanita tua itu lalu melangkahkan kakinya meninggalkan kamar. Pieter bangkit dari duduknya dan berjalan menuju paviljoentjes . Dilepaskannya pakaian yang melekat di tubuhnya. Satu persatu bagian tubuhnya dibasuh dengan air hangat. Satu kebiasaan yang sering ia lakukan setiap menjelang sore. Pieter begitu menikmatinya. Kehangatan air telah melenyapkan kepenatan yang menyelimutinya semalaman.

****
Di langit, rembulan bersinar dengan terang. Sanip duduk sendiri di bale depan rumah. Di sisi kanannya kopi yang baru saja dibuatnya menyembulkan asap dan wanginya yang khas. Menggoda hidung Sanip. Lelaki itu meminumnya seteguk demi seteguk. Terasa hangat di tenggorokan. Menepis rasa dingin yang menyerangnya sedari tadi.
Pikirannya menerawang. Mengingat perlakuan demi perlakuan Pieter van der Barr dan para centengnya terhadap rakyat Djati Baroe. Ada rasa miris di hatinya. Sebenarnya dirinya sudah tidak tahan menyaksikan kekejaman Pieter. Saban hari ada saja rakyat Djati Baroe yang disita harta bendanya dan disiksa oleh centeng-centeng keparat yang dibantu oleh marsose itu. Ingin dia melepaskan rakyat dari kekejaman penguasa tanah partikelir Djati Baroe itu. Tapi, ia tak kuasa. Si Cedot dan anak buahnya lebih hebat darinya. Ilmu bela dirinya belum seberapa. Belum lagi dia harus berhadapan dengan prajurit kompeni bersenjata lengkap yang membantu Pieter Van der Barr. Dan Rojali, sahabat karibnya meminta dia untuk tetap bersabar.
”Belon waktunye, Nip,” kata Rojali ketika ia mengusulkan untuk segera melakukan sesuatu untuk mengakhiri kejaliman Pieter.
Latip menarik napas panjang. Diminumnya kembali kopi perlahan.
“Assalamualaikum,” sebuah suara membuyarkan lamunannya.
“Walaikum salam! Eh, Abang,” Sanip bangkit dari duduknya. Menjabat tangan Rojali erat. “Duduk, Bang”
Rojali tersenyum. Dia duduk di samping Latip.
“Elu lagi mikirin apaan sih, Nip? Gua perhatiin dari jauh bengong aja”
“Aye lagi mikirin nasib warga kampung kite, Bang! Kite musti berbuat sesuatu supaye Pieter sama centeng-centengnya berenti berbuat keji sama orang kampung”
”Hhh.... Gua juga sebenarnya udah kagak tahan, Nip! Tapi, kite musti sabar. Ntar juga ada waktunye kapan kite kudu ngelawan”
”Ampe kapan, Bang? Orang kampung udah banyak menderita gara-gara ulah Belanda laknat ntu”
Rojali menggeleng. ”Pokoknye kite jangan gegabah, Nip”
”Iye, Bang! Gimana baenya aja”
”Ya udah, kalo gitu gua pamit dulu!” Rojali bangkit dari duduknya.
”Buru-buru banget, Bang?”
”Iye, ada pengajian di rumahnya Haji Wahab! Assalamualaikum”
”O iye, ye! Kok aye lupe ya, Bang! Tunggu bentaran deh Bang, aye ganti baju dulu”

****
Pagi menjelang. Ayam saling berlomba bersenandung menyambut sang mentari. Hamparan padi bergoyang diterpa angin semilir. Para petani mulai turun ke sawah. Mereka tersenyum. Hari ini saatnya mereka harus kembali membajak sawah untuk ditanami benih padi setelah musim panen minggu lalu. Seolah mereka lupa jika nanti usai panen mereka harus bayar pajak kepada Pieter van der Barr.
Rojali berdiri di tepian sawah miliknya. Memandang jauh ke depan. Lalu turun ke sawah. Mengayunkan pacul di genggamannya. Berusaha menggemburkan tanah. Tak lama ia berhenti. Suara teriak kesakitan mengusiknya. Ia menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah timur. Terlihat sosok lelaki kurus tersungkur di petakan sawah. Lelaki itu mengaduh. Memohon ampun kepada tiga orang di hadapannya.
“Dasar, centeng keparat!” desis Rojali.
Rojali menjatuhkan paculnya dan berjalan menghampiri ketiga lelaki itu.
“Ade apaan nih?!”
Ketiga orang centeng anak buah si Cedot itu memalingkan wajahnya ke arah Rojali. Udin, Umang, dan Juki memasang tampang sangar. Ketiganya merasa terusik dengan kehadiran Rojali.
“Apa urusannya sama elu?! Elu mendingan pegi dari sini, kagak usah ikut campur!” cetus Juki sinis.
Rojali menggeletuk geraham. Ia mencoba menahan amarahnya. Didekatinya Kurdi, lelaki yang menjadi bulan-bulanan ketiga centeng itu. Membantunya berdiri.
”Elu kagak napa-napa, Di?”
Kurdi menggeleng pelan.
”Ada masalah apaan emangnya?”
”Aye kagak bisa bayar blasting, Bang”
”Heh Rojali, elu budeg ya?! Gua bilang elu pegi dari sini, kagak usah ikut campur urusan orang!” Udin menghardik.
Rojali memalingkan wajahnya. ”Berapa yang harus dibayar?”
Ketiga centeng tertawa terbahak-bahak. Tawanya begitu melecehkan.
”Liat, belagu bener die! Emangnya elu mau bayarin?!”
”Kalo iye, kenape?” suara Rojali terdengar menantang.
Udin mendengus. ”25 sen”
Rojali lalu mengeluarkan uang dari balik sabuknya. Uang yang selama ini disimpannya. Rencananya jika sudah terkumpul banyak, uang itu akan digunakan untuk membeli kerbau. ”Nih!”
Ketiga anak buah Cedot itu saling lirik. Juki dan Umang memberikan isyarat kepada Udin untuk mengambil uang dari tangan Rojali. Udin menangkap isyarat itu. Diambilnya uang sebesar 25 sen dari genggaman Rojali. Agak kasar ia mengambilnya. Lalu beranjak pergi.
“Makasih ye, Bang”
“Same-same, Di”

****
Di Paleis, Pieter baru selesai makan pagi. Hari ini ia berencana mengontrol peternakan sapinya yang lain di Kampong Makasar. Kereta kuda telah disiapkan. Si Cedot berdiri tepat disampingnya. Pieter berjalan menapaki anak tangga untuk naik kereta kuda.
“Pagi, Mijnheer” Cedot memberi hormat.
Pieter membalas dengan anggukan kepala. Tak ada senyum ramah di wajahnya. Sikap yang acap kali ditampakkannya di hadapan orang pribumi. Dengan langkah angkuh ia masuk ke dalam kereta kuda.
Kereta melaju mengikuti langkah kuda. Pieter duduk dan menatap dingin ke sisi jalan. Cedot diam di sebelah kusir. Dan dua anak buahnya seperti biasa, bertengger di belakang kereta. Sesekali Pieter mengibaskan topi ke arahnya. Cuaca terasa panas hari itu. Matahari cepat sekali mengepakan cahayanya. Menembus rindangnya pepohonan sepanjang De Groote Zuiderweg.
Jalan terlihat begitu sepi. Hanya beberapa kaum pribumi berjalan di kiri jalan dengan kerbaunya. Ada juga yang terlihat membasuh peluh karena keletihan memikul rumput untuk pakan ternak. Mereka membungkuk ketika Pieter melintas di depan mereka. Memberikan hormat kepada Pieter. Penghormatan yang harus mereka lakukan dengan penuh keterpaksaan. Pembesar tanah partikelir Djati Baroe itu membalasnya dengan sorot mata penuh kebencian. Benar-benar tak bersahabat. Baginya, kaum pribumi tidaklah pantas untuk dihargai dan dihormati layaknya bangsa Eropa. Mereka berwarna coklat dan kotor. Kaum pribumi tak ubahnya seperti anjing buduk yang tidak layak bersanding dengan orang sebangsa dirinya. Kaum pribumi hanya layak dijadikan sebagai budak yang bisa ia permainkan hidupnya. Senyum Pieter tersungging. Senyum yang angkuh.
Setengah jam kemudian mereka tiba di peternakan sapi. Cedot dan anak buahnya meloncat. Cedot memandu Pieter turun dari kereta. Peternakan sapinya begitu luas. Dikelilingi pagar yang terbuat dari kayu bulat. Pintu keluar-masuk kompleks peternakan sapi ujung-ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar, dan bercat hitam. Ada sekitar 6.000 ekor sapi yang memadati tempat ini. Dan susu sapinya, sudah sangat terkenal seantero Batavia, hampir menyaingi susu sapi produksi peternakan milik Daniel Cornelis van Riemsdijk di Tanjung Oost .
Pieter tersenyum lebar. Seorang Belanda yang menjadi kepala peternakan melaporkan bahwa produksi susu sapinya bulan ini telah melebihi target. Ini berarti dia akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
"Goed..... heel goed! Het was inderdaad heel mooi "
Kepala peternakan ikut tersenyum. Merasa bangga karena hasil kerja kerasnya mendapat pujian dari Pieter.
"Lalu, kapan susu-susu ini akan dipasarkan?" sambung Pieter.
"Morgen ochtend, Mijnheer "
"Prachtig , jangan lupa beri laporan pada saya"
"Goed, Mijnheer "
"Wel, Ik moet weg. Dag "

****
Sore, ba'da Ashar di teras rumah. Rojali kedatangan Haji Wahab, Sanip, dan Madun. Mereka berbincang. Meluapkan amarah atas tindak tanduk Pieter dan para centengnya.
"Kite kudu bertindak," Sanip kelihatan emosional.
"Iye, tapi sekarang belon waktunye," sahut Rojali kalem.
"Bener, Nip! Kite tahan dulu emosi kite, jangan gegabah," Haji Wahab menimpali.
Obrolan terhenti sejenak ketika istri Rojali menyuguhkan kopi.
"Diminum kopinye"
"Makasih, Mpok," tutur Sanip dan Madun.
"Ayo, diminum kopinye," Rojali mempersilahkan.
Ketiga lelaki itu meraih cangkir kopi di hadapan mereka dan meminumnya. Obrolan mereka berlanjut. Saling memberikan komentar tentang tingkah tuan tanah partikelir Djati Baroe dengan para centengnya. Mereka semua geram. Sebal dengan kelakuan Pieter yang kian membabi buta itu. Sesekali terdengar gemelutuk graham dari Sanip yang sudah begitu tak sabar untuk melakukan perlawanan.
Obrolan mereka kembali terhenti. Dua orang lelaki berdiri di hadapan mereka. Wajah keduanya lebam. Sambil meringis menahan sakit, salah seorang dari lelaki itu bicara. Kerbau mereka dibawa lari oleh anak buah si Cedot dan padi yang baru kemarin mereka tanam luluh lantak diinjak-injak centeng-centeng laknat itu.
"Bangsat ntu orang!" geram Sanip. "Nyok kite samperin, Bang!"
Serentak mereka berhambur keluar rumah. Mengejar gerombolan centeng bayaran itu. Sanip yang bersemangat berjalan paling depan. Mereka yakin para centeng itu belum jauh. Benar saja, selewat kebun singkong anak buah si Cedot sudah nampak di hadapan mereka.
"HEY ANJING KOMPENI! BRENTI LU PADE!" Sanip berteriak lantang.
Sontak anak buah si Cedot menghentikan langkah mereka dan berpaling. Tawa mereka sontak lepas. Udin, salah satu centeng tangan kanan si Cedot memandang Sanip dan Rojali tajam.
"Elu lagi! Udah bosen idup lu, Li!" desis Udin menantang. "Ikut campur urusan orang aja"
"Gua bukannya mau ikut campur! Gua cuma kasian aja sama orang yang udah elu ambil hartanye," sahut Rojali kalem. Mencoba menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Ia paham, belum saatnya ia melakukan perlawanan."Apa kagak sebaiknye sekarang elu kembaliin tuh kebo ke yang punye," sambungnya.
Udin mendengus. "Enak aje elu ngomong! Ini kebo gua udah sita, soalnye ntu orang kagak bisa bayar blasting"
"Ya udah, sekarang gua yang bayar blastingnye! Tapi, elu kudu balikin ntu kebo ke yang punye"
"Bang, apa-apaan sih" Sanip keheranan.
"Udahlah Nip, kite kagak usah cari perkara ame mereka pade!" sahut Rojali pelan. Berusaha meyakinkan Sanip untuk tidak gegabah.
"Bae, sekarang elu bayar 25 sen ke gua!" Dengus Udin."Tapi inget, elu jangan nyampurin urusan gua lagi, kalo kagak elu bakalan urusan ame kompeni!"
Lagi, Rojali mengeluarkan uang dari balik sabuknya. "Nih"
Udin mengambil uang itu dan menyerahkan kerbau yang dibawanya ke Rojali. Setelah itu, gerombolan centeng itu beranjak meninggalkan Rojali dan ketiga sahabatnya.
"Kenapa sih Bang, kite masih aja harus ngalah sama mereka?"
"Kan udah gua bilang, belon waktunye kite ngelawan, Nip"

****
Magrib menjelang. Suara adzan berkumandang. Memanggil setiap orang untuk beribadah sebagai wujud ketakwaannya kepada Sang Khalik. Rojali bergegas beranjak ke mushola.
Senja itu, langit masih terang. Gemerlap mentari seolah masih ingin menari mengibaskan cahayanya. Hampir seluruh rakyat Djati Baroe. Muda maupun tua tumpah ruah di rumah Tuhan. Menjalankan Rukun Islam kedua. Tak mempedulikan pekatnya debu yang berhembus dari jalan tanah merah yang mereka tapaki. Semua demi kecintaan mereka terhadap Sang Pencipta.
Sungguh perbedaan yang sangat kontras dengan suasana di Paleis. Para pengikut Pieter van der Barr justru larut dalam kenistaan. Mereka berjudi. Mabuk. Tak satu pun dari mereka yang peduli ketika sayup-sayup panggilan adzan memanggil. Mereka bergumul di lapak judi. Ditemani pancaran obor yang berdiri membisu di sisi mereka.
Di mushola, jamaah memulai shalat dengan khusuk. Rojali mengambil lakon sebagai imam kali ini. Menggantikan Haji Wahab yang berhalangan hadir. Lelaki paruh baya itu ada urusan penting di Tenabang . Entah urusan apa yang sedang diselesaikannya.

****



Centrale Gevangenissen




Siang itu Pieter van der Barr baru saja tiba di pelabuhan Sunda Kelapa. Kapal yang ditumpangi Hansen van der Barr, keponakannya akan merapat setelah sebulan lamanya melakukan perjalanan dari Holland. Ia terlihat bahagia menyambut kedatangan Hansen. Sebenarnya ia sudah lama meminta keponakannnya yang lulusan hukum di Universitas Leiden itu untuk menemaninya di Batavia. Tapi, Hansen baru bisa memenuhinya sekarang.
Senyum mengembang ketika melihat sebuah kapal merapat perlahan. Kesibukan langsung terlihat di tepi pelabuhan. Para kuli berhambur mendekati dermaga. Beberapa orang menangkap tali bandul yang dilempar awak kapal, lalu menariknya. Sebuah tambang besar yang terikat dengan tali bandul langsung dililitkan ke tonggak kayu yang terpancang kokoh di dermaga.
Usai kapal bersandar sempurna. Tangga kapal dijulurkan. Para penumpang mulai berdesakan mendekati tangga. Seorang perwira kapal meminta mereka untuk turun satu persatu.
"Hansen!" Pieter berteriak begitu melihat keponakannya menuruni tangga.
Hansen menoleh. Lalu tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Pieter. Lelaki paruh baya itu beranjak ke dermaga. Begitu Hansen menginjakkan kaki di dermaga, Pieter langsung memeluk pemuda itu
"Hoe gaat het , paman?" sapa Hansen.
"Uitstekend ,Hansen. Hoe was het met Uw reis ?"
"Sangat menyenangkan"
"Goed. Mari, kita ke rumah paman sekarang"
Pieter menyuruh Cedot membawakan koper milik Hansen. Mereka kemudian beranjak meninggalkan dermaga.
Kereta kuda perlahan menjauhi pelabuhan. Melintasi jalan kotor dan berdebu menuju kota. Sungguh, bukan perjalanan yang mengesankan. Bau busuk tercium sepanjang jalan. Hansen terus menutup hidungnya.
"Beginilah Batavia, Hansen. Nanti juga kamu akan terbiasa," ucap Pieter
Rasa mual dan jijik baru lenyap ketika kereta melewati Stadhuis. Tapi, jalan tetap saja kotor dan penuh debu. Gedung-gedung perkantoran tidak bersih dan air terusan terlihat begitu keruh. Sangat berbeda dengan Holland.
Kereta terus melaju. Menyusuri Molenvliet West yang berseberangan dengan Molenvliet Oost yang sepanjang sisinya dipadati rumah-rumah peristirahatan yang besar dan indah dengan halamannya yang luas. Hansen memandanginya dengan penuh rasa kagum. Benar-benar pemandangan yang sangat berbeda dengan di kota tadi.
"Heel mooi. Kijk naar het huis " ujar Hansen kagum sembari menunjuk sebuah rumah di sisi Molenvliet Oost.
"Oh... itu kediaman Reinier de Klerk, mantan gubernur jenderal Hindia," jelas Pieter.
"Sekarang?"
"de Klerk sudah lama meninggal dunia dan aku tidak tahu lagi siapa yang menempati rumah itu sekarang"
Hansen mengangguk. Matanya kemudian kembali menyusuri setiap sisi jalan. Sampai di ujung Molenvliet West, kereta berbelok ke kiri memasuki Noordwijk . Di kiri jalan banyak sekali pertokoan mewah, hotel, dan tempat hiburan. Noordwijk berhadapan dengan Rijswijk dan hanya dibatasi oleh kanal yang dipenuhi oleh oleh rakit-rakit dan pribumi yang mencuci dan mandi.
"Itukah istana gubernur jenderal, Paman?" Hansen menunjuk ke sebuah gedung di seberang kanal yang berdiri kokoh di sisi Rijswijk.
"Ja , itu istana gubernur jenderal"
Sepanjang jalan Hansen terus membiarkan matanya liar menikmati pemandangan yang terhampar di kanan kiri jalan. Hansen benar-benar menikmati perjalanan. Sesekali ia berdecak kagum menyaksikan sawah yang terhampar luas. Sebuah pemandangan yang tak pernah ia dapatkan di Holland.

