Jumat, 13 Juli 2007

HIV/AIDS, I HATE YOU! (Cerpen)

Oleh:Rachmat Nugraha



Yudhis Nataadmaja. Aku biasa memanggilnya Adis. Dia sahabatku. Anaknya tinggi, putih, dan memiliki potongan rambut ala To Ming Se, tokoh utama dalam film seri Meteor Garden. Diantara kami berdua, dialah yang selalu paling modis penampilannya. Maklum, dia selalu mengikuti trend dibanding aku. Segala model terbaru, pasti diikutinya. Dari model rambut, baju, sampai gaya omongan terbaru. Sedang aku, tak begitu berminat dengan yang namanya trend. Bahkan, dalam penampilan pun aku selalu seenaknya. Yang menurutku itu bagus, itulah yang kupakai. Sedang aku, adalah wanita yang tidak pernah sedikitpun menampakan sisi kewanitaanku. Itulah sebabnya, banyak teman-teman kuliahku sesama wanita yang agak enggan berteman baik denganku. Padahal, aku sudah memproklamirkan diriku sebagai wanita yang tidak menyukai sesama jenis. Tapi, rupanya mereka kadung (terlanjur) tidak percaya.
Ohya, namaku sendiri Citra. Lengkapnya Lia Triani Citrasari. Aku kuliah di jurusan vokal Sekolah Tinggi Musik Tatar Sunda, di Bandung. Sedang Yudhis, begitu lulus SMU dia lebih memilih kuliah di jurusan teknik sipil Universitas Mangkunegara yang letaknya sekitar 10 kilometer dari kampus tempatku menuntut ilmu.
Aku dan Yudhis sudah bersahabat sejak kami sama-sama masih duduk di kelas 1 (berdasarkan pembagian tingkatan kelas sebelum berlakunya KBK) di SMU Harapan Bangsa, di daerah Ledeng, Bandung. Dan kami tak pernah sedikitpun ada niat untuk mengakhiri persahabatan kami. Cause friendship is never die, Right!. Setidaknya itulah yang selalu kami kumandangkan, sebelum Tuhan mengambil Yudhis dari sisiku.
Ya, Yudhis sudah tiada. Dia meninggal seminggu yang lalu di rumah sakit Kurnia karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya sejak kuliahnya baru menginjak semester pertama. tepatnya empat tahun silam. Semua itu gara-gara pergaulannya yang salah. dan itu bermula dari perceraian kedua orang tuanya. Sering aku mencoba menasihatinya. Tapi, pergaulannya sepertinya telah menutupi akal sehatnya sehingga sulit untuk mendengar nasihaku. Ohhh… I hate AIDS!. mengingat itu aku kembali larut dalam kesedihan. Tanpa terasa aku terhanyut dalam kenangan masa lalu…

****
Waktu itu, sabtu sore. lima tahun lalu.
Aku asyik membaca majalah remaja sambil menikmati jus alpukat yang kubuat sendiri di teras rumah. Yudhis datang dan langsung menjatuhkan pantatnya disampingku.
“Aduh, kamu Dis! Ngagetin aja” Aku memasang muka masam.
Tapi, Yudhis diam saja. Wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kamu kenapa, Dis?”
Yudhis tidak menjawab. Ia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Baru kali itu aku melihatnya merokok. Biasanya dia tidak pernah sedikitpun menyentuh racun itu.
“Ada masalah?”
Yudhis menghela napas panjang. “He-em”
“Orang tua kamu?”
Yudhis mengangguk. “Mereka mau cerai, Cit”
“Apa?” Mataku langsung terbelalak. “Kenapa?”
“My father! He had a another woman!”
“Your kidding, right?”
“No! I’m seriously”
Kepadaku, Yudhis lalu menceritakan semuanya. Sesekali, dia berhenti sejenak. Menghisap rokok yang terselip di jarinya. Guratan wajahnya menunjukkan kesedihan. Kurasakan ada luka yang mendalam di hatinya.
“Yang tabah ya, Dis” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku sendiri tidak tahu harus berkomentar apa. Aku telah ikut terhanyut dalam kesedihannya.
“Cit… rasanya aku udah enggak tahan dengan semua ini….. celana dalamku mana?”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dan mendapatkan Rani, adikku semata wayang yang baru saja beranjak remaja sudah menampakkan raut wajah manja.
“Mana?”
“Apaan?”
“Celana dalamku yang ada gambar Winnie The Pooh-nya”
“Mana kaka tau, cari aja di tempat gosokan sana! ganggu aja”
“Huuuhhh….” Rani pergi dengan mulut manyun.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka 11 malam. Karena takut kesiangan, akhirnya kuputuskan untuk beranjak tidur.


