Jumat, 17 Oktober 2008

Sepercik naskah novel ke-5

Blasting Kepala



Siang yang terik. Tak ada satu pun awan di langit, hingga sang mentari dapat memancarkan sinarnya dengan leluasa. Di kebun Murtani banyak orang berkerumun. Sanip setengah berlari mendekatinya Dia melihat, di tengah kerumunan terduduk seorang lelaki paruh baya dengan tangan terikat. Di sebelahnya si Cedot, centeng berwajah sangar berdiri sembari memegangi tali yang mengikat lelaki itu. Pieter van der Barr tersenyum dengan angkuhnya di atas kuda. Sementara puluhan centeng lainnya tengah mengangkut tumpukan padi, sayuran, kambing, dan harta benda dari sebuah rumah. Para marsose bersenjata lengkap yang diminta bantuannya oleh Pieter menjaga ketat proses eksekusi itu.
”Ade ape, Bang?” tanya Sanip kepada Rojali yang berdiri di sebelahnya
”Kasian Bang Miun, semua bandanye diangkut ma tuh Belande,” sahut Rojali setengah berbisik kepada Sanip. ”Dia kagak bisa bayar blasting”
Sanip cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kejadian itu. Ini merupakan peristiwa yang sudah tidak asing lagi di Djati Baroe. Peraturan gubernemen yang memaksa rakyat untuk membayar blasting kepala sebesar 25 sen terhadap tiap pemuda yang telah menginjak dewasa telah membuat rakyat Djati Baroe sengsara.
Dan peraturan itu selalu menjadi pembenaran bagi para tuan tanah untuk mengadukan petani yang gagal membayar cukai kepadanya ke landrad. Tak ada seorang pun yang bisa melawan. Para tuan tanah itu terlalu kuat karena dibekingi oleh centeng-centeng bayaran dan kompeni.
”Hei! Kalian semua dengar, inilah akibatnya kalau berani macam-macam padaku!” teriak Pieter sembari berdiri.
Setelah puas menguras semua harta benda Miun, Pieter beranjak pergi dengan kawalan marsose dan centeng-centengnya. Sedang Miun, hanya bisa meratap sambil menahan sakit. Dia tak kuasa mempertahankan hartanya, karena ia tidak mampu membayar denda sebesar 7.20 gulden ditambah ongkos perkara yang diputuskan oleh landrad di Meester Cornelis . Orang-orang di sekitar Miun pun hanya bisa melongo memandangi kepergian tuan tanah yang terkenal kejam itu. Rojali kemudian membantu Miun berdiri dan melepaskan tali yang mengikat tangan lelaki paruh baya itu.
”Bang, maapin aye ye! Aye kagak bisa bantuin Abang,” desis Rojali yang disambut anggukan kepala Miun. “Sanip, bantuin gua sini”
”Iye, Bang!” Sanip yang sedari tadi diam bergegas menghampiri Rojali.
Wajah Bang Miun terlihat lebam. Di sudut bibirnya keluar darah segar akibat pukulan bertubi-tubi yang dilayangkan si Cedot. Hari itu, teriknya mentari dan puluhan pasang mata kembali menjadi saksi atas perlakuan kejam Pieter Van der Barr kepada rakyat Djati Baroe.

****
Pieter van der Barr memasuki gedung Paleis yang dibangun pada tahun 1745 oleh kakeknya Zentgraff Van der Barr, seorang anggota Dewan Hindia dan merupakan kediaman keluarganya secara turun temurun hingga akhirnya menjadi milik lelaki duda itu. Para centeng dipimpin Cedot bersiaga di pekarangan Paleis.
Landhuis itu kelihatan megah dan dikelilingi perkebunan, serta terdapat peternakan yang diisi ribuan ekor sapi dan ratusan kambing yang dua diantaranya adalah hasil sitaan tadi siang. Di pekarangannya yang luas, berjejer kereta kuda. Panoramanya bertambah indah dengan kehadiran pepohonan Tamarindus indica mulai depan Paleis hingga jalan menuju Buitenzorg .
Para pembantu rumah tangga dengan pakaian dinas lengkap berbaris menyambut kedatangan Pieter van der Barr dengan anggukan kepala. Satu orang dari mereka dengan sigap meraih topi dari tangan Pieter.
Lelaki itu memang sengaja memberikan seragam kepada mereka demi menjaga gengsi. Dan untuk seseorang yang memiliki penghasilan mencapai 600.000 rijksdaalder pertahun, hal tersebut bukanlah sesuatu yang memberatkan.
”Surip”
“Saya, Mijnheer,” Seorang pembantu sedikit memajukan tubuhnya.
“Kamu angkut barang-barang itu ke gudang!” Pieter menunjuk ke arah gerobak di pekarangan.
”Baik, Mijnheer”
Bergegas Surip mengajak pembantu yang lain untuk membantunya menurunkan barang yang ada di gerobak.
Pieter van der Barr kemudian masuk ke dalam. Dia terlihat letih. Raut wajahnya memancarkan keletihan. Hari ini dia baru berkeliling Djati Baroe. Menyita harta benda lima orang petani yang tak sanggup membayar denda kepadanya. Terakhir, dia menyita harta Miun, petani yang dituntutnya di landrad dengan denda sebesar 7.20 gulden. Orang pribumi memang bodoh, umpatnya dalam hati.
Dia melepaskan pakaian yang membalut tubuh kekarnya dan menggantinya dengan piyama. Siang ini dia ingin istirahat sejenak sebelum pergi ke pesta dansa nanti sore.

****
Di kamarnya yang sempit, Miun terbaring. Siti, sang istri yang telah dinikahinya selama 25 tahun dengan penuh kasih sayang mengkompres lebam di wajah Miun. Di sebelahnya, dua gadis remaja terus memijat kaki Miun. Sinar mata Miun memancarkan kebencian. Setiap kali dia teringat kejadian tadi siang, hatinya meradang. Tapi, hanya itu yang dia bisa lakukan. Dia tak memiliki kemampuan untuk melawan Pieter van de Barr dan centeng-centengnya. Dia tidak ingin mati konyol. Dia tidak ingin seperti Rojak yang harus mati di tangan si Cedot sebulan lalu karena melawan ketika penjajah itu menyita harta bendanya.
Rojak mati mengenaskan. Lehernya nyaris putus ditebas golok centeng keparat itu. Istri Rojak pun tak lebih baik nasibnya. Wanita itu dibawa si Cedot, diperkosa, dan dibunuh. Mayatnya ditemukan warga sehari kemudian di rawa tak jauh dari kediaman Pieter van der Barr. Tak ada yang bisa menghukum si Cedot. Di Djati Baroe ini hukum Pieter van der Barr dan para centengnyalah yang berlaku.
”Assalamualaikum,” terdengar suara dari luar.
”Ti, coba liat sono! Siape yang dateng?” perintah Miun dengan nada pelan.
Siti bergegas keluar kamar dan menghampiri suara tadi. Dia tidak langsung membuka pintu. Dia mengintip lewat jendela. Dia takut si Cedot dan komplotannya datang lagi. Senyumnya lalu mengembang ketika tahu Rojali dan Sanip yang datang.
”Bang Miun mane, Mpok?” tanya Rojali ketika dibukakan pintu.
”Ade, di kamar,” sahut Siti. ”Masuk, Li” lanjutnya mempersilahkan.
”Makasih, Mpok”
Rojali dan Sanip melangkah masuk mengikuti Siti. Malam ini mereka sengaja mengunjungi Miun untuk memberikan sepuluh liter beras dan sedikit uang kepada lelaki itu. Mereka lakukan itu karena mereka tahu, Miun dan keluarganya tidak memiliki apa-apa lagi selain gubuk reyot yang ditinggalinya. Miun telah kehilangan segalanya. Sawah, kambing, dan hasil panennya minggu lalu habis dirampok Pieter Van de Barr. Yang tersisa cuma bale dan dua ranjang butut yang kini menjadi pembaringan Miun beserta istri dan kedua anak gadisnya.

****
Klub yang terletak di waterlooplein begitu ramai. Beberapa perwira Belanda asyik menghisap cerutu Havana dengan ditemani wanita-wanita cantik yang sengaja diundang oleh mereka. Di lantai dansa, lampu-lampu kristal gemerlapan mengiringi alunan musik yang dibawakan oleh korps militer.
Pieter akhirnya tiba di Concordia tepat jam tujuh malam. Membutuhkan waktu empat jam dengan kereta kuda untuk mencapai klub itu. Wajahnya terlihat lebih tampan dengan pakaian jas warna putih yang baru dibelinya kemarin, khusus untuk pesta malam ini.
Tepat di pintu masuk, seorang komisaris menyambut kedatangannya setelah sebelumnya memaksa van Cook yang tengah menggoda wanita untuk menyingkir. Letnan muda itu tak berani melawan sang komisaris yang berpangkat lebih tinggi darinya..Ia pun langsung pergi dari hadapan komisaris.
“Selamat datang di Concordia, Mijnheer! Mari,” ajak Muller, sang komisaris ramah.
Pieter mengangguk tersenyum. Dia langsung melangkah ke dalam ditemani komisaris dan berbaur dengan tiga komisaris lain yang diapit beberapa wanita. Tidak sampai sepuluh menit, mereka langsung akrab. Pieter lebih banyak berbincang dengan Mary, putri dari Muller. Ia terpesona dengan kecantikan Mary. Begitu pun Mary. Wanita itu seperti tak percaya jika saat ini ia tengah berhadapan dengan orang yang cukup berpengaruh di Djati Baroe. Dia sebenarnya sudah lama mendengar namanya. Tapi, baru kali dia berhadapan dengan penguasa tanah partikelir Djati Baroe yang masuk dalam wilayah Pemerintahan Gemeente Meester Cornelis itu.
Muller dan komisaris lainnya pergi meninggalkan mereka berdua. Para petinggi itu menyelinap keluar Concordia bersama wanita pasangannya.
“Een ogenblik , saya ingin mengambil minum lagi untuk kita”
Pieter bangkit dari duduknya. Tak lama kemudian dia sudah kembali dengan membawa dua gelas besar bir.
“Bedankt, ” Mary meraih gelas yang disodorkan Pieter dan meneguknya.
Pieter memandang takjub wanita itu. Benar-benar cantik.
“Kenapa Mijnheer memandang saya seperti itu?”
“Oh, het spijt me ... Saya hanya sedang mengagumi kecantikan anda”
Mary tersipu malu. Baru kali ini lagi ada lelaki yang mengatakan dirinya cantik.
” Mijnheer bisa saja bergurau”
”Nee, saya tidak bergurau. Mevrouw benar-benar cantik”
Mary semakin tersipu. Alunan musik dansa terus menggema. Pieter tanpa sungkan lagi mengajak Mary berdansa. Wanita itu memenuhinya. Di bawah sinar lampu kristal mereka berdansa. Kian lama tubuh mereka kian tak ada lagi jarak. Benar-benar menyatu. Berdansa hingga musik berganti.