****
Sore, kereta kuda tiba di Paleis. Pieter dan Hansen turun dari kereta.
"Nah, inilah rumahku, Hansen"
"Besar sekali, Paman," seru Hansen takjub.
Pieter tersenyum."Ayo, masuk"
Mereka berdua masuk ke dalam Paleis. Pieter lalu menunjukkan kamar untuk Hansen. Kamar itu begitu besar. Semua yang dibutuhkan sudah tersedia. Ranjang besi. Lemari. Meja dan kursi. Pieter memang sudah lama mempersiapkannya untuk Hansen.
"Sekarang istirahat saja dulu, kamu pasti lelah. Aku pergi dulu," ujar Pieter
Hansen mengangguk. "Bedank, Paman"
Pieter tersenyum. Ditinggalkannya pemuda itu. Sore ini ia ada janji bertemu dengan Gubernur Jenderal van der Wijck di Groneveld. Van der Wijck memang selalu mampir di kediaman Daniel Cornelis van Riemsdijk setiap akan berkunjung ke Buitenzorg. Dan sudah menjadi kewajiban bagi para tuan tanah untuk menemui sang gubernur jenderal acap kali dia datang. Mereka melakukan itu demi menjaga kekuasaannya di tanah partikelir.
Dengan berpakaian rapih Pieter kemudian berangkat menuju Tanjung Oost. Kereta berjalan agak lamban. Struktur jalan yang tidak rata membuat kuda kelihatan berhati-hati melintasinya. Kedua anak buah Cedot yang bertengger di belakang kereta berpegang cukup erat. Cedot sendiri duduk manis di samping kusir. Matanya tak berhenti mengawasi. Sesekali nampak beberapa lelaki pribumi tengah berkumpul di bale depan rumah. Mereka menundukkan kepala begitu melihat kereta kuda. Pieter membalas hormat para pribumi dekil itu penuh angkuh.
Tak sampai satu jam Pieter tiba di Groneveld. Kediaman tuan tanah partikelir Tanjung Oost itu dijaga ketat oleh marsose dan para centeng. Setiap orang yang datang harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Termasuk Pieter.
"Silahkan masuk, Tuan," ucap seorang letnan usai pemeriksaan.
"Dank je wel"
Pieter lantas melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung. Kedatangannya disambut oleh Daniel Cornelis van Riemsdijk.
"Hai, Pieter. Het is goed, dat je komt. Hoe gaat het U?"
"Goed, goed. En U?"
"Het is better nu. Mari masuk"
Pieter mengikuti langkah Daniel. Di dalam ruangan terlihat sangat ramai. Semua tuan tanah di wilayah Gemeente Meester Cornelis hadir di tempat itu. Semuanya ia kenal. Segelintir saja pribumi yang tampak. Itu pun hanya beberapa orang wedana dan asistennya. Hanya mereka yang bisa dengan mudah bergaul dengan kaum Belanda. Selebihnya keluarga dari para tuan tanah dan pedagang cina yang dekat dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pieter dan Daniel lalu mendekati kerumunan dekat jendela. Nampak sang gubernur jenderal tengah berbincang dengan istri Daniel. Pieter menyapa Gubernur Jenderal van der Wijck dengan ramah.
"Bagaimana peternakanmu, Pieter?"
"Baik-baik saja, Yang Mulia"
"Goed. Semoga usaha kamu selalu lancar"
"Terima kasih atas doanya, Yang Mulia"
"Geen dank"

****

Sepeda Solusi Kemacetan di Jakarta

Sepeda merupakan salah satu alternatif alat transportasi yang paling mungkin untuk menghemat energi karena kendaraan tak bermotor ini tidak membutuhkan bahan bakar minyak (BBM). Karenanya sepeda tidak akan menghasilkan polusi udara alias ramah lingkungan. Selain itu, jika pengguna sepeda semakin banyak tidak menutup kemungkinan masalah kemacetan yang selama ini menggelayuti kota Jakarta akan terpecahkan.

Dhimen Ibnu Purmanto, seorang staf di sebuah perguruan tinggi swasta di bilangan Jakarta Selatan mengatakan, dirinya sudah sangat jenuh dengan kemacetan yang begitu parah di Jakarta. Alasan itulah yang membuat dia memilih sepeda untuk mengantarnya ke tempat kerja. “Belum lagi polusi dari kendaraan, bikin sesak napas,” cetus anggota Bike To Work Indonesia itu kemarin.