****
“CIT, AWAS!”
“BRUKK! ADUH!”
Aku jatuh tertelungkup diatas tubuh gempalnya Sifa. Dan Sifa tergencet antara aku dan sepedanya. Aku meringis menahan sakit. Dengkulku yang belum sembuh dari memar akibat main bola bersama anak-anak SD di lapangan seberang rumahku beradu dengan batang sepeda milik Sifa.
“Citra, kamu enggak apa-apa?” Rendy, teman kampusku datang menolong.
“Enggak… enggak apa-apa”
“Aku yang kenapa-napa!”
“Ya, ampun!” Aku langsung bangkit berdiri. Aku dan Rendy lalu membantu membangunkan sepeda. Upss, maksudku Sifa.
“Tega!”
“Sori Fa, keenakan”
Setelah memastikan bahwa tidak ada apa-apa dengan Sifa, terutama sepedanya, aku dan Rendy kemudian beranjak menuju kelas yang berada di pojok belakang gedung untuk mengikuti praktek olah vokal. Sebuah ruangan yang sebenarnya tak pernah sedikitpun aku berminat memasukinya. Aku pernah mengajukan usulan perpindahan kelas pada Bu Necy Astrea, dosen olah vokalku. Tapi, beberapa kali ditolaknya dengan alasan diruangan kelas yang lain dia tidak dapat menyalurkan hasrat pipisnya yang menyerangnya setiap sepuluh menit sekali dengan cepat (seriously?). Karena hanya kelas itu yang memiliki jarak terdekat dengan WC. Dan bagiku, aroma WC itulah yang membuatku kehilangan selera untuk mengikuti kuliah.
Hari sudah semakin siang. Dosen belum juga datang. Sambil menunggu, kugunakan waktuku dengan mendengarkan musik dari MP3-ku. Aku terdiam. Lagu “Kisah Klasik”nya Sheila On 7 membuatku kembali teringat Yudhis. Lagu ini kesukaannya. Aku ingat benar, Yudhis sering menyanyikannya didepanku. Tak terasa aku larut dalam kenanganku bersama Yudhis….


****
Waktu itu, malam-malam. Yudhis datang ke rumahku dengan penampilan yang lebih rapih dari biasanya. Aku agak heran melihatnya. Karena malam itu, seharusnya dia berada di aula, sekolah kami. Ya, malam itu ada acara pesta sekolah. Aku sendiri tidak datang , karena acara tersebut mewajibkan seluruh siswa berpasangan. Jelas saja aku tidak bisa. Pacar saja aku tidak punya.
“Kamu enggak datang ke pesta sekolah?”
“Mau…. Aku mau datang kesana”
“Lho, terus kenapa kesini? Si Widi, mana?”
“Widi enggak bisa datang, nganter Ibunya ke Bogor” Yudhis lalu duduk dikursi. “Kamu ganti baju sana! kita pergi”
“Kemana?” Aku bingung.
“Ya, ke pesta sekolah dong, Non! Emangnya kemana lagi, udah sana cepetan”
Buru-buru aku berlari ke kamar dan mengganti pakaianku. Gaun hadiah dari Ayahku setahun yang lalu menjadi pilihanku malam itu. Dan ketika aku menemui Yudhis kembali, dia memandangku dengan terkesima.
“Kenapa?”
“Aku enggak nyangka, ternyata kamu cantik banget kalau dandan”
Itu adalah pujian pertama yang kudengar dari mulut Yudhis. Maklum, biasanya dia selalu mengejekku karena selalu berpakaian seenaknya dan tidak pernah dandan layaknya seorang wanita.
“Ya udah, ah! jalan yuk, ntar terlambat lagi” Ajakku.
Dengan mobil CR-V milik Yudhis, kami pun beranjak menuju sekolah. Malam itu, jalanan begitu sepi. Hujan yang mengguyur kota Bandung tadi sore membuat udara menjadi dingin, hingga orang-orang segan untuk keluar rumah. Yang ada hanyalah segelintir binatang malam yang dengan penuh semangat hidup mencari makan di keremangan malam. Sambil terus menyetir, kulirik Yudhis sesekali menggerakkan bibirnya mengikuti alunan lagu “Kisah Klasik” milik Sheila On 7. Agak tersenyum geli aku memperhatikannya. Aku yakin, jika saja banyak orang yang mendengarkannya, maka setelah malam itu omset penjualan kaset Sheila On 7 akan mengalami penurunan yang drastis.
“Kenapa senyum-senyum?” Yudhis melirikku ketika mobil kami terhenti oleh lampu merah. “Kamu pasti mau ngeledek suaraku, ya?”
Aku menggeleng. Bohong. “Enggak… suara kamu bagus kok!”
“Makasih! Baru tau, ya?”
“Lebih bagus lagi kalau diam”
Sejam kemudian akhirnya kami tiba. Malam itu sekolah benar-benar ramai tak seperti biasanya. Suara alunan musik berdentum keras dari aula yang dirubah menjadi tempat pesta. Aku dan Yudhis bergegas turun dari mobil dan menuju aula sekolah.
Malam itu, kami benar-benar larut dalam meriahnya pesta. Kami seperti terbebas dari segala beban yang selalu menguntit kami selama 3 tahun kami belajar di sekolah. Maklum aja, malam itu adalah malam perpisahan kami dengan sekolah.
Lamunanku langsung buyar ketika Rendy menepuk pundakku memberitahukan kalau Bu Necy Astrea sudah datang.


