Launching Novel I'm Sorry! karya Rachmat Nugraha dan Kumpulan Cerpen The Mucus karya Ressa Novita(03/11) berlangsung sukses. Acara yang diadakan di Auditorum Universitas Satya Negara Indonesia itu diawali dengan penampilan Taupic Hidayat, pengelola Komunitas Penulis Jakarta yang membawakan musikalisasi puisinya dengan apik.
Rachmat Nugraha, sang penulis novel pada saat peluncuran mengatakan, acara launching ini sengaja mengundang pelajar-pelajar guna lebih mendekatkan pelajar dengan sastra yang saat ini kian terpinggirkan dalam kehidupan remaja.
Selain penampilan sastrawan-sastrawan muda USNI dan anggota Komunitas Penulis Jakarta, acara ini juga dimeriahkan oleh lomba baca puisi dan musikalisasi puisi tingkat SMA se-Jakarta.
Well, good luck Guys!
Senin, 05 November 2007
Rabu, 03 Oktober 2007
Sebercak Noda Di Bulan Suci
Sungguh memalukan! itulah kata yang terucap pertama kali ketika melihat puluhan pelajar dari dua SMA di Jakarta terlibat tawuran.
Pertama, mereka yang katanya generasi penerus bangsa telah membuktikan bahwa adu otot lebih efektif dalam menyelesaikan sebuah masalah ketimbang adu otak. Kedua, dengan bangganya mereka mengotori bulan yang suci ini yang seharusnya penuh kedamaian. Ketiga, mereka berasala dari dua sekolah unggulan di Jakarta yang seharusnya bisa menjadi contoh baik baik bagi sekolah-sekolah lain.
Menjijikan melihat adu kekuatan yang terjadi di sekitar bulungan tanggal 2 oktober lalu. dan yang mengherankan, mereka tawuran justru di jaman yang sebenarnya bisa dikatakan sudah jarang sekali ditemukan tawuran antar pelajar.
Saya hanya berdoa, semoga orang tua mereka menyesal karena telah memberikan mereka kemudahan dengan materi yang berlebihan. Menyesal karena telah terlalu percaya kepada mereka sehingga lupa untuk mengontrol mereka. Amin
Pertama, mereka yang katanya generasi penerus bangsa telah membuktikan bahwa adu otot lebih efektif dalam menyelesaikan sebuah masalah ketimbang adu otak. Kedua, dengan bangganya mereka mengotori bulan yang suci ini yang seharusnya penuh kedamaian. Ketiga, mereka berasala dari dua sekolah unggulan di Jakarta yang seharusnya bisa menjadi contoh baik baik bagi sekolah-sekolah lain.
Menjijikan melihat adu kekuatan yang terjadi di sekitar bulungan tanggal 2 oktober lalu. dan yang mengherankan, mereka tawuran justru di jaman yang sebenarnya bisa dikatakan sudah jarang sekali ditemukan tawuran antar pelajar.
Saya hanya berdoa, semoga orang tua mereka menyesal karena telah memberikan mereka kemudahan dengan materi yang berlebihan. Menyesal karena telah terlalu percaya kepada mereka sehingga lupa untuk mengontrol mereka. Amin
BANGKITLAH SASTRAWAN MUDA!!
Nama seperti Seno Gumira Aji Darma, Remy Sylado, Maman S. Mahayono, Djenar Maesa Ayu, Hudan Hidayat, dan Ayu Utami, tentulah bukan nama yang asing lagi di telinga kita, para penggemar dunia sastra. Mereka telah teruji dengan karya – karyanya yang telah dikenal dan dipamerkan di estalase – estalase toko buku. Bukan suatu hal yang aneh jikalau masyarakat penggemar sastra lebih mengenal nama – nama tersebut dengan karya – karyanya yang menggebrak pasar dibanding para penulis baru. Memang suatu hal yang ironis bila kita bicara mengenai harapan akan tumbuhnya penulis baru, sedangkan celah menuju media massa agak tertutup sehingga karya – karya baru tidak dapat dipublikasikan.
Peringatan Sumpah Pemuda kali ini sebenarnya sama seperti beberapa peringatan sebelumnya, disertai dengan harapan serta keinginan tumbuhnya generasi muda yang punya berbagai talenta dan kreativitas. Sama seperti di dalam dunia sastra, harapan adanya karya baru dari penulis junior tentu sangat dinanti oleh para kalangan penulis senior. Bukan karena sedikitnya para penulis muda dengan karya – karya mereka, tetapi memang tidak banyaknya kesempatan atau pintu yang terbuka untuk memberikan ruang publikasi kreasi mereka.
Api anak muda dalam menghasilkan karya – karya sastra tidak boleh dipadamkan begitu saja, dengan media massa yang tidak mempersilahkan para penulis muda mengirimkan puisi, cerpen, atau esai. Saya, sebagai penggemar sastra sangat merindukan bagaimana media massa dengan tangan terbukanya memberikan ruang yang luas bagi karya – karya sastra.
Pesan penyemangat untuk para penulis muda ke depannya, jangan biarkan kreativitas terhenti begitu saja... hasilkan terus puisi, cerpen atau esai yang berani dan semangat. Atau kita akan mati tanpa meninggalkan kesan dan karya yang tidak terlupakan.
Selasa, 11 September 2007
Launching novel dan kumpulan cerpen, serta lomba
Tanggal 3 November 2007 nanti Komunitas Penulis Jakarta akan mengadakan launching novel I'm Sorry! karya Rachmat Nugraha dan kumpulan cerpen The Mucus karya Ressa Novita di auditorium Universitas Satya Negara Indonesia. Selain itu, untuk memeriahkan launching tersebut Komunitas Penulis Jakarta juga mengadakan lomba baca puisi dan lomba musikalisasi puisi untuk pelajar SMA.
untuk itu, kami mengundang seluruh pelajar SMA/sederajat di Jakarta untuk datang menghadiri acara tersebut dan mengikuti lomba.
keterangan lebih lanjut :
(021) 710 45557 (ressa)
0899 9925 301 (Rachmat)
untuk itu, kami mengundang seluruh pelajar SMA/sederajat di Jakarta untuk datang menghadiri acara tersebut dan mengikuti lomba.
keterangan lebih lanjut :
(021) 710 45557 (ressa)
0899 9925 301 (Rachmat)
Pelatihan Penulisan Kreatif perdana KPJ dan USNI sukses
Akhirnya, berkat kerja sama yang baik antara Komunitas Penulis Jakarta dengan Universitas Satya Negara Indonesia, acara Pelatihan Penulisan Kreatif untuk pelajar SMA yang diselenggarakan pada tanggal 8 September 2007 yang lalu berjalan sukses.
Acara perdana Komunitas Penulis Jakarta ini menghadirkan Bambang Widiatmoko, sastrawan beken sebagai pembicara dan dihadiri oleh sekitar 10 sekolah, antara lain SMK Mardi Bhakti, SMA Tri Arga, SMK 63, SMK PGRI 28, SMA Yadika 4, SMA 90, SMA Yadika 2, SMA Yadika 3, SMK 13, dengan jumlah peserta 60 orang.
Acara ini bisa dikatakan sukses, karena dengan persiapan yang hanya 2 minggu dan serba dadakan tapi cukup mendapat respon yang baik dari para pelajar.
Thank's for all
Acara perdana Komunitas Penulis Jakarta ini menghadirkan Bambang Widiatmoko, sastrawan beken sebagai pembicara dan dihadiri oleh sekitar 10 sekolah, antara lain SMK Mardi Bhakti, SMA Tri Arga, SMK 63, SMK PGRI 28, SMA Yadika 4, SMA 90, SMA Yadika 2, SMA Yadika 3, SMK 13, dengan jumlah peserta 60 orang.
Acara ini bisa dikatakan sukses, karena dengan persiapan yang hanya 2 minggu dan serba dadakan tapi cukup mendapat respon yang baik dari para pelajar.
Thank's for all
Kamis, 09 Agustus 2007
AYAM KAMPUS (CERPEN)
AYAM KAMPUS
Oleh : Rachmat Nugraha
Malam itu, keringat mengucur deras membasahi tubuh kami. Deru nafas terdengar begitu hebat. Berpacu memburu nafsu. Kami sama-sama tenggelam dalam kenikmatan birahi.
“Kang, peluk aku lebih erat” Desah Imas.
Dengan penuh kelembutan, kupeluk tubuh sintal itu erat-erat. Sambil terus berjuang untuk mencapai titik puncak, aku telusuri setiap jengkal manis wajahnya dengan bibirku.
“Kang, cepetan! Aku udah enggak tahan….. Aku lapar nih”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dimana aku berada dalam sebuah ruangan yang sempit. Ruang kerjaku. Didepanku, Rani sudah menampakkan raut wajah kelaparan.
“Cepetan dong!” Rengeknya manja.
“Iya… iya! sebentar lagi juga selesai” Kataku sambil melanjutkan kembali catatan hasil liputan yang sempat terhenti akibat lamunan tadi.
Aku adalah lelaki tulen, produktif, dan bertubuh kekar (Penting?). Aku bekerja di sebuah majalah Lifestyle sebagai reporter. Rani adalah kekasihku yang sudah hampir 2 tahun ini mewarnai setiap hari-hariku. Dia berprofesi sebagai accounting si sebuah perusahaan swasta di Jalan Ahmad Yani, Garut kota. Sudah satu jam dia menungguku menyelesaikan ketikan hasil liputanku.
Dan Imas, gadis yang barusan memasuki setiap jengkal pikiranku. Dia adalah seorang mahasiswi di Universitas Tanah Kuring yang berprofesi ganda sebagai ayam kampus (You knowlah!). Aku mengenalnya ketika sedang melakukan liputan tentang lika-liku kehidupan ayam kampus di Garut. Orangnya begitu terbuka dalam hal apapun. Termasuk untuk urusan “itu”. Dia amat terbuka. Dan yang pasti, senyumnya itu lho! Sangat menggoda. Baik birahi, maupun isi dompet. Tapi sayang, adegan“panas” itu hanya ada dalam ruang anganku saja. Karena, aku bukanlah tipe lelaki yang suka mengorbankan cinta demi nafsu sesaat.
Pikiranku kembali melayang pada pertemuan dengan Imas semalam. Waktu itu, jam menunjukkan pukul 12 malam saat aku tiba Labuan, sebuah diskotik ternama di Garut. Seorang wanita cantik datang menghampiriku.
“Puenten, Kang! Akang yang namanya Dadan, kan?” Sapa wanita bertubuh sintal itu.
Aku mengangguk mengiyakan. Dan ketika dia menggandeng tanganku, mengajakku memasuki ruangan yang dipenuhi dengan lampu warna-warni yang kelap-kelip disetiap sudut ruangan, aku menurut saja.
“Silahkan duduk, Kang”
“Makasih” Aku langsung menjatuhkan pantatku di sofa empuk.
Setelah memesan minuman,
kami pun ngobrol. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata wanita cantik yang bernama Imas itu adalah mahasiswi Universitas Tanah Kuring yang dijanjikan oleh Rajib untuk menemuiku. Sangat menggoda. Itulah kesan pertama yang kudapat. Dan yang pasti, dihadapan Imas aku tidak mengaku sebagai wartawan. Aku takut tidak akan mendapatkan informasi yang aku perlukan untuk liputanku.
“Akang berani bayar berapa?”
“Satu juta!” Jawabku.
“Kurang atuh, Kang! Kalo segitu sih cuma buat short time” Desisnya sembari mengelus pipiku.
“Terus, berapa?”
“Satu setengah!”
“Setuju!”
“Ya udah, kalo gitu sekarang kita…..ke warung”
“???” Lagi-lagi aku kembali ke alam sadar.
“A! Aa dengerin Rani enggak, sih?”
“Iya, Aa dengar!”
****
Malam ini, aku kembali menemui Imas guna menyelesaikan tugas liputanku. Dan kali ini, kecanggungan yang kemarin terasa sudah mulai lenyap.
“Akang mau long time lagi?”
Aku mengangguk.
“Tapi Kang, kali ini Imas dicicipi kek! Masa Imas cuma diajak ngobrol kayak kemarin sih?!”
Aku tersenyum datar. Aku?! bercinta dengan wanita yang memberikan kehormatannya untuk kepentingan umum?!. It’s possible, you know!
“Ngomong-ngomong kita kemana, Kang?”
“Kita ke Cipanas, yuk!”
Tanpa basa-basi lagi, Imas langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar diskotik dan pergi menuju Cipanas.
Sepanjang perjalanan, kami banyak ngobrol. Mulai dari asal muasal dia bisa terjerumus ke lembah hitam, sampai bagaimana dia pernah mencoba berjuang dengan keras untuk dapat meninggalkan dunia malam yang telah menjauhkannya dari kehidupan normal yang sangat didambakannya.
Sungguh, pemandangan yang indah sekaligus mengharukan ketika melihatnya menangis. Indah, karena wajah cantiknya tetap memancarkan pesona yang luar biasa meski sedang menangis. Mengharukan, karena aku tidak mengira jika dibalik kebinalannya tersimpan keinginan untuk melepaskan diri dari jerat kenistaan.
“Terus, kenapa kamu menyerah?”
“Nanggung, Kang! Sudah basah, lebih baik nyelam sekalian”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Kalau saja aku belum memiliki Rani, mungkin aku akan menjadikan Imas istriku sehingga dia dapat keluar dari lembah nista ini.
****
“A, kamu mau kemana lagi malam-malam begini?” Suara Rani terdengar datar di ujung telepon. Dia BT
“Ee...ee... Anu.... Aa mau cari berita” (Bohong)
“Lho, bukannya Aa libur?!”
“Tadinya, tapi Aa harus gantiin Fahmi”
Akhirnya setelah dua jam usaha meyakinkan Rani berhasil juga. Dan itu semua aku lakukan hanya demi Imas. Ya, aku bertekad akan mengembalikan dia ke kehidupannya yang dulu. Demi rasa kemanusiaanku yang selama ini seringkali aku abaikan.
****
Tepat pukul 11 malam aku tiba di diskotik Labuan. Kulihat Imas tengah duduk berdiri di dekat pintu masuk. Menunggu para pria hidung belang yang ingin mencicipi kehangatan tubuhnya. Tonight, she’s look more beautiful.
“Akang!” Imas melirik ke arahku.
Bergegas dia meng-hampiriku dan mengajakku duduk.
“Kok enggak ngomong-ngomong mau datang?”
“Maklum, dadakan”
Aku langsung ajak dia keluar diskotik, dengan sedikit uang pelicin untuk sang germo tentunya.
Semalaman aku banyak ngobrol dengannya dan kali dia tidak lagi memaksaku untuk menikmati tubuhnya.
Aku terus membujuknya untuk meninggalkan kehidupannya yang kelam dan kembali seperti wanita lainnya yang memiliki kehidupan normal.
“Gimana, kamu mau enggak ninggalin semua ini?”
“Tapi aku enggak punya keahlian apa-apa untuk membiayai hidupku”
“Enggak usah takut, aku akan carikan kamu kerjaan”
Imas memandangku dengan senyum. “Beneran, Kang?”
Aku menggangguk.
****
Hari ini aku kembali menemui Imas dan kali ini bukan di diskotik, tempat biasa dia menghabiskan malamnya. Melainkan di alun-alun kota Garut.
Dia sudah bertekad untuk meninggalkan dunia hitamnya dan meminta bantuanku untuk melarikan diri dari genggaman sang germo.
“Sudah siap?” Tanyaku begitu bertemu Imas.
Imas mengangguk.
Kami kemudian bergegas meninggalkan alun-alun dan pergi menuju Bandung.
“Nanti kamu aku titipin sama Lina. Dia temen kuliahku dan dia bersedia bantu kamu”
****
Jam 1 siang aku sampai di rumah Lina di daerah Cicadas.
Lina yang memang sudah mengetahui kedatangan kami langsung menyambut di depan rumah.
“Hallo, Dan! Apa kabar?” Sapa Lina sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Baik! Makasih ya sudah mau bantu” Balasku sedikit basa-basi. “Ohya, kenalin, ini Imas”
Setelah mereka berkenalan, kami lalu diajak masuk oleh Lina ke dalam rumah. Cukup lama kami ngobrol, hingga akhirnya aku pamit karena aku harus sudah berada lagi di Garut pukul 7 malam.
“Lin, aku titip sama kamu ya”
Lina mengangguk tersenyum.
“Nah, Imas! Kamu baik-baik ya di sini”
“Ya, Kang! Makasih ya”
Aku lalu pergi meninggalkan rumah Lina. Meninggalkan Imas dengan harapan-harapan barunya.
****
Dua bulan berlalu. Hari ini aku menerima surat dari Imas. Dia mengatakan bahwa kini dia sudah bekerja di perusahaan Lina dan berangsur kehidupannya kian membaik. Bahkan, dia sudah tidak lagi tinggal menumpang bersama Lina. Dia mengontrak rumah petak tidak jauh dari rumah Lina dan dia sepertinya lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang.
“Derrrrrt.....derrrrrrt” Getar handphone mengusikku.
“Hallo”
“Aa, kok ngangkatnya lama banget sih?!” Terdengar suara Rani di ujung telepon. “Cepetan, katanya mau jemput!”
“Iya....ya! Aa berangkat sekarang”
--Tamat--
Oleh : Rachmat Nugraha
Malam itu, keringat mengucur deras membasahi tubuh kami. Deru nafas terdengar begitu hebat. Berpacu memburu nafsu. Kami sama-sama tenggelam dalam kenikmatan birahi.
“Kang, peluk aku lebih erat” Desah Imas.
Dengan penuh kelembutan, kupeluk tubuh sintal itu erat-erat. Sambil terus berjuang untuk mencapai titik puncak, aku telusuri setiap jengkal manis wajahnya dengan bibirku.
“Kang, cepetan! Aku udah enggak tahan….. Aku lapar nih”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dimana aku berada dalam sebuah ruangan yang sempit. Ruang kerjaku. Didepanku, Rani sudah menampakkan raut wajah kelaparan.
“Cepetan dong!” Rengeknya manja.
“Iya… iya! sebentar lagi juga selesai” Kataku sambil melanjutkan kembali catatan hasil liputan yang sempat terhenti akibat lamunan tadi.
Aku adalah lelaki tulen, produktif, dan bertubuh kekar (Penting?). Aku bekerja di sebuah majalah Lifestyle sebagai reporter. Rani adalah kekasihku yang sudah hampir 2 tahun ini mewarnai setiap hari-hariku. Dia berprofesi sebagai accounting si sebuah perusahaan swasta di Jalan Ahmad Yani, Garut kota. Sudah satu jam dia menungguku menyelesaikan ketikan hasil liputanku.
Dan Imas, gadis yang barusan memasuki setiap jengkal pikiranku. Dia adalah seorang mahasiswi di Universitas Tanah Kuring yang berprofesi ganda sebagai ayam kampus (You knowlah!). Aku mengenalnya ketika sedang melakukan liputan tentang lika-liku kehidupan ayam kampus di Garut. Orangnya begitu terbuka dalam hal apapun. Termasuk untuk urusan “itu”. Dia amat terbuka. Dan yang pasti, senyumnya itu lho! Sangat menggoda. Baik birahi, maupun isi dompet. Tapi sayang, adegan“panas” itu hanya ada dalam ruang anganku saja. Karena, aku bukanlah tipe lelaki yang suka mengorbankan cinta demi nafsu sesaat.
Pikiranku kembali melayang pada pertemuan dengan Imas semalam. Waktu itu, jam menunjukkan pukul 12 malam saat aku tiba Labuan, sebuah diskotik ternama di Garut. Seorang wanita cantik datang menghampiriku.
“Puenten, Kang! Akang yang namanya Dadan, kan?” Sapa wanita bertubuh sintal itu.
Aku mengangguk mengiyakan. Dan ketika dia menggandeng tanganku, mengajakku memasuki ruangan yang dipenuhi dengan lampu warna-warni yang kelap-kelip disetiap sudut ruangan, aku menurut saja.
“Silahkan duduk, Kang”
“Makasih” Aku langsung menjatuhkan pantatku di sofa empuk.
Setelah memesan minuman,
kami pun ngobrol. Belakangan aku baru tahu kalau ternyata wanita cantik yang bernama Imas itu adalah mahasiswi Universitas Tanah Kuring yang dijanjikan oleh Rajib untuk menemuiku. Sangat menggoda. Itulah kesan pertama yang kudapat. Dan yang pasti, dihadapan Imas aku tidak mengaku sebagai wartawan. Aku takut tidak akan mendapatkan informasi yang aku perlukan untuk liputanku.
“Akang berani bayar berapa?”
“Satu juta!” Jawabku.
“Kurang atuh, Kang! Kalo segitu sih cuma buat short time” Desisnya sembari mengelus pipiku.
“Terus, berapa?”
“Satu setengah!”
“Setuju!”
“Ya udah, kalo gitu sekarang kita…..ke warung”
“???” Lagi-lagi aku kembali ke alam sadar.
“A! Aa dengerin Rani enggak, sih?”
“Iya, Aa dengar!”
****
Malam ini, aku kembali menemui Imas guna menyelesaikan tugas liputanku. Dan kali ini, kecanggungan yang kemarin terasa sudah mulai lenyap.
“Akang mau long time lagi?”
Aku mengangguk.
“Tapi Kang, kali ini Imas dicicipi kek! Masa Imas cuma diajak ngobrol kayak kemarin sih?!”
Aku tersenyum datar. Aku?! bercinta dengan wanita yang memberikan kehormatannya untuk kepentingan umum?!. It’s possible, you know!
“Ngomong-ngomong kita kemana, Kang?”
“Kita ke Cipanas, yuk!”
Tanpa basa-basi lagi, Imas langsung menarik tanganku. Kami langsung keluar diskotik dan pergi menuju Cipanas.
Sepanjang perjalanan, kami banyak ngobrol. Mulai dari asal muasal dia bisa terjerumus ke lembah hitam, sampai bagaimana dia pernah mencoba berjuang dengan keras untuk dapat meninggalkan dunia malam yang telah menjauhkannya dari kehidupan normal yang sangat didambakannya.
Sungguh, pemandangan yang indah sekaligus mengharukan ketika melihatnya menangis. Indah, karena wajah cantiknya tetap memancarkan pesona yang luar biasa meski sedang menangis. Mengharukan, karena aku tidak mengira jika dibalik kebinalannya tersimpan keinginan untuk melepaskan diri dari jerat kenistaan.
“Terus, kenapa kamu menyerah?”
“Nanggung, Kang! Sudah basah, lebih baik nyelam sekalian”
Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. Kalau saja aku belum memiliki Rani, mungkin aku akan menjadikan Imas istriku sehingga dia dapat keluar dari lembah nista ini.
****
“A, kamu mau kemana lagi malam-malam begini?” Suara Rani terdengar datar di ujung telepon. Dia BT
“Ee...ee... Anu.... Aa mau cari berita” (Bohong)
“Lho, bukannya Aa libur?!”
“Tadinya, tapi Aa harus gantiin Fahmi”
Akhirnya setelah dua jam usaha meyakinkan Rani berhasil juga. Dan itu semua aku lakukan hanya demi Imas. Ya, aku bertekad akan mengembalikan dia ke kehidupannya yang dulu. Demi rasa kemanusiaanku yang selama ini seringkali aku abaikan.
****
Tepat pukul 11 malam aku tiba di diskotik Labuan. Kulihat Imas tengah duduk berdiri di dekat pintu masuk. Menunggu para pria hidung belang yang ingin mencicipi kehangatan tubuhnya. Tonight, she’s look more beautiful.
“Akang!” Imas melirik ke arahku.
Bergegas dia meng-hampiriku dan mengajakku duduk.
“Kok enggak ngomong-ngomong mau datang?”
“Maklum, dadakan”
Aku langsung ajak dia keluar diskotik, dengan sedikit uang pelicin untuk sang germo tentunya.
Semalaman aku banyak ngobrol dengannya dan kali dia tidak lagi memaksaku untuk menikmati tubuhnya.
Aku terus membujuknya untuk meninggalkan kehidupannya yang kelam dan kembali seperti wanita lainnya yang memiliki kehidupan normal.
“Gimana, kamu mau enggak ninggalin semua ini?”
“Tapi aku enggak punya keahlian apa-apa untuk membiayai hidupku”
“Enggak usah takut, aku akan carikan kamu kerjaan”
Imas memandangku dengan senyum. “Beneran, Kang?”
Aku menggangguk.
****
Hari ini aku kembali menemui Imas dan kali ini bukan di diskotik, tempat biasa dia menghabiskan malamnya. Melainkan di alun-alun kota Garut.
Dia sudah bertekad untuk meninggalkan dunia hitamnya dan meminta bantuanku untuk melarikan diri dari genggaman sang germo.
“Sudah siap?” Tanyaku begitu bertemu Imas.
Imas mengangguk.
Kami kemudian bergegas meninggalkan alun-alun dan pergi menuju Bandung.
“Nanti kamu aku titipin sama Lina. Dia temen kuliahku dan dia bersedia bantu kamu”
****
Jam 1 siang aku sampai di rumah Lina di daerah Cicadas.
Lina yang memang sudah mengetahui kedatangan kami langsung menyambut di depan rumah.
“Hallo, Dan! Apa kabar?” Sapa Lina sambil mengulurkan tangannya padaku.
“Baik! Makasih ya sudah mau bantu” Balasku sedikit basa-basi. “Ohya, kenalin, ini Imas”
Setelah mereka berkenalan, kami lalu diajak masuk oleh Lina ke dalam rumah. Cukup lama kami ngobrol, hingga akhirnya aku pamit karena aku harus sudah berada lagi di Garut pukul 7 malam.
“Lin, aku titip sama kamu ya”
Lina mengangguk tersenyum.
“Nah, Imas! Kamu baik-baik ya di sini”
“Ya, Kang! Makasih ya”
Aku lalu pergi meninggalkan rumah Lina. Meninggalkan Imas dengan harapan-harapan barunya.
****
Dua bulan berlalu. Hari ini aku menerima surat dari Imas. Dia mengatakan bahwa kini dia sudah bekerja di perusahaan Lina dan berangsur kehidupannya kian membaik. Bahkan, dia sudah tidak lagi tinggal menumpang bersama Lina. Dia mengontrak rumah petak tidak jauh dari rumah Lina dan dia sepertinya lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang.
“Derrrrrt.....derrrrrrt” Getar handphone mengusikku.
“Hallo”
“Aa, kok ngangkatnya lama banget sih?!” Terdengar suara Rani di ujung telepon. “Cepetan, katanya mau jemput!”
“Iya....ya! Aa berangkat sekarang”
--Tamat--
MULTI PARTAI DAN NKRI
Partai politik, secara arti sempit merupakan alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Untuk sampai kepada hal itu, jalan yang harus dilalui adalah melalui mekanisme pemilu. Dalam pemilu terjadi perebutan kekuasaan secara demokratis. Siapa yang menang dalam pemilu, berarti mendapat mandat dari rakyat dan berhak memerintah atau berkuasa.
Di Indonesia, partai politik sudah ada sejak jaman pergerakan. Namun, secara formal tumbuh sejak Indonesia merdeka, takkala pemerintah mengeluarkan maklumat No. X Tahun 1945. Semenjak itu, partai-partai politik berdiri. Partai-parati politik yang muncul banyak berlatar belakang aliran dan ideologi, seperti Masyumi, NU, PKI, PNI, dan PSI.
Pada jaman demokrasi parlementer, partai-partai politik memainkan peranan yang cukup signifikan. Partai-partai politik lah yang menentukan arah dan dinamika kehidupan politik Indonesia. Peran ini dilakukan melalui parlemen yang merupakan pusat kekuasaan.
Memasuki demokrasi terpimpin, partai-partai politik yang ada dipangkas. Demokrasi terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat di tangan presiden, yakni Soekarno. Partai-partai politik tidak berfungsi, bahkan jumlahnya dikurangi dari 28 partai politik menjadi 10 partai politik, yaitu PNI, PKI, NU, Perti, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Murba, dan Partindo. DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk DPR-GR yang anggotanya diangkat oleh Presiden Soekarno. Dengan gambaran seperti ini, maka demokrasi tidak ada lagi. Yang ada hanya tinggal “terpimpinnya”(Lili Romli ; 2002).
Saat Orde Lama jatuh dan digantikan dengan Orde Baru, ada harapan akan kebangkitan partai politik seperti masa demokrasi terpimpin. Namun, ternyata harapan itu hanyalah tinggal harapan. Yang terjadi justru terjadi reorganisasi dan refungsionalisasi, baik pada tingkat suprastruktur dan infrastruktur politik. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan stabilitas politik sebagai landasan terlaksananya pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru, stabilitas politik merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan.
Orde baru melihat bahwa biang kekacauan yang mengganggu stabilitas politik adalah partai-partai politik. Hal ini berdasarkan pengalaman pada jaman demokrasi parlementer dimana seringkali terjadi pergantian kabinet di tubuh pemerintah akibat ulah partai-partai politik. Sehubungan dengan itu, Orde Baru melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Kesembilan partai politik yang ada (Parmusi, NU, PSII, Perti, PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba) dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu kelompok materiil-sprituil yang terdiri dari PNI, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, dan Murba yang kemudian bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok spiritual-materiil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan. Selain itu, pemerintah mendirikan Golkar sebagai wadah pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kondisi yang demikian jelas menguntungkan Golkar sebagai partai pemerintah. Makanya, tak heran jika pemilu pada masa Orde Baru selalu dimenangkan Golkar. Akibatnya, lahirlah sistem kepartaian yang hegemonik. Sistem partai hegemonik berada diantara partai dominan dan sistem satu partai. Dalam sistem ini, eksistensi partai-partai diakui, namun peranannya dibuat seminimal mungkin, terutama dalam pembentukan opini publik.
Barulah pada masa reformasi, sistem multi partai kembali muncul dengan kian menjamurnya partai-partai politik baru sebagai wujud ketidakpuasan atas system kepartaian yang diterapkan selama 32 tahun dibawah kekuasaan Orde Baru.
Namun, kenyataannya partai-partai politik yang lahir pada masa reformasi yang keberadaanya bisa sekarang ini berkat perjuangan mahasiswa ternyata tidak lebih baik dari partai-partai produk Orde Baru. Saat ini, yang terlihat justru sikap mengekslusifkan diri dari partai-partai politik dan bersikap tidak peduli terhadap aspirasi rakyat dan juga agenda reformasi.
Selain itu, para elit partai semakin terlihat asyik dengan kepentingan pribadi masing-masing dan kelompoknya guna memperebutkan kekuasaan yang pada prosesnya tidak jarang menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.
Hal tersebut jelas akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena, ketika konflik tersebut tidak mampu diredam, maka yang terjadi adalah semakin meluasnya bibit-bibit perpecahan ditengah masyarakat sebagai akibat dari ketidaksensitifan partai politik.
Seharusnya partai politik melek mata melihat keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Partai politik harus sadar untuk tidak terlalu sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus lebih peka atas fenomena yang terjadi di masyarakat terutama mengenai kesejahteraan rakyat.
Karena jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan bukan tidak mustahil bangsa ini akan mengalami perpecahan yang lebih dahsyat lagi.
Seluruh elit partai harus menyadari keterpurukan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia dan tidak lagi terpaku pada masalah perebutan kekuasaan. Toh lagipula kehidupan mereka itu kan sudah sangat beruntung jika kita bandingkan dengan kondisi rakyat yang sampai saat ini masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan.
Di Indonesia, partai politik sudah ada sejak jaman pergerakan. Namun, secara formal tumbuh sejak Indonesia merdeka, takkala pemerintah mengeluarkan maklumat No. X Tahun 1945. Semenjak itu, partai-partai politik berdiri. Partai-parati politik yang muncul banyak berlatar belakang aliran dan ideologi, seperti Masyumi, NU, PKI, PNI, dan PSI.
Pada jaman demokrasi parlementer, partai-partai politik memainkan peranan yang cukup signifikan. Partai-partai politik lah yang menentukan arah dan dinamika kehidupan politik Indonesia. Peran ini dilakukan melalui parlemen yang merupakan pusat kekuasaan.
Memasuki demokrasi terpimpin, partai-partai politik yang ada dipangkas. Demokrasi terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat di tangan presiden, yakni Soekarno. Partai-partai politik tidak berfungsi, bahkan jumlahnya dikurangi dari 28 partai politik menjadi 10 partai politik, yaitu PNI, PKI, NU, Perti, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Murba, dan Partindo. DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk DPR-GR yang anggotanya diangkat oleh Presiden Soekarno. Dengan gambaran seperti ini, maka demokrasi tidak ada lagi. Yang ada hanya tinggal “terpimpinnya”(Lili Romli ; 2002).
Saat Orde Lama jatuh dan digantikan dengan Orde Baru, ada harapan akan kebangkitan partai politik seperti masa demokrasi terpimpin. Namun, ternyata harapan itu hanyalah tinggal harapan. Yang terjadi justru terjadi reorganisasi dan refungsionalisasi, baik pada tingkat suprastruktur dan infrastruktur politik. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan stabilitas politik sebagai landasan terlaksananya pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru, stabilitas politik merupakan prasyarat terlaksananya pembangunan.
Orde baru melihat bahwa biang kekacauan yang mengganggu stabilitas politik adalah partai-partai politik. Hal ini berdasarkan pengalaman pada jaman demokrasi parlementer dimana seringkali terjadi pergantian kabinet di tubuh pemerintah akibat ulah partai-partai politik. Sehubungan dengan itu, Orde Baru melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Kesembilan partai politik yang ada (Parmusi, NU, PSII, Perti, PNI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba) dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu kelompok materiil-sprituil yang terdiri dari PNI, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, dan Murba yang kemudian bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia dan kelompok spiritual-materiil yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan. Selain itu, pemerintah mendirikan Golkar sebagai wadah pegawai negeri sipil dan ABRI.
Kondisi yang demikian jelas menguntungkan Golkar sebagai partai pemerintah. Makanya, tak heran jika pemilu pada masa Orde Baru selalu dimenangkan Golkar. Akibatnya, lahirlah sistem kepartaian yang hegemonik. Sistem partai hegemonik berada diantara partai dominan dan sistem satu partai. Dalam sistem ini, eksistensi partai-partai diakui, namun peranannya dibuat seminimal mungkin, terutama dalam pembentukan opini publik.
Barulah pada masa reformasi, sistem multi partai kembali muncul dengan kian menjamurnya partai-partai politik baru sebagai wujud ketidakpuasan atas system kepartaian yang diterapkan selama 32 tahun dibawah kekuasaan Orde Baru.
Namun, kenyataannya partai-partai politik yang lahir pada masa reformasi yang keberadaanya bisa sekarang ini berkat perjuangan mahasiswa ternyata tidak lebih baik dari partai-partai produk Orde Baru. Saat ini, yang terlihat justru sikap mengekslusifkan diri dari partai-partai politik dan bersikap tidak peduli terhadap aspirasi rakyat dan juga agenda reformasi.
Selain itu, para elit partai semakin terlihat asyik dengan kepentingan pribadi masing-masing dan kelompoknya guna memperebutkan kekuasaan yang pada prosesnya tidak jarang menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.
Hal tersebut jelas akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena, ketika konflik tersebut tidak mampu diredam, maka yang terjadi adalah semakin meluasnya bibit-bibit perpecahan ditengah masyarakat sebagai akibat dari ketidaksensitifan partai politik.
Seharusnya partai politik melek mata melihat keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Partai politik harus sadar untuk tidak terlalu sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus lebih peka atas fenomena yang terjadi di masyarakat terutama mengenai kesejahteraan rakyat.
Karena jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan bukan tidak mustahil bangsa ini akan mengalami perpecahan yang lebih dahsyat lagi.
Seluruh elit partai harus menyadari keterpurukan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia dan tidak lagi terpaku pada masalah perebutan kekuasaan. Toh lagipula kehidupan mereka itu kan sudah sangat beruntung jika kita bandingkan dengan kondisi rakyat yang sampai saat ini masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan.
PERANAN PEMUDA DALAM PENGEMBANGAN HAM DI INDONESIA
Hak asasi manusia adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. Dalam Deklarasi Wina (1993) bahkan disebutkan adalah kewajiban negara untuk menegakkan HAM dan menganjurkan pemerintah untuk menegakkan standar-standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen HAM internasional ke dalam hukum nasional. Proses mengadopsi dan menetapkan pemberlakuan instrumen HAM inilah yang disebut sebagai ratifikasi.
Di Indonesia sendiri, pemenuhan hak asasi juga merupakan amanat konstitusi yang harus ditunaikan oleh negara. Amanat luhur tersebut tertuang dengan jelas pada UUD 1945. Disamping itu, hak asasi juga lebih spesifik dinyatakan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kenyataan di Indonesia, pemenuhan atas hak asasi ternyata masih jauh panggang dari api. Ini terbukti dengan masih banyaknya warga negara yang belum mendapatkan penghidupan yang layak, pengangguran yang kian meningkat, jaminan kesehatan yang masih buruk, kebebasan berekspresi yang masih terbatas, dan masih banyak yang belum mendapatkan pendidikan yang layak, atau bahkan tidak sama sekali dapat merasakan bangku pendidikan. Bahkan, angka pelanggaran HAM justru meningkat.
Hal tersebut dapat kita lihat dari belum dituntaskannya kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei, penculikan Aktivis, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus pembunuhan Munir, dan banyak lagi kasus pelanggaran HAM yang tak terselesaikan.
Ini membuktikan bahwa pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang belum mampu menegakkan HAM di Indonesia. Pemerintah seperti enggan menjalankan kewajibannya dalam upaya pemenuhan atas hak asasi di bumi nusantara ini.
Begitu juga dengan DPR, sebagai lembaga perwakilan rakyat justru menambah sakit hati masyarakat dengan tindak- tanduknya yang lebih mementingkan kepentingan kelompoknya.
Padahal, para wakil rakyat yang katanya terhormat itu seharusnya menyadari keterpurukan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia yang salah satunya karena tidak adanya upaya penegakkan HAM di negeri ini.
Bukankah tugas para anggota parlemen itu adalah memperjuangkan kepentingan rakyat? Lantas kenapa DPR yang katanya merupakan pembawa aspirasi rakyat mengotori tugas mulianya sebagai wakil rakyat dengan perilakunya yang tidak menghiraukan rasa keadilan rakyat.
Di samping itu dan yang paling penting adalah peran pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Kaum muda terlihat sangat minim dalam memainkan perannya sebagai pewaris negeri dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, khususnya pengembangan HAM di Indonesia.
Hingga kini, kaum pemuda masih terjebak dalam kungkungan hedonisme, matrealisme, dan konsumtifisme. Mereka seperti tertutup kesadarannya sehingga membuat mereka kurang sensitif terhadap permasalahan bangsa.
Seharusnya, dengan kondisi yang demikian peran pemuda sangat dibutuhkan. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus mampu menjadi garda terdepan upaya menegakkan HAM di Indonesia. Pemuda sebagai pewaris negeri harus dapat menjadi motor penggerak penegakkan HAM agar seluruh warga negara mendapatkan haknya. Dalam hal ini, keberpihakan pemuda pada rakyat harus dipertegas karena ini menyangkut masa depan bangsa.
Sudah saatnya pemuda melek mata melihat keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Karena apapun alasannya, tidak dibenarkan bagi pemuda untuk membiarkan segala bentuk pelanggaran HAM yang mengorbankan rakyat. Jangan sampai ada lagi keberpihakan pemerintah terhadap kalangan pengusaha/ konglomerat dan pihak asing tanpa ada political will yang mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia tersisihkan hak-haknya.
Dan yang terpenting, jangan lagi pemuda harus terus menerus digugah dan diingatkan untuk tidak terlalu sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus lebih peka atas fenomena yang terjadi di masyarakat terutama mengenai penegakkan HAM. Karena jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan bukan tidak mustahil bangsa ini akan terus terjerumus dalam jurang kehancuran.
Di Indonesia sendiri, pemenuhan hak asasi juga merupakan amanat konstitusi yang harus ditunaikan oleh negara. Amanat luhur tersebut tertuang dengan jelas pada UUD 1945. Disamping itu, hak asasi juga lebih spesifik dinyatakan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kenyataan di Indonesia, pemenuhan atas hak asasi ternyata masih jauh panggang dari api. Ini terbukti dengan masih banyaknya warga negara yang belum mendapatkan penghidupan yang layak, pengangguran yang kian meningkat, jaminan kesehatan yang masih buruk, kebebasan berekspresi yang masih terbatas, dan masih banyak yang belum mendapatkan pendidikan yang layak, atau bahkan tidak sama sekali dapat merasakan bangku pendidikan. Bahkan, angka pelanggaran HAM justru meningkat.
Hal tersebut dapat kita lihat dari belum dituntaskannya kasus Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei, penculikan Aktivis, kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari, kasus pembunuhan Munir, dan banyak lagi kasus pelanggaran HAM yang tak terselesaikan.
Ini membuktikan bahwa pemerintah sebagai pelaksana Undang-Undang belum mampu menegakkan HAM di Indonesia. Pemerintah seperti enggan menjalankan kewajibannya dalam upaya pemenuhan atas hak asasi di bumi nusantara ini.
Begitu juga dengan DPR, sebagai lembaga perwakilan rakyat justru menambah sakit hati masyarakat dengan tindak- tanduknya yang lebih mementingkan kepentingan kelompoknya.
Padahal, para wakil rakyat yang katanya terhormat itu seharusnya menyadari keterpurukan yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia yang salah satunya karena tidak adanya upaya penegakkan HAM di negeri ini.
Bukankah tugas para anggota parlemen itu adalah memperjuangkan kepentingan rakyat? Lantas kenapa DPR yang katanya merupakan pembawa aspirasi rakyat mengotori tugas mulianya sebagai wakil rakyat dengan perilakunya yang tidak menghiraukan rasa keadilan rakyat.
Di samping itu dan yang paling penting adalah peran pemuda sebagai generasi penerus bangsa. Kaum muda terlihat sangat minim dalam memainkan perannya sebagai pewaris negeri dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, khususnya pengembangan HAM di Indonesia.
Hingga kini, kaum pemuda masih terjebak dalam kungkungan hedonisme, matrealisme, dan konsumtifisme. Mereka seperti tertutup kesadarannya sehingga membuat mereka kurang sensitif terhadap permasalahan bangsa.
Seharusnya, dengan kondisi yang demikian peran pemuda sangat dibutuhkan. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa harus mampu menjadi garda terdepan upaya menegakkan HAM di Indonesia. Pemuda sebagai pewaris negeri harus dapat menjadi motor penggerak penegakkan HAM agar seluruh warga negara mendapatkan haknya. Dalam hal ini, keberpihakan pemuda pada rakyat harus dipertegas karena ini menyangkut masa depan bangsa.
Sudah saatnya pemuda melek mata melihat keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Karena apapun alasannya, tidak dibenarkan bagi pemuda untuk membiarkan segala bentuk pelanggaran HAM yang mengorbankan rakyat. Jangan sampai ada lagi keberpihakan pemerintah terhadap kalangan pengusaha/ konglomerat dan pihak asing tanpa ada political will yang mengakibatkan mayoritas penduduk Indonesia tersisihkan hak-haknya.
Dan yang terpenting, jangan lagi pemuda harus terus menerus digugah dan diingatkan untuk tidak terlalu sibuk mengurusi kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus lebih peka atas fenomena yang terjadi di masyarakat terutama mengenai penegakkan HAM. Karena jika kondisi seperti itu tetap dipertahankan bukan tidak mustahil bangsa ini akan terus terjerumus dalam jurang kehancuran.
MINAT BACA DI INDONESIA
Kurangnya kesadaran remaja di Indonesia akan pentingnya sebuah buku bukanlah faktor utama minat baca generasi muda kita rendah.
Ada hal-hal lain yang sangat mempengaruhi minat baca remaja. Salah satunya koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah yang kurang up to date. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman pengelola pendidikan akan arti penting dari sebuah perpustakaan.
Tak heran, ketika siswa datang ke perpustakaan untuk mencari buku terkadang mendapat jawaban, “Maaf, buku yang anda cari tidak ada”.
Tak perlu susah-susah untuk menebak imej perpustakaan dlaam benak umumunya orang Indonesia. Yang terbayangkan adalah kesan sumpek, tidak terawat, sepi, dan membosankan..
Sudah begitu, imej perpustakaan kian buruk karena pelayanan yang tidak professional disebabkan untuk pengelolaannya diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya.
Disamping itu, kurangnya produktivitas penulis untuk membuat buku. Bayangkan saja, seorang penulis di Indonesia dalam setahun paling-paling hanya mampu menerbitkan karyanya sekitar 1 – 3 judul.
Hal ini disebabkan, pertama, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar menulis. Kita cukup tahu, di Indonesia, pekerjaan menulis masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan dan belum bisa menjamin hidup seseorang secara ekonomi. Sebab, belum tentu bukunya laku. Dari setiap eksemplar buku yang terjual, penulis hanya mendapat 10 persen saja. Itu pun kalau penerbitnya jujur dan memenuhi hak penulis.
Kedua, minimnya kemampuan penerbit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerbit di Indonesia selalu terbentur dengan masalah ongkos produksi yang sangat besar, seperti harga kertas dan tinta yang kian menggila, media promosi yang cukup besar, hingga bayar honor penulis, editor, layout, dan pajak. Sedangkan, jika mereka mematok
harga tinggi akan mem- persulit masyarakat untuk mendapatkan buku. Dikarenakan kondisi ekonomi masyarakat yang masih belum stabil benar sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sembilan tahun yang lalu.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan minat baca di Indonesia, harus ada komitmen dari seluruh pihak.
Pertama, pengelola pendidikan harus meng- up to date buku-buku di perpustakaan, membuat nyaman pengujung, dan mengisi dengan orang-orang yang mengerti bagaimana cara mengelola perpustakaan dengan benar.
Ada hal-hal lain yang sangat mempengaruhi minat baca remaja. Salah satunya koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah yang kurang up to date. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman pengelola pendidikan akan arti penting dari sebuah perpustakaan.
Tak heran, ketika siswa datang ke perpustakaan untuk mencari buku terkadang mendapat jawaban, “Maaf, buku yang anda cari tidak ada”.
Tak perlu susah-susah untuk menebak imej perpustakaan dlaam benak umumunya orang Indonesia. Yang terbayangkan adalah kesan sumpek, tidak terawat, sepi, dan membosankan..
Sudah begitu, imej perpustakaan kian buruk karena pelayanan yang tidak professional disebabkan untuk pengelolaannya diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya.
Disamping itu, kurangnya produktivitas penulis untuk membuat buku. Bayangkan saja, seorang penulis di Indonesia dalam setahun paling-paling hanya mampu menerbitkan karyanya sekitar 1 – 3 judul.
Hal ini disebabkan, pertama, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar menulis. Kita cukup tahu, di Indonesia, pekerjaan menulis masih dianggap sebagai pekerjaan sampingan dan belum bisa menjamin hidup seseorang secara ekonomi. Sebab, belum tentu bukunya laku. Dari setiap eksemplar buku yang terjual, penulis hanya mendapat 10 persen saja. Itu pun kalau penerbitnya jujur dan memenuhi hak penulis.
Kedua, minimnya kemampuan penerbit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penerbit di Indonesia selalu terbentur dengan masalah ongkos produksi yang sangat besar, seperti harga kertas dan tinta yang kian menggila, media promosi yang cukup besar, hingga bayar honor penulis, editor, layout, dan pajak. Sedangkan, jika mereka mematok
harga tinggi akan mem- persulit masyarakat untuk mendapatkan buku. Dikarenakan kondisi ekonomi masyarakat yang masih belum stabil benar sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sembilan tahun yang lalu.
Oleh sebab itu, untuk meningkatkan minat baca di Indonesia, harus ada komitmen dari seluruh pihak.
Pertama, pengelola pendidikan harus meng- up to date buku-buku di perpustakaan, membuat nyaman pengujung, dan mengisi dengan orang-orang yang mengerti bagaimana cara mengelola perpustakaan dengan benar.
TEKNIK LOBI DAN NEGOSIASI
Menurut Stephen Robbins dalam bukunya “ Organizational Behavior” ( 2001), negosiasi adalah proses pertukaran barang atau jasa antara 2 pihak atau lebih, dan masing-masing pihak berupaya untuk menyepakati tingkat harga yang sesuai untuk proses pertukaran tersebut. Sedang dalam komunikasi bisnis, negosiasi adalah suatu proses dimana dua pihak atau lebih yang mempunyai kepentingan yang sama atau bertentangan, bertemu dan berbicara untuk mencapai suatu kesepakatan.
Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala :
Kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan.
Terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak.
Keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain.
Kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ? Menurut Arbono Lasmahadi (2005), upaya negosiasi tidak diperlukan manakala :
1. Persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak,
2. Salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain.
3. Negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi.
Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain :
Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi?
Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan?
Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan?
Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :
BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement) , yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan.
Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi.
ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.
Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan.
Strategi Dalam Bernegosiasi
Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut :
1. Win-win. Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation.
2. Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
3. Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
4. Lose-win. Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka.
Taktik Dalam Negosiasi
Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator.
Membuat agenda. Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan.
Bluffing. Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar.
Membuat tenggat waktu (deadline). Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan.
Good Guy Bad Guy .Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat’ dan “baik” pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
The art of Concesión .Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi .
Intimidasi. Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak.
Perangkap Dalam Negosiasi
Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya “The Mind and the Heart of Negotiation”, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama , yaitu :
Leaving money on table (dikenal juga sebagai “lose-lose” negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan “win-win” solution.
Setting for too little ( atau dikenal sebagai “kutukan bagi si pemenang”), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh.
Meninggalkan meja perundingan , yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan.
Setting for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain.
Proses Negosiasi
Berikut proses negosiasi :
Persiapan
Memulai
Langkah strategis
Diskusi dan komunikasi
Melakukan pengukuran : a. Diri
b. Lawan
c. Situasi
d. Pengembangan strategi
Penutup dan kesepakatan
Pasca kesepakatan
Kapan sebenarnya diperlukan upaya negosiasi ? Upaya negosiasi diperlukan manakala :
Kita tidak mempunyai kekuasaan untuk memaksakan suatu hasil yang kita inginkan.
Terjadi konflik antar para pihak, yang masing-masing pihak tidak mempunyai cukup kekuatan atau mempunyai kekuasaan yang terbatas untuk menyelesaikannya secara sepihak.
Keberhasilan kita dipengaruhi oleh kekuasaan atau otoritas dari pihak lain.
Kita tidak mempunyai pilihan yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi atau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan.
Kapan upaya negosiasi sebenarnya tidak diperlukan ? Menurut Arbono Lasmahadi (2005), upaya negosiasi tidak diperlukan manakala :
1. Persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak,
2. Salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain.
3. Negosiator dari salah satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi.
Menurut Marjorie Corman Aaron dalam tulisannya tentang negosiasi di Harvard Review , dalam melakukan negosiasi, seorang perunding yang baik harus membangun kerangka dasar yang penting tentang negosiasi yang akan dilakukannya agar dapat berhasil menjalankan tugasnya tersebut. Kerangka dasar yang dimaksud antara lain :
Apakah alternatif terbaik untuk menerima atau menolak kesepakatan dalam negosiasi?
Berapa besar nilai atau penawaran minimum yang akan dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan?
Seberapa lentur proses negosiasi akan dilakukan dan seberapa akurat pertukaran yang ingin dilakukan?
Untuk membangun kerangka dasar tersebut di atas, ada 3 konsep penting yang harus dipahami oleh seorang negosiator, yaitu :
BATNA ( Best Alternative to a Negotiated Agreement) , yaitu langkah-langkah atau alternatif-alternatif yang akan dilakukan oleh seorang negosiator bila negosiasi tidak mencapai kesepakatan.
Reservation Price, yaitu nilai atau tawaran terendah yang dapat diterima sebagai sebuah kesepakatan dalam negosiasi.
ZOPA ( Zone of Possible Agreement), yaitu suatu zona atau area yang memungkinkan terjadinya kesepakatan dalam proses negosiasi.
Dengan pemahaman yang baik terhadap 3 konsep dasar tersebut diatas , maka para perunding diharapkan dapat menentukan hal-hal yang ingin dicapainya dalam negosiasi, menentukan besarnya konsesi yang ingin didapat dan dapat diberikan, menentukan perlu tidaknya melanjutkan negosiasi, dan melakukan langkah lain yang lebih menguntungkan.
Strategi Dalam Bernegosiasi
Dalam melakukan negosiasi, kita perlu memilih strategi yang tepat, sehingga mendapatkan hasil yang kita inginkan. Strategi negosiasi ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Ada beberapa macam strategi negosiasi yang dapat kita Pilih, sebagai berkut :
1. Win-win. Strategi ini dipilih bila pihak-pihak yang berselisih menginginkan penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation.
2. Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan hasil yang mereka inginkan.
3. Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih, pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
4. Lose-win. Strategi ini dipilih bila salah satu pihak sengaja mengalah untuk mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka.
Taktik Dalam Negosiasi
Dalam proses negosiasi, pihak-pihak yang berselisih seringkali menggunakan berbagai taktik agar dapat memperoleh hasil negosiasi yang diinginkan. Ada beberapa taktik yang umum dilakukan oleh para negosiator.
Membuat agenda. Taktik ini harus digunakan karena dapat memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih setiap masalah yang ada secara berurutan dan mendorong mereka untuk mencapi kesepakatan atas keseluruhan paket perundingan.
Bluffing. Taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator yang bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan cara membuat distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar.
Membuat tenggat waktu (deadline). Taktik ini digunakan bila salah pihak yang berunding ingin mempercepat penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada lawannya untuk segera mengambil keputusan.
Good Guy Bad Guy .Taktik ini digunakan dengan cara menciptakan tokoh “jahat’ dan “baik” pada salah satu pihak yang berunding. Tokoh “jahat” ini berfungsi untuk menekan pihak lawan sehingga pandangan-pandangannya selalu ditentang oleh pihak lawannya , sedangkan tokoh “baik” ini yang akan menjadi pihak yang dihormati oleh pihak lawannya karena kebaikannya. Sehingga pendapat-pendapat yang dikemukakannya untuk menetralisir pendapat Tokoh “jahat”, sehingga dapat diterima oleh lawan berundingnya.
The art of Concesión .Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi .
Intimidasi. Taktik ini digunakan bila salah satu pihak membuat ancaman kepada lawan berundingnya agar menerima penawaran yang ada, dan menekankan konsekuensi yang akan diterima bila tawaran ditolak.
Perangkap Dalam Negosiasi
Menurut Leight L. Thompson dalam bukunya “The Mind and the Heart of Negotiation”, para perunding sering terperangkap pada 4 (empat) perangkap utama , yaitu :
Leaving money on table (dikenal juga sebagai “lose-lose” negotiation, yang terjadi saat para perunding gagal mengenali dan memanfaatkan potensi yang ada untuk menghasilkan “win-win” solution.
Setting for too little ( atau dikenal sebagai “kutukan bagi si pemenang”), yang terjadi saat para perunding memberikan konsesi yang terlalu besar, kepada lawan berundingnya dibandingkan dengan yang mereka peroleh.
Meninggalkan meja perundingan , yang terjadi saat para perunding menolak tawaran dari pihak lain yang sebenarnya lebih baik dari semua pilihan yang tersedia bagi mereka. Biasanya hal ini terjadi karena terlalu mempertahankan harga diri atau salah perhitungan.
Setting for terms that worse than the alternative terjadi saat para perunding merasa berkewajiban untuk mencapai kesepakatan, padahal hasil kesepakatan yang dibuat tidak sebaik alternatif yang lain.
Proses Negosiasi
Berikut proses negosiasi :
Persiapan
Memulai
Langkah strategis
Diskusi dan komunikasi
Melakukan pengukuran : a. Diri
b. Lawan
c. Situasi
d. Pengembangan strategi
Penutup dan kesepakatan
Pasca kesepakatan
SISTEM PERS DI DUNIA
Pandangan hidup suatu bangsa akan mempengaruhi hubungan sosial masyarakatnya yang akan membentuk sistem kemasyarakatan, secara makro dapat dikatakan bahwa pandangan hidup, falsafah atau ideologi suatu bangsa akan menentukan sistem ketatanegaraan.
Terkait dengan masyarakat pers, hampir setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri, sesuai dengan kebudayaan, ideologi, dan struktur masyarakatnya. Namun, pada umumnya sistem pers yang dibentuk berguna untuk dijadikan acuan dalam tugas dan fungsi pers sebagai alat perjuangan dan pembangunan, penerangan, hiburan, kontrol sosial, sekaligus sebagai penyalur dan pembentuk pendapat umum.
Menurut William A. Hachten (dalam bukunya yang berjudul “The World News Prism” Tahun 1981), ada lima sistem pers yang berlaku di dunia, yakni :
Pers Otoriter
Pers Liberal
Pers Komunis
Pers Revolusioner
Pers Pembangunan (disebut juga Pers dunia ketiga)
Sementara itu, Fred. S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schram dalam karangannya yang berjudul “Four Theories of The Pers” (1965) menyebutkan bahwa ada empat konsep atau teori pers yang berlaku di dunia, yakni :
Otoritarian (akhir renaissance) dengan ciri-cirinya :
Kebenaran dari lingkaran pusat kekuasaan.
Pers milik kantor kerajaan.
Pers swasta ada hanya dengan ijin khusus.
Bertanggung jawab kepada raja atau Negara.
Libertarian dengan ciri-cirinya :
Kebenaran milik massa, berdasarkan pilihannya atas beberapa alternative. Tidak mutlak dari Negara.
Pers sebagai mitra mencari kebenaran. Bukan instrumen penguasa.
Media massa sebagai pasar ide dan pendapat.
Tanggung jawab sosial (social responsibility) :
Kebenaran adalah alternatif yang dimunculkan/sindikat media massa.
Siapa, fakta bagaimana, versi bagaimana yang disajikan ditentukan oelh pemilik media.
Invasi seseorang tidak dilayani demi perlindungan hak umum.
Totalitarian :
Berkembang di negara Komunis, Nazi, dan Italia Fasis.
Aspirasi yang disiarkan bersumber dari anggota partai yang loyal.
Media massa milik Negara dan kegiatannya dikontrol dengan ketat.
Kritik terhadap tujuan partai dilarang.
Memberikan support terhadap usaha-usaha partai.
Mungkin banyak lagi pendapat dan pandangan para pakar komunikasi dapat memberikan pandangan dan pendapatnya tentang penggolongan sistem pers tersebut. Namun dalam makalah ini, kita akan hanya akan membicarakan tentang sistem pers yang banyak berlaku di Negara-negara di dunia, yakni sistem pers otoriter, sistem pers liberal, sistem pers komunis, dan sistem pers pancasila yang berlaku di Indonesia
Sistem pers otoriter
Sistem ini hampir secara otomatis digunakan di semua negara ketika masyarakat mulai mengenal surat kabar sebagai wahana komunikasi. Sistem pers otoriter telah berhasil selama dua ratus tahun membentuk dasar khusus dalam menentukan fungsi dan hubungan pers dengan masyarakat. Penggunaan sistem ini tidak terbatas pada abad 15 hingga 17 saja, tetapi berlanjut sampai abad modern seperti negara Jepang, Rusia, Jerman, Spanyol, dan beberapa Negara di Asia dan Amerika Selatan.
Dalam sistem pers otoriter, setiap teori tentang hubungan komunikasi yang terorganisasi dimana pers menjadi bagiannya akan ditentukan oleh asumsi dasar filosofis dasar tentang manusia dan negara sebagai berikut.
Hakikat manusia : manusia dapat mencapai potensi sepenuhnya hanya apabila manusia itu menjadi anggota masyarakat. Manusia sebagai individu bidang kegiatannya terbatas.
Hakikat masyarakat : manusia sebagai anggota masyarakat atau kelompok yang terorganisasi akan mampu mencapai tujuan hidupnya, bahkan tak terukur. Dengan asumsi ini, maka kelompok lebih penting daripada perseorangan karena hanya melalui kelompoklah tujuan perseorangan dapat tercapai.
Hakikat negara : negara adalah ekspresi tertinggi dari organisasi kelompok manusia, mengungguli perseorangan dalam segala skala nilai. Tanpa negara orang perseorangan tidak sanggup mengembangkan atribut-atribut manusia yang berbudaya. Ketergantungan perseorangan terhadap negara dalam mencapai dan mengembangkan peradaban muncul sebagai formula umum dari sistem otoriter. Asumsi ini menjadi asumsi dasar tentang hakikat negara.
Hakikat kebenaran dan pengetahuan : pengetahuan dapat ditemukan melalui usaha mental. Kemampuan dalam menggunakan proses mental untuk mendorong munculnya proses itu sangat berbeda. Karena adanya perbedaan ini, maka manusia juga harus dibedakan tempatnya dalam struktur masyarakat. Orang-orang bijaksana yang mempunyai kesanggupan menganalisis dan menyimpulkan masalah harus menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat yang terorganisasi. Atau, apabila tidak menjadi pemimpin maka setidaknya harus menjadi penasihat bagi pemimpin-pemimpin masyarakat. Pengetahuan yang tidak diilhami tuntutan ketuhanan didapat melalui negara untuk kebaikan semua orang. Dengan demikian maka pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan dan dapat dijadikan panutan semua anggota masyarakat yang membutuhkan rumusan absolut.
Memang, sistem otoriter ini lahir lebih awal dibanding sistem pers lainnya. Namun, walau begitu hingga sekarang sisa-sisa teori ini belum hilang dan masih dapat dilihat pelaksanaannya di beberapa negara. Karena menurut negara penganut sistem ini, media massa harus diatur dan diawasi kegiatannya agar tidak merusak kegiatan negara dalam mencapai tujuannya.
Sistem pers liberal
Sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem yang pertama. Jika sistem pers otoriter dikuasai oleh negara, maka pada sistem pers liberal lebih dikuasai oleh golongan pengusaha bermodal besar.
Lahirnya prinsip liberal yang mendasari berbagai lembaga sosial politik terutama pers disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya. Pertama, penemuan geografis menghasilkan perluasan pikiran manusia terutama penemuan-penemuan ilmiah, seperti Newton, Copernicus, dan Kepler yang memperlihatkan adanya nilai-nilai baru. Kedua, kehadiran kelas menengah dalam masyarakat terutama di Eropa dimana kepentingan kelas komersial sedang berkembang dan menuntut agar pertikaian agama dihentikan. Sementara itu hak khusus para bangsawan dibatasi.
Selain itu, terbentuknya sistem pers liberal ini didasari oleh asumsi-asumsi dasar filosofis sebagai berikut.
a. Hakikat manusia
Manusia seperti hewan rasional dan memiliki tujuan sendiri. Walaupun manusia sering melatih kemampuannya untuk berpikir yang diberikan Tuhan kepadanya untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi, pada akhirnya mereka mampu menghimpun keputusan secara terpisah. Berbeda dengan hewan, maka manusia dapat menggunakan kemampuannya untuk berpikir, mengingat, dan pengalamannya untuk membuat keputusan.
b. Hakikat masyarakat
Tujuan masyarakat ialah kebahagiaan dan kesejahteraan manusia dan sebagai organisme yang dapat berpikir ia sanggup mengorganisasi dunia sekelilingnya dan membuat keputusan yang dapat mendukung kepentingannya. Fungsi utama masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggotanya serta menciptakan perlindungan agar masyarakat tidak mengambil alih peran utama dan menjadi tujuan itu sendiri.
c. Hakikat negara
Negara merupakan alat yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan. Negara menyediakan lingkungan bagi masyarakat dan perorangan sehingga mereka dapat menggunakan kemampuannya sendiri untuk mencapai tujuan. Jika negara gagal dalam mencapai tujuan tersebu, maka dianggap penghalang dan boleh diubah. Karena tercapainya tujuan perorangan merupakan tujuan terakhir, yaitu tujuan manusia, masyarakat, dan negara.
d. Hakikat pengetahuan dan kebenaran
Kemampuan berpikir manusia adalah pemberian Tuhan yang sama halnya dengan pemberian kejahatan dan kebaikan. Dengan kemampuan tersebut manusia dapat memecahkan permasalahan sehingga makna pemberian Tuhan memudar dan kemampuan manusia memecahkan persoalan lebih menonjol. Tindakan manusia yang menggunakan panca indera untuk memecahkan permasalah menjadi nyata. Kebenaran adalah suatu yang dapat ditemukan dan diperlihatkan kepada manusia lain untuk diperdebatkan dan melalui musyawarah akan dapat mengakhiri perdebatan dan hasilnya dapat diterima oleh akal.
Pada tahap akhir perang dunia kedua, golongan liberal menyatakan bahwa prinsip demokrasi tentang kebebasan berbicara dan pers akan tersebar luas sehingga dibentuklah sebuah organisasi internasional. Mereka yakin bahwa melalui badan organisasi internasional, maka prinsip-prinsip otoriter dan komunisme dapat dicegah. Salah satu pendorong terbentuknya organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ialah diakuinya hak-hak asasi manusia oleh seluruh dunia sesuai dengan prinsip liberal.
Sistem pers komunis
Sejak awal tradisi marxis telah memperlihatkan otorianisme, kecenderungan untuk membuat perbedaan yang keras dan tajam antara yang salah dan benar. Dalam pandangan umum yang diwariskan oleh Marx kepada orang-orang Rusia terlihat kesalahpahaman antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Orang Amerika biasa berpikir bahwa orang sebaiknya mempunyai ide dan nilai yang berbeda, dengan demikian menggalakkan seni bermusyawarah serta pemerintahan mayoritas. Sedangkan Rusia biasa berpikir bahwa orang-orang seharusnya tidak berbeda pandangan, musyawarah tanda kelemahan, dan hanya ada satu pandangan yang benar yang dapat dipertemukan dan dipertahankan, disebarkan, dan digalakkan. Dalam baying-bayang sikap umum inilah Marx mengembangkan konsep tetang perubahan sosial dalam pengertian dinamikanya (dialektikanya), motivasinya (determinisme materialistik), dan tujuannya (kemenangan kelas pekerja dan akhirnya masyarakat tanpa kelas)
Menurut Marx, perubahan itu tidak hanya terjadi dalam bidang politik saja atau bidang ekonomi saja, akan tetapi semua komponen kebudayaan lainnya juga akan berubah seperti seni, agama, dan filsafat. Baginya, negara hanyalah alat bagi kelas masyarakat untuk menguasai kelas lainnya. Dengan demikian masyarakat tanpa kelas artinya masyarakat tanpa negara.
Dalam masalah komunikasi massa, Marx tidak pernah secara langsung mempertahankan masalah tersebut. Satu yang jelas adalah konsep Marxis mengenai persatuan dan pembedaan antara kebenaran dengan ketidakbenaran tidak memungkinkan pers berfungsi sebagai lembaga sosial yang bebas mengkritik pemerintah dan bertindak sebagai forum bebas.
Pers komunis dianggap sebagai alat untuk menginterpretasi doktrin, melaksanakan kebijakan kelas pekerja atau militant. Jelaslah menurut Marx, sesuai dengan determinisme materialistik bahwa kontrol pers akan dipegang oleh mereka yang memiliki fasilitas seperti para pencetak, penerbit stasiun siaran, dan sebagainya. Selama kelas kapitalis mengontrol perangkat fisik ini, maka kelas pekerja tidak akan pernah mendapat kesempatan yang seimbang untuk menggunakan seluruh komunikasi. Agar mereka dapat memanfaatkan saluran komunikasi, maka mereka harus memiliki sarana-sarana komunikasi dan kemudian komunikasi massa sebagai lembaga lainnya.
Dalam banyak doktrin praktis Marx tidak berbicara, misalnya tentang penggunaan komunikasi massa. Kelalaian Marx adalah kegagalan dalam melengkapi revolusi dengan teori politik.
Sistem pers pancasila
Sistem pers pancasila adalah sistem pers yang digunakan di Indonesia yang merupakan salah satu dari sebelas sistem ketatanegaraan dan kehidupan pers termasuk dalam sub sistem dari sistem keenam. Sebelas sistem menurut UUD 1945 adalah :
Sistem Undang-Undang
Sistem Negara
Sistem Keuangan
Sistem Pemerintahan
Sistem Kehakiman
Sistem Kewarganegaraan
Sistem Keagamaan
Sistem Pertahanan Negara
Sistem Pendidikan dan Kebudayaan
Sistem Kesejahteraan Sosial yang meliputi ekonomi
Sistem Integrasi
Sistem kewarganegaraan diatur dalam pasal 26, pasal 27, sampai dengan pasal 28J UUD 1945 (yang telah diamandemen). Yang langsung terkait dengan kehidupan pers adalah pasal 28 UUD 1945 yang sekaligus merupakan landasan konstitusinya uang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam konteksnya dengan sistem ketatanegaraan nasional kita, maka penjabaran pasal 28 UUD 1945 tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Khusus tentang pasal 28 UUD 1945 tidak boleh dipandang sebagai berdiri sendiri, ia harus diperhatikan dengan seluruh komponen hukum konstitusi.
Pancasila adalah landasan idiil pers nasional Indonesia yang harus dilihat secara bulat dan utuh. Dewan Pers dalam sidang plenonya yang ke-XXV di Solo tanggal 7 Desember 1984 telah merumuskan “Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pers Pembangunan dan Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk pembangunan pers itu sendiri”.
Terkait dengan masyarakat pers, hampir setiap negara memiliki sistem persnya sendiri-sendiri, sesuai dengan kebudayaan, ideologi, dan struktur masyarakatnya. Namun, pada umumnya sistem pers yang dibentuk berguna untuk dijadikan acuan dalam tugas dan fungsi pers sebagai alat perjuangan dan pembangunan, penerangan, hiburan, kontrol sosial, sekaligus sebagai penyalur dan pembentuk pendapat umum.
Menurut William A. Hachten (dalam bukunya yang berjudul “The World News Prism” Tahun 1981), ada lima sistem pers yang berlaku di dunia, yakni :
Pers Otoriter
Pers Liberal
Pers Komunis
Pers Revolusioner
Pers Pembangunan (disebut juga Pers dunia ketiga)
Sementara itu, Fred. S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schram dalam karangannya yang berjudul “Four Theories of The Pers” (1965) menyebutkan bahwa ada empat konsep atau teori pers yang berlaku di dunia, yakni :
Otoritarian (akhir renaissance) dengan ciri-cirinya :
Kebenaran dari lingkaran pusat kekuasaan.
Pers milik kantor kerajaan.
Pers swasta ada hanya dengan ijin khusus.
Bertanggung jawab kepada raja atau Negara.
Libertarian dengan ciri-cirinya :
Kebenaran milik massa, berdasarkan pilihannya atas beberapa alternative. Tidak mutlak dari Negara.
Pers sebagai mitra mencari kebenaran. Bukan instrumen penguasa.
Media massa sebagai pasar ide dan pendapat.
Tanggung jawab sosial (social responsibility) :
Kebenaran adalah alternatif yang dimunculkan/sindikat media massa.
Siapa, fakta bagaimana, versi bagaimana yang disajikan ditentukan oelh pemilik media.
Invasi seseorang tidak dilayani demi perlindungan hak umum.
Totalitarian :
Berkembang di negara Komunis, Nazi, dan Italia Fasis.
Aspirasi yang disiarkan bersumber dari anggota partai yang loyal.
Media massa milik Negara dan kegiatannya dikontrol dengan ketat.
Kritik terhadap tujuan partai dilarang.
Memberikan support terhadap usaha-usaha partai.
Mungkin banyak lagi pendapat dan pandangan para pakar komunikasi dapat memberikan pandangan dan pendapatnya tentang penggolongan sistem pers tersebut. Namun dalam makalah ini, kita akan hanya akan membicarakan tentang sistem pers yang banyak berlaku di Negara-negara di dunia, yakni sistem pers otoriter, sistem pers liberal, sistem pers komunis, dan sistem pers pancasila yang berlaku di Indonesia
Sistem pers otoriter
Sistem ini hampir secara otomatis digunakan di semua negara ketika masyarakat mulai mengenal surat kabar sebagai wahana komunikasi. Sistem pers otoriter telah berhasil selama dua ratus tahun membentuk dasar khusus dalam menentukan fungsi dan hubungan pers dengan masyarakat. Penggunaan sistem ini tidak terbatas pada abad 15 hingga 17 saja, tetapi berlanjut sampai abad modern seperti negara Jepang, Rusia, Jerman, Spanyol, dan beberapa Negara di Asia dan Amerika Selatan.
Dalam sistem pers otoriter, setiap teori tentang hubungan komunikasi yang terorganisasi dimana pers menjadi bagiannya akan ditentukan oleh asumsi dasar filosofis dasar tentang manusia dan negara sebagai berikut.
Hakikat manusia : manusia dapat mencapai potensi sepenuhnya hanya apabila manusia itu menjadi anggota masyarakat. Manusia sebagai individu bidang kegiatannya terbatas.
Hakikat masyarakat : manusia sebagai anggota masyarakat atau kelompok yang terorganisasi akan mampu mencapai tujuan hidupnya, bahkan tak terukur. Dengan asumsi ini, maka kelompok lebih penting daripada perseorangan karena hanya melalui kelompoklah tujuan perseorangan dapat tercapai.
Hakikat negara : negara adalah ekspresi tertinggi dari organisasi kelompok manusia, mengungguli perseorangan dalam segala skala nilai. Tanpa negara orang perseorangan tidak sanggup mengembangkan atribut-atribut manusia yang berbudaya. Ketergantungan perseorangan terhadap negara dalam mencapai dan mengembangkan peradaban muncul sebagai formula umum dari sistem otoriter. Asumsi ini menjadi asumsi dasar tentang hakikat negara.
Hakikat kebenaran dan pengetahuan : pengetahuan dapat ditemukan melalui usaha mental. Kemampuan dalam menggunakan proses mental untuk mendorong munculnya proses itu sangat berbeda. Karena adanya perbedaan ini, maka manusia juga harus dibedakan tempatnya dalam struktur masyarakat. Orang-orang bijaksana yang mempunyai kesanggupan menganalisis dan menyimpulkan masalah harus menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat yang terorganisasi. Atau, apabila tidak menjadi pemimpin maka setidaknya harus menjadi penasihat bagi pemimpin-pemimpin masyarakat. Pengetahuan yang tidak diilhami tuntutan ketuhanan didapat melalui negara untuk kebaikan semua orang. Dengan demikian maka pengetahuan yang diperoleh dapat dikembangkan dan dapat dijadikan panutan semua anggota masyarakat yang membutuhkan rumusan absolut.
Memang, sistem otoriter ini lahir lebih awal dibanding sistem pers lainnya. Namun, walau begitu hingga sekarang sisa-sisa teori ini belum hilang dan masih dapat dilihat pelaksanaannya di beberapa negara. Karena menurut negara penganut sistem ini, media massa harus diatur dan diawasi kegiatannya agar tidak merusak kegiatan negara dalam mencapai tujuannya.
Sistem pers liberal
Sistem ini sangat bertolak belakang dengan sistem yang pertama. Jika sistem pers otoriter dikuasai oleh negara, maka pada sistem pers liberal lebih dikuasai oleh golongan pengusaha bermodal besar.
Lahirnya prinsip liberal yang mendasari berbagai lembaga sosial politik terutama pers disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya. Pertama, penemuan geografis menghasilkan perluasan pikiran manusia terutama penemuan-penemuan ilmiah, seperti Newton, Copernicus, dan Kepler yang memperlihatkan adanya nilai-nilai baru. Kedua, kehadiran kelas menengah dalam masyarakat terutama di Eropa dimana kepentingan kelas komersial sedang berkembang dan menuntut agar pertikaian agama dihentikan. Sementara itu hak khusus para bangsawan dibatasi.
Selain itu, terbentuknya sistem pers liberal ini didasari oleh asumsi-asumsi dasar filosofis sebagai berikut.
a. Hakikat manusia
Manusia seperti hewan rasional dan memiliki tujuan sendiri. Walaupun manusia sering melatih kemampuannya untuk berpikir yang diberikan Tuhan kepadanya untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi, pada akhirnya mereka mampu menghimpun keputusan secara terpisah. Berbeda dengan hewan, maka manusia dapat menggunakan kemampuannya untuk berpikir, mengingat, dan pengalamannya untuk membuat keputusan.
b. Hakikat masyarakat
Tujuan masyarakat ialah kebahagiaan dan kesejahteraan manusia dan sebagai organisme yang dapat berpikir ia sanggup mengorganisasi dunia sekelilingnya dan membuat keputusan yang dapat mendukung kepentingannya. Fungsi utama masyarakat ialah untuk memajukan kepentingan anggotanya serta menciptakan perlindungan agar masyarakat tidak mengambil alih peran utama dan menjadi tujuan itu sendiri.
c. Hakikat negara
Negara merupakan alat yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan. Negara menyediakan lingkungan bagi masyarakat dan perorangan sehingga mereka dapat menggunakan kemampuannya sendiri untuk mencapai tujuan. Jika negara gagal dalam mencapai tujuan tersebu, maka dianggap penghalang dan boleh diubah. Karena tercapainya tujuan perorangan merupakan tujuan terakhir, yaitu tujuan manusia, masyarakat, dan negara.
d. Hakikat pengetahuan dan kebenaran
Kemampuan berpikir manusia adalah pemberian Tuhan yang sama halnya dengan pemberian kejahatan dan kebaikan. Dengan kemampuan tersebut manusia dapat memecahkan permasalahan sehingga makna pemberian Tuhan memudar dan kemampuan manusia memecahkan persoalan lebih menonjol. Tindakan manusia yang menggunakan panca indera untuk memecahkan permasalah menjadi nyata. Kebenaran adalah suatu yang dapat ditemukan dan diperlihatkan kepada manusia lain untuk diperdebatkan dan melalui musyawarah akan dapat mengakhiri perdebatan dan hasilnya dapat diterima oleh akal.
Pada tahap akhir perang dunia kedua, golongan liberal menyatakan bahwa prinsip demokrasi tentang kebebasan berbicara dan pers akan tersebar luas sehingga dibentuklah sebuah organisasi internasional. Mereka yakin bahwa melalui badan organisasi internasional, maka prinsip-prinsip otoriter dan komunisme dapat dicegah. Salah satu pendorong terbentuknya organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ialah diakuinya hak-hak asasi manusia oleh seluruh dunia sesuai dengan prinsip liberal.
Sistem pers komunis
Sejak awal tradisi marxis telah memperlihatkan otorianisme, kecenderungan untuk membuat perbedaan yang keras dan tajam antara yang salah dan benar. Dalam pandangan umum yang diwariskan oleh Marx kepada orang-orang Rusia terlihat kesalahpahaman antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Orang Amerika biasa berpikir bahwa orang sebaiknya mempunyai ide dan nilai yang berbeda, dengan demikian menggalakkan seni bermusyawarah serta pemerintahan mayoritas. Sedangkan Rusia biasa berpikir bahwa orang-orang seharusnya tidak berbeda pandangan, musyawarah tanda kelemahan, dan hanya ada satu pandangan yang benar yang dapat dipertemukan dan dipertahankan, disebarkan, dan digalakkan. Dalam baying-bayang sikap umum inilah Marx mengembangkan konsep tetang perubahan sosial dalam pengertian dinamikanya (dialektikanya), motivasinya (determinisme materialistik), dan tujuannya (kemenangan kelas pekerja dan akhirnya masyarakat tanpa kelas)
Menurut Marx, perubahan itu tidak hanya terjadi dalam bidang politik saja atau bidang ekonomi saja, akan tetapi semua komponen kebudayaan lainnya juga akan berubah seperti seni, agama, dan filsafat. Baginya, negara hanyalah alat bagi kelas masyarakat untuk menguasai kelas lainnya. Dengan demikian masyarakat tanpa kelas artinya masyarakat tanpa negara.
Dalam masalah komunikasi massa, Marx tidak pernah secara langsung mempertahankan masalah tersebut. Satu yang jelas adalah konsep Marxis mengenai persatuan dan pembedaan antara kebenaran dengan ketidakbenaran tidak memungkinkan pers berfungsi sebagai lembaga sosial yang bebas mengkritik pemerintah dan bertindak sebagai forum bebas.
Pers komunis dianggap sebagai alat untuk menginterpretasi doktrin, melaksanakan kebijakan kelas pekerja atau militant. Jelaslah menurut Marx, sesuai dengan determinisme materialistik bahwa kontrol pers akan dipegang oleh mereka yang memiliki fasilitas seperti para pencetak, penerbit stasiun siaran, dan sebagainya. Selama kelas kapitalis mengontrol perangkat fisik ini, maka kelas pekerja tidak akan pernah mendapat kesempatan yang seimbang untuk menggunakan seluruh komunikasi. Agar mereka dapat memanfaatkan saluran komunikasi, maka mereka harus memiliki sarana-sarana komunikasi dan kemudian komunikasi massa sebagai lembaga lainnya.
Dalam banyak doktrin praktis Marx tidak berbicara, misalnya tentang penggunaan komunikasi massa. Kelalaian Marx adalah kegagalan dalam melengkapi revolusi dengan teori politik.
Sistem pers pancasila
Sistem pers pancasila adalah sistem pers yang digunakan di Indonesia yang merupakan salah satu dari sebelas sistem ketatanegaraan dan kehidupan pers termasuk dalam sub sistem dari sistem keenam. Sebelas sistem menurut UUD 1945 adalah :
Sistem Undang-Undang
Sistem Negara
Sistem Keuangan
Sistem Pemerintahan
Sistem Kehakiman
Sistem Kewarganegaraan
Sistem Keagamaan
Sistem Pertahanan Negara
Sistem Pendidikan dan Kebudayaan
Sistem Kesejahteraan Sosial yang meliputi ekonomi
Sistem Integrasi
Sistem kewarganegaraan diatur dalam pasal 26, pasal 27, sampai dengan pasal 28J UUD 1945 (yang telah diamandemen). Yang langsung terkait dengan kehidupan pers adalah pasal 28 UUD 1945 yang sekaligus merupakan landasan konstitusinya uang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam konteksnya dengan sistem ketatanegaraan nasional kita, maka penjabaran pasal 28 UUD 1945 tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Khusus tentang pasal 28 UUD 1945 tidak boleh dipandang sebagai berdiri sendiri, ia harus diperhatikan dengan seluruh komponen hukum konstitusi.
Pancasila adalah landasan idiil pers nasional Indonesia yang harus dilihat secara bulat dan utuh. Dewan Pers dalam sidang plenonya yang ke-XXV di Solo tanggal 7 Desember 1984 telah merumuskan “Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pers Pembangunan dan Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk pembangunan pers itu sendiri”.
PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI DI INDONESIA
PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI DI INDONESIA
Sejarah Ilmu Komunikasi di Indonesia dan perkembangannya
Istilah komunikasi berasal dari kata latin, “communicatio” yang secara estimologis bersumber dari kata “communis” yang berarti sama, bersama, atau sama makna (Drs. K. Prent CM, dkk. Kamus Latin-Indonesia. 157). Jadi, apabila ada dua orang terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi tersebut akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Bentuk dan cara komunikasi yang diciptakan manusia sesungguhnya terus berkembang sepanjang zaman, termasuk bahasa yang digunakan sebagai perantara.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu terapan dari kelompok ilmu sosial. Menurut ilmuwan, ilmu komunikasi bersifat indisipliner karena objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu yang lain, terutama yang masuk ilmu sosial. Dinamakan ilmu terapan karena dipakai untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dapat dirasakan kegunaannya secara langsung dan bersifat sosial. Ilmu-ilmu terapan berhubungan dengan perubahan atau pengawasan dari situasi-situasi paraktis,ditinjau dari sudut kebutuhan manusia. Sementara itu, bedanya dengan ilmu yang murni mengembangkan ilmu itu sendiri tanpa mempertimbangkan apakah ilmu tersebut secara langsung berguna bagi masyarakat atau tidak.
Di Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji saat ini sebenarnya merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres itu yang kemudian membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi.
Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang telah lama mengganti nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa.
Kajian terhadap ilmu komunikasi sendiri dimulai dengan nama Publisistik dengan dibukanya jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun 1950, Akademi Penerangan pada tahun 1956, Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta pada tahun 1953, dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1959. Nama Ilmu Komunikasi Massa dan Ilmu Komunikasi sendiri baru muncul dalam berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970-an.
Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan kemudian mengembangkannya di Perguruan Tinggi, antara lain Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960-an, deretan tokoh itu bertambah lagi dengan datangnya dua pakar dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil Astrid S. Susanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi Dahlan dari Amerika Serikat (1967).
Dalam perkembangannya, kendati telah terjadi perkembangan yang penting mengenai paradigma ilmu komunikasi dimana telah muncul paradigma baru yang diuraikan oleh B. Aubrey Fisher dengan sebutan perspektif psikologis, mekanis, dan pragmatis , di Indonesia hingga saat ini ternyata masih saja berkiprah pada paradigma lama atau klasik yang dinamakan perspektif mekanistis.
Hampir semua penelitian empiris komunikasi manusia di Indonesia berdasar pada perspektif mekanistis dimana yang menjadi objek penelitian adalah alam atau fisik saja. Kekecewaan dan kritik terhadap kajian ini memang telah tumbuh, bersamaan dengan semakin berkembangnya teori dan pengkajian ilmu komunikasi. Namun, mekanistis masih saja dipakai walau minat baru, gagasan baru, dan teori baru telah tumbuh dan berkembang
Komunikasi Massa dan Perkembangannya di Indonesia
Fungsi dan unsur-unsur komunikasi massa
Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa. Komunikasi massa dikatakan sebagai suatu objek studi karena semakin lama, peran media sebagai institusi penting dalam masyarakat kian meningkat.
Berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka komunikasi massa memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut :
- Serempak
- Meluas
- Segera
- Anonim (tidak saling kenal)
- Melembaga
- Komunikasi searah
- Influence (mempengaruhi)
- Menginformasikan
Adapun unsur-unsur dalam komunikasi massa adalah sebagai berikut :
- Sumber/komunikator
- Pesan/informasi
- Saluran/media
- Penerima pesan/komunikan
- Efek
Perkembangan komunikasi massa
Berikut perkembangan komunikasi massa di Indonesia :
Tahun 1920-1945
Di masa ini khalayak tidak berperan secara aktif, hal ini dikarenakan tidak diberikannya peluang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya. Masyarakat Indonesia berada dibawah tekanan penjajahan, sehingga minat intelektual masyarakat Indonesia relatif rendah.
Di sisi lain, media berperan aktif terutama sebagai alat perjuangan. Akan tetapi keberadaan media masih terkukung dalam semangat kedaerahan yang tak terelakkan, bahkan sampai penjajah meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah dengan adanya tekanan dari pemerintahan penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana tidak ada berita yang tersiar tanpa persetujuan gubernur jenderal membuat media tidak dapat bergerak dengan bebas.
Tahun 1945-1965
Berbeda dengan masa kemerdekaan, di masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai berperan secara aktif. Segala gagasan, kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas dituangkan khalayak di dalam media. Namun walau demikian, tidak semua gagasan, kreasi, dan pikiran khalayak dapat tersalurkan dalam media secara baik. hal ini dikarenakan sistem yang diterapkan oleh pemerintahan penjajah kembali diterapkan (walau tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno. Peran pemerintah di masa Orde Lama terlihat sangat dominant.
Hal ini dibuktikan dengan adanya penerapan situasi darurat perang (SOB), dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Aturan tersebut mengakibatkan banyak media yang diberangus dan juga penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963.
Tahun 1965- 1998
Di masa Orde Baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media.
Peran media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Represi bahkan sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru, orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya
Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Proses komunikasi berjalan dengan sangat selektif. Hal ini terlihat dengan adanya golongan yang sangat dominan di dalam proses komunikasi tersebut, yakni pemerintah. Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.. Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut--secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.
Tahun 1998- sekarang
Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde Baru, khalayak kembali menggeliat aktif. Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari pemerintah.
Begitu juga media, dapat berperan secara aktif khususnya dalam mengambil peran sebagai penyalur/penengah bagi khalayak dan hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.[21] Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Di era reformasi ini, peran pemerintah tidak dominan dibanding era-era sebelumnya. Pemerintah memberikan kebebasan kepada media sesuai dengan tugas dan fungsinya
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiharsono S, Suyuti, Drs, Hj, 2003. Politik Komunikasi, Jakarta, Grasindo.
2. Arifin, Anwar, Prof, Dr, H, 1988. Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengatar Ringkas, Jakarta, Rajawali Press.
3. Effendy, Onong Uchjana, Prof, Drs, MA, 2004. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Sejarah Ilmu Komunikasi di Indonesia dan perkembangannya
Istilah komunikasi berasal dari kata latin, “communicatio” yang secara estimologis bersumber dari kata “communis” yang berarti sama, bersama, atau sama makna (Drs. K. Prent CM, dkk. Kamus Latin-Indonesia. 157). Jadi, apabila ada dua orang terlibat dalam komunikasi, maka komunikasi tersebut akan terjadi selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Bentuk dan cara komunikasi yang diciptakan manusia sesungguhnya terus berkembang sepanjang zaman, termasuk bahasa yang digunakan sebagai perantara.
Ilmu komunikasi merupakan ilmu terapan dari kelompok ilmu sosial. Menurut ilmuwan, ilmu komunikasi bersifat indisipliner karena objek materialnya sama dengan ilmu-ilmu yang lain, terutama yang masuk ilmu sosial. Dinamakan ilmu terapan karena dipakai untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang dapat dirasakan kegunaannya secara langsung dan bersifat sosial. Ilmu-ilmu terapan berhubungan dengan perubahan atau pengawasan dari situasi-situasi paraktis,ditinjau dari sudut kebutuhan manusia. Sementara itu, bedanya dengan ilmu yang murni mengembangkan ilmu itu sendiri tanpa mempertimbangkan apakah ilmu tersebut secara langsung berguna bagi masyarakat atau tidak.
Di Indonesia, ilmu komunikasi yang kita kaji saat ini sebenarnya merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 Tahun 1982. Keppres itu yang kemudian membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi.
Sebelumnya dibeberapa universitas, terdapat beberapa nama yang berbeda, seperti di Universitas Padjadjaran Bandung dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menggunakan nama Publisistik, serta Universitas Indonesia yang telah lama mengganti nama Publisistik menjadi Ilmu Komunikasi Massa.
Kajian terhadap ilmu komunikasi sendiri dimulai dengan nama Publisistik dengan dibukanya jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun 1950, Akademi Penerangan pada tahun 1956, Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta pada tahun 1953, dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1959. Nama Ilmu Komunikasi Massa dan Ilmu Komunikasi sendiri baru muncul dalam berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970-an.
Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu komunikasi ke Indonesia dan kemudian mengembangkannya di Perguruan Tinggi, antara lain Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960-an, deretan tokoh itu bertambah lagi dengan datangnya dua pakar dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yaitu Dr. Phil Astrid S. Susanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi Dahlan dari Amerika Serikat (1967).
Dalam perkembangannya, kendati telah terjadi perkembangan yang penting mengenai paradigma ilmu komunikasi dimana telah muncul paradigma baru yang diuraikan oleh B. Aubrey Fisher dengan sebutan perspektif psikologis, mekanis, dan pragmatis , di Indonesia hingga saat ini ternyata masih saja berkiprah pada paradigma lama atau klasik yang dinamakan perspektif mekanistis.
Hampir semua penelitian empiris komunikasi manusia di Indonesia berdasar pada perspektif mekanistis dimana yang menjadi objek penelitian adalah alam atau fisik saja. Kekecewaan dan kritik terhadap kajian ini memang telah tumbuh, bersamaan dengan semakin berkembangnya teori dan pengkajian ilmu komunikasi. Namun, mekanistis masih saja dipakai walau minat baru, gagasan baru, dan teori baru telah tumbuh dan berkembang
Komunikasi Massa dan Perkembangannya di Indonesia
Fungsi dan unsur-unsur komunikasi massa
Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa. Komunikasi massa dikatakan sebagai suatu objek studi karena semakin lama, peran media sebagai institusi penting dalam masyarakat kian meningkat.
Berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka komunikasi massa memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut :
- Serempak
- Meluas
- Segera
- Anonim (tidak saling kenal)
- Melembaga
- Komunikasi searah
- Influence (mempengaruhi)
- Menginformasikan
Adapun unsur-unsur dalam komunikasi massa adalah sebagai berikut :
- Sumber/komunikator
- Pesan/informasi
- Saluran/media
- Penerima pesan/komunikan
- Efek
Perkembangan komunikasi massa
Berikut perkembangan komunikasi massa di Indonesia :
Tahun 1920-1945
Di masa ini khalayak tidak berperan secara aktif, hal ini dikarenakan tidak diberikannya peluang bagi masyarakat untuk dapat menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya. Masyarakat Indonesia berada dibawah tekanan penjajahan, sehingga minat intelektual masyarakat Indonesia relatif rendah.
Di sisi lain, media berperan aktif terutama sebagai alat perjuangan. Akan tetapi keberadaan media masih terkukung dalam semangat kedaerahan yang tak terelakkan, bahkan sampai penjajah meninggalkan Indonesia. Kondisi ini ditambah dengan adanya tekanan dari pemerintahan penjajah. Sensor yang teramat ketat dimana tidak ada berita yang tersiar tanpa persetujuan gubernur jenderal membuat media tidak dapat bergerak dengan bebas.
Tahun 1945-1965
Berbeda dengan masa kemerdekaan, di masa Orde Lama khalayak secara pasti mulai berperan secara aktif. Segala gagasan, kreasi, dan pikiran mulai dengan bebas dituangkan khalayak di dalam media. Namun walau demikian, tidak semua gagasan, kreasi, dan pikiran khalayak dapat tersalurkan dalam media secara baik. hal ini dikarenakan sistem yang diterapkan oleh pemerintahan penjajah kembali diterapkan (walau tidak sepenuhnya) oleh pemerintahan Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno. Peran pemerintah di masa Orde Lama terlihat sangat dominant.
Hal ini dibuktikan dengan adanya penerapan situasi darurat perang (SOB), dimana Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Aturan tersebut mengakibatkan banyak media yang diberangus dan juga penahanan sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian dipertegas dengan Penpres No.6/1963.
Tahun 1965- 1998
Di masa Orde Baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media.
Peran media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa Orde Lama. Namun, lagi-lagi sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Represi bahkan sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru, orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen.
Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya
Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Proses komunikasi berjalan dengan sangat selektif. Hal ini terlihat dengan adanya golongan yang sangat dominan di dalam proses komunikasi tersebut, yakni pemerintah. Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.. Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut--secara sinis—sebagai “budaya telepon”. Peringatan melalui telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.
Tahun 1998- sekarang
Pasca 1998 setelah runtuhnya rezim Orde Baru, khalayak kembali menggeliat aktif. Khalayak dapat sebebas-bebasnya menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media tanpa harus ada kekhawatiran akan mendapatkan tekanan dari pemerintah.
Begitu juga media, dapat berperan secara aktif khususnya dalam mengambil peran sebagai penyalur/penengah bagi khalayak dan hubungannya dengan pemerintah. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan, terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5 penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan pers.
Pada era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi, meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam diantaranya untuk siaran nasional.[21] Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk siaran nasional tinggal satu.
Di era reformasi ini, peran pemerintah tidak dominan dibanding era-era sebelumnya. Pemerintah memberikan kebebasan kepada media sesuai dengan tugas dan fungsinya
DAFTAR PUSTAKA
1. Budiharsono S, Suyuti, Drs, Hj, 2003. Politik Komunikasi, Jakarta, Grasindo.
2. Arifin, Anwar, Prof, Dr, H, 1988. Ilmu Komunikasi, Sebuah Pengatar Ringkas, Jakarta, Rajawali Press.
3. Effendy, Onong Uchjana, Prof, Drs, MA, 2004. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya.
Senin, 23 Juli 2007
PERNYATAAN SIKAP SASTRAWAN ODE KAMPUNG
Pernyataan Sikap Sastrawan
Ode Kampung
Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:
Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat.
Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan Pernyataan Sikap sebagai berikut:
1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.
Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.
Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.
Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:
01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)
02. Saut Situmorang (Yogyakarta)
03. Kusprihyanto Namma (Ngawi)
04. Wan Anwar (Serang)
05. Hasan Bisri BFC (Bekasi)
06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta)
07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta)
08. Viddy AD Daeri (Lamongan)
09. Yanusa Nugroho (Ciputat)
10. Raudal Tanjung Banua (Yogya)
11. Gola Gong (Serang)
12. Maman S. Mahayana (Jakarta)
13. Diah Hadaning (Bogor)
14. Jumari Hs (Kudus)
15. Chavcay Saefullah (Lebak)
16. Toto St. Radik (Serang)
17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang)
18. Firman Venayaksa (Serang)
19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta)
20. Arie MP.Tamba (Jakarta)
21. Ahmad Nurullah (Jakarta)
22. Bonnie Triyana (Jakarta)
23. Dwi Fitria (Jakarta)
24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta)
25. Mat Don (Bandung)
26. Ahmad Supena (Pandeglang)
27. Mahdi Duri (Tangerang)
28. Bonari Nabonenar (Malang)
29. Asma Nadia (Depok)
30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta)
31. Y. Thendra BP (Yogyakarta)
32. Damhuri Muhammad (Depok) 33. Katrin Bandell (Yogya)
34. Din Sadja (Banda Aceh)
35. Fahmi Faqih (Surabaya)
36. Idris Pasaribu (Medan)
37. Indriyan Koto (Medan)
38. Muda Wijaya (Bali)
39. Pranita Dewi (Bali)
40. Sindu Putra (Lombok)
41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau)
42. Asep Semboja (Depok)
43. M. Arman AZ (Lampung)
44. Bilven Ultimus (Bandung)
45. Pramita Gayatri (Serang)
46. Ayuni Hasna (Bandung)
47. Sri Alhidayati (Bandung)
48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
49. Riksariote M. Padl (bandung)
50. Solmah (Bekasi)
51. Herti (Bekasi)
52. Hayyu (Bekasi)
53. Endah Hamasah (Thullabi)
54. Nabila (DKI)
55. Manik Susanti
56. Nurfahmi Taufik el-Sha’b
57. Benny Rhamdani (Bandung)
58. Selvy (Bandung)
59. Azura Dayana (Palembang)
60. Dani Ardiansyah (Bogor)
61. Uryati zulkifli (DKI)
62. Ervan ( DKI)
63. Andi Tenri Dala (DKI)
64. Azimah Rahayu (DKI)
65. Habiburrahman el-Shirazy
66. Elili al-Maliky
67. Wahyu Heriyadi
68. Lusiana Monohevita
69. Asma Sembiring (Bogor)
70. Yeli Sarvina (Bogor)
71. Dwi Ferriyati (Bekasi)
72. Hayyu Alynda (Bekasi)
73. herti Windya (Bekasi)
74. Nadiah Abidin (Bekasi)
75. Ima Akip (Bekasi)
76. Lina M (Ciputat)
77. Murni (Ciputat)
78. Giyanto Subagio (Jakarta)
79. Santo (Cilegon)
80. Meiliana (DKI)
81. Ambhita Dhyaningrum (Solo)
82. Lia Oktavia (DKI)
83. Endah (Bandung)
84. Ahmad Lamuna (DKI)
85. Billy Antoro (DKI)
86. Wildan Nugraha (DKI)
87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi)
88. Asril Novian Alifi (Surabaya)
89. Jairi Irawan ( Surabaya)
90. Langlang Randhawa (Serang)
91. Muhzen Den (Serang)
92. Renhard Renn (Serang)
93. Fikar W. Eda (Aceh)
94. Acep Iwan Saidi (Bandung)
95. Usman Didi Hamdani (Brebes)
96. Diah S. (Tegal)
97. Cunong Suraja (Bogor)
98. Muhamad Husen (Jambi)
99. Leonowen (Jakarta)
100. Rahmat Ali (Jakarta)
101. Makanudin RS (Bekasi)
102. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur)
103. Syarif Hidayatullah (Depok)
104. Moh Hamzah Arsa (Madura)
105. Mita Indrawati (Padang)
106. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
107. Sri al-Hidayati (Bandung)
108. Nabilah (DKI)
109. Siti Sarah (DKI)
110. Rina Yulian (DKI)
111. Lilyani Taurisia WM (DKI)
112. Rina Prihatin (DKI)
113. Dwi Hariyanto (Serang)
114. Rachmat Nugraha (Jakarta)
115. Ressa Novita (Jakarta)
116. Sokat (DKI)
117. Koko Nata Kusuma (DKI)
118. Ali Muakhir (Bandung)
119. M. Ifan Hidayatullah (Bandung)
120. Denny Prabowo (Depok)
121. Ratono Fadillah (Depok)
122. Sulistami Prihandini (Depok)
123. Nurhadiansyah (Depok)
124. Trimanto (Depok)
125. Birulaut (Pusat)
126. Rahmadiyanti (Pusat)
127. Riki Cahya (Jabar)
128. Aswi (Bandung)
129. Lian Kagura (Bandung)
130. Duddy Fachruddin (Bandung)
131. Alang Nemo (Bandung)
132. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung)
133. Tena Avragnai (Bandung)
134. Gatot Aryo (Bogor)
135. Andika (Jambi)
136. Widzar al-Ghiffary (Bandung)
137. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)
Ode Kampung
Serang, Banten, 20-22 Juli 2007:
Kondisi Sastra Indonesia saat ini memperlihatkan gejala berlangsungnya dominasi sebuah komunitas dan azas yang dianutnya terhadap komunitas-komunitas sastra lainnya. Dominasi itu bahkan tampil dalam bentuknya yang paling arogan, yaitu merasa berhak merumuskan dan memetakan perkembangan sastra menurut standar estetika dan ideologi yang dianutnya. Kondisi ini jelas meresahkan komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia karena kontraproduktif dan destruktif bagi perkembangan sastra Indonesia yang sehat, setara, dan bermartabat.
Dalam menyikapi kondisi ini, kami sastrawan dan penggiat komunitas-komunitas sastra memaklumatkan Pernyataan Sikap sebagai berikut:
1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya.
2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.
Bagi kami sastra adalah ekspresi seni yang merefleksikan keindonesiaan kebudayaan kita di mana moralitas merupakan salah satu pilar utamanya. Terkait dengan itu sudah tentu sastrawan memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat (pembaca). Oleh karena itu kami menentang sikap ketidakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat, misalnya tragedi lumpur gas Lapindo di Sidoarjo. Kami juga mengecam keras sastrawan yang nyata-nyata tidak mempedulikan musibah-musibah tersebut, bahkan berafiliasi dengan pengusaha yang mengakibatkan musibah tersebut.
Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kondisi sastra Indonesia saat ini, sekaligus solidaritas terhadap korban-korban musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia.
Kami yang menyuarakan dan mendukung pernyataan ini:
01. Wowok Hesti Prabowo (Tangerang)
02. Saut Situmorang (Yogyakarta)
03. Kusprihyanto Namma (Ngawi)
04. Wan Anwar (Serang)
05. Hasan Bisri BFC (Bekasi)
06. Ahmadun Y. Herfanda (Jakarta)
07. Helvy Tiana Rosa (Jakarta)
08. Viddy AD Daeri (Lamongan)
09. Yanusa Nugroho (Ciputat)
10. Raudal Tanjung Banua (Yogya)
11. Gola Gong (Serang)
12. Maman S. Mahayana (Jakarta)
13. Diah Hadaning (Bogor)
14. Jumari Hs (Kudus)
15. Chavcay Saefullah (Lebak)
16. Toto St. Radik (Serang)
17. Ruby Ach. Baedhawy (Serang)
18. Firman Venayaksa (Serang)
19. Slamet Raharjo Rais (Jakarta)
20. Arie MP.Tamba (Jakarta)
21. Ahmad Nurullah (Jakarta)
22. Bonnie Triyana (Jakarta)
23. Dwi Fitria (Jakarta)
24. Doddi Ahmad Fauzi (Jakarta)
25. Mat Don (Bandung)
26. Ahmad Supena (Pandeglang)
27. Mahdi Duri (Tangerang)
28. Bonari Nabonenar (Malang)
29. Asma Nadia (Depok)
30. Nur Wahida Idris (Yogyakarta)
31. Y. Thendra BP (Yogyakarta)
32. Damhuri Muhammad (Depok) 33. Katrin Bandell (Yogya)
34. Din Sadja (Banda Aceh)
35. Fahmi Faqih (Surabaya)
36. Idris Pasaribu (Medan)
37. Indriyan Koto (Medan)
38. Muda Wijaya (Bali)
39. Pranita Dewi (Bali)
40. Sindu Putra (Lombok)
41. Suharyoto Sastrosuwignyo (Riau)
42. Asep Semboja (Depok)
43. M. Arman AZ (Lampung)
44. Bilven Ultimus (Bandung)
45. Pramita Gayatri (Serang)
46. Ayuni Hasna (Bandung)
47. Sri Alhidayati (Bandung)
48. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
49. Riksariote M. Padl (bandung)
50. Solmah (Bekasi)
51. Herti (Bekasi)
52. Hayyu (Bekasi)
53. Endah Hamasah (Thullabi)
54. Nabila (DKI)
55. Manik Susanti
56. Nurfahmi Taufik el-Sha’b
57. Benny Rhamdani (Bandung)
58. Selvy (Bandung)
59. Azura Dayana (Palembang)
60. Dani Ardiansyah (Bogor)
61. Uryati zulkifli (DKI)
62. Ervan ( DKI)
63. Andi Tenri Dala (DKI)
64. Azimah Rahayu (DKI)
65. Habiburrahman el-Shirazy
66. Elili al-Maliky
67. Wahyu Heriyadi
68. Lusiana Monohevita
69. Asma Sembiring (Bogor)
70. Yeli Sarvina (Bogor)
71. Dwi Ferriyati (Bekasi)
72. Hayyu Alynda (Bekasi)
73. herti Windya (Bekasi)
74. Nadiah Abidin (Bekasi)
75. Ima Akip (Bekasi)
76. Lina M (Ciputat)
77. Murni (Ciputat)
78. Giyanto Subagio (Jakarta)
79. Santo (Cilegon)
80. Meiliana (DKI)
81. Ambhita Dhyaningrum (Solo)
82. Lia Oktavia (DKI)
83. Endah (Bandung)
84. Ahmad Lamuna (DKI)
85. Billy Antoro (DKI)
86. Wildan Nugraha (DKI)
87. M. Rhadyal Wilson (Bukitingi)
88. Asril Novian Alifi (Surabaya)
89. Jairi Irawan ( Surabaya)
90. Langlang Randhawa (Serang)
91. Muhzen Den (Serang)
92. Renhard Renn (Serang)
93. Fikar W. Eda (Aceh)
94. Acep Iwan Saidi (Bandung)
95. Usman Didi Hamdani (Brebes)
96. Diah S. (Tegal)
97. Cunong Suraja (Bogor)
98. Muhamad Husen (Jambi)
99. Leonowen (Jakarta)
100. Rahmat Ali (Jakarta)
101. Makanudin RS (Bekasi)
102. Ali Ibnu Anwar ( Jawa Timur)
103. Syarif Hidayatullah (Depok)
104. Moh Hamzah Arsa (Madura)
105. Mita Indrawati (Padang)
106. Suci Zwastydikaningtyas (Bandung)
107. Sri al-Hidayati (Bandung)
108. Nabilah (DKI)
109. Siti Sarah (DKI)
110. Rina Yulian (DKI)
111. Lilyani Taurisia WM (DKI)
112. Rina Prihatin (DKI)
113. Dwi Hariyanto (Serang)
114. Rachmat Nugraha (Jakarta)
115. Ressa Novita (Jakarta)
116. Sokat (DKI)
117. Koko Nata Kusuma (DKI)
118. Ali Muakhir (Bandung)
119. M. Ifan Hidayatullah (Bandung)
120. Denny Prabowo (Depok)
121. Ratono Fadillah (Depok)
122. Sulistami Prihandini (Depok)
123. Nurhadiansyah (Depok)
124. Trimanto (Depok)
125. Birulaut (Pusat)
126. Rahmadiyanti (Pusat)
127. Riki Cahya (Jabar)
128. Aswi (Bandung)
129. Lian Kagura (Bandung)
130. Duddy Fachruddin (Bandung)
131. Alang Nemo (Bandung)
132. Epri Tsaqib Adew Habtsa (Bandung)
133. Tena Avragnai (Bandung)
134. Gatot Aryo (Bogor)
135. Andika (Jambi)
136. Widzar al-Ghiffary (Bandung)
137. Azizi Irawan Dwi Poetra (Serang)
Jumat, 13 Juli 2007
Buletin Jendela, sebuah kreatifitas anak muda dari Komunitas Penulis Jakarta
“JENDELA” memang beda . Kupasan atau isi buletin “JENDELA” selalu dalam lingkup sastra dan lebih banyak merupakan sarana untuk menampilkan karya-karya sastra berupa cerpen dan puisi.
Tujuh Edisi buletin “JENDELA” sejak berdirinya pada tanggal 6 April 2007 lalu secara jelas menunjukkan hal itu. Kehadiran rubrik-rubrik seperti Focus-Line, Tips, Legenda, dan Lentera, memang pelengkap. Lihatlah karya-karya sastra yang mendominasi setiap halaman dari buletin “JENDELA”.
Selain itu, buletin “JENDELA” yang dirintis oleh Rachmat Nugraha dan Ressa Novita semakin hari semakin tampil sempurna dari segi fisik (layout). Hal ini terbukti dengan meningkatnya oplah buletin “JENDELA” dan tak heran jika kemudian buletin “JENDELA” lambat laun menjadi buletin yang paling diminati dan ditunggu-tunggu kehadiran oleh anggota dan simpatisan Komunitas Penulis Jakarta sejak terbitannya pertama kali. Terbukti dengan adanya perubahan waktu penerbitan dari semula rencananya satu bulan sekali menjadi dua minggu sekali.
Tujuh Edisi buletin “JENDELA” sejak berdirinya pada tanggal 6 April 2007 lalu secara jelas menunjukkan hal itu. Kehadiran rubrik-rubrik seperti Focus-Line, Tips, Legenda, dan Lentera, memang pelengkap. Lihatlah karya-karya sastra yang mendominasi setiap halaman dari buletin “JENDELA”.
Selain itu, buletin “JENDELA” yang dirintis oleh Rachmat Nugraha dan Ressa Novita semakin hari semakin tampil sempurna dari segi fisik (layout). Hal ini terbukti dengan meningkatnya oplah buletin “JENDELA” dan tak heran jika kemudian buletin “JENDELA” lambat laun menjadi buletin yang paling diminati dan ditunggu-tunggu kehadiran oleh anggota dan simpatisan Komunitas Penulis Jakarta sejak terbitannya pertama kali. Terbukti dengan adanya perubahan waktu penerbitan dari semula rencananya satu bulan sekali menjadi dua minggu sekali.
Tips menulis novel
Novel tak lain merupakan pengembangan dan pelengkapan dari sebuah cerpen. Unsur-unsur yang terdapat dalam cerpen seperti tema, tokoh, beserta karakternya, dialog, seting, dan alur atau plot cerita merupakan elemen penting yang tak mungkin ditinggalkan dalam sebuah novel.
Seperti halnya cerpen, tema novel pun bisa diambil dari mana saja. Bisa dari kejadian nyata, pengalaman sehari-hari, atau rekaan (fiktif).
Dan tahu tidak? Semua orang boleh menulis novel, karena novel bukan hanya dominasi para penulis senior. Untuk itu, jika anda ingin menulis novel? Sebaiknya ikutilah tips-tips berikut ini.
Cobalah memutar otak anda untuk mencari sebuah ide atau gagasan cerita yang akan anda tulis.