Menurut pria yang pernah melakukan ekspedisi bersepeda ke Jawa-Bali-Lombok selama 21 hari itu, dirinya berharap pihak pemerintah segera membuatkan jalur khusus bagi para pengguna sepeda. Selain itu, dia meminta untuk disediakan lahan parkir khusus di pusat perbelanjaan dan perkantoran. “Selama ini masih jarang banget kantor yang nyediain parkir khusus sepeda, apalagi mal,” katanya.

Hal senada diungkapkan Arif, karyawan sebuah perusahaan di kawasan Sudirman. Menurutnya, masyarakat masih banyak yang enggan bersepeda karena keselamatan mereka belum terjamin. Karena itu, dia menilai political will dari pemerintah sangat dibutuhkan guna mengakomodir para pengguna sepeda. “Sekarang tinggal dari pemerintahnya, mau enggak bikinin kita jalur sepeda,” tuturnya.

Namun, keinginan Dhimen dan Arif, serta komunitas Bike To Work Indonesia lain rupanya masih harus jadi angan-angan. Pasalnya, Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta belum bisa mewujudkan permintaan para pekerja bersepeda itu. Hal itu disebabkan kekhawatiran jumlah pengendara sepeda di Jakarta yang masih relatif sedikit mengakibatkan jalur sepeda menjadi mubajir.

Ketua Umum Bike To Work Indonesia Toto Sugito mengungkapkan, sejauh ini Pemda DKI Jakarta sudah sangat mendukung sesuai dengan kondisi dan kapasitasnya. Dia bisa mengerti jika pemda belum dapat merealisasikan keinginan komunitasnya. Tapi, pihaknya akan terus menjalin diskusi secara intens dengan pemda. “Ini cuma masalah skala prioritas saja,” ucapnya saat dihubungi rakyat merdeka kemarin.

Toto berharap, bike to work dapat jadi gaya hidup baru bagi warga kota di seluruh Indonesia. Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan kampanye dan sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat. Jika nantinya sepeda telah menjadi pilihan, maka pengadaan jalur sepeda menjadi keharusan.

Komunitas Penulis Jakarta

SIAPA KAMI?
Kami adalah sekumpulan anak muda yang memiliki perhatian khusus terhadap dunia baca dan tulis, serta pengembangan apresiasi terhadap sastra bagi kalangan generasi muda di Indonesia.
Kami melihat betapa rendahnya minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di kalangan generasi muda. Atas dasar itulah kami sepakat membentuk Komunitas Penulis Jakarta sebagai wadah pengembangan minat baca dan tulis, serta pengembangan apresiasi terhadap sastra bagi generasi muda.
Komunitas Penulis Jakarta didirikan di Jakarta pada tanggal 6 April 2007 dan dikhususkan bagi generasi muda yang ingin mengembangkan minat dan bakatnya di bidang penulisan dan sastra. Semoga Komunitas Penulis Jakarta dapat memberikan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia.
Komunitas Penulis Jakarta dirintis oleh 4 orang anak muda sebagai wujud dedikasi mereka terhadap dunia baca dan tulis, serta pengembangan apresiasi terhadap sastra di kalangan generasi muda. Mereka adalah :
1. Rachmat Nugraha, novelis, mahasiswa.
2. Ressa Novita, cerpenis, mahasiswa.
3. Agustina Sriyani, guru, mahasiswa, penggiat sastra.
4. Taupic Hidayat, fotografer lepas, mahasiswa, penggiat sastra

APA YANG KAMI KERJAKAN?
Komunitas Penulis Jakarta melakukan berbagai kegiatan di bidang penulisan dan pengembangan sastra :
1.Penerbitan
Komunitas Penulis Jakarta membuat buletin sastra bernama Jendela yang menampilkan informasi dan tips berkaitan dengan penulisan dan sastra, serta karya-karya sastra berupa cerpen, cerbung, dan puisi.
Selain itu, Komunitas Penulis Jakarta juga menerbitkan buku karya sastra seperti novel, kumpulan cerpen, dan karya lainnya melalui divisi penerbitan yang bernama KPJ Publishing bekerja sama dengan pihak terkait.
Adapun buku-buku yang sudah diterbitkan oleh KPJ Publishing adalah sebagai berikut :
-Novel I’m Sorry!, karya Rachmat Nugraha, diterbitkan bekerjasama dengan Universitas Satya Negara Indonesia, bulan November 2007.
-Kumpulan Cerpen The Mucus, karya Ressa Novita, diterbitkan bekerjasama dengan Universitas Satya Negara Indonesia, bulan November 2007.

2.Diskusi
Komunitas Penulis Jakarta secara rutin mengadakan diskusi yang berkaitan dengan dunia penulisan dan sastra.

3.Workshop/Pelatihan/Lomba
Komunitas Penulis Jakarta secara rutin mengadakan workshop/pelatihan/lomba berkaitan dengan penulisan dan sastra.
Adapun workshop/pelatihan yang telah dijalankan oleh Komunitas Penulis Jakarta adalah sebagai berikut :
-Pelatihan Menulis Kreatif untuk pelajar SMA/sederajat se-Jakarta pada tanggal 8 September 2007, bekerjasama dengan Universitas Satya Negara Indonesia.
-Lomba Baca Puisi dan Musikalisasi Puisi tingkat pelajar SMA/sederajat pada tanggal 3 November 3007, bekerjasama dengan Universitas Satya Negara Indonesia.
-Improve Reading Quality (Roadshow, teater, bakti sosial) pada tanggal 25 Februari sampai dengan 17 Maret 2008, bekerjasama dengan Paguyuban Anak Jakarta Membaca (PAJM).
-Improve Writing Quality (Seminar Penulisan, Pelatihan Menulis Fiksi, Bedah Buku) pada tanggal 3,18,25 Juni 2008 bekerjasama dengan Senat Mahasiswa FISIP USNI.

PERMOHONAN BANTUAN DANA

"Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mengembangkan kosa kata
Selama ini kami-kami kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar beragumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi
Tapi mata kami kan nyala bila menonton televisi"
(Taupik Ismail, 1997)

Begitulah sepenggal kata-kata Taupik Ismail menanggapi rendahnya minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di kalangan generasi muda Indonesia.
Dengan melihat besarnya porsi sekolah dalam menginput pengetahuan terhadap anak, maka kegelisahan akan lemahnya pengajaran sastra di sekolah yang berdampak pada rendahnya minat baca dan tulis bisa diterima.
Hal terbukti dengan semakin terpinggirkannya seni sastra dari perhatian generasi muda Indonesia. Walaupun saat ini telah begitu banyak kehadiran generasi muda dengan karya-karyanya yang cukup laris di pasaran dan kehadiran website-website yang mengkhususkan diri pada sastra, namun seni sastra masih jauh kurang diperhatikan.
Bahkan, tidak saja oleh generasi muda, tapi juga lebih menyeluruh dari itu. Karena, kalaupun ada buku novel, kumpulan cerpen atau puisi yang laris dan pemanggungan sajak yang ditonton oleh ribuan orang yang histeris, yang menjadi pusat perhatian sesungguhnya bukanlah sastranya, melainkan figur tokoh yang membawakannya.
Atas dasar itulah, sekelompok generasi muda mencoba merespon fenomena tersebut dengan membentuk Komunitas Penulis Jakarta sebagai wadah guna menumbuhkembangkan minat baca dan tulis, serta apresiasi terhadap sastra di kalangan generasi muda.
Dengan dibentuknya Komunitas Penulis Jakarta, diharapkan generasi muda dapat mengembangkan kreatifitasnya dan menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, serta mampu mengembangkan apresiasi terhadap sastra.
Namun, dalam perkembangannya Komunitas Penulis Jakarta mengalami kendala dalam menjalankan program-programnya dikarenakan ketiadaan fasilitas dan biaya. Untuk itu, kami sangat mengharapkan bantuan dana dari pihak-pihak terkait guna menunjang program-program Komunitas Penulis Jakarta.

Bagi yang ingin membantu dapat menghubungi nomor 0899 9925 301 (Rachmat Nugraha)

JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL

LOMBA MENULIS CERPEN BERLATAR JAKARTA
Kerja Sama:
Komunitas Sastra Indonesia (KSI)
Komunitas Cerpen Indonesia (KCI)
Dinas Kebudayaan dan Permuseuman
Provinsi DKI Jakarta

Dasar Pemikiran
Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, kota internasional, dan berbagai predikat lainnya –yang melekat pada reputasi dan nama baik Jakarta yang merepresentasikan citra Indonesia— memiliki arti penting tidak hanya bagi warga Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Artinya, posisi Jakarta sangat strategis bagi usaha mengangkat keharuman Indonesia serta menjalin kerja sama budaya untuk memperkenalkan Indonesia ke pentas dunia.
Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, Jakarta dengan berbagai kekayaan kebudayaannya, keberagaman masyarakatnya, percepatan pembangunannya, dan latar geografik dan latar alamnya yang memancarkan perpaduan modernisme dan eksotisme, telah sejak lama menjadi lahan garapan para sastrawan Indonesia, bahkan juga sastrawan dari mancanegara. Kini, selepas memasuki alaf baru dan zaman ingar-bingar reformasi, sejauh manakah Jakarta masih memancarkan pesonanya, auranya yang menyebarkan daya tarik, dan semangat yang merepresentasikan keindonesiaan.
Dalam kaitan itulah, lomba penulisan cerita pendek berlatar atau bertema tentang Jakarta, akan menawarkan catatan estetik yang khas, sekaligus juga universal dalam sebuah kemasan karya sastra. Maka, karya itu hadir sebagai totalitas kreativitas pengarang. Tanpa itu, latar atau tema Jakarta hanya akan menjadi sesuatu yang artifisial, tempelan, dan tidak menyodorkan ruh Jakarta sebagai representasi keindonesiaan.
Tema
Cinta, kemanusiaan, dan persahabatan.
Deskripsi Latar
Mampu menggambarkan Jakarta sebagai pintu masuk memahami kekayaan budaya dan masyarakat Indonesia dalam menerima dan berhadapan dengan urbanisasi, kosmopolitanisasi dan globalisasi peradaban dunia.
Tujuan Kegiatan
1. Mengenalkan lebih dekat Jakarta sebagai kota budaya dan wisata dengan berbagai kekayaan hasil peninggalan sejarah dan cipta budayanya kepada masyarakat dunia.
2. Mempromosikan Jakarta sebagai daerah tujuan wisata dan tempat yang menarik untuk latar penulisan karya-karya sastra dan produksi karya seni lainnya.
Ketentuan Umum
1. Lomba ini terbuka bagi warga dunia (warga Indonesia dan warga asing)
2. Biodata dan alamat lengkap (termasuk nomor telepon, ponsel, dan e-mail) disertakan di luar naskah lomba.
3. Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah lomba.
4. Naskah lomba belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
5. Naskah lomba ditulis dalam bahasa Indonesia dan merupakan karya asli.
6. Naskah lomba dikirim kepada Panitia sebanyak 5 (lima) kopi, disertai CD atau flash disk berisi file naskah, selambat-lambatnya tanggal 10 November 2008 (stempel pos).
7. Di sebelah kiri amplop hendaknya ditulis “Lomba Menulis Cerpen JILFets 2008″.
8. Naskah lomba dialamatkan kepada:
Sekretariat Panitia Lomba Menulis Cerpen
Jakarta International Literary Festival (JILFest) 2008
Gedung Nyi Ageng Serang Lantai 6
Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Indonesia.
Ketentuan Khusus
1. Penjabaran tema dalam cerita dan penggambaran latarnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
2. Panjang karangan antara 8.000-15.000 karakter (with space), atau 4-8 halaman ketik 1,5 spasi, kertas ukuran A4 dengan huruf standar (Times New Roman, 12).
3. Peserta lomba adalah perseorangan, bukan kelompok.
4. Merupakan karya asli, bukan terjemahan ataupun saduran. Penjiplakan atas karya orang lain dalam bentuk apa pun, tidak dibenarkan, dan panitia berhak membatalkan keikutsertaannya dalam lomba ini.
5. Keputusan Dewan Juri bersifat mutlak dan tidak diadakan surat-menyurat.
Ketentuan Lain
1. Pengumuman Lomba dan penyerahan hadiah akan diselenggarakan pada acara khusus dalam rangkaian JILFest 2008.
2. Juara 1—3 akan diundang untuk mengikuti JILFest 2008 di Jakarta.
3. Hak Cipta ada pada pengarang.
4. Sebanyak 20 cerpen pilihan berikut karya para pemenang akan diterbitkan dalam bentuk buku, dan diupayakan akan diluncurkan serta didiskusikan dalam JILFest 2008 di Jakarta.
5. Panitia berhak mengedit kesalahan pengetikan dalam cerpen.
Hadiah dan Honorarium
Juara 1 Rp 5.000.000,00
Juara 2 Rp 4.000.000,00
Juara 3 Rp 3.000.000,00
Juara Harapan 1 Rp 2.500.000,00
Juara Harapan 2 Rp 2.000.000,00
Juara Harapan 3 Rp 1.500.000,00
Penghargaan untuk 20 cerpen pilihan berupa honor yang layak bagi penulisnya.
Keterangan Lain:
Juara 1—3 akan diundang ke Jakarta atas biaya Panitia (tiket, akomodasi, dan konsumsi). Keterangan lengkap tentang lomba ini dapat dilihat pada laman (web site) www.jilfest.com.
Jakarta, 5 September 2008
PANITIA PELAKSANA
JILFest 2008