****
Jam 5 sore, aku tiba di rumah. Sepi. Tidak ada satupun orang di rumah. Di meja tamu kudapati secarik kertas berisikan pesan dari Ibu. Rupanya Ibu dan Rani pergi ke rumah Tante Yanti, teman Ibu semasa sekolah.
Dengan langkah agak gontai, kumasuki kamarku. Kurasakan, letih dan penat setelah seharian bergelut dengan tiga mata kuliah terus menggelayuti tubuhku. Kurebahkan tubuhku diatas kasur. Fiiuuuhh…..I’m very tired this day. Mataku begitu perih.
Setelah istirahat sebentar, aku kemudian mandi dan ganti baju. Kemudian aku berjalan keluar kamar menuju teras rumah. Dan lagi-lagi aku teringat pada Yudhis. Entah kenapa sosoknya masih terus menggerayangi pikiranku. Sepertinya aku masih tidak dapat mempercayai kematiannya. Ingatanku pun kembali hari dimana Yudhis menghembuskan nafas terakhirnya dihadapanku.
Waktu itu, mega terlihat mulai memerah menyambut datangnya malam ketika aku sampai di rumah sakit Kurnia. Dengan hati yang terus gelisah, aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang cukup panjang. Kabar yang kudengar dari orang tua Yudhis telah membuatku resah sejak perjalanan tadi.
Setibanya di ruang ICU, aku menghentikan langkahku. Kulihat kedua orang tua Yudhis sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Yudhis yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar, berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Citra, kok malah bengong? Kesini!” Rupanya Orang tua Yudhis menyadari kedatanganku.
Aku menurutinya. Dengan berat, kulangkahkan kakiku menghampiri kedua orang tua Yudhis. Setelah ngobrol sejenak, kami lantas masuk dalam ruangan dengan mengenakan masker dan jas demi menjaga ruangan tetap steril. Dengan perlahan, kami menghampiri Yudhis yang masih terbaring tak berdaya. Sungguh memilukan. Tubuhnya yang dulu gemuk dan sehat kini berubah tinggal tulang berbalut kulit.
“Yudhis, ini Citra datang!”
Tapi Yudhis tidak menyahut. Jangankan menengok, membuka mata saja tidak. Menyaksikan kondisi Yudhis yang memprihatinkan, aku tak mampu membendung air matanya. Aku pun menangis terisak. Tak kuasa diriku menahan pilu.
Suasana malam itu berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah isak tangisku dan orang tua Yudhis. Kami seperti tak percaya jika Yudhis menderita HIV/AIDS. Selama ini Yudhis terlihat sehat-sehat saja di depan kami. Tidak ada hal yang ganjil pada diri Yudhis.
Disaat aku terus menangis, tiba-tiba saja jemari Yudhis bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke arahku.
“Cit…Cit…Citra,” Suara Yudhis terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku, Citra!”
“Ma… Ma…. Maafin aku ka… ka….karena enggak dengar nasihat kamu”
Aku mengangguk sambil terus terisak.
Setelah itu Yudhis kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Yudhis memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, aku semakin tidak mampu membendung air mataku. Begitu juga dengan kedua orang tua Yudhis. Mereka menangis begitu histeris. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
Aku benar-benar terpukul dengan kepergian Yudhis. Sejak itu, entah kenapa aku jadi begitu benci dengan yang namanya HIV/AIDS. Sejak itu pula aku jadi aktif di Stigma, sebuah lembaga yang sangat giat dalam memerangi HIV/AIDS.

****

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Good story...! Very touchy.
Btw, salam buat Lia Triani Citrasari ya!

rgds,
A