Lalu, buatlah sinopsis dan penokohan dari cerita yang ingin anda tulis
Mulailah menulis dengan perasaan.
Cobalah untuk menulis di tengah malam, karena biasanya pada malam hari ide lebih mengalir dengan lancar.
Untuk lebih lengkapnya, bacalah novel karya penulis-penulis terkenal agar anda mengetahui teori-teori yang diterapkan dalam novel yang sudah jadi.
Terakhir, publikasikan karya anda melalui penerbit.
Ok! Selamat mencoba. Jadilah penulis yang handal dan ingat, musuh terbesar bagi penulis adalah mood. Jadi, lawanlah bad mood anda! (RN)
Seperti halnya cerpen, tema novel pun bisa diambil dari mana saja. Bisa dari kejadian nyata, pengalaman sehari-hari, atau rekaan (fiktif).
Dan tahu tidak? Semua orang boleh menulis novel, karena novel bukan hanya dominasi para penulis senior. Untuk itu, jika anda ingin menulis novel? Sebaiknya ikutilah tips-tips berikut ini.
Cobalah memutar otak anda untuk mencari sebuah ide atau gagasan cerita yang akan anda tulis.
Lalu, buatlah sinopsis dan penokohan dari cerita yang ingin anda tulis
Mulailah menulis dengan perasaan.
Cobalah untuk menulis di tengah malam, karena biasanya pada malam hari ide lebih mengalir dengan lancar.
Untuk lebih lengkapnya, bacalah novel karya penulis-penulis terkenal agar anda mengetahui teori-teori yang diterapkan dalam novel yang sudah jadi.
Terakhir, publikasikan karya anda melalui penerbit.
Ok! Selamat mencoba. Jadilah penulis yang handal dan ingat, musuh terbesar bagi penulis adalah mood. Jadi, lawanlah bad mood anda! (RN)
HIV/AIDS, I HATE YOU! (Cerpen)
Oleh:Rachmat Nugraha
Yudhis Nataadmaja. Aku biasa memanggilnya Adis. Dia sahabatku. Anaknya tinggi, putih, dan memiliki potongan rambut ala To Ming Se, tokoh utama dalam film seri Meteor Garden. Diantara kami berdua, dialah yang selalu paling modis penampilannya. Maklum, dia selalu mengikuti trend dibanding aku. Segala model terbaru, pasti diikutinya. Dari model rambut, baju, sampai gaya omongan terbaru. Sedang aku, tak begitu berminat dengan yang namanya trend. Bahkan, dalam penampilan pun aku selalu seenaknya. Yang menurutku itu bagus, itulah yang kupakai. Sedang aku, adalah wanita yang tidak pernah sedikitpun menampakan sisi kewanitaanku. Itulah sebabnya, banyak teman-teman kuliahku sesama wanita yang agak enggan berteman baik denganku. Padahal, aku sudah memproklamirkan diriku sebagai wanita yang tidak menyukai sesama jenis. Tapi, rupanya mereka kadung (terlanjur) tidak percaya.
Ohya, namaku sendiri Citra. Lengkapnya Lia Triani Citrasari. Aku kuliah di jurusan vokal Sekolah Tinggi Musik Tatar Sunda, di Bandung. Sedang Yudhis, begitu lulus SMU dia lebih memilih kuliah di jurusan teknik sipil Universitas Mangkunegara yang letaknya sekitar 10 kilometer dari kampus tempatku menuntut ilmu.
Aku dan Yudhis sudah bersahabat sejak kami sama-sama masih duduk di kelas 1 (berdasarkan pembagian tingkatan kelas sebelum berlakunya KBK) di SMU Harapan Bangsa, di daerah Ledeng, Bandung. Dan kami tak pernah sedikitpun ada niat untuk mengakhiri persahabatan kami. Cause friendship is never die, Right!. Setidaknya itulah yang selalu kami kumandangkan, sebelum Tuhan mengambil Yudhis dari sisiku.
Ya, Yudhis sudah tiada. Dia meninggal seminggu yang lalu di rumah sakit Kurnia karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya sejak kuliahnya baru menginjak semester pertama. tepatnya empat tahun silam. Semua itu gara-gara pergaulannya yang salah. dan itu bermula dari perceraian kedua orang tuanya. Sering aku mencoba menasihatinya. Tapi, pergaulannya sepertinya telah menutupi akal sehatnya sehingga sulit untuk mendengar nasihaku. Ohhh… I hate AIDS!. mengingat itu aku kembali larut dalam kesedihan. Tanpa terasa aku terhanyut dalam kenangan masa lalu…
****
Waktu itu, sabtu sore. lima tahun lalu.
Aku asyik membaca majalah remaja sambil menikmati jus alpukat yang kubuat sendiri di teras rumah. Yudhis datang dan langsung menjatuhkan pantatnya disampingku.
“Aduh, kamu Dis! Ngagetin aja” Aku memasang muka masam.
Tapi, Yudhis diam saja. Wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kamu kenapa, Dis?”
Yudhis tidak menjawab. Ia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Baru kali itu aku melihatnya merokok. Biasanya dia tidak pernah sedikitpun menyentuh racun itu.
“Ada masalah?”
Yudhis menghela napas panjang. “He-em”
“Orang tua kamu?”
Yudhis mengangguk. “Mereka mau cerai, Cit”
“Apa?” Mataku langsung terbelalak. “Kenapa?”
“My father! He had a another woman!”
“Your kidding, right?”
“No! I’m seriously”
Kepadaku, Yudhis lalu menceritakan semuanya. Sesekali, dia berhenti sejenak. Menghisap rokok yang terselip di jarinya. Guratan wajahnya menunjukkan kesedihan. Kurasakan ada luka yang mendalam di hatinya.
“Yang tabah ya, Dis” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku sendiri tidak tahu harus berkomentar apa. Aku telah ikut terhanyut dalam kesedihannya.
“Cit… rasanya aku udah enggak tahan dengan semua ini….. celana dalamku mana?”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dan mendapatkan Rani, adikku semata wayang yang baru saja beranjak remaja sudah menampakkan raut wajah manja.
“Mana?”
“Apaan?”
“Celana dalamku yang ada gambar Winnie The Pooh-nya”
“Mana kaka tau, cari aja di tempat gosokan sana! ganggu aja”
“Huuuhhh….” Rani pergi dengan mulut manyun.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka 11 malam. Karena takut kesiangan, akhirnya kuputuskan untuk beranjak tidur.
****
“CIT, AWAS!”
“BRUKK! ADUH!”
Aku jatuh tertelungkup diatas tubuh gempalnya Sifa. Dan Sifa tergencet antara aku dan sepedanya. Aku meringis menahan sakit. Dengkulku yang belum sembuh dari memar akibat main bola bersama anak-anak SD di lapangan seberang rumahku beradu dengan batang sepeda milik Sifa.
“Citra, kamu enggak apa-apa?” Rendy, teman kampusku datang menolong.
“Enggak… enggak apa-apa”
“Aku yang kenapa-napa!”
“Ya, ampun!” Aku langsung bangkit berdiri. Aku dan Rendy lalu membantu membangunkan sepeda. Upss, maksudku Sifa.
“Tega!”
“Sori Fa, keenakan”
Setelah memastikan bahwa tidak ada apa-apa dengan Sifa, terutama sepedanya, aku dan Rendy kemudian beranjak menuju kelas yang berada di pojok belakang gedung untuk mengikuti praktek olah vokal. Sebuah ruangan yang sebenarnya tak pernah sedikitpun aku berminat memasukinya. Aku pernah mengajukan usulan perpindahan kelas pada Bu Necy Astrea, dosen olah vokalku. Tapi, beberapa kali ditolaknya dengan alasan diruangan kelas yang lain dia tidak dapat menyalurkan hasrat pipisnya yang menyerangnya setiap sepuluh menit sekali dengan cepat (seriously?). Karena hanya kelas itu yang memiliki jarak terdekat dengan WC. Dan bagiku, aroma WC itulah yang membuatku kehilangan selera untuk mengikuti kuliah.
Hari sudah semakin siang. Dosen belum juga datang. Sambil menunggu, kugunakan waktuku dengan mendengarkan musik dari MP3-ku. Aku terdiam. Lagu “Kisah Klasik”nya Sheila On 7 membuatku kembali teringat Yudhis. Lagu ini kesukaannya. Aku ingat benar, Yudhis sering menyanyikannya didepanku. Tak terasa aku larut dalam kenanganku bersama Yudhis….
****
Waktu itu, malam-malam. Yudhis datang ke rumahku dengan penampilan yang lebih rapih dari biasanya. Aku agak heran melihatnya. Karena malam itu, seharusnya dia berada di aula, sekolah kami. Ya, malam itu ada acara pesta sekolah. Aku sendiri tidak datang , karena acara tersebut mewajibkan seluruh siswa berpasangan. Jelas saja aku tidak bisa. Pacar saja aku tidak punya.
“Kamu enggak datang ke pesta sekolah?”
“Mau…. Aku mau datang kesana”
“Lho, terus kenapa kesini? Si Widi, mana?”
“Widi enggak bisa datang, nganter Ibunya ke Bogor” Yudhis lalu duduk dikursi. “Kamu ganti baju sana! kita pergi”
“Kemana?” Aku bingung.
“Ya, ke pesta sekolah dong, Non! Emangnya kemana lagi, udah sana cepetan”
Buru-buru aku berlari ke kamar dan mengganti pakaianku. Gaun hadiah dari Ayahku setahun yang lalu menjadi pilihanku malam itu. Dan ketika aku menemui Yudhis kembali, dia memandangku dengan terkesima.
“Kenapa?”
“Aku enggak nyangka, ternyata kamu cantik banget kalau dandan”
Itu adalah pujian pertama yang kudengar dari mulut Yudhis. Maklum, biasanya dia selalu mengejekku karena selalu berpakaian seenaknya dan tidak pernah dandan layaknya seorang wanita.
“Ya udah, ah! jalan yuk, ntar terlambat lagi” Ajakku.
Dengan mobil CR-V milik Yudhis, kami pun beranjak menuju sekolah. Malam itu, jalanan begitu sepi. Hujan yang mengguyur kota Bandung tadi sore membuat udara menjadi dingin, hingga orang-orang segan untuk keluar rumah. Yang ada hanyalah segelintir binatang malam yang dengan penuh semangat hidup mencari makan di keremangan malam. Sambil terus menyetir, kulirik Yudhis sesekali menggerakkan bibirnya mengikuti alunan lagu “Kisah Klasik” milik Sheila On 7. Agak tersenyum geli aku memperhatikannya. Aku yakin, jika saja banyak orang yang mendengarkannya, maka setelah malam itu omset penjualan kaset Sheila On 7 akan mengalami penurunan yang drastis.
“Kenapa senyum-senyum?” Yudhis melirikku ketika mobil kami terhenti oleh lampu merah. “Kamu pasti mau ngeledek suaraku, ya?”
Aku menggeleng. Bohong. “Enggak… suara kamu bagus kok!”
“Makasih! Baru tau, ya?”
“Lebih bagus lagi kalau diam”
Sejam kemudian akhirnya kami tiba. Malam itu sekolah benar-benar ramai tak seperti biasanya. Suara alunan musik berdentum keras dari aula yang dirubah menjadi tempat pesta. Aku dan Yudhis bergegas turun dari mobil dan menuju aula sekolah.
Malam itu, kami benar-benar larut dalam meriahnya pesta. Kami seperti terbebas dari segala beban yang selalu menguntit kami selama 3 tahun kami belajar di sekolah. Maklum aja, malam itu adalah malam perpisahan kami dengan sekolah.
Lamunanku langsung buyar ketika Rendy menepuk pundakku memberitahukan kalau Bu Necy Astrea sudah datang.
****
Jam 5 sore, aku tiba di rumah. Sepi. Tidak ada satupun orang di rumah. Di meja tamu kudapati secarik kertas berisikan pesan dari Ibu. Rupanya Ibu dan Rani pergi ke rumah Tante Yanti, teman Ibu semasa sekolah.
Dengan langkah agak gontai, kumasuki kamarku. Kurasakan, letih dan penat setelah seharian bergelut dengan tiga mata kuliah terus menggelayuti tubuhku. Kurebahkan tubuhku diatas kasur. Fiiuuuhh…..I’m very tired this day. Mataku begitu perih.
Setelah istirahat sebentar, aku kemudian mandi dan ganti baju. Kemudian aku berjalan keluar kamar menuju teras rumah. Dan lagi-lagi aku teringat pada Yudhis. Entah kenapa sosoknya masih terus menggerayangi pikiranku. Sepertinya aku masih tidak dapat mempercayai kematiannya. Ingatanku pun kembali hari dimana Yudhis menghembuskan nafas terakhirnya dihadapanku.
Waktu itu, mega terlihat mulai memerah menyambut datangnya malam ketika aku sampai di rumah sakit Kurnia. Dengan hati yang terus gelisah, aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang cukup panjang. Kabar yang kudengar dari orang tua Yudhis telah membuatku resah sejak perjalanan tadi.
Setibanya di ruang ICU, aku menghentikan langkahku. Kulihat kedua orang tua Yudhis sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Yudhis yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar, berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Citra, kok malah bengong? Kesini!” Rupanya Orang tua Yudhis menyadari kedatanganku.
Aku menurutinya. Dengan berat, kulangkahkan kakiku menghampiri kedua orang tua Yudhis. Setelah ngobrol sejenak, kami lantas masuk dalam ruangan dengan mengenakan masker dan jas demi menjaga ruangan tetap steril. Dengan perlahan, kami menghampiri Yudhis yang masih terbaring tak berdaya. Sungguh memilukan. Tubuhnya yang dulu gemuk dan sehat kini berubah tinggal tulang berbalut kulit.
“Yudhis, ini Citra datang!”
Tapi Yudhis tidak menyahut. Jangankan menengok, membuka mata saja tidak. Menyaksikan kondisi Yudhis yang memprihatinkan, aku tak mampu membendung air matanya. Aku pun menangis terisak. Tak kuasa diriku menahan pilu.
Suasana malam itu berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah isak tangisku dan orang tua Yudhis. Kami seperti tak percaya jika Yudhis menderita HIV/AIDS. Selama ini Yudhis terlihat sehat-sehat saja di depan kami. Tidak ada hal yang ganjil pada diri Yudhis.
Disaat aku terus menangis, tiba-tiba saja jemari Yudhis bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke arahku.
“Cit…Cit…Citra,” Suara Yudhis terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku, Citra!”
“Ma… Ma…. Maafin aku ka… ka….karena enggak dengar nasihat kamu”
Aku mengangguk sambil terus terisak.
Setelah itu Yudhis kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Yudhis memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, aku semakin tidak mampu membendung air mataku. Begitu juga dengan kedua orang tua Yudhis. Mereka menangis begitu histeris. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
Aku benar-benar terpukul dengan kepergian Yudhis. Sejak itu, entah kenapa aku jadi begitu benci dengan yang namanya HIV/AIDS. Sejak itu pula aku jadi aktif di Stigma, sebuah lembaga yang sangat giat dalam memerangi HIV/AIDS.
****
Yudhis Nataadmaja. Aku biasa memanggilnya Adis. Dia sahabatku. Anaknya tinggi, putih, dan memiliki potongan rambut ala To Ming Se, tokoh utama dalam film seri Meteor Garden. Diantara kami berdua, dialah yang selalu paling modis penampilannya. Maklum, dia selalu mengikuti trend dibanding aku. Segala model terbaru, pasti diikutinya. Dari model rambut, baju, sampai gaya omongan terbaru. Sedang aku, tak begitu berminat dengan yang namanya trend. Bahkan, dalam penampilan pun aku selalu seenaknya. Yang menurutku itu bagus, itulah yang kupakai. Sedang aku, adalah wanita yang tidak pernah sedikitpun menampakan sisi kewanitaanku. Itulah sebabnya, banyak teman-teman kuliahku sesama wanita yang agak enggan berteman baik denganku. Padahal, aku sudah memproklamirkan diriku sebagai wanita yang tidak menyukai sesama jenis. Tapi, rupanya mereka kadung (terlanjur) tidak percaya.
Ohya, namaku sendiri Citra. Lengkapnya Lia Triani Citrasari. Aku kuliah di jurusan vokal Sekolah Tinggi Musik Tatar Sunda, di Bandung. Sedang Yudhis, begitu lulus SMU dia lebih memilih kuliah di jurusan teknik sipil Universitas Mangkunegara yang letaknya sekitar 10 kilometer dari kampus tempatku menuntut ilmu.
Aku dan Yudhis sudah bersahabat sejak kami sama-sama masih duduk di kelas 1 (berdasarkan pembagian tingkatan kelas sebelum berlakunya KBK) di SMU Harapan Bangsa, di daerah Ledeng, Bandung. Dan kami tak pernah sedikitpun ada niat untuk mengakhiri persahabatan kami. Cause friendship is never die, Right!. Setidaknya itulah yang selalu kami kumandangkan, sebelum Tuhan mengambil Yudhis dari sisiku.
Ya, Yudhis sudah tiada. Dia meninggal seminggu yang lalu di rumah sakit Kurnia karena penyakit HIV/AIDS yang dideritanya sejak kuliahnya baru menginjak semester pertama. tepatnya empat tahun silam. Semua itu gara-gara pergaulannya yang salah. dan itu bermula dari perceraian kedua orang tuanya. Sering aku mencoba menasihatinya. Tapi, pergaulannya sepertinya telah menutupi akal sehatnya sehingga sulit untuk mendengar nasihaku. Ohhh… I hate AIDS!. mengingat itu aku kembali larut dalam kesedihan. Tanpa terasa aku terhanyut dalam kenangan masa lalu…
****
Waktu itu, sabtu sore. lima tahun lalu.
Aku asyik membaca majalah remaja sambil menikmati jus alpukat yang kubuat sendiri di teras rumah. Yudhis datang dan langsung menjatuhkan pantatnya disampingku.
“Aduh, kamu Dis! Ngagetin aja” Aku memasang muka masam.
Tapi, Yudhis diam saja. Wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kamu kenapa, Dis?”
Yudhis tidak menjawab. Ia menyulut sebatang rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Baru kali itu aku melihatnya merokok. Biasanya dia tidak pernah sedikitpun menyentuh racun itu.
“Ada masalah?”
Yudhis menghela napas panjang. “He-em”
“Orang tua kamu?”
Yudhis mengangguk. “Mereka mau cerai, Cit”
“Apa?” Mataku langsung terbelalak. “Kenapa?”
“My father! He had a another woman!”
“Your kidding, right?”
“No! I’m seriously”
Kepadaku, Yudhis lalu menceritakan semuanya. Sesekali, dia berhenti sejenak. Menghisap rokok yang terselip di jarinya. Guratan wajahnya menunjukkan kesedihan. Kurasakan ada luka yang mendalam di hatinya.
“Yang tabah ya, Dis” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku sendiri tidak tahu harus berkomentar apa. Aku telah ikut terhanyut dalam kesedihannya.
“Cit… rasanya aku udah enggak tahan dengan semua ini….. celana dalamku mana?”
“Lho?” Aku kembali ke alam sadar dan mendapatkan Rani, adikku semata wayang yang baru saja beranjak remaja sudah menampakkan raut wajah manja.
“Mana?”
“Apaan?”
“Celana dalamku yang ada gambar Winnie The Pooh-nya”
“Mana kaka tau, cari aja di tempat gosokan sana! ganggu aja”
“Huuuhhh….” Rani pergi dengan mulut manyun.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan angka 11 malam. Karena takut kesiangan, akhirnya kuputuskan untuk beranjak tidur.
****
“CIT, AWAS!”
“BRUKK! ADUH!”
Aku jatuh tertelungkup diatas tubuh gempalnya Sifa. Dan Sifa tergencet antara aku dan sepedanya. Aku meringis menahan sakit. Dengkulku yang belum sembuh dari memar akibat main bola bersama anak-anak SD di lapangan seberang rumahku beradu dengan batang sepeda milik Sifa.
“Citra, kamu enggak apa-apa?” Rendy, teman kampusku datang menolong.
“Enggak… enggak apa-apa”
“Aku yang kenapa-napa!”
“Ya, ampun!” Aku langsung bangkit berdiri. Aku dan Rendy lalu membantu membangunkan sepeda. Upss, maksudku Sifa.
“Tega!”
“Sori Fa, keenakan”
Setelah memastikan bahwa tidak ada apa-apa dengan Sifa, terutama sepedanya, aku dan Rendy kemudian beranjak menuju kelas yang berada di pojok belakang gedung untuk mengikuti praktek olah vokal. Sebuah ruangan yang sebenarnya tak pernah sedikitpun aku berminat memasukinya. Aku pernah mengajukan usulan perpindahan kelas pada Bu Necy Astrea, dosen olah vokalku. Tapi, beberapa kali ditolaknya dengan alasan diruangan kelas yang lain dia tidak dapat menyalurkan hasrat pipisnya yang menyerangnya setiap sepuluh menit sekali dengan cepat (seriously?). Karena hanya kelas itu yang memiliki jarak terdekat dengan WC. Dan bagiku, aroma WC itulah yang membuatku kehilangan selera untuk mengikuti kuliah.
Hari sudah semakin siang. Dosen belum juga datang. Sambil menunggu, kugunakan waktuku dengan mendengarkan musik dari MP3-ku. Aku terdiam. Lagu “Kisah Klasik”nya Sheila On 7 membuatku kembali teringat Yudhis. Lagu ini kesukaannya. Aku ingat benar, Yudhis sering menyanyikannya didepanku. Tak terasa aku larut dalam kenanganku bersama Yudhis….
****
Waktu itu, malam-malam. Yudhis datang ke rumahku dengan penampilan yang lebih rapih dari biasanya. Aku agak heran melihatnya. Karena malam itu, seharusnya dia berada di aula, sekolah kami. Ya, malam itu ada acara pesta sekolah. Aku sendiri tidak datang , karena acara tersebut mewajibkan seluruh siswa berpasangan. Jelas saja aku tidak bisa. Pacar saja aku tidak punya.
“Kamu enggak datang ke pesta sekolah?”
“Mau…. Aku mau datang kesana”
“Lho, terus kenapa kesini? Si Widi, mana?”
“Widi enggak bisa datang, nganter Ibunya ke Bogor” Yudhis lalu duduk dikursi. “Kamu ganti baju sana! kita pergi”
“Kemana?” Aku bingung.
“Ya, ke pesta sekolah dong, Non! Emangnya kemana lagi, udah sana cepetan”
Buru-buru aku berlari ke kamar dan mengganti pakaianku. Gaun hadiah dari Ayahku setahun yang lalu menjadi pilihanku malam itu. Dan ketika aku menemui Yudhis kembali, dia memandangku dengan terkesima.
“Kenapa?”
“Aku enggak nyangka, ternyata kamu cantik banget kalau dandan”
Itu adalah pujian pertama yang kudengar dari mulut Yudhis. Maklum, biasanya dia selalu mengejekku karena selalu berpakaian seenaknya dan tidak pernah dandan layaknya seorang wanita.
“Ya udah, ah! jalan yuk, ntar terlambat lagi” Ajakku.
Dengan mobil CR-V milik Yudhis, kami pun beranjak menuju sekolah. Malam itu, jalanan begitu sepi. Hujan yang mengguyur kota Bandung tadi sore membuat udara menjadi dingin, hingga orang-orang segan untuk keluar rumah. Yang ada hanyalah segelintir binatang malam yang dengan penuh semangat hidup mencari makan di keremangan malam. Sambil terus menyetir, kulirik Yudhis sesekali menggerakkan bibirnya mengikuti alunan lagu “Kisah Klasik” milik Sheila On 7. Agak tersenyum geli aku memperhatikannya. Aku yakin, jika saja banyak orang yang mendengarkannya, maka setelah malam itu omset penjualan kaset Sheila On 7 akan mengalami penurunan yang drastis.
“Kenapa senyum-senyum?” Yudhis melirikku ketika mobil kami terhenti oleh lampu merah. “Kamu pasti mau ngeledek suaraku, ya?”
Aku menggeleng. Bohong. “Enggak… suara kamu bagus kok!”
“Makasih! Baru tau, ya?”
“Lebih bagus lagi kalau diam”
Sejam kemudian akhirnya kami tiba. Malam itu sekolah benar-benar ramai tak seperti biasanya. Suara alunan musik berdentum keras dari aula yang dirubah menjadi tempat pesta. Aku dan Yudhis bergegas turun dari mobil dan menuju aula sekolah.
Malam itu, kami benar-benar larut dalam meriahnya pesta. Kami seperti terbebas dari segala beban yang selalu menguntit kami selama 3 tahun kami belajar di sekolah. Maklum aja, malam itu adalah malam perpisahan kami dengan sekolah.
Lamunanku langsung buyar ketika Rendy menepuk pundakku memberitahukan kalau Bu Necy Astrea sudah datang.
****
Jam 5 sore, aku tiba di rumah. Sepi. Tidak ada satupun orang di rumah. Di meja tamu kudapati secarik kertas berisikan pesan dari Ibu. Rupanya Ibu dan Rani pergi ke rumah Tante Yanti, teman Ibu semasa sekolah.
Dengan langkah agak gontai, kumasuki kamarku. Kurasakan, letih dan penat setelah seharian bergelut dengan tiga mata kuliah terus menggelayuti tubuhku. Kurebahkan tubuhku diatas kasur. Fiiuuuhh…..I’m very tired this day. Mataku begitu perih.
Setelah istirahat sebentar, aku kemudian mandi dan ganti baju. Kemudian aku berjalan keluar kamar menuju teras rumah. Dan lagi-lagi aku teringat pada Yudhis. Entah kenapa sosoknya masih terus menggerayangi pikiranku. Sepertinya aku masih tidak dapat mempercayai kematiannya. Ingatanku pun kembali hari dimana Yudhis menghembuskan nafas terakhirnya dihadapanku.
Waktu itu, mega terlihat mulai memerah menyambut datangnya malam ketika aku sampai di rumah sakit Kurnia. Dengan hati yang terus gelisah, aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang cukup panjang. Kabar yang kudengar dari orang tua Yudhis telah membuatku resah sejak perjalanan tadi.
Setibanya di ruang ICU, aku menghentikan langkahku. Kulihat kedua orang tua Yudhis sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Yudhis yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar, berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Citra, kok malah bengong? Kesini!” Rupanya Orang tua Yudhis menyadari kedatanganku.
Aku menurutinya. Dengan berat, kulangkahkan kakiku menghampiri kedua orang tua Yudhis. Setelah ngobrol sejenak, kami lantas masuk dalam ruangan dengan mengenakan masker dan jas demi menjaga ruangan tetap steril. Dengan perlahan, kami menghampiri Yudhis yang masih terbaring tak berdaya. Sungguh memilukan. Tubuhnya yang dulu gemuk dan sehat kini berubah tinggal tulang berbalut kulit.
“Yudhis, ini Citra datang!”
Tapi Yudhis tidak menyahut. Jangankan menengok, membuka mata saja tidak. Menyaksikan kondisi Yudhis yang memprihatinkan, aku tak mampu membendung air matanya. Aku pun menangis terisak. Tak kuasa diriku menahan pilu.
Suasana malam itu berubah sunyi. Yang terdengar hanyalah isak tangisku dan orang tua Yudhis. Kami seperti tak percaya jika Yudhis menderita HIV/AIDS. Selama ini Yudhis terlihat sehat-sehat saja di depan kami. Tidak ada hal yang ganjil pada diri Yudhis.
Disaat aku terus menangis, tiba-tiba saja jemari Yudhis bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke arahku.
“Cit…Cit…Citra,” Suara Yudhis terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku, Citra!”
“Ma… Ma…. Maafin aku ka… ka….karena enggak dengar nasihat kamu”
Aku mengangguk sambil terus terisak.
Setelah itu Yudhis kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Yudhis memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, aku semakin tidak mampu membendung air mataku. Begitu juga dengan kedua orang tua Yudhis. Mereka menangis begitu histeris. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
Aku benar-benar terpukul dengan kepergian Yudhis. Sejak itu, entah kenapa aku jadi begitu benci dengan yang namanya HIV/AIDS. Sejak itu pula aku jadi aktif di Stigma, sebuah lembaga yang sangat giat dalam memerangi HIV/AIDS.
****
Biarkan Cinta itu Tumbuh (cerpen)
Oleh : Rachmat Nugraha
Hujan mulai mengguyur kota Jakarta ketika Vina duduk sendiri di dalam café Bona. Pertemuannya dengan Rizky kemarin begitu mengusik pikirannya.
“Rizky! Hhh….”
Nama itu terus-menerus terngiang di telinganya. Wajah cowok itu tak henti-hentinya memadati setiap ruang pikirannya. Sepertinya dia tidak mampu mengenyahkan bayangan Rizky yang selalu mengiringi langkahnya sejak rendevouze mereka di Plaza Senayan sebulan lalu. Terdengar helaan napas panjang dari Vina.
Vina melirik jam tangannya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dengan malas, dia kemudian bangkit dari duduknya. Namun, dia tidak beranjak dari situ. Dia hanya berdiri menghadap danau kecil di luar cafe. Tatapannya kosong. Entah kenapa, dirinya seperti kembali diseret ke masa-masa saat dia masih bersama Rizky.
Vina mencoba menepis kenangan itu, tapi tak bisa. Bayangan masa lalu itu justru semakin kuat mencengkram dirinya. Rupanya, begitu sulit menyingkirkan sebuah masa lalu.
“Vina..!” Terdengar suara dari belakangnya.
Vina langsung berbalik. Ternyata Yunita.
“Eh, elo! Sendirian?”
“He-em!”
Yunita kemudian menjatuhkan pantatnya di kursi. Vina mengikutinya
“Vin, elo beruntung ya!”Kata Yunita pelan.
“Beruntung… beruntung kenapa?” Vina mengerutkan dahinya.
“Iya, elo beruntung! Punya cowok yang begitu baik sama elo. Liat aja, Wisnu setia banget sama elo. Selalu ada setiap elo butuhin”
Vina tersenyum dikulum. “Kayaknya elo lagi ada masalah ya?”
Yunita mengangguk. “Cowok gua…”
“Kenapa sama cowok elo?”
“Dia selingkuh”
“Ya udah, sabar aja ya! mungkin dia emang bukan yang terbaik buat elo”
Vina lalu terdiam. Dipikirkannya kata-kata Yunita tadi. Ya, Yunita memang benar. Dia memang beruntung karena telah memiliki Wisnu yang begitu setia pada dirinya. Tapi, Yunita tidak tahu kalau sebenarnya saat ini dia sangat merasa bersalah karena telah menyakiti cowok itu. Dia kini terjebak diantara dua cinta. Wisnu dan Rizky. Hhh… seandainya saja dulu aku dan Rizky enggak berpisah, mungkin keadaannya enggak akan kayak ini, batinnya.
****
Di kamar, malam itu Vina membuka kembali surat-surat dari Rizky. Satu-persatu dibacanya. Kata-katanya begitu romantis. Puitis. Dia jadi tersenyum sendiri membacanya. Entah mengapa tiba-tiba saja dia begitu rindu pada Rizky.
“Duh, lagi baca surat dari pacar, ya!”
“Eh, mamah! Ngagetin aja!”
Buru-buru Vina melipat kembali surat digenggamannya.
“Kamu malu ya?”Desis Bu Sifa menggoda.
“Udah tahu, nanya!”
“Ya udah deh, Mamah pergi”
Setelah kepergian Ibunya, Vina kembali membaca surat-surat Rizky yang masih disimpannya dengan rapih itu. Sekejap, dia kembali menerawang ke masa lalu. Saat-saat indah sewaktu bersama Rizky. Mendadak Vina teringat ucapan Rizky kemarin siang yang memintanya untuk kembali padanya. Saat itu dia tidak menjawab. Vina bingung. Satu sisi dia harus mengakui bahwa cinta Rizky telah kembali hadir dalam hatinya. Tapi, disisi lain dia juga tidak bisa mengkhianati cinta Wisnu yang begitu tulus pada dirinya.
Hhh! Ya, Tuhan… aku mohon, berikanlah aku petunjuk agar aku dapat memilih satu diantara mereka, gumam Vina dalam hati.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bergegas Vina merapihkan surat-surat yang tadi dibacanya dan memasukkannya kembali ke dalam lemari.
****
Sepanjang jalan Wisnu sama sekali diam. Tak ada satupun kata keluar dari mulutnya. Dia hanya berjalan di samping Yunita dengan wajah yang masam.
“Wisnu?”Tegur Vina bingung.
Digenggamnya jemari tangan Wisnu yang masih terdiam.
“Kamu kenapa sih?” Desak Vina penasaran. “Kamu marah, ya?”
“Kelihatannya gimana?” Sahut Wisnu dingin.
Akhirnya dia bicara juga.
“Kelihatannya sih gitu, emangnya ada apa sih?”
“Sudah berapa lama kamu hubungan sama Rizky?” Suara Wisnu terdengar datar.
Vina terperangah kaget. dia heran darimana Wisnu bisa tahu hubungannya dengan Rizky.
“Kenapa, bingung jawabnya?”Katanya lagi.
“Kamu tahu darimana?”
“Enggak penting aku tahu darimana, sekarang kamu jawab aja pertanyaanku!”
Vina menghela napas panjang. “Baiklah, aku akan jujur sama kamu! Hubungan aku sama dia sebenarnya sudah lama. Aku pernah pacaran sama dia dulu”
“Terus sekarang?”
Vina tak bisa menjawab. Dia tak tahu harus bicara apa. Dia tidak bisa memungkiri perasaannya terhadap Rizky. Tapi, dia juga tidak ingin kehilangan cowok yang saat ini ada didepannya.
“Kenapa diam?”
“Sudahlah, Nu! Kita enggak usah bahas ini lagi, dia bukan apa-apaku kok” Kata Vina berbohong.
“Terserah kamu deh!”
Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah suara kicauan burung yang menyambut hari dengan riangnya.
****
Sesampainya di rumah, Vina langsung berdiam diri di kamar. Dia menangis. Dia mencoba merenungi kembali kata-kata yang telah dia ucapkan. Dia tahu dia telah membohongi Wisnu. Tapi, itu terpaksa dia lakukan karena dia tak ingin melukai hati cowok itu.
Sebenarnya dia ingin sekali jujur pada Wisnu. Ingin sekali dia mengatakan bahwa cinta Rizky telah kembali hadir dalam hatinya. Namun, kenyataan itu terpaksa dipendamnya. Itu dia lakukan karena dia tidak ingin menyakiti Wisnu. Wisnu telah begitu baik pada dirinya. Cintanya begitu tulus. Dan kini dia telah mengkhianati ketulusan cinta Wisnu.
“Vina, kamu kenapa?” Tanya Bu Sifa melihat anak gadisnya menangis.
Dia lalu menghampiri anak gadisnya itu dan memeluknya dengan penuh kelembutan. “Ada masalah? Cerita dong sama mamah ” Sambungnya.
Vina mengangguk pelan. Dia pun menceritakan semuanya. Dari mulai pertemuannya dengan Rizky, sampai rasa cintanya pada Rizky yang kembali memenuhi setiap ruang hatinya yang menyebabkan hubungannya dengan Wisnu mengalami sedikit keretakan. Atau bahkan, terancam bubar.
“Vina, mamah rasa kamu harus memilih satu diantara mereka!” Kata Bu Sifa memberi saran.
“Tapi mah, saat ini Vina belum siap! Apalagi Wisnu begitu baik sama Vina. Vina enggak tega”
“Terus kapan kamu siapnya? Itu sama saja kamu mempermainkan mereka”
Mamah memang benar. Aku memang harus memilih. Tapi, enggak sekarang. Aku belum siap. Aku masih ingin keduanya berada disisiku. Aku belum siap untuk kehilangan salah satunya, Vina terus membatin. Biarlah waktu yang menentukan semuanya.
****
Sudah hampir dua minggu Vina tidak bertemu dengan Rizky. Sejak pertemuan terakhirnya dengan cowok itu di café Bona ketika Rizky memintanya untuk kembali, Rizky sama sekali tidak menghubungi atau bahkan menemui dirinya. Dan tadi sore, dia justru mendapatkan sms yang cukup mengejutkan dari Rizky . Dalam smsnya Rizky mengatakan kalau mulai detik ini dia mungkin tidak bisa menemuinya lagi. Selain itu, dalam smsnya, Rizky juga berulang kali meminta maaf pada Vina. Vina benar-benar tidak mengerti apa maksud Rizky mengirim sms seperti itu.
Vina telah mencoba menghubungi handphone Rizky, tapi tidak aktif . dia juga telah berulang kali menghubunginya melalui telepon rumah. Tapi, berulang kali dia mencoba, berulang kali juga tidak ada yang mengangkat.
Vina lalu memaksakan kakinya melangkah keluar rumah dan duduk di kursi teras rumahnya. malam itu, langit terlihat begitu cerah. Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit, menunjukkan sinarnya yang terang. Vina tersenyum sambil terus memandangi langit. Dia mencoba melupakan sejenak rasa penat yang ada dalam dirinya. Tapi, ingatannya terus tertuju pada Rizky. Dia masih belum bisa mengerti kata-kata Rizky sore tadi. Tapi, apapun maksudnya dia tidak ingin berpisah dengan Rizky.
Malam itu Vina tak bisa menutupi kegundahan hatinya. Gundah karena dia tidak ingin kehilangan Rizky, cinta pertama yang telah kembali bersemi dihatinya. Gundah karena dia tidak tahu harus memilih siapa.
****
“Vina, barusan Wisnu nelpon. Katanya, dia kepingin ketemu kamu besok!” Kata Bu Sifa begitu Vina sampai di rumah.
Mendengar itu, Vina tidak terlihat senang. Hatinya terlalu disesaki oleh rasa gundah. Dia terlalu sibuk memikirkan Rizky yang sudah dua minggu ini menghilang.
“Makasih ya, Mah!” Sahutnya sambil terus berjalan masuk kamar.
Bu Sifa sangat heran melihat sikap Vina. Bergegas dia menemui gadis itu di kamarnya.
“Vina” Pelan-pelan dia duduk di samping anaknya yang sedang merebahkan tubuhnya di pembaringan. Dibelainya rambut Vina dengan penuh kelembutan. “Ada apa? Kok mamah lihat beberapa hari ini kamu diam aja” Sambungnya.
Awalnya Vina bungkam. Tapi, setelah didesak akhirnya dia pun bercerita tentang kegalauan hatinya beberapa hari terakhir ini.
“Kamu benar-benar mencintai Rizky?” Tanya Bu Sifa.
Vina mengangguk mengiyakan. Raut wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kalau begitu, kamu temui dia. Katakan kalau kamu ingin kembali sama dia”
“Tapi, Wisnu?”
“Mamah yakin, Wisnu memiliki jiwa yang besar untuk bisa menerima kenyataan ini” Kata-kata Bu Sifa terdengar begitu bijak.
“Makasih ya, Mah” Vina memeluk tubuh wanita paruh baya yang sangat dicintainya itu.
****
Vina begitu berbeda dari biasanya. Tidak ada sedikitpun senyuman di wajahnya. Dan itu membuat Wisnu bingung.
“Kamu kenapa? kok diam aja?” Tanyanya.
Vina menggeleng. “Enggak… enggak apa-apa kok!”
Wisnu tidak langsung percaya. Dia tetap merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu. “Bener, enggak apa-apa?”
“Iya, bener!”
Karena tak ingin berdebat, Wisnu lalu mengajak Vina ke KFC. Restaurant cepat saji itu terlihat begitu ramai. Begitu banyak pengunjung yang memadati tempat itu. Wisnu lantas langsung antri di depan kasir untuk memesan makanan. Sementara, Vina mencari tempat yang nyaman untuk duduk Sambil duduk, Vina terus memikirkan Rizky. Dia merasa harus segera menemui cowok itu. dan sekarang sudah saatnya dia bicara jujur pada Wisnu.
“Kok, ngelamun aja! Lagi mikiran siapa?” Tiba-tiba saja Wisnu sudah duduk didepannya.
“Ah nggak, lagi pengen bengong aja” ujar Vina gelagapan.
“Ayo, makan!”
Vina hanya mengangguk. Tapi, dia sama sekali tidak menyentuh makanan yang ada dihadapannya.
“Kok enggak dimakan?” Tanya Wisnu melihat Vina sama sekali tidak menyentuh makanannya. “Kamu enggak suka?”
“Enggak, aku suka kok!”
“Terus, kenapa enggak dimakan?”
“Iya…iya, aku makan!”
Dengan malas, Vina kemudian menyentuh makanan yang dipesan Wisnu untuknya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan makanannya. Hanya saja, saat ini dia sedang tidak bersemangat. Nafsu makannya telah dikalahkan oleh rasa rindunya pada Rizky . Melihat Vina seperti itu, lama-lama Wisnu jengah juga.
“Vina, kenapa sih , kok kelihatannya kamu enggak bergairah banget ketemu aku?” Desisnya menahan kesal.
“Enggak… enggak apa-apa, aku senang ketemu sama kamu! Aku lagi kurang enak badan aja kok”
“Kamu lagi mikirin Rizky, ya?”
Zahra tak menyahut.
“Kok diam? Wisnu menghela napas panjang. “Kenapa, kamu malu mengakuinya?”
Vina tertunduk. Menarik napas dalam-dalam.
“Wisnu, mungkin sebaiknya kita akhiri saja hubungan kita” Desisnya pelan.
Wisnu langsung membelalakkan matanya mendengar ucapan Vina. “Kenapa?”
“Aku…. Aku ingin kembali sama Rizky. Aku mencintainya!”
“Jadi, selama ini kamu sudah membohongi aku?”
Vina mengangguk pelan. “Maafin aku, Nu. Aku sudah berusaha untuk mempertahankan hubungan kita. Tapi, aku juga enggak bisa memungkiri perasaanku sendiri. Aku enggak bisa membohongi diriku sendiri, kalau ternyata cinta Rizky telah kembali bersemi dalam hatiku”
“Jadi, itu keputusan kamu?”
Vina mengangguk mengiyakan. Dia tahu keputusannya ini telah sangat menyakitkan Wisnu. Tapi, dia harus melakukannya. Karena kini dia benar-benar menyadari jika dia ternyata lebih mencintai Rizky.
“Baik, kalau memang itu keputusan kamu, aku bisa terima. Terima kasih atas kesempatan yang kamu berikan, selamat tinggal!” Wisnu langsung bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Vina sendiri.
Vina tidak bisa mencegahnya. Dia mengerti betapa sakitnya hati Wisnu. Dia dapat merasakan perihnya hati cowok itu. Sama perihnya dengan hatinya saat ini. Perih karena pada akhirnya dia harus membuat keputusan yang menyakitkan bagi mereka berdua.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Vina terlihat berbaring sambil termenung sendiri di kamarnya. Dia terus saja memikirkan Rizky. Sudah lebih dari dua minggu Rizky menghilang. Tapi, sampai sekarang belum juga ada kabar dari cowok itu. dia sudah mencoba mendatangi rumah Rizky. Tapi, pintu gerbangnya terkunci. Tetangganya pun tidak ada yang tahu kemana Rizky dan keluarganya pergi.
Tiba-tiba saja bunyi suara handphone yang sistematis mengusik lamunannya. Vina lalu bangkit dari tidurnya dan meraih HP Sony Ericsson yang diletakkan diatas meja.
“Ada apaa, Yun?” Tanya Vina begitu tahu Yunita yang menelponnya.
“Hallo, Vin! Besok bisa ketemu enggak? gua ada kabar soal Rizky nih, penting!”
“Rizky? Kenapa dia?”
“Ehm… besok deh gua ceritain!”
“Ya udah, kita ketemuan dimana?
“Di café Bona, ya!”
“Jam berapa?”
“Jam 2!”
“Ya udah, sampai ketemu besok ya!”
Ada apa ya?, Tanya Vina dalam hati. Dia merasa ada sesuatu terjadi pada Rizky. Dan itu telah membuat hatinya gundah. Berbagai macam pertanyaan pun mulai menghigapi otaknya. Kecelakaankah dia? atau sakitkah? Atau…?.
“Aahh! Kenapa sih Yunita enggak langsung ngomong aja di telepon,” Vina menggerutu sendiri.
****
“Rizky kenapa, Yun?” Tanya Vina kebingungan.
Vina menarik napas panjang. Dia merasa tak kuasa memberitahukan keadaan Rizky pada Vina. Tapi, apa boleh buat. Bagaimanapun juga dia harus mengatakannya.
“Rizky…”
“Rizky kenapa?” Potong Vina penasaran.
“Rizky masuk rumah sakit!” Desah Yunita pelan.
Sontak Vina terhenyak. “Dirawat? Memangnya dia sakit apa?”
Dengan perlahan, Yunita menceritakan semuanya. Termasuk penyakit yang diderita oleh Rizky. Vina yang mendengarnya langsung menitikkan air mata. Dia tak kuasa menahan tangis mendengar orang yang dia cintai kini terbaring lemah tak berdaya karena penyakit yang selama ini disembunyikan Rizky darinya.
“Yun, tolong antar gua ke rumah sakit sekarang!” .
“Ayo!”
Mereka pun kemudian beranjak menuju rumah sakit tempat Rizky dirawat. Selama perjalanan, Vina lebih banyak diam. Pikirannya terus tertuju pada Rizky.
“Vin, kita sudah sampai!” Cetus Yunita begitu tiba di rumah sakit.
Vina lalu turun dari mobil dan berjalan masuk mengikuti Yunita..
Setibanya di ruangan ICU, mereka bertemu dengan kedua orang tua Rizky. Pasangan suami istri paruh baya itu terlihat sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Rizky yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar. berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Kamu, Vina ya?” Tanya Pak Beni, Ayah Rizky.
Vina hanya mengangguk sambil tersenyum mengiyakan.
“Rizky sudah cerita banyak soal kamu. Ternyata benar, kamu memang cantik” Istri pak Beni ikut bicara.
Dengan ditemani Yunita, Vina kemudian masuk ke dalam kamar rawat. Dilihatnya Rizky sedang terbaring tak berdaya. Vina menangis. Dia tak kuasa menahan sedih menyaksikan kondisi Rizky. Digenggamnya jemari Rizky yang dingin
“Rizky, kamu enggak boleh pergi? Aku ingin kembali sama kamu. Kini… kini hanya cinta kamu yang tumbuh dihatiku” Desis Vina lirih. “Please, bertahanlah demi aku” Lanjutnya.
Tiba-tiba saja jemari Rizky bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke Vina.
“Yun…” Vina memalingkan wajahnya ke Yunita.
Yunita tersenyum.
“Vi…Vi…Vina,” Suara Rizky terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku Vina!”
Bi… bi…biarkan cinta itu terus tumbuh dalam hatimu”
Setelah itu Rizky kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Rizky memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, Vina langsung meneteskan air matanya. Yunita yang sedari tadi berdiri disamping Vina bergegas memanggil kedua orang tua Rizky. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
“Rizky, kamu jangan pergi… kamu enggak boleh pergi” Vina menangis tersedu.
“Sudahlah, Vin! Kita relakan saja kepergiannya” Yunita merangkul pundak Vina.
Pemandangan itu membuat seisi ruangan makin terenyuh. Vina benar-benar terpukul dengan kepergian Rizky. Dia tidak mengira jika Rizky akan pergi meninggalkannya secepat ini. Kini dia hanya bisa pasrah menerima kenyataan ini. Dia harus merelakan kepergian Rizky.
****
Hujan mulai mengguyur kota Jakarta ketika Vina duduk sendiri di dalam café Bona. Pertemuannya dengan Rizky kemarin begitu mengusik pikirannya.
“Rizky! Hhh….”
Nama itu terus-menerus terngiang di telinganya. Wajah cowok itu tak henti-hentinya memadati setiap ruang pikirannya. Sepertinya dia tidak mampu mengenyahkan bayangan Rizky yang selalu mengiringi langkahnya sejak rendevouze mereka di Plaza Senayan sebulan lalu. Terdengar helaan napas panjang dari Vina.
Vina melirik jam tangannya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dengan malas, dia kemudian bangkit dari duduknya. Namun, dia tidak beranjak dari situ. Dia hanya berdiri menghadap danau kecil di luar cafe. Tatapannya kosong. Entah kenapa, dirinya seperti kembali diseret ke masa-masa saat dia masih bersama Rizky.
Vina mencoba menepis kenangan itu, tapi tak bisa. Bayangan masa lalu itu justru semakin kuat mencengkram dirinya. Rupanya, begitu sulit menyingkirkan sebuah masa lalu.
“Vina..!” Terdengar suara dari belakangnya.
Vina langsung berbalik. Ternyata Yunita.
“Eh, elo! Sendirian?”
“He-em!”
Yunita kemudian menjatuhkan pantatnya di kursi. Vina mengikutinya
“Vin, elo beruntung ya!”Kata Yunita pelan.
“Beruntung… beruntung kenapa?” Vina mengerutkan dahinya.
“Iya, elo beruntung! Punya cowok yang begitu baik sama elo. Liat aja, Wisnu setia banget sama elo. Selalu ada setiap elo butuhin”
Vina tersenyum dikulum. “Kayaknya elo lagi ada masalah ya?”
Yunita mengangguk. “Cowok gua…”
“Kenapa sama cowok elo?”
“Dia selingkuh”
“Ya udah, sabar aja ya! mungkin dia emang bukan yang terbaik buat elo”
Vina lalu terdiam. Dipikirkannya kata-kata Yunita tadi. Ya, Yunita memang benar. Dia memang beruntung karena telah memiliki Wisnu yang begitu setia pada dirinya. Tapi, Yunita tidak tahu kalau sebenarnya saat ini dia sangat merasa bersalah karena telah menyakiti cowok itu. Dia kini terjebak diantara dua cinta. Wisnu dan Rizky. Hhh… seandainya saja dulu aku dan Rizky enggak berpisah, mungkin keadaannya enggak akan kayak ini, batinnya.
****
Di kamar, malam itu Vina membuka kembali surat-surat dari Rizky. Satu-persatu dibacanya. Kata-katanya begitu romantis. Puitis. Dia jadi tersenyum sendiri membacanya. Entah mengapa tiba-tiba saja dia begitu rindu pada Rizky.
“Duh, lagi baca surat dari pacar, ya!”
“Eh, mamah! Ngagetin aja!”
Buru-buru Vina melipat kembali surat digenggamannya.
“Kamu malu ya?”Desis Bu Sifa menggoda.
“Udah tahu, nanya!”
“Ya udah deh, Mamah pergi”
Setelah kepergian Ibunya, Vina kembali membaca surat-surat Rizky yang masih disimpannya dengan rapih itu. Sekejap, dia kembali menerawang ke masa lalu. Saat-saat indah sewaktu bersama Rizky. Mendadak Vina teringat ucapan Rizky kemarin siang yang memintanya untuk kembali padanya. Saat itu dia tidak menjawab. Vina bingung. Satu sisi dia harus mengakui bahwa cinta Rizky telah kembali hadir dalam hatinya. Tapi, disisi lain dia juga tidak bisa mengkhianati cinta Wisnu yang begitu tulus pada dirinya.
Hhh! Ya, Tuhan… aku mohon, berikanlah aku petunjuk agar aku dapat memilih satu diantara mereka, gumam Vina dalam hati.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bergegas Vina merapihkan surat-surat yang tadi dibacanya dan memasukkannya kembali ke dalam lemari.
****
Sepanjang jalan Wisnu sama sekali diam. Tak ada satupun kata keluar dari mulutnya. Dia hanya berjalan di samping Yunita dengan wajah yang masam.
“Wisnu?”Tegur Vina bingung.
Digenggamnya jemari tangan Wisnu yang masih terdiam.
“Kamu kenapa sih?” Desak Vina penasaran. “Kamu marah, ya?”
“Kelihatannya gimana?” Sahut Wisnu dingin.
Akhirnya dia bicara juga.
“Kelihatannya sih gitu, emangnya ada apa sih?”
“Sudah berapa lama kamu hubungan sama Rizky?” Suara Wisnu terdengar datar.
Vina terperangah kaget. dia heran darimana Wisnu bisa tahu hubungannya dengan Rizky.
“Kenapa, bingung jawabnya?”Katanya lagi.
“Kamu tahu darimana?”
“Enggak penting aku tahu darimana, sekarang kamu jawab aja pertanyaanku!”
Vina menghela napas panjang. “Baiklah, aku akan jujur sama kamu! Hubungan aku sama dia sebenarnya sudah lama. Aku pernah pacaran sama dia dulu”
“Terus sekarang?”
Vina tak bisa menjawab. Dia tak tahu harus bicara apa. Dia tidak bisa memungkiri perasaannya terhadap Rizky. Tapi, dia juga tidak ingin kehilangan cowok yang saat ini ada didepannya.
“Kenapa diam?”
“Sudahlah, Nu! Kita enggak usah bahas ini lagi, dia bukan apa-apaku kok” Kata Vina berbohong.
“Terserah kamu deh!”
Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah suara kicauan burung yang menyambut hari dengan riangnya.
****
Sesampainya di rumah, Vina langsung berdiam diri di kamar. Dia menangis. Dia mencoba merenungi kembali kata-kata yang telah dia ucapkan. Dia tahu dia telah membohongi Wisnu. Tapi, itu terpaksa dia lakukan karena dia tak ingin melukai hati cowok itu.
Sebenarnya dia ingin sekali jujur pada Wisnu. Ingin sekali dia mengatakan bahwa cinta Rizky telah kembali hadir dalam hatinya. Namun, kenyataan itu terpaksa dipendamnya. Itu dia lakukan karena dia tidak ingin menyakiti Wisnu. Wisnu telah begitu baik pada dirinya. Cintanya begitu tulus. Dan kini dia telah mengkhianati ketulusan cinta Wisnu.
“Vina, kamu kenapa?” Tanya Bu Sifa melihat anak gadisnya menangis.
Dia lalu menghampiri anak gadisnya itu dan memeluknya dengan penuh kelembutan. “Ada masalah? Cerita dong sama mamah ” Sambungnya.
Vina mengangguk pelan. Dia pun menceritakan semuanya. Dari mulai pertemuannya dengan Rizky, sampai rasa cintanya pada Rizky yang kembali memenuhi setiap ruang hatinya yang menyebabkan hubungannya dengan Wisnu mengalami sedikit keretakan. Atau bahkan, terancam bubar.
“Vina, mamah rasa kamu harus memilih satu diantara mereka!” Kata Bu Sifa memberi saran.
“Tapi mah, saat ini Vina belum siap! Apalagi Wisnu begitu baik sama Vina. Vina enggak tega”
“Terus kapan kamu siapnya? Itu sama saja kamu mempermainkan mereka”
Mamah memang benar. Aku memang harus memilih. Tapi, enggak sekarang. Aku belum siap. Aku masih ingin keduanya berada disisiku. Aku belum siap untuk kehilangan salah satunya, Vina terus membatin. Biarlah waktu yang menentukan semuanya.
****
Sudah hampir dua minggu Vina tidak bertemu dengan Rizky. Sejak pertemuan terakhirnya dengan cowok itu di café Bona ketika Rizky memintanya untuk kembali, Rizky sama sekali tidak menghubungi atau bahkan menemui dirinya. Dan tadi sore, dia justru mendapatkan sms yang cukup mengejutkan dari Rizky . Dalam smsnya Rizky mengatakan kalau mulai detik ini dia mungkin tidak bisa menemuinya lagi. Selain itu, dalam smsnya, Rizky juga berulang kali meminta maaf pada Vina. Vina benar-benar tidak mengerti apa maksud Rizky mengirim sms seperti itu.
Vina telah mencoba menghubungi handphone Rizky, tapi tidak aktif . dia juga telah berulang kali menghubunginya melalui telepon rumah. Tapi, berulang kali dia mencoba, berulang kali juga tidak ada yang mengangkat.
Vina lalu memaksakan kakinya melangkah keluar rumah dan duduk di kursi teras rumahnya. malam itu, langit terlihat begitu cerah. Bintang-bintang bertaburan menghiasi langit, menunjukkan sinarnya yang terang. Vina tersenyum sambil terus memandangi langit. Dia mencoba melupakan sejenak rasa penat yang ada dalam dirinya. Tapi, ingatannya terus tertuju pada Rizky. Dia masih belum bisa mengerti kata-kata Rizky sore tadi. Tapi, apapun maksudnya dia tidak ingin berpisah dengan Rizky.
Malam itu Vina tak bisa menutupi kegundahan hatinya. Gundah karena dia tidak ingin kehilangan Rizky, cinta pertama yang telah kembali bersemi dihatinya. Gundah karena dia tidak tahu harus memilih siapa.
****
“Vina, barusan Wisnu nelpon. Katanya, dia kepingin ketemu kamu besok!” Kata Bu Sifa begitu Vina sampai di rumah.
Mendengar itu, Vina tidak terlihat senang. Hatinya terlalu disesaki oleh rasa gundah. Dia terlalu sibuk memikirkan Rizky yang sudah dua minggu ini menghilang.
“Makasih ya, Mah!” Sahutnya sambil terus berjalan masuk kamar.
Bu Sifa sangat heran melihat sikap Vina. Bergegas dia menemui gadis itu di kamarnya.
“Vina” Pelan-pelan dia duduk di samping anaknya yang sedang merebahkan tubuhnya di pembaringan. Dibelainya rambut Vina dengan penuh kelembutan. “Ada apa? Kok mamah lihat beberapa hari ini kamu diam aja” Sambungnya.
Awalnya Vina bungkam. Tapi, setelah didesak akhirnya dia pun bercerita tentang kegalauan hatinya beberapa hari terakhir ini.
“Kamu benar-benar mencintai Rizky?” Tanya Bu Sifa.
Vina mengangguk mengiyakan. Raut wajahnya memancarkan kesedihan.
“Kalau begitu, kamu temui dia. Katakan kalau kamu ingin kembali sama dia”
“Tapi, Wisnu?”
“Mamah yakin, Wisnu memiliki jiwa yang besar untuk bisa menerima kenyataan ini” Kata-kata Bu Sifa terdengar begitu bijak.
“Makasih ya, Mah” Vina memeluk tubuh wanita paruh baya yang sangat dicintainya itu.
****
Vina begitu berbeda dari biasanya. Tidak ada sedikitpun senyuman di wajahnya. Dan itu membuat Wisnu bingung.
“Kamu kenapa? kok diam aja?” Tanyanya.
Vina menggeleng. “Enggak… enggak apa-apa kok!”
Wisnu tidak langsung percaya. Dia tetap merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu. “Bener, enggak apa-apa?”
“Iya, bener!”
Karena tak ingin berdebat, Wisnu lalu mengajak Vina ke KFC. Restaurant cepat saji itu terlihat begitu ramai. Begitu banyak pengunjung yang memadati tempat itu. Wisnu lantas langsung antri di depan kasir untuk memesan makanan. Sementara, Vina mencari tempat yang nyaman untuk duduk Sambil duduk, Vina terus memikirkan Rizky. Dia merasa harus segera menemui cowok itu. dan sekarang sudah saatnya dia bicara jujur pada Wisnu.
“Kok, ngelamun aja! Lagi mikiran siapa?” Tiba-tiba saja Wisnu sudah duduk didepannya.
“Ah nggak, lagi pengen bengong aja” ujar Vina gelagapan.
“Ayo, makan!”
Vina hanya mengangguk. Tapi, dia sama sekali tidak menyentuh makanan yang ada dihadapannya.
“Kok enggak dimakan?” Tanya Wisnu melihat Vina sama sekali tidak menyentuh makanannya. “Kamu enggak suka?”
“Enggak, aku suka kok!”
“Terus, kenapa enggak dimakan?”
“Iya…iya, aku makan!”
Dengan malas, Vina kemudian menyentuh makanan yang dipesan Wisnu untuknya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan makanannya. Hanya saja, saat ini dia sedang tidak bersemangat. Nafsu makannya telah dikalahkan oleh rasa rindunya pada Rizky . Melihat Vina seperti itu, lama-lama Wisnu jengah juga.
“Vina, kenapa sih , kok kelihatannya kamu enggak bergairah banget ketemu aku?” Desisnya menahan kesal.
“Enggak… enggak apa-apa, aku senang ketemu sama kamu! Aku lagi kurang enak badan aja kok”
“Kamu lagi mikirin Rizky, ya?”
Zahra tak menyahut.
“Kok diam? Wisnu menghela napas panjang. “Kenapa, kamu malu mengakuinya?”
Vina tertunduk. Menarik napas dalam-dalam.
“Wisnu, mungkin sebaiknya kita akhiri saja hubungan kita” Desisnya pelan.
Wisnu langsung membelalakkan matanya mendengar ucapan Vina. “Kenapa?”
“Aku…. Aku ingin kembali sama Rizky. Aku mencintainya!”
“Jadi, selama ini kamu sudah membohongi aku?”
Vina mengangguk pelan. “Maafin aku, Nu. Aku sudah berusaha untuk mempertahankan hubungan kita. Tapi, aku juga enggak bisa memungkiri perasaanku sendiri. Aku enggak bisa membohongi diriku sendiri, kalau ternyata cinta Rizky telah kembali bersemi dalam hatiku”
“Jadi, itu keputusan kamu?”
Vina mengangguk mengiyakan. Dia tahu keputusannya ini telah sangat menyakitkan Wisnu. Tapi, dia harus melakukannya. Karena kini dia benar-benar menyadari jika dia ternyata lebih mencintai Rizky.
“Baik, kalau memang itu keputusan kamu, aku bisa terima. Terima kasih atas kesempatan yang kamu berikan, selamat tinggal!” Wisnu langsung bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Vina sendiri.
Vina tidak bisa mencegahnya. Dia mengerti betapa sakitnya hati Wisnu. Dia dapat merasakan perihnya hati cowok itu. Sama perihnya dengan hatinya saat ini. Perih karena pada akhirnya dia harus membuat keputusan yang menyakitkan bagi mereka berdua.
****
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Vina terlihat berbaring sambil termenung sendiri di kamarnya. Dia terus saja memikirkan Rizky. Sudah lebih dari dua minggu Rizky menghilang. Tapi, sampai sekarang belum juga ada kabar dari cowok itu. dia sudah mencoba mendatangi rumah Rizky. Tapi, pintu gerbangnya terkunci. Tetangganya pun tidak ada yang tahu kemana Rizky dan keluarganya pergi.
Tiba-tiba saja bunyi suara handphone yang sistematis mengusik lamunannya. Vina lalu bangkit dari tidurnya dan meraih HP Sony Ericsson yang diletakkan diatas meja.
“Ada apaa, Yun?” Tanya Vina begitu tahu Yunita yang menelponnya.
“Hallo, Vin! Besok bisa ketemu enggak? gua ada kabar soal Rizky nih, penting!”
“Rizky? Kenapa dia?”
“Ehm… besok deh gua ceritain!”
“Ya udah, kita ketemuan dimana?
“Di café Bona, ya!”
“Jam berapa?”
“Jam 2!”
“Ya udah, sampai ketemu besok ya!”
Ada apa ya?, Tanya Vina dalam hati. Dia merasa ada sesuatu terjadi pada Rizky. Dan itu telah membuat hatinya gundah. Berbagai macam pertanyaan pun mulai menghigapi otaknya. Kecelakaankah dia? atau sakitkah? Atau…?.
“Aahh! Kenapa sih Yunita enggak langsung ngomong aja di telepon,” Vina menggerutu sendiri.
****
“Rizky kenapa, Yun?” Tanya Vina kebingungan.
Vina menarik napas panjang. Dia merasa tak kuasa memberitahukan keadaan Rizky pada Vina. Tapi, apa boleh buat. Bagaimanapun juga dia harus mengatakannya.
“Rizky…”
“Rizky kenapa?” Potong Vina penasaran.
“Rizky masuk rumah sakit!” Desah Yunita pelan.
Sontak Vina terhenyak. “Dirawat? Memangnya dia sakit apa?”
Dengan perlahan, Yunita menceritakan semuanya. Termasuk penyakit yang diderita oleh Rizky. Vina yang mendengarnya langsung menitikkan air mata. Dia tak kuasa menahan tangis mendengar orang yang dia cintai kini terbaring lemah tak berdaya karena penyakit yang selama ini disembunyikan Rizky darinya.
“Yun, tolong antar gua ke rumah sakit sekarang!” .
“Ayo!”
Mereka pun kemudian beranjak menuju rumah sakit tempat Rizky dirawat. Selama perjalanan, Vina lebih banyak diam. Pikirannya terus tertuju pada Rizky.
“Vin, kita sudah sampai!” Cetus Yunita begitu tiba di rumah sakit.
Vina lalu turun dari mobil dan berjalan masuk mengikuti Yunita..
Setibanya di ruangan ICU, mereka bertemu dengan kedua orang tua Rizky. Pasangan suami istri paruh baya itu terlihat sedang berdiri dengan raut wajah yang sangat sedih di depan kaca yang memisahkan mereka dengan Rizky yang tengah terbaring tak berdaya di dalam ruangan berukuran cukup besar. berdampingan pada sebuah kursi panjang di luar kamar rawat.
“Kamu, Vina ya?” Tanya Pak Beni, Ayah Rizky.
Vina hanya mengangguk sambil tersenyum mengiyakan.
“Rizky sudah cerita banyak soal kamu. Ternyata benar, kamu memang cantik” Istri pak Beni ikut bicara.
Dengan ditemani Yunita, Vina kemudian masuk ke dalam kamar rawat. Dilihatnya Rizky sedang terbaring tak berdaya. Vina menangis. Dia tak kuasa menahan sedih menyaksikan kondisi Rizky. Digenggamnya jemari Rizky yang dingin
“Rizky, kamu enggak boleh pergi? Aku ingin kembali sama kamu. Kini… kini hanya cinta kamu yang tumbuh dihatiku” Desis Vina lirih. “Please, bertahanlah demi aku” Lanjutnya.
Tiba-tiba saja jemari Rizky bergerak. Matanya perlahan membuka. Lalu melirik ke Vina.
“Yun…” Vina memalingkan wajahnya ke Yunita.
Yunita tersenyum.
“Vi…Vi…Vina,” Suara Rizky terbata-bata.
“Iya… iya, ini aku Vina!”
Bi… bi…biarkan cinta itu terus tumbuh dalam hatimu”
Setelah itu Rizky kembali memejamkan matanya. Tapi, bukan tidur. Rizky memejamkan mata untuk selamanya. Menyaksikan hal itu, Vina langsung meneteskan air matanya. Yunita yang sedari tadi berdiri disamping Vina bergegas memanggil kedua orang tua Rizky. Sekejap ruangan itu berubah menjadi lautan air mata.
“Rizky, kamu jangan pergi… kamu enggak boleh pergi” Vina menangis tersedu.
“Sudahlah, Vin! Kita relakan saja kepergiannya” Yunita merangkul pundak Vina.
Pemandangan itu membuat seisi ruangan makin terenyuh. Vina benar-benar terpukul dengan kepergian Rizky. Dia tidak mengira jika Rizky akan pergi meninggalkannya secepat ini. Kini dia hanya bisa pasrah menerima kenyataan ini. Dia harus merelakan kepergian Rizky.
****
Langganan:
Postingan (Atom)