****
Pagi menjelang. Burung-burung kembali berdendang menyambut kehadiran sang mentari. Menggantikan dewi malam yang telah menunaikan tugasnya. Tak terdengar lagi suara musik di Concordia. Tak ada lagi orang yang berdansa. Para perwira sudah pulang sejak pukul 3 dini hari. Mereka saling berpasangan. Kebanyakan dari mereka pulang ke kediaman para wanita yang mereka undang semalam. Saling memberikan persembahan terbaik mereka. Persembahan seorang suami kepada istrinya. Istri kepada suaminya. Mereka bergumul tanpa sebuah ikatan. Termasuk Pieter dan Mary
Pieter yang masih terlihat mabuk akibat semalaman minum bir berusaha bangkit dari tidurnya. Ditinggalkannya Mary yang tertidur lelap di sampingnya. Dengan langkah gontai, pria itu keluar dari kamar. Di luar kamar tertata rapih meja makan dan beberapa foto Mary dan Komisaris Muller beserta istrinya yang menghiasi dinding.
"Pagi, Mijnheer," seorang wanita pribumi menyapanya.
Pieter mengangguk tanpa senyum. Angkuh. "Di mana istri Mijnheer Muller?"
" Mevrouw Catharina tidak ada di sini, Mijnheer. Mevrouw Catharina ada di Holland"
Lagi, Pieter mengangguk. Ia lupa jika para petinggi Belanda di Batavia tidak ada yang memboyong istrinya ke negeri ini. Mereka semua banyak yang mempersunting wanita pribumi untuk dijadikan selir. Dan tentunya yang dipilih adalah wanita yang cantik.
"Sampaikan pada Mary, saya pulang!"
Lelaki itu melangkah keluar. Di pekarangan Landhuis sudah berdiri si Cedot dan dua anak buahnya.
”Cedot, kita pulang sekarang,” ujar Pieter.
”Baik, Mijnheer,” sahut Cedot.
Disuruhnya seorang anak buahnya mengambil kereta kuda. Setelah Pieter naik, kereta kuda pun bergegas meninggalkan Concordia untuk kembali ke Djati Baroe. Si cedot duduk di samping kusir, sementara anak buahnya bertengger di belakang kereta.
Kereta kuda terus melaju menyusuri Grote Postweg . Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di Struiswijk . Jalan ini tampak senyap. Dari kejauhan hanya tampak sebuah trem uap yang tengah menggelinding dari arah Meester Cornelis menuju Stadhuis . Di dalam lokomotif berdiri masinis pribumi dan seorang petugas yang menyalakan api. Di gerbong belakang ada dua orang pemuda pribumi berseragam tanpa alas kaki. Mereka adalah kondektur. Trem itu dikepalai oleh seorang Eropa. Ada tiga gerbong yang dimiliki trem itu. Masing-masing gerbong diperuntukkan bagi kasta yang berbeda. Ada kelas satu yang dikhususkan untuk warga Eropa, kelas dua untuk warga Tionghoa dan Arab, serta gerbong khusus kelas tiga untuk orang pribumi yang membayar dengan murah. Para penumpang harus duduk sesuai dengan kastanya.
Sebentar lagi mereka akan tiba di Gemeente Meester Cornelis. Masih sekitar tiga setengah jam perjalanan yang harus mereka tempuh. Di sisi jalan, terlihat dua orang marsose menyeret seorang lelaki pribumi yang sudah lemah tak berdaya. Keduanya tak henti-hentinya menghardik lelaki itu. Menghajarnya dengan popor senapan. Seorang lainnya berjalan tegak di depannya. Sepertinya lelaki itu akan dibawa ke rumah penjara Meester Cornelis. Pemandangan itu merupakan hal yang lazim di negeri Batavia. Setiap pribumi yang membangkang pasti akan mengalami perlakuan seperti lelaki itu. Itu tuh akibatnya kalo berani ngelawan kompeni, dengus Codet dalam hati. Senyumnya begitu mencibir.
Tak lama kemudian mereka memasuki wilayah Gemeente Meester Cornelis. Tangsi-tangsi militer mulai terlihat. Jalanan pun tak lagi senyap. Banyak orang lalu lalang di sisi De Groote Zuiderweg . Para mevrouw kompeni dan nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat disertai pembantu-pembantu berkereta hilir mudik di sekitar mereka.
Kereta kuda yang mengantar pembesar Djati Baroe itu tetap sunyi. Tak ada percakapan antara mereka. Pieter asyik menikmati pemandangan di bawah rimbunnya pepohonan di kiri-kanan jalan. Di depan, sang kusir terus berusaha mengendalikan sepasang kuda yang menarik kereta. Dan si Cedot beserta kedua anak buahnya membiarkan kedua mata mereka mengawasi setiap sudut jalan dengan liarnya.

****
” Mijnheer, kita sudah sampai,” Pelan, Cedot membangunkan Pieter.
Lelaki itu perlahan membuka matanya dan mendapatkan dirinya sudah berada depan Paleis. Rupanya cukup lama dia tertidur. Terakhir dia ingat ketika akan memasuki daerah Tsiawang.
Pieter lalu turun dari kereta. Dilangkahkan kakinya menapaki setiap anak tangga. Dua orang pembantu menghampiri Pieter. Seorang dari mereka meraih topi dari Pieter.
”Kemana Surip?” tanya Pieter.
“Surip sedang kasih makan sapi, Mijnheer,” jawab seorang pembantu.
“Oh…” Pieter mengangguk. “Kamu, siapkan air hangat untuk saya bersihkan badan”
“Baik, Mijnheer”
Pieter berjalan memasuki kamar tidur. Lalu duduk di depan meja rias almarhum istrinya. Wajahnya masih memancarkan keletihan. Pesta dansa semalam benar-benar telah menguras tenaganya. Cukup lama dia terduduk. Memandangi cermin dihadapannya. Sesekali ia tersenyum tipis. Memuji dirinya sendiri yang masih terlihat tampan di usianya yang mulai paruh baya.
”Tok...tok,” suara pintu membuyarkan lamunannya.
Pieter menoleh ke arah pintu kamarnya. Seorang wanita tua pembantunya berdiri.
”Maaf, Mijnheer! Air hangatnya sudah siap”
Pieter mengangguk.
Wanita tua itu lalu melangkahkan kakinya meninggalkan kamar. Pieter bangkit dari duduknya dan berjalan menuju paviljoentjes . Dilepaskannya pakaian yang melekat di tubuhnya. Satu persatu bagian tubuhnya dibasuh dengan air hangat. Satu kebiasaan yang sering ia lakukan setiap menjelang sore. Pieter begitu menikmatinya. Kehangatan air telah melenyapkan kepenatan yang menyelimutinya semalaman.

****
Di langit, rembulan bersinar dengan terang. Sanip duduk sendiri di bale depan rumah. Di sisi kanannya kopi yang baru saja dibuatnya menyembulkan asap dan wanginya yang khas. Menggoda hidung Sanip. Lelaki itu meminumnya seteguk demi seteguk. Terasa hangat di tenggorokan. Menepis rasa dingin yang menyerangnya sedari tadi.
Pikirannya menerawang. Mengingat perlakuan demi perlakuan Pieter van der Barr dan para centengnya terhadap rakyat Djati Baroe. Ada rasa miris di hatinya. Sebenarnya dirinya sudah tidak tahan menyaksikan kekejaman Pieter. Saban hari ada saja rakyat Djati Baroe yang disita harta bendanya dan disiksa oleh centeng-centeng keparat yang dibantu oleh marsose itu. Ingin dia melepaskan rakyat dari kekejaman penguasa tanah partikelir Djati Baroe itu. Tapi, ia tak kuasa. Si Cedot dan anak buahnya lebih hebat darinya. Ilmu bela dirinya belum seberapa. Belum lagi dia harus berhadapan dengan prajurit kompeni bersenjata lengkap yang membantu Pieter Van der Barr. Dan Rojali, sahabat karibnya meminta dia untuk tetap bersabar.
”Belon waktunye, Nip,” kata Rojali ketika ia mengusulkan untuk segera melakukan sesuatu untuk mengakhiri kejaliman Pieter.
Latip menarik napas panjang. Diminumnya kembali kopi perlahan.
“Assalamualaikum,” sebuah suara membuyarkan lamunannya.
“Walaikum salam! Eh, Abang,” Sanip bangkit dari duduknya. Menjabat tangan Rojali erat. “Duduk, Bang”
Rojali tersenyum. Dia duduk di samping Latip.
“Elu lagi mikirin apaan sih, Nip? Gua perhatiin dari jauh bengong aja”
“Aye lagi mikirin nasib warga kampung kite, Bang! Kite musti berbuat sesuatu supaye Pieter sama centeng-centengnya berenti berbuat keji sama orang kampung”
”Hhh.... Gua juga sebenarnya udah kagak tahan, Nip! Tapi, kite musti sabar. Ntar juga ada waktunye kapan kite kudu ngelawan”
”Ampe kapan, Bang? Orang kampung udah banyak menderita gara-gara ulah Belanda laknat ntu”
Rojali menggeleng. ”Pokoknye kite jangan gegabah, Nip”
”Iye, Bang! Gimana baenya aja”
”Ya udah, kalo gitu gua pamit dulu!” Rojali bangkit dari duduknya.
”Buru-buru banget, Bang?”
”Iye, ada pengajian di rumahnya Haji Wahab! Assalamualaikum”
”O iye, ye! Kok aye lupe ya, Bang! Tunggu bentaran deh Bang, aye ganti baju dulu”

****
Pagi menjelang. Ayam saling berlomba bersenandung menyambut sang mentari. Hamparan padi bergoyang diterpa angin semilir. Para petani mulai turun ke sawah. Mereka tersenyum. Hari ini saatnya mereka harus kembali membajak sawah untuk ditanami benih padi setelah musim panen minggu lalu. Seolah mereka lupa jika nanti usai panen mereka harus bayar pajak kepada Pieter van der Barr.
Rojali berdiri di tepian sawah miliknya. Memandang jauh ke depan. Lalu turun ke sawah. Mengayunkan pacul di genggamannya. Berusaha menggemburkan tanah. Tak lama ia berhenti. Suara teriak kesakitan mengusiknya. Ia menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah timur. Terlihat sosok lelaki kurus tersungkur di petakan sawah. Lelaki itu mengaduh. Memohon ampun kepada tiga orang di hadapannya.
“Dasar, centeng keparat!” desis Rojali.
Rojali menjatuhkan paculnya dan berjalan menghampiri ketiga lelaki itu.
“Ade apaan nih?!”
Ketiga orang centeng anak buah si Cedot itu memalingkan wajahnya ke arah Rojali. Udin, Umang, dan Juki memasang tampang sangar. Ketiganya merasa terusik dengan kehadiran Rojali.
“Apa urusannya sama elu?! Elu mendingan pegi dari sini, kagak usah ikut campur!” cetus Juki sinis.
Rojali menggeletuk geraham. Ia mencoba menahan amarahnya. Didekatinya Kurdi, lelaki yang menjadi bulan-bulanan ketiga centeng itu. Membantunya berdiri.
”Elu kagak napa-napa, Di?”
Kurdi menggeleng pelan.
”Ada masalah apaan emangnya?”
”Aye kagak bisa bayar blasting, Bang”
”Heh Rojali, elu budeg ya?! Gua bilang elu pegi dari sini, kagak usah ikut campur urusan orang!” Udin menghardik.
Rojali memalingkan wajahnya. ”Berapa yang harus dibayar?”
Ketiga centeng tertawa terbahak-bahak. Tawanya begitu melecehkan.
”Liat, belagu bener die! Emangnya elu mau bayarin?!”
”Kalo iye, kenape?” suara Rojali terdengar menantang.
Udin mendengus. ”25 sen”
Rojali lalu mengeluarkan uang dari balik sabuknya. Uang yang selama ini disimpannya. Rencananya jika sudah terkumpul banyak, uang itu akan digunakan untuk membeli kerbau. ”Nih!”
Ketiga anak buah Cedot itu saling lirik. Juki dan Umang memberikan isyarat kepada Udin untuk mengambil uang dari tangan Rojali. Udin menangkap isyarat itu. Diambilnya uang sebesar 25 sen dari genggaman Rojali. Agak kasar ia mengambilnya. Lalu beranjak pergi.
“Makasih ye, Bang”
“Same-same, Di”

****
Di Paleis, Pieter baru selesai makan pagi. Hari ini ia berencana mengontrol peternakan sapinya yang lain di Kampong Makasar. Kereta kuda telah disiapkan. Si Cedot berdiri tepat disampingnya. Pieter berjalan menapaki anak tangga untuk naik kereta kuda.
“Pagi, Mijnheer” Cedot memberi hormat.
Pieter membalas dengan anggukan kepala. Tak ada senyum ramah di wajahnya. Sikap yang acap kali ditampakkannya di hadapan orang pribumi. Dengan langkah angkuh ia masuk ke dalam kereta kuda.
Kereta melaju mengikuti langkah kuda. Pieter duduk dan menatap dingin ke sisi jalan. Cedot diam di sebelah kusir. Dan dua anak buahnya seperti biasa, bertengger di belakang kereta. Sesekali Pieter mengibaskan topi ke arahnya. Cuaca terasa panas hari itu. Matahari cepat sekali mengepakan cahayanya. Menembus rindangnya pepohonan sepanjang De Groote Zuiderweg.
Jalan terlihat begitu sepi. Hanya beberapa kaum pribumi berjalan di kiri jalan dengan kerbaunya. Ada juga yang terlihat membasuh peluh karena keletihan memikul rumput untuk pakan ternak. Mereka membungkuk ketika Pieter melintas di depan mereka. Memberikan hormat kepada Pieter. Penghormatan yang harus mereka lakukan dengan penuh keterpaksaan. Pembesar tanah partikelir Djati Baroe itu membalasnya dengan sorot mata penuh kebencian. Benar-benar tak bersahabat. Baginya, kaum pribumi tidaklah pantas untuk dihargai dan dihormati layaknya bangsa Eropa. Mereka berwarna coklat dan kotor. Kaum pribumi tak ubahnya seperti anjing buduk yang tidak layak bersanding dengan orang sebangsa dirinya. Kaum pribumi hanya layak dijadikan sebagai budak yang bisa ia permainkan hidupnya. Senyum Pieter tersungging. Senyum yang angkuh.
Setengah jam kemudian mereka tiba di peternakan sapi. Cedot dan anak buahnya meloncat. Cedot memandu Pieter turun dari kereta. Peternakan sapinya begitu luas. Dikelilingi pagar yang terbuat dari kayu bulat. Pintu keluar-masuk kompleks peternakan sapi ujung-ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar, dan bercat hitam. Ada sekitar 6.000 ekor sapi yang memadati tempat ini. Dan susu sapinya, sudah sangat terkenal seantero Batavia, hampir menyaingi susu sapi produksi peternakan milik Daniel Cornelis van Riemsdijk di Tanjung Oost .
Pieter tersenyum lebar. Seorang Belanda yang menjadi kepala peternakan melaporkan bahwa produksi susu sapinya bulan ini telah melebihi target. Ini berarti dia akan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.
"Goed..... heel goed! Het was inderdaad heel mooi "
Kepala peternakan ikut tersenyum. Merasa bangga karena hasil kerja kerasnya mendapat pujian dari Pieter.
"Lalu, kapan susu-susu ini akan dipasarkan?" sambung Pieter.
"Morgen ochtend, Mijnheer "
"Prachtig , jangan lupa beri laporan pada saya"
"Goed, Mijnheer "
"Wel, Ik moet weg. Dag "

****
Sore, ba'da Ashar di teras rumah. Rojali kedatangan Haji Wahab, Sanip, dan Madun. Mereka berbincang. Meluapkan amarah atas tindak tanduk Pieter dan para centengnya.
"Kite kudu bertindak," Sanip kelihatan emosional.
"Iye, tapi sekarang belon waktunye," sahut Rojali kalem.
"Bener, Nip! Kite tahan dulu emosi kite, jangan gegabah," Haji Wahab menimpali.
Obrolan terhenti sejenak ketika istri Rojali menyuguhkan kopi.
"Diminum kopinye"
"Makasih, Mpok," tutur Sanip dan Madun.
"Ayo, diminum kopinye," Rojali mempersilahkan.
Ketiga lelaki itu meraih cangkir kopi di hadapan mereka dan meminumnya. Obrolan mereka berlanjut. Saling memberikan komentar tentang tingkah tuan tanah partikelir Djati Baroe dengan para centengnya. Mereka semua geram. Sebal dengan kelakuan Pieter yang kian membabi buta itu. Sesekali terdengar gemelutuk graham dari Sanip yang sudah begitu tak sabar untuk melakukan perlawanan.
Obrolan mereka kembali terhenti. Dua orang lelaki berdiri di hadapan mereka. Wajah keduanya lebam. Sambil meringis menahan sakit, salah seorang dari lelaki itu bicara. Kerbau mereka dibawa lari oleh anak buah si Cedot dan padi yang baru kemarin mereka tanam luluh lantak diinjak-injak centeng-centeng laknat itu.
"Bangsat ntu orang!" geram Sanip. "Nyok kite samperin, Bang!"
Serentak mereka berhambur keluar rumah. Mengejar gerombolan centeng bayaran itu. Sanip yang bersemangat berjalan paling depan. Mereka yakin para centeng itu belum jauh. Benar saja, selewat kebun singkong anak buah si Cedot sudah nampak di hadapan mereka.
"HEY ANJING KOMPENI! BRENTI LU PADE!" Sanip berteriak lantang.
Sontak anak buah si Cedot menghentikan langkah mereka dan berpaling. Tawa mereka sontak lepas. Udin, salah satu centeng tangan kanan si Cedot memandang Sanip dan Rojali tajam.
"Elu lagi! Udah bosen idup lu, Li!" desis Udin menantang. "Ikut campur urusan orang aja"
"Gua bukannya mau ikut campur! Gua cuma kasian aja sama orang yang udah elu ambil hartanye," sahut Rojali kalem. Mencoba menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Ia paham, belum saatnya ia melakukan perlawanan."Apa kagak sebaiknye sekarang elu kembaliin tuh kebo ke yang punye," sambungnya.
Udin mendengus. "Enak aje elu ngomong! Ini kebo gua udah sita, soalnye ntu orang kagak bisa bayar blasting"
"Ya udah, sekarang gua yang bayar blastingnye! Tapi, elu kudu balikin ntu kebo ke yang punye"
"Bang, apa-apaan sih" Sanip keheranan.
"Udahlah Nip, kite kagak usah cari perkara ame mereka pade!" sahut Rojali pelan. Berusaha meyakinkan Sanip untuk tidak gegabah.
"Bae, sekarang elu bayar 25 sen ke gua!" Dengus Udin."Tapi inget, elu jangan nyampurin urusan gua lagi, kalo kagak elu bakalan urusan ame kompeni!"
Lagi, Rojali mengeluarkan uang dari balik sabuknya. "Nih"
Udin mengambil uang itu dan menyerahkan kerbau yang dibawanya ke Rojali. Setelah itu, gerombolan centeng itu beranjak meninggalkan Rojali dan ketiga sahabatnya.
"Kenapa sih Bang, kite masih aja harus ngalah sama mereka?"
"Kan udah gua bilang, belon waktunye kite ngelawan, Nip"

****
Magrib menjelang. Suara adzan berkumandang. Memanggil setiap orang untuk beribadah sebagai wujud ketakwaannya kepada Sang Khalik. Rojali bergegas beranjak ke mushola.
Senja itu, langit masih terang. Gemerlap mentari seolah masih ingin menari mengibaskan cahayanya. Hampir seluruh rakyat Djati Baroe. Muda maupun tua tumpah ruah di rumah Tuhan. Menjalankan Rukun Islam kedua. Tak mempedulikan pekatnya debu yang berhembus dari jalan tanah merah yang mereka tapaki. Semua demi kecintaan mereka terhadap Sang Pencipta.
Sungguh perbedaan yang sangat kontras dengan suasana di Paleis. Para pengikut Pieter van der Barr justru larut dalam kenistaan. Mereka berjudi. Mabuk. Tak satu pun dari mereka yang peduli ketika sayup-sayup panggilan adzan memanggil. Mereka bergumul di lapak judi. Ditemani pancaran obor yang berdiri membisu di sisi mereka.
Di mushola, jamaah memulai shalat dengan khusuk. Rojali mengambil lakon sebagai imam kali ini. Menggantikan Haji Wahab yang berhalangan hadir. Lelaki paruh baya itu ada urusan penting di Tenabang . Entah urusan apa yang sedang diselesaikannya.

****



Centrale Gevangenissen




Siang itu Pieter van der Barr baru saja tiba di pelabuhan Sunda Kelapa. Kapal yang ditumpangi Hansen van der Barr, keponakannya akan merapat setelah sebulan lamanya melakukan perjalanan dari Holland. Ia terlihat bahagia menyambut kedatangan Hansen. Sebenarnya ia sudah lama meminta keponakannnya yang lulusan hukum di Universitas Leiden itu untuk menemaninya di Batavia. Tapi, Hansen baru bisa memenuhinya sekarang.
Senyum mengembang ketika melihat sebuah kapal merapat perlahan. Kesibukan langsung terlihat di tepi pelabuhan. Para kuli berhambur mendekati dermaga. Beberapa orang menangkap tali bandul yang dilempar awak kapal, lalu menariknya. Sebuah tambang besar yang terikat dengan tali bandul langsung dililitkan ke tonggak kayu yang terpancang kokoh di dermaga.
Usai kapal bersandar sempurna. Tangga kapal dijulurkan. Para penumpang mulai berdesakan mendekati tangga. Seorang perwira kapal meminta mereka untuk turun satu persatu.
"Hansen!" Pieter berteriak begitu melihat keponakannya menuruni tangga.
Hansen menoleh. Lalu tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Pieter. Lelaki paruh baya itu beranjak ke dermaga. Begitu Hansen menginjakkan kaki di dermaga, Pieter langsung memeluk pemuda itu
"Hoe gaat het , paman?" sapa Hansen.
"Uitstekend ,Hansen. Hoe was het met Uw reis ?"
"Sangat menyenangkan"
"Goed. Mari, kita ke rumah paman sekarang"
Pieter menyuruh Cedot membawakan koper milik Hansen. Mereka kemudian beranjak meninggalkan dermaga.
Kereta kuda perlahan menjauhi pelabuhan. Melintasi jalan kotor dan berdebu menuju kota. Sungguh, bukan perjalanan yang mengesankan. Bau busuk tercium sepanjang jalan. Hansen terus menutup hidungnya.
"Beginilah Batavia, Hansen. Nanti juga kamu akan terbiasa," ucap Pieter
Rasa mual dan jijik baru lenyap ketika kereta melewati Stadhuis. Tapi, jalan tetap saja kotor dan penuh debu. Gedung-gedung perkantoran tidak bersih dan air terusan terlihat begitu keruh. Sangat berbeda dengan Holland.
Kereta terus melaju. Menyusuri Molenvliet West yang berseberangan dengan Molenvliet Oost yang sepanjang sisinya dipadati rumah-rumah peristirahatan yang besar dan indah dengan halamannya yang luas. Hansen memandanginya dengan penuh rasa kagum. Benar-benar pemandangan yang sangat berbeda dengan di kota tadi.
"Heel mooi. Kijk naar het huis " ujar Hansen kagum sembari menunjuk sebuah rumah di sisi Molenvliet Oost.
"Oh... itu kediaman Reinier de Klerk, mantan gubernur jenderal Hindia," jelas Pieter.
"Sekarang?"
"de Klerk sudah lama meninggal dunia dan aku tidak tahu lagi siapa yang menempati rumah itu sekarang"
Hansen mengangguk. Matanya kemudian kembali menyusuri setiap sisi jalan. Sampai di ujung Molenvliet West, kereta berbelok ke kiri memasuki Noordwijk . Di kiri jalan banyak sekali pertokoan mewah, hotel, dan tempat hiburan. Noordwijk berhadapan dengan Rijswijk dan hanya dibatasi oleh kanal yang dipenuhi oleh oleh rakit-rakit dan pribumi yang mencuci dan mandi.
"Itukah istana gubernur jenderal, Paman?" Hansen menunjuk ke sebuah gedung di seberang kanal yang berdiri kokoh di sisi Rijswijk.
"Ja , itu istana gubernur jenderal"
Sepanjang jalan Hansen terus membiarkan matanya liar menikmati pemandangan yang terhampar di kanan kiri jalan. Hansen benar-benar menikmati perjalanan. Sesekali ia berdecak kagum menyaksikan sawah yang terhampar luas. Sebuah pemandangan yang tak pernah ia dapatkan di Holland.

****
Sore, kereta kuda tiba di Paleis. Pieter dan Hansen turun dari kereta.
"Nah, inilah rumahku, Hansen"
"Besar sekali, Paman," seru Hansen takjub.
Pieter tersenyum."Ayo, masuk"
Mereka berdua masuk ke dalam Paleis. Pieter lalu menunjukkan kamar untuk Hansen. Kamar itu begitu besar. Semua yang dibutuhkan sudah tersedia. Ranjang besi. Lemari. Meja dan kursi. Pieter memang sudah lama mempersiapkannya untuk Hansen.
"Sekarang istirahat saja dulu, kamu pasti lelah. Aku pergi dulu," ujar Pieter
Hansen mengangguk. "Bedank, Paman"
Pieter tersenyum. Ditinggalkannya pemuda itu. Sore ini ia ada janji bertemu dengan Gubernur Jenderal van der Wijck di Groneveld. Van der Wijck memang selalu mampir di kediaman Daniel Cornelis van Riemsdijk setiap akan berkunjung ke Buitenzorg. Dan sudah menjadi kewajiban bagi para tuan tanah untuk menemui sang gubernur jenderal acap kali dia datang. Mereka melakukan itu demi menjaga kekuasaannya di tanah partikelir.
Dengan berpakaian rapih Pieter kemudian berangkat menuju Tanjung Oost. Kereta berjalan agak lamban. Struktur jalan yang tidak rata membuat kuda kelihatan berhati-hati melintasinya. Kedua anak buah Cedot yang bertengger di belakang kereta berpegang cukup erat. Cedot sendiri duduk manis di samping kusir. Matanya tak berhenti mengawasi. Sesekali nampak beberapa lelaki pribumi tengah berkumpul di bale depan rumah. Mereka menundukkan kepala begitu melihat kereta kuda. Pieter membalas hormat para pribumi dekil itu penuh angkuh.
Tak sampai satu jam Pieter tiba di Groneveld. Kediaman tuan tanah partikelir Tanjung Oost itu dijaga ketat oleh marsose dan para centeng. Setiap orang yang datang harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu sesuai dengan standar prosedur yang ditetapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Termasuk Pieter.
"Silahkan masuk, Tuan," ucap seorang letnan usai pemeriksaan.
"Dank je wel"
Pieter lantas melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung. Kedatangannya disambut oleh Daniel Cornelis van Riemsdijk.
"Hai, Pieter. Het is goed, dat je komt. Hoe gaat het U?"
"Goed, goed. En U?"
"Het is better nu. Mari masuk"
Pieter mengikuti langkah Daniel. Di dalam ruangan terlihat sangat ramai. Semua tuan tanah di wilayah Gemeente Meester Cornelis hadir di tempat itu. Semuanya ia kenal. Segelintir saja pribumi yang tampak. Itu pun hanya beberapa orang wedana dan asistennya. Hanya mereka yang bisa dengan mudah bergaul dengan kaum Belanda. Selebihnya keluarga dari para tuan tanah dan pedagang cina yang dekat dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pieter dan Daniel lalu mendekati kerumunan dekat jendela. Nampak sang gubernur jenderal tengah berbincang dengan istri Daniel. Pieter menyapa Gubernur Jenderal van der Wijck dengan ramah.
"Bagaimana peternakanmu, Pieter?"
"Baik-baik saja, Yang Mulia"
"Goed. Semoga usaha kamu selalu lancar"
"Terima kasih atas doanya, Yang Mulia"
"Geen dank"

****

Tidak ada komentar: