Kamis, 09 Agustus 2007

MULTI PARTAI DAN NKRI

Partai politik, secara arti sempit merupakan alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Untuk sampai kepada hal itu, jalan yang harus dilalui adalah melalui mekanisme pemilu. Dalam pemilu terjadi perebutan kekuasaan secara demokratis. Siapa yang menang dalam pemilu, berarti mendapat mandat dari rakyat dan berhak memerintah atau berkuasa.
Di Indonesia, partai politik sudah ada sejak jaman pergerakan. Namun, secara formal tumbuh sejak Indonesia merdeka, takkala pemerintah mengeluarkan maklumat No. X Tahun 1945. Semenjak itu, partai-partai politik berdiri. Partai-parati politik yang muncul banyak berlatar belakang aliran dan ideologi, seperti Masyumi, NU, PKI, PNI, dan PSI.
Pada jaman demokrasi parlementer, partai-partai politik memainkan peranan yang cukup signifikan. Partai-partai politik lah yang menentukan arah dan dinamika kehidupan politik Indonesia. Peran ini dilakukan melalui parlemen yang merupakan pusat kekuasaan.
Memasuki demokrasi terpimpin, partai-partai politik yang ada dipangkas. Demokrasi terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat di tangan presiden, yakni Soekarno. Partai-partai politik tidak berfungsi, bahkan jumlahnya dikurangi dari 28 partai politik menjadi 10 partai politik, yaitu PNI, PKI, NU, Perti, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Murba, dan Partindo. DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk DPR-GR yang anggotanya diangkat oleh Presiden Soekarno. Dengan gambaran seperti ini, maka demokrasi tidak ada lagi. Yang ada hanya tinggal “terpimpinnya”(Lili Romli ; 2002).
Saat Orde Lama jatuh dan digantikan dengan Orde Baru, ada harapan akan kebangkitan partai politik seperti masa demokrasi terpimpin. Namun, ternyata harapan itu hanyalah tinggal harapan. Yang terjadi justru terjadi reorganisasi dan refungsionalisasi, baik pada tingkat suprastruktur dan infrastruktur politik. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan stabilitas politik sebagai landasan terlaksananya pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru, stabilitas politik merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan.
Orde baru melihat bahwa biang kekacauan yang mengganggu stabilitas politik adalah partai-partai politik. Hal ini berdasarkan pengalaman pada jaman demokrasi parlementer dimana seringkali terjadi pergantian kabinet di tubuh pemerintah akibat ulah partai-partai politik. Sehubungan dengan itu, Orde Baru melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Kesembilan partai politik yang ada (Parmusi, NU, PSII, Perti, PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba) dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu kelompok materiil-sprituil yang terdiri dari PNI, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, dan Murba yang kemudian bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok spiritual-materiil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan. Selain itu, pemerintah mendirikan Golkar sebagai wadah pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kondisi yang demikian jelas menguntungkan Golkar sebagai partai pemerintah. Makanya, tak heran jika pemilu pada masa Orde Baru selalu dimenangkan Golkar. Akibatnya, lahirlah sistem kepartaian yang hegemonik. Sistem partai hegemonik berada diantara partai dominan dan sistem satu partai. Dalam sistem ini, eksistensi partai-partai diakui, namun peranannya dibuat seminimal mungkin, terutama dalam pembentukan opini publik.
Barulah pada masa reformasi, sistem multi partai kembali muncul dengan kian menjamurnya partai-partai politik baru sebagai wujud ketidakpuasan atas system kepartaian yang diterapkan selama 32 tahun dibawah kekuasaan Orde Baru.
Namun, kenyataannya partai-partai politik yang lahir pada masa reformasi yang keberadaanya bisa sekarang ini berkat perjuangan mahasiswa ternyata tidak lebih baik dari partai-partai produk Orde Baru. Saat ini, yang terlihat justru sikap mengekslusifkan diri dari partai-partai politik dan bersikap tidak peduli terhadap aspirasi rakyat dan juga agenda reformasi.
Selain itu, para elit partai semakin terlihat asyik dengan kepentingan pribadi masing-masing dan kelompoknya guna memperebutkan kekuasaan yang pada prosesnya tidak jarang menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.
Hal tersebut jelas akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena, ketika konflik tersebut tidak mampu diredam, maka yang terjadi adalah semakin meluasnya bibit-bibit perpecahan ditengah masyarakat sebagai akibat dari ketidaksensitifan partai politik.
Seharusnya partai politik melek mata melihat keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Partai politik harus sadar untuk tidak terlalu sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus lebih peka atas fenomena yang terjadi di masyarakat terutama mengenai kesejahteraan rakyat.
Karena jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan bukan tidak mustahil bangsa ini akan mengalami perpecahan yang lebih dahsyat lagi.
Seluruh elit partai harus menyadari keterpurukan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia dan tidak lagi terpaku pada masalah perebutan kekuasaan. Toh lagipula kehidupan mereka itu kan sudah sangat beruntung jika kita bandingkan dengan kondisi rakyat yang sampai saat ini masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan.

Tidak ada komentar: