AYAM KAMPUS
Oleh : Rachmat Nugraha
Malam itu, keringat mengucur deras membasahi tubuh kami. Deru nafas terdengar begitu hebat. Berpacu memburu nafsu. Kami sama-sama tenggelam dalam kenikmatan birahi.
“Kang, peluk aku lebih erat” Desah Imas.
Dengan penuh kelembutan, kupeluk tubuh sintal itu erat-erat. Sambil terus berjuang untuk mencapai titik puncak, aku telusuri setiap jengkal manis wajahnya dengan bibirku.
“Kang, cepetan! Aku udah enggak tahan….. Aku lapar nih”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dimana aku berada dalam sebuah ruangan yang sempit. Ruang kerjaku. Didepanku, Rani sudah menampakkan raut wajah kelaparan.
“Cepetan dong!” Rengeknya manja.
“Iya… iya! sebentar lagi juga selesai” Kataku sambil melanjutkan kembali catatan hasil liputan yang sempat terhenti akibat lamunan tadi.
Aku adalah lelaki tulen, produktif, dan bertubuh kekar (Penting?). Aku bekerja di sebuah majalah Lifestyle sebagai reporter. Rani adalah kekasihku yang sudah hampir 2 tahun ini mewarnai setiap hari-hariku. Dia berprofesi sebagai accounting si sebuah perusahaan swasta di Jalan Ahmad Yani, Garut kota. Sudah satu jam dia menungguku menyelesaikan ketikan hasil liputanku.
Dan Imas, gadis yang barusan memasuki setiap jengkal pikiranku. Dia adalah seorang mahasiswi di Universitas Tanah Kuring yang berprofesi ganda sebagai ayam kampus (You knowlah!). Aku mengenalnya ketika sedang melakukan liputan tentang lika-liku kehidupan ayam kampus di Garut. Orangnya begitu terbuka dalam hal apapun. Termasuk untuk urusan “itu”. Dia amat terbuka. Dan yang pasti, senyumnya itu lho! Sangat menggoda. Baik birahi, maupun isi dompet. Tapi sayang, adegan“panas” itu hanya ada dalam ruang anganku saja. Karena, aku bukanlah tipe lelaki yang suka mengorbankan cinta demi nafsu sesaat.
Pikiranku kembali melayang pada pertemuan dengan Imas semalam. Waktu itu, jam menunjukkan pukul 12 malam saat aku tiba Labuan, sebuah diskotik ternama di Garut. Seorang wanita cantik datang menghampiriku.
“Puenten, Kang! Akang yang namanya Dadan, kan?” Sapa wanita bertubuh sintal itu.
Aku mengangguk mengiyakan. Dan ketika dia menggandeng tanganku, mengajakku memasuki ruangan yang dipenuhi dengan lampu warna-warni yang kelap-kelip disetiap sudut ruangan, aku menurut saja.
“Silahkan duduk, Kang”
“Makasih” Aku langsung menjatuhkan pantatku di sofa empuk.
Setelah memesan minuman,
kami pun ngobrol. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata wanita cantik yang bernama Imas itu adalah mahasiswi Universitas Tanah Kuring yang dijanjikan oleh Rajib untuk menemuiku. Sangat menggoda. Itulah kesan pertama yang kudapat. Dan yang pasti, dihadapan Imas aku tidak mengaku sebagai wartawan. Aku takut tidak akan mendapatkan informasi yang aku perlukan untuk liputanku.
“Akang berani bayar berapa?”
“Satu juta!” Jawabku.
“Kurang atuh, Kang! Kalo segitu sih cuma buat short time” Desisnya sembari mengelus pipiku.
“Terus, berapa?”
“Satu setengah!”
“Setuju!”
“Ya udah, kalo gitu sekarang kita…..ke warung”
“???” Lagi-lagi aku kembali ke alam sadar.
“A! Aa dengerin Rani enggak, sih?”
“Iya, Aa dengar!”
****
Malam ini, aku kembali menemui Imas guna menyelesaikan tugas liputanku. Dan kali ini, kecanggungan yang kemarin terasa sudah mulai lenyap.
“Akang mau long time lagi?”
Aku mengangguk.
“Tapi Kang, kali ini Imas dicicipi kek! Masa Imas cuma diajak ngobrol kayak kemarin sih?!”
Aku tersenyum datar. Aku?! bercinta dengan wanita yang memberikan kehormatannya untuk kepentingan umum?!. It’s possible, you know!
“Ngomong-ngomong kita kemana, Kang?”
“Kita ke Cipanas, yuk!”
Tanpa basa-basi lagi, Imas langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar diskotik dan pergi menuju Cipanas.
Sepanjang perjalanan, kami banyak ngobrol. Mulai dari asal muasal dia bisa terjerumus ke lembah hitam, sampai bagaimana dia pernah mencoba berjuang dengan keras untuk dapat meninggalkan dunia malam yang telah menjauhkannya dari kehidupan normal yang sangat didambakannya.
Sungguh, pemandangan yang indah sekaligus mengharukan ketika melihatnya menangis. Indah, karena wajah cantiknya tetap memancarkan pesona yang luar biasa meski sedang menangis. Mengharukan, karena aku tidak mengira jika dibalik kebinalannya tersimpan keinginan untuk melepaskan diri dari jerat kenistaan.
“Terus, kenapa kamu menyerah?”
“Nanggung, Kang! Sudah basah, lebih baik nyelam sekalian”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Kalau saja aku belum memiliki Rani, mungkin aku akan menjadikan Imas istriku sehingga dia dapat keluar dari lembah nista ini.
****
“A, kamu mau kemana lagi malam-malam begini?” Suara Rani terdengar datar di ujung telepon. Dia BT
“Ee...ee... Anu.... Aa mau cari berita” (Bohong)
“Lho, bukannya Aa libur?!”
“Tadinya, tapi Aa harus gantiin Fahmi”
Akhirnya setelah dua jam usaha meyakinkan Rani berhasil juga. Dan itu semua aku lakukan hanya demi Imas. Ya, aku bertekad akan mengembalikan dia ke kehidupannya yang dulu. Demi rasa kemanusiaanku yang selama ini seringkali aku abaikan.
****
Tepat pukul 11 malam aku tiba di diskotik Labuan. Kulihat Imas tengah duduk berdiri di dekat pintu masuk. Menunggu para pria hidung belang yang ingin mencicipi kehangatan tubuhnya. Tonight, she’s look more beautiful.
“Akang!” Imas melirik ke arahku.
Bergegas dia meng-hampiriku dan mengajakku duduk.
“Kok enggak ngomong-ngomong mau datang?”
“Maklum, dadakan”
Aku langsung ajak dia keluar diskotik, dengan sedikit uang pelicin untuk sang germo tentunya.
Semalaman aku banyak ngobrol dengannya dan kali dia tidak lagi memaksaku untuk menikmati tubuhnya.
Aku terus membujuknya untuk meninggalkan kehidupannya yang kelam dan kembali seperti wanita lainnya yang memiliki kehidupan normal.
“Gimana, kamu mau enggak ninggalin semua ini?”
“Tapi aku enggak punya keahlian apa-apa untuk membiayai hidupku”
“Enggak usah takut, aku akan carikan kamu kerjaan”
Imas memandangku dengan senyum. “Beneran, Kang?”
Aku menggangguk.
****
Hari ini aku kembali menemui Imas dan kali ini bukan di diskotik, tempat biasa dia menghabiskan malamnya. Melainkan di alun-alun kota Garut.
Dia sudah bertekad untuk meninggalkan dunia hitamnya dan meminta bantuanku untuk melarikan diri dari genggaman sang germo.
“Sudah siap?” Tanyaku begitu bertemu Imas.
Imas mengangguk.
Kami kemudian bergegas meninggalkan alun-alun dan pergi menuju Bandung.
“Nanti kamu aku titipin sama Lina. Dia temen kuliahku dan dia bersedia bantu kamu”
****
Jam 1 siang aku sampai di rumah Lina di daerah Cicadas.
Lina yang memang sudah mengetahui kedatangan kami langsung menyambut di depan rumah.
“Hallo, Dan! Apa kabar?” Sapa Lina sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Baik! Makasih ya sudah mau bantu” Balasku sedikit basa-basi. “Ohya, kenalin, ini Imas”
Setelah mereka berkenalan, kami lalu diajak masuk oleh Lina ke dalam rumah. Cukup lama kami ngobrol, hingga akhirnya aku pamit karena aku harus sudah berada lagi di Garut pukul 7 malam.
“Lin, aku titip sama kamu ya”
Lina mengangguk tersenyum.
“Nah, Imas! Kamu baik-baik ya di sini”
“Ya, Kang! Makasih ya”
Aku lalu pergi meninggalkan rumah Lina. Meninggalkan Imas dengan harapan-harapan barunya.
****
Dua bulan berlalu. Hari ini aku menerima surat dari Imas. Dia mengatakan bahwa kini dia sudah bekerja di perusahaan Lina dan berangsur kehidupannya kian membaik. Bahkan, dia sudah tidak lagi tinggal menumpang bersama Lina. Dia mengontrak rumah petak tidak jauh dari rumah Lina dan dia sepertinya lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang.
“Derrrrrt.....derrrrrrt” Getar handphone mengusikku.
“Hallo”
“Aa, kok ngangkatnya lama banget sih?!” Terdengar suara Rani di ujung telepon. “Cepetan, katanya mau jemput!”
“Iya....ya! Aa berangkat sekarang”
--Tamat--
Kamis, 09 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar